Minggu, 02 Desember 2012

Sejarah Pertumbuhan Hadits


Pada masa Rosululloh saw. masih hidup al-hadits belum mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti al-Qur’an. Para sahabat, terutama yang mempunyai tugas istimewa, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur’an di atas alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya. Tetapi, tidak demikian halnya terhadap al-hadits. Kendatipun para sahabat sangat memerlukan petunjuk-petunjuk dan bimbingan Nabi saw. Dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan di dalam al-Qur'an, mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits belum diabadikan dalam tulisan. 

Larangan Menulis Al-Hadits
Para sahabat menyampaikan sesuatu yang ditanggapi dengan panca inderanya dari Nabi saw. dengan berita lisan belaka. Pendirian ini mempunyai pegangan yang kuat, yakni sabda Nabi saw. (yang artinya), “Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain al-Qur’an. Barang siapa menuliskan yang ia terima dariku selain al-Qur’an hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim). 

Hadits tersebut di atas, di samping menganjurkan agar meriwayatkan hadits dengan lisan, juga memberi ultimatum kepada seseorang yang membuat riwayat palsu. Larangan penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan al-Qur’an, karena dianggapnya segala yang dikatakan Rosululloh saw. adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil (turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara al-Qur’an dengan hadits. 

Perintah Menulis Al-Hadits
Di samping melarang menulis hadits, Rosululloh saw. juga memerintahkan kepada beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis hadits. Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh r.a. menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekah telah dikuasai kembali oleh Rosululloh saw., beliau berdiri berpidato di hadapan para manusia. Pada waktu beliau berpidato, tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dari Yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada Rosululloh saw., ujarnya, “Ya Rosululloh, tulislah untukku!” Jawab Rosul, “Tulislah oleh kamu sekalian untuknya!” 

Menurut Abu ‘Abdir Rohman bahwa tidak ada satu pun riwayat tentang perintah menulis hadits yang lebih sah, selain hadits ini. Sebab, Rosululloh saw. dengan tegas memerintahkannya. Sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan hadits yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat dan tabi’in. Para sahabat yang mempunyai naskah hadits antara lain sebagai berikut:

1. ‘Abdullah bin Amr bin Ash r.a.
‘Abdulloh bin Amr bin Ash r.a. (7 sebelum Hijriyah-65 H) adalah salah seorang sahabat yang selalu menulis apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad saw. Tindakan ini pernah didengar oleh orang-orang Quroisy, ujarnya, “Kau tiliskah semua apa yang telah kau dengar dari Nabi? Sedang beliau itu sebagai manusia, kadang-kadang berbicara dalam suasana suka dan kadang-kadang berbicara dalam suasana duka?” Atas teguran tersebut, ia segera menanyakan tentang tindakannya kepada Rosululloh saw. Maka, jawab Rosululloh saw., “Tulislah! Demi Zat yang nyawaku ada di tangan-Nya, tidaklah keluar daripadanya, selain hak.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shohih). 

Rosululloh saw. mengizinkan ‘Abdulloh bin Amr bin Ash untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau karena ia adalah salah seorang penulis yang baik. 

Naskah ‘Abdulloh bin Amr dinamai dengan ash-Shohifah ash-Shodiqoh, karena ditulisnya secara langsung dari Rosululloh saw., yang merupakan sebenar-benarnya atau yang diriwayatkan daripadanya. 

Naskah hadits ash-Shodiqoh berisikan hadits sebanyak 1000 hadits, dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal penulisnya. Cucunya yang bernama Amr bin Syu’aib meriwayatkan hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadits. 

Bila naskah ash-Shodiqoh tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya, maka dapatlah kita temukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah. 

2. Jabir bin ‘Abdulloh al-Anshori r.a. (16 H-73 H).
Naskah hadits Jabir bin ‘Abdulloh al-Anshori dinamai Shohifah Jabir. 

Qotadah bin Da’amah as-Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan katanya, “Sungguh, shohifah ini lebih kuhafal daripada surat al-Baqoroh.” 

Di antara tabi’in yang mempunyai naskah hadits ialah Human bin Munabbih (40-131 H). Ia adalah seorang tabi’in yang alim yang berguru kepada sahabat Abu Huroiroh r.a. dan mengutip hadits Rosululloh saw. daripadanya banyak sekali. Hadits-hadits tersebut kemudian dikumpulkannya dalam satu naskah yang dinamai ash-Shohifah ash-Shohihah. Naskah itu berisikan hadits sebanyak 138 hadits. 

Imam Ahmad di dalam musnadnya menukil hadits-hadits Humam bin Munabbih keseluruhannya. Dan Imam Bukhori banyak sekali menukil hadits-hadits tersebut ke dalam kitab shohihnya, terdapat dalam beberapa bab. 

Ketiga buah naskah hadits tersebut di atas adalah di antara sekian banyak tulisan hadits yang ditulis secara pribadi oleh para sahabat dan tabi'in yang muncul pada abad pertama. 

Nash-nash yang melarang menulis hadits di satu pihak dan yang mengizinkan di pihak lain bukanlah nash-nash yang saling bertentangan satu sama lain, akan tetapi nash-nash itu dapat dikompromikan sebagai berikut:

Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadits itu tidak bercampur dengan al-Qur’an. Tetapi, setelah jumlah kaum Muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal al-Qur’an, maka hukum melarang menulisnya telah dihapus dengan perintah yang membolehkannya. Dengan demikian, hukum menulisnya adalah boleh. 

Bahwa larangan hadits itu adalah bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlian tulis-menulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak dikhawatirkan akan salah, seperti ‘Abdulloh bin Amr bin Ash. 

Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada orang yang lebih kuat menghafalnya daripada menulisnya, sedang perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya, seperti Abu Syah.

Sumber: Diadaptasi dari Ikhtisar Mushtholahul Hadits, Drs. Fatchur Rahman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar