Jumat, 27 Oktober 2023

Mengenal Tanda-tanda Jejak


Pengantar

Tanda jejak digunakan sebagai salah satu materi dalam sebuah permainan besar (wide game). Wide game adalah permainan penjelajahan di alam terbuka dalam bentuk mencari jejak (orienteenering) dengan menggunakan tanda-tanda jejak, membuat peta, mencatat berbagai situasi dan dibagi dalam pos-pos. Setiap pos berisi tugas atau kegiatan menyelesaikan soal baik dengan menggunakan  morse, semaphore, sandi, tali temali, PPPK maupun berbagai jenis kegiatan lainnya.

Tanda jejak juga dapat digunakan dalam sebuah kegiatan pengembaraan, penjelajahan, hiking, mendaki gunung, dan berbagai jenis kegiatan di alam bebas lainnya. Tanda jejak  adalah tanda untuk menunjukkan sesuatu, apakah itu arah, jalan atau bahkan hal-hal lain tentang peristiwa/kejadian. Dalam ke permukaan tanda jejak selalu bersifat rahasia. Untuk membuat tanda jejak, dapat dipakai batu, kayu, ranting, goresan, rumput dan benda-benda lain-lain benda yang dapat dijadikan sebagan tanda.

Sebagai alat pendidikan penguasaan terhadap tanda-tanda jejak dapat digunakan untuk menumbuhkan kreativitas, tanggung jawab terhadap sesama, ketelitian dalam bertindak, kejujuran dalam memberikan informasi, kerjasama regu, kewaspadaan, cinta alam dan dapat memanfaatkan sumberdaya/kekayaan alam dengan penuh tanggung jawab.

Pentingnya meninggalkan tanda jejak saat melakukan eksplorasi atau pendakian adalah supaya kita bisa melacak kembali jalur yang telah kita gunakan sehingga dapat mencegah kemungkinan tersesat. Membuat tanda jejak di alam juga berfungsi sebagai panduang membuka jalur baru.

Tanda jejak perlu dilakukan terutama jika kita belum familiar dengan jalur yang kita lewati. Pendakian atau penjelajahan yang melibatkan banyak anggota memerlukan panduan tanda jejak supaya anggota yang belum hafal jalur bisa terhindar dari tersesat.

Meninggalkan tanda jejak di alam bisa dilakukan dengan meggunakan bahan yang ada disekitar seperti kain, tali, ranting, batu, dll. Sementara untuk bentuk tanda jejak ada bermacam-macam tergantung media yang digunakan untuk meninggalkan jejak.

Tanda jejak yang umumnya dibuat oleh orang awam adalah dengan meninggalkan tali atau kain atau apapun yang berwarna terang pada ranting atau batang pohon.

Berdasarkan media yang digunakan, tanda jejak terbagi ke dalam empat macam, yaitu tanda jejak di atas tanah, tanda jejak ranting, tanda jejak rumput, dan tanda jejak batu. Sedangkan berdasarkan fungsinya, tanda jejak dibagi menjadi dua macam, yaitu tanda jejak yang menunjukkan arah dan tanda jejak yang menunjukkan kondisi.

1. Tanda jejak di atas tanah

Tanda jejak di atas tanah digunakan dengan menggores atau menggambar pada bidang tanah yang datar dengan goresan yang agak dalam supaya tidak mudah hilang tertutup.  Pastingan jika ingin membuat tanda jejak di tanah haruslah pada tanah yang lapang atau mudah terlihat.

2. Tanda jejak dengan batu

Menggunakan batu sebagai tanda jejak adalah yang cukup banyak digunakan oleh petualang karena jika disusun dengan benar, tanda batu tidak akan mudah hilang. Kalian bisa menumpuk batu dengan bentuk yang tak lazim supaya mudah dilihat. Tempatkanlah batu pada tempat yang tak lazimnya batu tersebut berada sehingga mudah di lihat.

3. Tanda jejak menggunakan ranting

Ranting pada pohon bisa di rekayasa sedemikian rupa untuk menunjukkan arah ataupun kondisi daerah. Tanda jejak menggunakan ranting ini umumnya dibuat dengan mematahkan ranting dan membuatnya menjadi bentuk sedemikian rupa.

4. Tanda jejak menggunakan rumput

Jika kita menjelajahi padang rumput di mana tidak ada pohon ataupun batu, maka rumput itu bisa kita gunakan sebagai tanda jejak. Caranya adalah dengan mengikat beberapa rumput menjadi satu bagian dan kita buat menurut fungsi penandaan.

Rabu, 29 Desember 2021

Awal Mula Punk

Apa yang terlintas di pikiran Anda ketika mendengar kata punk ataupun anak punk? Gembel, jorok, rusuh, sampah masyarakat, tidak berpendidikan dan sumpah serapah lainnya yang memiliki makna negatif.

Di sisi lain, generasi muda salah mengartikan apa itu punk sendiri. Pokoknya asal ditindik, ditato, memakai sepatu boot, dan berpakaian ala punk mengaku-ngaku sebagai punkers. Dengan pemahaman yang salah tersebut mereka melakukan tindakan yang meresahkan masyarakat.

Perilaku tersebut mendapatkan timbal balik yang negatif di mata masyarakat. Namun, sejatinya istilah punk sendiri bukanlah mengacu pada perilaku seperti yang di jabarkan di atas. Lalu, seperti apa sejatinya punk itu? Dan bagaimana sejarahnya? Simak ulasannya di bawah ini.

Sejarah Awal Adanya Punk

Pada tahun 1970 muncul sebuah esai karya Nick Tosches di majalah Fushion yang berjudul “The Punk Muse: The True Story Protophatic Spiff Including the Lowdown on the Trouble-Making Five-Percent of America's Youth”. Nick mengungkapkan bahwa musiknya (punk) bagai tangisan pedih menuju jurang omong kosong.

Pada waktu itu banyak bermunculan musik underground yang lahir akibat kebosanan dan kegelisahan remaja Amerika Serikat. Kebosanan tersebut timbul karena konsepsi musik pada waktu itu yang konvensional dan ingin menciptakan sesuatu yang baru.

Mereka juga gelisah karena terjadi krisis moneter yang parah di Amerika sejak awal 1970-an. Hal tersebut seiring dengan terjadinya Perang Vietnam, kemerosotan moral tokoh politik serta kegagalan kebijakan ekonomi Presiden Ronald Reagan (Reaganomic).

Adapun grup musik underground yang bermunculan di Amerika kota New York yaitu New York Dolls di Mercer Arts Center, Rocket from the Tombs di CBGG-OMFUG, The Dead Boys, Richard Hell, dan Television. Sedang di kota Detroit muncul band underground seperti The Electric Eels, Devo, dan Friction.

Sejak ulasan yang dikemukakan oleh Nick Tosches, istilah punk makin dikukuhkan untuk menyebut musik bawah tanah. Konsepsi punk pada masa itu digambarkan sebagai sesuatu yang “menarik ke sisi yang lebih gelap”.

Punk kala itu dijadikan sebagai alat perlawanan kegelisahan dan kebosanan dalam masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan poster yang bertuliskan “WATCH OUT! PUNK IS COMING!” disebarkan ke berbagai penjuru kota New York.

Berkembang Hingga ke Inggris

Pola kemunculan Punk di Inggris hampir sama dengan yang berada di negeri Paman Sam, negara yang beribukota London tersebut sedang mengalami krisis ekonomi, sehingga timbul masalah seperti pengangguran ataupun kekerasan di tempat umum.

Oleh karena itu, para pemuda Inggris menjadikan punk sebagai wadah yang mewakili suara mereka, khususnya para kelompok pekerja. Punk menjadi sebuah terobosan untuk kebebasan berbicara kaum muda kelas bawah.

Lambat laun, punk Inggris dapat mempengaruhi dunia musik yang merambah ke setiap budaya dominan hingga sekarang. Dengan eksistensi tersebut membuktikan bahwa punk bukanlah sampah.

Dalam perjalanannya pada suatu kurun waktu, punk ada karena timbul sebuah kekecewaan dari musik rock kelas bawah terhadap rock yang mapan.

Karena itulah, punk mengambil sisi lain dalam menciptakan lirik-lirik lagu yang berupa teriakan protes akan kejamnya kehidupan serta rasa frustrasi, kemarahan yang semuanya berkompromi dengan hukum jalanan, represi aparat, kerja kasar serta figur penguasa terhadap rakyat.

Punk Masuk ke Indonesia

Aliran punk diketahui masuk ke Indonesia sekitar tahun 1989/1990-1995 yang digagas oleh Band Young Offender dan band Anti Septic. Budaya punk tersebar di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta ataupun kota besar lainnya.

Pada awal terbentuknya punk di Indonesia berasal dari komunitas metal. Pencetus punk ini kemudian membentuk suatu komunitas yang fokus pada bidang musik dan fashion. Namun, seiring dengan perkembangannya yang pesat, punk di Indonesia disalahartikan ¾tidak merepresentasikan punk dari negara asalnya.

Dandanan punk Indonesia yang lusuh, kacau, aneh, dan jauh dari mapan adalah identitias mereka. Dengan dandanan seperti itu justru merusak mereka sendiri.

Mereka terperosok ke dalam pergaulan yang tidak sehat, narkoba, dan perilaku negatif lainnya. Dapat disimpulkan bahwa punk merupakan sebuah ideologi yang tidak pernah mengajarkan hal-hal yang berbau negatif. Hanya saja para penganutnya salah mengartikan apa itu punk sendiri.

 

Referensi:

[1] G, Widya. 2010. Punk: Ideologi yang Disalahpahami. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

[2] N.N. 2017. “Kemunculan Punk di Indonesia”. Diakses dari kumparan,com/potongan-nostalgia/kemunculan-punk-di-indonesia. Diakses pada 23 Juni 2021.

Kamis, 23 Desember 2021

Filter Informasi a la Socrates

Ibarat gula dan semut, milenial dan media sosial (medsos) adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Hampir setiap milenial melakukan interaksi via medsos—kalau tidak bisa dikatakan seluruhnya. Berbagai platform media sosial semacam Instagram, Facebook, Twitter, dan YouTube bukan lagi hal asing dalam kehidupan milenial. Tak dapat disangsikan bahwa media sosial kini sudah menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang.

 

Risiko di Media Sosial

Layaknya kehidupan di dunia nyata, bermedsos di dunia maya juga memiliki risiko, aturan main, dan tata krama yang mesti diperhatikan. Jika melanggar, tentu ada ‘sanksi’ media sosial yang harus diterima. Sanksi itu dari yang terendah bisa berupa unfollowdislike, atau komentar bernada menggunjing dari publik medsos—netizen—hingga yang terberat semisal penangkapan langsung karena melanggar undang-undang ITE.

 

Milenial sebagai kaum mayoritas di dunia maya mesti melek dan menyadari hal ini. Usia dan emosi yang labil sering kali membuat banyak kaum milenial bertindak gegabah yang ujung-ujungnya merugikan dirinya sendiri. Medsos yang seolah bebas sebebas-bebasnya memang menggiurkan bagi anak muda yang sedang mencari jati diri dan kebebasan berekspresi. Naas, banyak dari mereka yang sebenarnya belum siap untuk menggunakan media sosial. Kasus pornografi, bullyinghate speech, pencemaran nama baik, kekerasan, dan perilaku negatif lainnya lazim berseliweran di media sosial dan beberapa didalangi oleh milenial.

 

Dalam media sosial, kita harus menyadari adanya ketidakpastian (uncertainty) yang dapat memunculkan kemungkinan (probability) sebagai embrio dari risiko (risk). Manajemen risiko mengontrol itu semua dengan kesadaran sebagai kuncinya. Kesadaran bahwa medsos memiliki aturan dan etika, hingga kesadaran untuk tidak menelan mentah-mentah segala hal yang terdapat di dalam media sosial merupakan modal dan fondasi terdalam sebelum memutuskan bermedsos. Peran serta kontrol dari orang tua dan guru sangat vital untuk menanamkan kesadaran ini sebelum memberi izin anak-anaknya untuk berinteraksi di media sosial.

 

Risiko yang sering menjebak milenial di media sosial adalah hoax alias pemberitaan bohong. Tak hanya milenial, orang-orang dewasa pramilenial pun kerap termakan tipu daya hoax. Selain ketergesaan dalam menerima informasi tanpa merasa perlu untuk check and balance, kemasan yang apik dan penyaluran informasi yang cepat nan masif juga membuat setiap dari kita rawan tertipu oleh hoax. Tak bisa dipungkiri bahwa hoax adalah bentuk setan digital yang terkutuk.

 

Kisah Socrates

Socrates, seorang filsuf Yunani yang hidup dalam kurun waktu 469-399 sebelum Masehi punya cara jitu untuk memfilter sebuah informasi yang diterima. Metode Socrates ini kiranya sangat relevan untuk dijadikan sebagai perisai diri bagi milenial untuk melawan hoax. Kisah ini saya sadur dari buku Fahruddin Faiz berjudul Filosof Juga Manusia.

 

Syahdan, Socrates sedang berkunjung ke rumah salah seorang temannya. Memulai pembicaraan, temannya berkata kepada Socrates, “Socrates, tahukah kamu apa yang baru saja aku dengar tentang salah seorang muridmu?”

 

“Tunggu sebentar,” jawab Socrates. “Sebelum kamu bercerita, aku ingin kau menjawab tiga pertanyaan dariku. Namanya ujian tiga lapis. Pertama adalah ujian kebenaran. Sudahkah kau pastikan bahwa apa yang akan kau katakan padaku itu benar?”

 

“Tidak,” jawab temannya. “Sebenarnya aku baru saja mendengar dari seseorang…”

 

“Baiklah,” tangkis Socrates. “Jadi kau tidak benar-benar tahu apakah yang akan kau katakan itu benar atau salah. Sekarang mari menuju ujian yang kedua, yakni ujian kebaikan. Apakah yang akan kau katakan tentang muridku adalah sesuatu yang baik?”

 

“Tidak. Hm, bahkan sebaliknya.”

 

“Jadi,” kata Socrates, “kamu ingin mengatakan kepadaku sesuatu yang buruk mengenainya meskipun kamu tidak yakin apakah itu benar.”

 

Temannya mengangguk dan mulai merasa malu. Lalu Socrates melanjutkan, “Kamu mungkin masih bisa lolos, tetapi masih ada ujian yang terakhir, yakni uji kemanfaatan. Apakah yang akan kau katakan padaku tentang muridku akan memberi manfaat padaku?”

 

“Tidak. Kukira tidak.”

 

“Simpulannya, kalau apa yang akan kau katakan padaku itu tidak benar, tidak baik, dan juga tidak berguna, mengapa kau masih akan menyampaikannya juga?” pungkas Socrates.

 

Teman Socrates terdiam dan amat malu.

 

Penutup
Untuk menangkal hoax, tiga variabel yang terdapat dalam ujian tiga lapis Socrates mesti menjadi filter. Kebenaran, kebaikan, dan kegunaan. Jika salah satu dari ketiganya tidak kita jumpai dalam informasi yang kita terima dari media sosial, sudah selayaknya kita tidak mengonsumsinya, apalagi memberi like dan share kepada orang lain. Semoga kita senantiasa dijauhkan dari godaan setan-setan digital hoax yang terkutuk.

Rabu, 17 November 2021

Korespondensi Raja Sriwijaya untuk Kholifah

Dalam catatan sejarah kerajaan Sriwijaya memiliki peranan penting bagi Nusantara, baik dari segi peradaban, kekuasaan, perdagangan, agama dan lain sebagainya. Hal itu dapat dilihat dari catatan sejarah berupa artefak dan kronik, yang ditemukan terutama dari tahun 618 hingga 1416 M.

Adapun penyebaran agama yang selama ini diketahui hanya agama Hindu dan Buddha, dalam kerajaan Sriwijaya sendiri agama Buddha memiliki pengaruh besar dimana Sriwijaya menarik para pendatang. Hal itu dapat dilihat dalam kronik Tiongkok ditulis oleh I Tsing yang melakukan perjalanan ke Sumatera pada tahun 671 M.

Bahkan menurut kronik tersebut, terdapat seribu lebih pendeta Buddha yang praktik Dharma di bumi Sriwijaya (Supratna, 2008), dan juga agama Hindu yang terdapat dari peninggalan budaya seperti ditemukannya arca Buddha (Bukit Siguntang), Awalokiteshwara (Musi Rawas), arca Maitreya (Komering), arca Torso perunggu Bodhisattwa (Thailand Selatan).

Begitu juga ditemukannya prasasti-prasasti yang berkaitan dengan kerajaan Sriwijaya seperti Prasasti Talang Tuo (1920), prasasti Kota Kapur (1892), prasasti Telaga Batu (1935) dan penemuan-penemuan lainnya.

Kerajaan Sriwijaya yang merupakan kerajaan maritim terbesar yang pernah ada di Nusantara menguasai jalur perdagangan Malaka dan Asia Tenggara. Di mana Malaka dan Asia Tenggara menjadi salah satu pintu masuk jalur perdagangan dunia, begitu juga penyebaran agama didalamnya.

Dalam hal ini, Taylor (2003) mengatakan pemerintah ¾baik dari masa sebelum menjadi Nusantara ataupun setelah menjadi Indonesia dan merdeka¾ lebih mengalokasikan sumber daya pada situs Hindu dan Buddha untuk penggalian dan pelestarian purbakala. Sehingga kurang begitu memperhatikan tentang sejarah Islam di Nusantara. Sehingga terjadi perdebatan antara peneliti tentang kesimpulan kedatangan Islam di Nusantara (Ricklefs, M.C, 1991). Adapun menurut Ricklefs, ada dua proses terhadap Islam Nusantara.

Pertama, komunikasi orang Muslim dan orang Nusantara; kedua, pada awal era Islam pada masa Kholifah Ustman bin Affan (644-656) telah banyak utusan dagang Muslim yang melintasi Nusantara, bahkan dalam kurun tahun 904 hingga abad ke-12 terlibat komunikasi dengan kerajaan maritim Sriwijaya.

Hamka (2017) berpendapat, bahwa pada tahun 625 M telah ada kelompok bangsa Arab yang bermukim di pantai Barat Sumatera (Barus) yang mana masuk dalam kerajaan Sriwijaya. Hal ini sebagaimana yang tertulis dalam kronik Tiongkok yang ditemukan berasal dari Dinasti Tang (618-902 M) dan catatan Sulaiman Akhbar Shin wal Hindi (851M) serta catatan Abu Yazid Hasan (916 M).

Lebih lanjut, Zainal Abidin Ahmad (1979) mengatakan, pada tahun 30 H atau 651 M pada masa Kholifah Utsman bin Affan (644-656 M) mengirim utusan Muawiyyah bin Abu Sufyan ke tanah Jawa. Di mana hasil daripada pengiriman itu masuknya Raja Jay Sima; putra dari Ratu Sima dari Kalingga; masuk Islam. Namun menurut Abdul Malik Karim Amrullah (2017), peristiwa itu terjadi pada kurang lebih pada tahun 42 H atau 672 M.

 

SURAT SRIWIJAYA KEPADA DINASTI UMMAYAH

Masuknya Islam di Nusantara bukanlah hal yang baru diperbincangkan. Kalangan ahli sejarah Barat pertama kali beranggapan, bahwa Islam masuk ke Nusantara dimulai pada abad ke-13 M, seperti catatan Marco Polo (1929) yang dikutip oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo (1942) yang menunjuk Sultan Malik Al Saleh Azh-Zhohir (696 H-1297 M) sebagai penguasa pertama Muslim di kesultanan Samudra Pasai. Hal ini juga ditambah dari catatan Risalah Ibnu Battutah (1346). Di mana selama 15 hari ia menetap di kerajaan Samudra Pasai pada abad pertengahan. Ibnu Battutah mengatakan dalam Risalahnya, bahwa Sultan Pasai seorang penganut Mazhab Syafi’i. Dalam catatan ini juga dijelaskan, dahulu bangsa Arab mengenal Nusantara dengan nama Jawi. Serta Ibnu Battutah menjelaskan, bahwa Kerajaan Pasai mempunyai Tamaddun (peradaban) yang hubungan luar negeri yang baik sebelumnya.

Adapun K.F.H. Van Lagen menyatakan berita menurut kronik Tiongkok telah menyebutkan, Kerajaan Pasai tahun 1298 M. Sedangkan dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit Hindoesten mengabarkan, bahwa Islam masuk di Nusantara pada abad ke-13 dan juga beberapa temuan-temuan sarjana Barat lainnya yang berpendapat, bahwa Islam masuk di Nusantara pada Abad ke-13 M.

Sedangkan pendapat lain yang mengatakan, bahwa Islam telah masuk di Nusantara sebelum abad ke-13 menyatakan bahwa pada tahun 675 M telah terdapat utusan Raja Arab Muslim yang berkunjung di Kalingga. Hal ini dapat dilihat dari catatan Al-Mas’udi diterangkan bahwa pada tahun 648 M telah ada kelompok Arab Muslim di pantai timur Sumatera.

Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954) menerangkan, bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 M dengan melalui jalur pedagang Muslim yang singgah di Sumatera sebelum menuju Tiongkok. Sedangkan dalam Preliminary Statemate on Heneral Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), Prof. Sayyed Naguib Al Attas mengungkapkan, bahwa kaum Muslimin sudah ada di kepulauan Malaya dan Indonesia pada tahun 672 M.

Begitu juga pendapat Prof. Sayyed Qodratullah Fatimi mengatakan, bahwa Muslim telah ada di Malaya pada tahun 674 M. Dan temuan-temuan peneliti lainnya sehingga teori masuknya Islam di Nusantara pada abad 13 yang dikemukan oleh sejarawan Barat tidaklah benar.

Raja Sri Indrawarman (Sri Indravarman) merupakan raja Kerajaan Sriwijaya setelah Dapunta Hyang (671-702 M). Hal ini terlihat dari literasi catatan sejarah I Tsing yang berkunjung ke Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671 M (Junjiro,1896) dan ditemukannya prasasti kedukan bukit (682 M) oleh M. Batenbug (1920). Hal serupa juga diungkapkan oleh Coedes (1918 M), walaupun terdapat beberapa perbedaan para peneliti dalam menafsirkan beberapa kata yang ada pada prasasti tersebut.

Raja Sri Indrawarman yang dalam kronik Tiongkok dikenal sebagai Shih Li T’o Pa Mo merupakan Maharaja Sriwijaya yang bertahta kisaran 702-728 M. Menurut Prof. Azyumardi Azra (2006), nama Sri Indrawarman muncul berdasarkan surat yang di kirim kepada Kholifah Umar bin Abdul Aziz, bahkan ada juga peneliti yang menyebutkan bahwa Sri Indrawarman mengirim surat sebelumnya kepada Kholifah Muawiyyah bin Abu Sufyan. Hal ini cukup beralasan dikarenakan pada tahun (644-656M) Kholifah Utsman pernah mengirim armada yang dikomandoi oleh Muawiyyah bin Abu Sufyan menuju Jawa.

Dalam karangan H.A. Dt. Rajo Mangkuto menuliskan pada 89 H atau 708 M Kholifah Walid bin Abdul bin Marwan (707-717 M) pernah mengirim armada ke pulau Sumatera. Sedangkan Buzurg bin Shahriyar Al Ramhurmui (1000M) mengabarkan, pada masa keemasan kerajaan Sriwijaya sudah ada perkampungan Muslim di wilayah kerajaan Sriwijaya.

Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu kerajaan Sriwijaya memiliki kedekatan yang erat dengan kekholifahan Islam. Hal itu dapat dilihat dari sebuah surat pertama yang ditemukan dalam lemari arsip Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umary. Kemudian oleh S.Q. Fatimi ¾seorang sejarawan Malaysia¾ menuliskan dua surat Raja Sriwijaya kepada Kholifah Islam yang diambil dari kitab Al-Hayawan karya Abu Utsman ‘Amr Ibnu Bahr Al-Qinanih Al-Fuqaymih Al-Basri atau yang lebih dikenal dengan nama Al-Jahiz (776 M) yang di kutip oleh Azyumardi Azra (2004). Dimana menceritakan kembali isi pendahuluan surat tersebut yang jika diterjemahkan kurang lebih sebagai berikut:

Dari Maharaja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah dan istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi gaharu. Kepada Muawiyyah…”

Adapun dalam versi terjemahan lain, surat tersebut berisikan sebagai berikut:

Dari Maharaja yang istalnya berisi ribuan gajah, istananya berkilau emas dan perak, dilayani oleh ribuan puteri raja, yang menguasai dua sungai yang mengairi gaharu. Untuk Muawiyyah…”

Sedangkan surat kedua sedikit lebih lengkap karena terdapat pembukaan dan isi surat sebagaimana yang terdapat dalam buku karangan Ibnu ‘Abd Robbih (246-329 M) yang berjudul Al-Iqd Al-Farid. Adapun potongan surat tersebut antara lain sebagai berikut:

Dari Rajadiraja… yang adalah keturunan seribu raja... Kepada raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain selain Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah yang sebenarnya merupakan hadiah yang tidak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan jelaskan kepada saya hukum-hukumnya….”

Adapun dalam redaksi lainnya, surat tersebut berbunyi sebagai berikut:

Dari Rajadiraja yang keturunan ribuan raja, yang di istalnya terdapat ribuan gajah, dan menguasai dua sungai yang mengairi gaharu, tanaman harum, pala, dan barus, yang keharumannya menyebar sejauh dua belas mil… Untuk Raja Arab, yang bertuhan Esa. Saya memberimu hadiah yang tidak seberapa sebagai tanda sapa dan saya harap Anda berkenan mengirim seseorang yang bisa mengajar tentang Islam dan menerangkannya kepada saya..”

Sedangkan dalam Al-Nujum Al-Jaziroh fil Muluk Misr wa Al-Qohiroh yang di ta’lif oleh

Jamaludin Abi Al-Mahasin Yusuf Ibnu Taghri Birdi Al-Atabiki (1950) mempunyai tambahan
pada akhir surat tersebut, yang berbunyi antara lain: Saya mengirim hadiah jebat (musk), batu
ratna, dupa, dan barus. Terimalah dari saudara Islammu…”

Menurut Prof. Azyumardi Azra (2016), surat tersebut diterima Kholifah Umar bin Abdul Aziz kisaran tahun 100 H (717M). Di mana kemudian Kholifah Umar bin Abdul Aziz memberikan hadiah utusan kerajaan Sriwijaya dan kembali dengan membawa Zanji (budak wanita berkulit hitam). Dan Raja Sri Indrawarman diperkirakan masuk Islam pada tahun 718 M.

Sejak saat itu, bangsa Arab mengenal kerajaannya dengan nama “Kerajaan Sribuza yang Islam”, sebagaimana pada tahun 42H (672 M) Raja Jay Sima juga telah memeluk agama Islam. Menurut M.D. Mansoer (1970), surat Raja Sriwijaya Sri Indrawarman kepada Kholifah Muawiyyah dan Kholifah Umar bin Abdul Aziz tersebut masih tersimpan dengan baik di museum Madrid, Spanyol.

Melihat dari literasi sejarah yang ada dapat dikatakan, bahwa Islam masuk ke Nusantara pada awal abad ke-13 sebagaimana para peneliti Barat nyatakan dapat dikatakan tidak benar. Melainkan Islam telah datang ke Nusantara pada kisaran abad ke-6 M.

Hal itu diperkuat dari temuan surat dalam kearsipan Dinasti Umayyah mengenai kerajaan Sriwijaya. Akan tetapi temuan ini menjadi benang misteri dalam sejarah peradaban Nusantara. Di mana selama ini pemerintahan lebih cenderung mengkaji dan menggali situs, artefak, dan kronik yang berkaitan dengan peninggalan agama Hindu-Buddha. Sehingga catatan sejarah Islam menjadi pudar dimakan zaman. Sebenarnya jika pemerintah memberikan ruang yang luas untuk mengkaji tentang sejarah Islam Nusantara itu dahulu dapat dimulai ketika ditemukannya catatan Sulaiman (851 M) dan juga catatan Abu Yazid Hasan (916 M). Akan tetapi hal itu mulai dilirik serius oleh para peniliti setelah peresmian tugu Titik Nol Islam Nusantara di Barus oleh Presiden Indonesia beberapa waktu lalu.

Bukti sejarah Islam yang menurut Mansoer (1970) masih tersimpan rapi di museum Spanyol yang berisikan surat dari kerajaan Sriwijaya oleh Raja Sri Indrawarman (702-728 M) kepada Kholifah Muawiyyah bin Abu Sufyan (662-681 M) dan Kholifah Umar bin Abdul Aziz (720-722 M). Tentunya hal ini menjadi titik terang dari semrawutnya masalah sejarah Nusantara, Sriwijaya, dan Islam yang harus dan wajib diteliti, di kaji, ditelusuri sehingga dapat menyingkap tabir yang selama ini tersembunyi atau disembunyikan. Pada akhirnya diharapkan dapat menjadi sebuah percerahan besar sejarah yang saling berkaitan panjang seperti potongan puzzle yang terpecah terkeping-keping. Benang merah itu mulai dari Islam Sriwijaya. Wallohu a’lam

 

Daftar Pustaka

  • Abdul Malik Karim Amrullah, “Dari Pembendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Indonesia” Gema Insani, Jakarta
  • Azyumardi Azra, 2006 “Islam In The Indonesia World: an Account of Institutional Formation, Mizan Pustaka
  • Azyumardi Azra, 2004 “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIII”, Prenada Media, Jakarta
  • Azyumardi Azra, 1997 “Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan”, Rosda, Bnadung
  • Ali Muhammad Ash Shalabi, “Bangkit dan Runtuhnya Khalifah Utmaniyah”, Pustaka Kautsar, Jakarta
  • Ali Muhammad Ash Shalabi, “Sirah Ammirul Mukminin Utsman bin Affan; Syahshiyatuhu wa ‘Ashirohu”, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, Lebanon
  • George Coedes, 1930 “Les Inscriptions Malaises De Crivijaya” bulletin BEFEO. Francis
  • George Coedes, Luis Charles Damais, 1992 “Srivijaya History, Religion & Language of an early Malay Polity”, Collected Studies, MBRAS
  • Issa J Boullata, Translated “Ibn ‘Abd Rabbih; Al-‘Iqd Al-Farid (The Unique Necklace), Garnet Publishing, United Kingdom
  • Jean Gelman Taylor, 2003 “Indonesia: People and Histories New Haven” Yale University Press, London
  • Junjiro Takakusu, 1896 “A Record of The Buddhist Religion as Practiced in India and Malay Archipelago: By I-Tsing, Oxfort, London
  • Muhammad bin Abdullah bin Bathutah, 2009 “Rihlah Ibnu Bathutah” Darul Aqrom Mesir
  • Merle Calvin Ricklefs (1991) “A history of modern Indonesia”, MacMillan, London
  • Nana Supratna, 2008 “Sejarah Untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas: Program Bahasa”, Grasindo, Bandung
  • Raghib As Sirjani, 2009 “Madza Qaddamal Muslimuna lil ‘Alam Ishamaatu Al Muslimin fi Al Hadharah Al Insaniyah”, Mu’assasah Iqro, Mesir
  • Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo, 1942 “Islam in the Netherlans East Indes” TT
  • Saifullah, 2010 “Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
  • Slamet Muljana, 2006, Sriwijaya (dalam Bahasa Indonesia), LKiS Yogyakarta
  • Tim Riset dan Studi Islam Mesir, 2005 “Mausu’ah Al Muyasar Tarikh Islami”, Mu’asasah Iqro’, Mesir
  • Yusuf Ats-Tsaqofi, “Mawqif Uruba min Ad-Daulat Al Utsmaniyyah”.TT
  • Zainuddin HM, 2013 “Asal Usul Kota-Kota di Indonesia”, PT. Zaytuna Ufuk Abadi, Jakarta

Contributor: Muhammad Abdillah Asmara, Lc., M.Pd.I., CH., CHt.