Sabtu, 01 Desember 2012

Pengertian Hadits


Para muhadditsin (ulama ahli hadits) berbeda pendapat di dalam mendefinisikan al-hadits. Hal itu karena terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan sifat peninjauan mereka itu, lahirlah dua macam pengertian tentang hadits, yaitu pengertian yang terbatas di satu pihak dan pengertian yang luas di pihak lain. 

Ta'rif (Definisi) Hadits yang Terbatas 
Dalam pengertian (definisi) yang terbatas, mayoritas ahli hadits berpendapat sebagai berikut. "Al-hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., yaitu berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, dan yang sebagainya." 

Definisi ini mengandung empat macam unsur: perkataan, perbuatan, pernyataan, dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad saw. yang lain, yang semuanya hanya disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. saja, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada sahabat dan tidak pula kepada tabi'in. Pemberitaan tentang empat unsur tersebut yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. disebut berita yang marfu', yang disandarkan kepada para sahabat disebut berita mauquf, dan yang disandarkan kepada tabi'in disebut maqthu'. 

1. Perkataan. Yang dimaksud dengan perkataan Nabi Muhammad saw. ialah perkataan yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang: syariat, akidah, akhlak, pendidikan, dan sebagainya. Contoh perkataan beliau yang mengandung hukum syariat seperti berikut. Nabi Muhammad saw. bersabda (yang artinya), "Hanya amal-amal perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu memperoleh apa yang ia niatkan ... (dan seterusnya)." Hukum yang terkandung dalam sabda Nabi tersebut ialah kewajiban niat dalam seala amal perbuatan untuk mendapatkan pengakuan sah dari syaro'. 

2. Perbuatan. Perbuatan Nabi Muhammad saw. merupakan penjelasan praktis dari peraturan-peraturan yang belum jelas cara pelaksanaannya. Misalnya, cara cara bersholat dan cara menghadap kiblat dalam salat sunnah di atas kendaraan yang sedang berjalan telah dipraktikkan oleh Nabi dengan perbuatannya di hadapan para sahabat. Perbuatan beliau tentang hal itu kita ketahui berdasarkan berita dari sahabat Jabir r.a., katanya, "Konon Rosululloh saw. sholat di atas kendaraan (dengan menghadap kiblat) menurut kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak sholat fardhu, beliau turun sebentar, terus menghadap kiblat." (HR Bukhori). 

Tetapi, tidak semua perbuatan Nabi saw. itu merupakan syari'at yang harus dilaksanakan oleh semua ummatnya. Ada perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang hanya spesifik untuk dirinya, bukan untuk ditaati oleh ummatnya. Hal itu karena adanya suatu dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu memang hanya spesifik untuk Nabi saw. Adapun perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang hanya khusus untuk dirinya atau tidak termasuk syari'at yang harus ditaati antara lain ialah sebagai berikut:

  • Rosululloh saw. diperbolehkan menikahi perempuan lebih dari empat orang, dan menikahi perempuan tanpa mahar. Sebagai dalil adanya dispensasi menikahi perempuan tanpa mahar ialah firman Alloh (yang artinya) sebagai berikut: "... dan Kami halalkan seorang wanita mukminah menyerahkan dirinya kepada Nabi (untuk dinikahi tanpa mahar) bila Nabi menghendaki menikahinya, sebagai suatu kelonggaran untuk engkau (saja), bukan untuk kaum beriman umumnya." (Qs. al-Ahzab: 50). 


  • Sebagian tindakan Rosululloh saw. yang berdasarkan suatu kebijaksanaan semata-mata, yang bertalian dengan soal-soal keduniaan: perdagangan, pertanian, dan mengatur taktik perang. Misalnya, pada suatu hari Rosululloh saw. pernah kedatangan seorang sahabat yang tidak berhasil dalam penyerbukan putik kurma, lalu menanyakannya kepada beliau. Maka Rosululloh menjawab bahwa "Kamu adalah lebih tahu mengenai urusan keduniaan". Dan, pada waktu Perang Badar Rosululloh menempatkan divisi tentara di suatu tempat, yang kemudian ada seorang sahabat yang menanyakannya, apakah penempatan itu atas petunjuk dari Alloh atau semata-mata pendapat dan siasat beliau. Rosululloh kemudian menjelaskannya bahwa tindakannya itu semata-mata menurut pendapat dan siasat beliau. Akhirnya, atas usul salah seorang sahabat, tempat tersebut dipindahkan ke tempat lain yang lebih strategis. 


  • Sebagian perbuatan beliau pribadi sebagai manusia. Seperti, makan, minum, berpakaian, dan lain sebagainya. Tetapi, kalau perbuatan tersebut memberi suatu petunjuk tentang tata cara makan, minum, berpakaian, dan lain sebagainya, menurut pendapat yang lebih baik, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq dan kebanyakan para ahli hadits, hukumnya sunnah. Misalnya, "Konon Nabi saw. mengenakan jubah (gamis) sampai di atas mata kaki." (HR. al-Hakim). 


3. Taqrir. Arti taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau. Contohnya, dalam suatu jamuan makan, sahabat Kholid bin Walid menyajikan makanan daging biawak dan mempersilakan kepada Nabi untuk menikmatinya bersama para undangan. Rosululloh saw. menjawab, "Tidak (maaf). Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik padanya!" Kata Kholid: "Segera aku memotongnya dan memakannya, sedang Rosululloh saw. melihat kepadaku." (HR Bukhori dan Muslim). 

Contoh lain adalah diamnya Nabi terhadap perempuan yang keluar rumah, berjalan di jalanan pergi ke masjid, dan mendengarkan ceramah-ceramah yang memang diundang untuk kepentingan suatu pertemuan. 

Adapun yang termasuk taqrir qouliyah, yaitu apabila seseorang sahabat berkata "Aku berbuat demikian atau sahabat berbuat berbuat begitu" di hadapan Rosul, dan beliau tidak mencegahnya. Tetapi ada syaratnya, yaitu perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang sahabat itu tidak mendapat sanggahan dan disandarkan sewaktu Rosululloh masih hidup dan orang yang melakukan itu orang yang taat kepada agama Islam. Sebab, diamnya Nabi terhadap apa yang dilakukan atau diucapkan oleh orang kafir atau munafik bukan berarti menyetujuinya. Memang sering Nabi mendiamkan apa-apa yang diakukan oleh orang munafik lantaran beliau tahu bahwa banyak petunjuk yang tidak memberi manfaat kepadanya. 

4. Sifat-sifat, Keadaan-keadaan, dan Himmah (Hasrat) Rosululloh. Sifat-sifat beliau yang termasuk unsur al-hadits ialah sebagai berikut:

  • Sifat-sifat beliau yang dilukiskan oleh para sahabat dan ahli tarikh (sejarah), seperti sifat-sifat dan bentuk jasmaniah beliau yang dilukiskan oleh sahabat Anas r.a. sebagai berikut. "Rosululloh itu adalah sebaik-baik manusia mengenai paras mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang tinggi dan bukan pula orang pendek." (HR Bukhori dan Muslim).


  • Silsilah-silsilah, nama-nama, dan tahun kelahiran yang telah ditetapkan oleh para sahabat dan ahli sejarah. Contoh mengenai tahun kelahiran beliau seperti apa yang dikatakan oleh Qois bin Mahromah r.a. "Aku dan Rosululloh saw. dilahirkan pada tahun gajah." (HR. Tirmidzi). 


  • Himmah (hasrat) beliau yang belum sempat direalisasi. Misalnya, hasrat beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. "Tatkala Rosululloh saw. berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata, 'Ya Rosululloh, bahwa hari ini adalah yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.' Sahut Rosululloh, 'Tahun yang akan datang, Insya Alloh aku akan berpuasa tanggal sembilan'." (HR Muslim dan Abu Daud). 


Tetapi, Rosululloh tidak menjalankan puasa pada tahun depan karena wafat. Menurut Imam Syafi'i dan rekan-rekannya, menjalankan himmah itu disunnahkan, karena ia termasuk salah satu bagian sunnah, yakni sunnah hammiyah

Ringkasnya, menurut ta'rif (definisi) yang terbatas yang dikemukakan oleh mayoritas ahli hadits di atas, pengertian hadits itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. saja, sedang segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, tabi'in, atau tabi'it tabi'in, tidak termasuk al-hadits. 

Dengan memperhatikan macam-macam unsur hadits dan mana yang harus didahulukan mengamalkannya, bila ada perlawanan antara unsur-unsur tersebut, mayoritas ahli hadits membagi hadits berturut-turut sebagai berikut:

a. Sunnah qouliyah,
b. Sunnah fi'liyah,
c. Sunah taqririyah, dan
d. Sunnah hammiyah.


Sumber: Diadaptasi dari Ikhtisar Mushtholahul Hadits, Drs. Fatchur Rahman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar