Jumat, 19 April 2013

Barokah


Terlabuhkan sudah… lelah ini
Tersandarkan sudah… rindu hati
Terima kasih, Yaa Robbiy… atas pernikahan ini
Belahan jiwa lelah ku nanti… telah kujumpai…
(SeismicTerlabuhkan)


BAYANGKANLAH hari itu. Saat kita berdiri dengan pakaian terindah, haruman mewangi, dan riasan sederhana yang anggun. Di belakang kita, mahligai berukir menaungi kursi berwarna menyala. Tatapan mata hadirin disejukkan wewarna bunga, yang dirangkai dalam tatanan menawan. Satu per satu, dilantuni nasyid Seismic yang romantis dan kilatan blitz kamera, tetamu datang menyalami. Mereka tersenyum, mengadu pipi, dan membisikkan doa. Kira-kira seperti apa doa mereka?

Ada kegundahan besar dalam diri ‘Uqoil ibn Abu Tholib, sang pengantin, ketika mendengar kawan-kawannya berdoa, “Bir rofaa’i wal baniin; semoga bahagia dan banyak anak!” Mudah-mudahan sama dengan kegundahan kita, ketika mendengar doa, “Selamat menempuh hidup baru, semoga kekal dunia akhirat!” Atau doa, “Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rohmah.” Lho apa yang salah? Doa-doa ini semuanya berisi harapan kebaikan. Apa yang salah?

Dari kisah ‘Uqoil ibn Abu Tholib inilah, Ustadz Mohammad Fauzil ‘ Adhim mengawali bukunya yang begitu banyak mendatangkan kebaikan pada kita, Kupinang Engkau dengan Hamdalah. Dari kisah tentang beliau jugalah, saya ingin mulai berbincang dengan Anda tentang barokah. Ya, tentang barokah. Karena kegundahan ‘Uqoil ibn Abu Tholib berujung sebuah sunnah yang sangat indah. Sebuah pelajaran, sebuah doa. Sebuah tuntunan tentang bagaimana selaiknya kita mendoakan orang yang menikah. Berkait dengan pembicaraan kita tentang barokah, insya Alloh ini akan menjadi pelajaran yang sangat berharga.

“Janganlah kalian katakan demikian, karena sesungguhnya Rosululloh telah melarangnya,” kata ‘Uqoil. Lalu bagaimana? Apa yang harus diucapkan? “Ucapkanlah”, sambung ‘Uqoil, “Baarookalloohu laka, wa baaroka ‘alaika, wa jama’a bainakuma fii khoiir; semoga Alloh karuniakan barokah kepadamu, dan semoga Ia limpahkan barokah atasmu, dan semoga Ia himpun kalian berdua dalam kebaikan.”

Ada kata-kata yang sengaja saya ketik italic. Terkadang, kita susah menghargai pentingnya arti sebuah preposisi. Nah, di sinilah tempat kita belajar. Sesungguhnya bentuk gabungan preposisi+nomina la+ka (kepada+mu) memiliki arti siratan yang sangat berbeda dengan ‘alai+ka (atas+mu). Yang pertama memberi siratan bahwa barokah kita harapkan ada pada hal-hal yang kita sukai, sedangkan yang kedua member pengertian bahwa barokah itu juga kita doakan senantiasa ada dalam hal yang tidak kita sukai. Yang satu bersumsumkan hal-hal yang ‘baik’, dan yang lain membawakan makna hal yang ‘buruk’. Mohon perhatikan bahwa kata ‘baik’ dan ‘buruk’ berada di antara dua tanda petik!

Lho, beda toh? Masak ‘kepada’ dan ‘atas’ saja bedanya jauh banget? Iya. Gampangnya, coba lihat apa bedanya kata-kata la+haa maa kasabat dengan ‘alai+haa maktasabat di akhir surat al-Baqoroh, yakni ayat ke-186. Lihat di terjemahan. Jauh kan? Yang satu menunjuk pada amal kebaikan, yang lain pada amal kenistaan. Tetapi, bukan di sini membahas hal itu lebih lanjut. Sedikit-sedikit, silakan alokasikan diri untuk belajar bahasa Arab, ya?!

Kita kembali pada doa kita dan pembahasan tentang barokah. Secara garis besar, hidup ini isinya ya hanya dua yang tadi kita sebut: yang kita sukai dan yang tidak. Dan pasti, dua-duanya ada. Dua-duanya ada. Kadang seiring, ada kala bergantian, dan berselang-seling. Dalam pernikahan pun demikian. Ada saat, ada waktu, ada kala, ada kondisi, ada hal, ada keadaan, semuanya bisa dalam konteks disukai dan tidak. Tetapi dalam hal apapun itu, disukai atau dibenci, menyenangkan maupun memprihatinkan, melahirkan tawa ataupun tangis, membuat gelak maupun isak, kita senantiasa berharap ada barokah. Kita berdoa, baarokalloohu laka wa baaroka ‘alaika, dan kita tutup dengan “Semoga Alloh himpun kalian berdua dalam kebaikan.”

Sejatinya, apa itu barokah? Sepertinya ia begitu penting, begitu menyita prioritas. Gambarannya, -saya masih mengutip Ustadz Mohammad Fauzil ‘Adhim-, kalau Anda menyuruh saya sholat khusyu’, itu berarti Anda menyuruh saya menyempurnakan thoharah, menjaminkan segala kesucian, membuat suasana ibadah yang kondusif; jika masih lapar, makanlah dulu. Jika ada hajat yang ditahan, tunaikanlah dulu ke WC. Anda juga sekaligus telah mengarahkan saya untuk memahami apa yang saya baca dalam sholat, menyuruh saya untuk mengerti dan mengamalkan apa itu ihsaan. Banyak sekali yang terrangkum dari kata-kata ‘sholat khusyu’.

Seperti itu pula barokah. Seolah ia merangkum aneka harapan, yang sejatinya berujung kebaikan. Bahagia, banyak anak, hidup yang baru, kekal dunia akhirat, sakinah, mawaddah, wa rohmah. Itu semua harapan. Tentang bahagia dan banyak anak misalnya, memilih calon pasangan pun kita diperintahkan untuk memilih yang penyayang lagi subur, karena Rosululloh akan berbangga dengan banyaknya jumlah ummatnya di hadapan ummat-ummat lain pada hari kiamat. Tetapi, ada yang bahagia hanya di dunia saja. Ada yang banyaknya anak justru menjadi fitnah. Ada yang kehidupannya yang baru bukan semakin dekat, tetapi semakin jauh dari Alloh. Ada yang kekal berpasangan dunia akhirat, tetapi abadi menggelegak di jahannam, seperti Abu Lahab dan isterinya. Na’udzu billaahi min dzaalik

Jadi, apa yang menjadi perangkum, pengikat semua kebaikan dan kebahagiaan itu, agar benar-benar menjadi kemuliaan? Apa yang membuat banyak anak dan kehidupan baru menjadi bermakna? Apa yang membuat sakinahmawaddah, dan rohmah jauh lebih bernilai dari sekedarnya saja?

Barokah. Ya, barokah. Dan kita semakin bertanya-tanya, apa itu barokah. Secara sederhana, barokah adalah bertambahnya kebaikan dalam setiap kejadian yang kita alami waktu demi waktu. Ketika Alloh mencintai hamba-Nya, maka ia berkenan membuat hati sang hamba begitu peka. Saat ditenggelamkan dalam lautan nikmat, sang hamba peka untuk segera mengenakan alat selamnya. Ia peka. Hatinya berbunga melihat indahnya berbagai rerupa, namun tak pernah melalaikan satu kata. Syukur. Lain sisi, Alloh juga mengasah agar sang hamba peka, di saat gelombang musibah bertubi-tubi menghantam dan badai melantakkan apa yang dia punya, dia tak melupakan satu kata. Sabar. Ia menapaki jalan-jalan Sulaiman, sekaligus juga menyusuri pematang-pematang Ayyub, ‘alaihimassalaam.

Barokah, dalam bahasa Aa’ Gym adalah kepekaan untuk bersikap benar menghadapi masalah. Barokah, dalam kekata Ibnul Qoyyim adalah, semakin dekatnya kita pada Robb, semakin akrabnya kita dengan Alloh. Barokah, dalam umpama ‘Umar ibn al-Khoththob adalah dua kendaraan yang ia tak peduli harus menunggang yang mana: shobr dan syukr. Barokah, dalam pujian Sang Nabi adalah keajaiban. Keajaiban yang menakjubkan!

“Menakjubkan sungguh urusan orang beriman. Segala perkaranya adalah kebaikan. Dan itu tidak terjadi kecuali pada orang yang beriman. Jika mendapat nikmat, ia bersyukur, dan syukur itu baik baginya. Jika ditimpa musibah dia bersabar, dan sabar itu baik baginya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Barokah adalah keajaiban. Keajaiban yang hanya terjadi pada orang beriman. Jadi, yang dicinta di sisi Alloh tak selalu mereka yang senantiasa tertawa dan gembira, tersenyum dan terbahak semata karena nikmat, kemudahan hidup, kekayaan, dan kelimpahan. Sebagaimana bukan berarti dibenci Alloh jika senantiasa merasakan kesempitan. kelemahan, kekurangan, dan kefaqiran. Di dalam sebuah pernikahan. barokah menjawab, barokah menjelaskan, menenangkan, dan menyemangati. Bahwa apapun kondisinya, kemuliaan di sisi Alloh bias diraih. Apapun keadaannya, pernikahan adalah keindahan dan keagungan, kenikmatan dan kemuliaan, kehangatan dan ketinggian. Jika dan hanya jika kita senantiasa membawanya kepada makna barokah.

Saya sering dinasehati, diberi masukan, dan dikritik, Alhamdulillah. Salah satunya, agar saya tak hanya menulis indahnya pernikahan. nikmatnya punya isteri, dan segala seputar nikmat dan indahnya kehidupan rumahtangga. Bias jadinya, kata beliau-beliau. Orang jadi membayangkan bahwa pernikahan itu isinya yang enak-enak saja. Padahal, masih kata beliau-beliau, ada banyak masalah, ada berjuta problem, dan ada selaksa kesulitan yang menghadang, merintangi, dan menelikung hidup berumahtangga. Saya ingin menjawab, tapi lisan ini tak mampu rasanya. Mungkin tulisan ini akan menjadi sekelumit jawab.

Tetapi, dengan pengalaman saya yang masih sedikit bersama isteri, -terimakasih, Sayang- saya mencatat satu hal. Bahwa di saat apapun barokah itu membawakan kebahagiaan. Sebuah letup kegembiraan di hati, kelapangan di dada, kejernihan di akal, dan rasa nikmat di jasad. Barokah itu memberi suasana lain dan mencurahkan keceriaan musim semi, apapun masalah yang sedang membadai rumahtangga kita. Barokah itu membawakan senyum meski air mata menitik-nitik. Barokah itu menyergapkan rindu di tengah kejengkelan. Barokah itu menyediakan rengkuhan dan belaian lembut di saat dada kita sesak oleh masalah.

Barokah, mengubah kalimat “Ini salahmu!,” menjadi “Maafkan aku, Cinta.” Ia mengganti diksi, dari “Kok bisa-bisanya sih kamu?,” rnenjadi “Aku mengerti, Sayang. Sabar, ya?!” Barokah juga melafazhkan, “Kamu ke mana saja sih?” agar terdengar, “Aku di sini, menantimu dalam rindu yang menyesak.” Dan ia membahasakan “Aku tuh sebenarnya ingin, kamu…,” agar berbunyi, “Cinta, makasih, ya?! Kau membuatku…”

Subhanallooh, indah sekali, bahasa barokah. Logatnya logat cinta.

Sesudah menikah, semoga barokah hidup kita semakin bertambah. Barokah mengasah rasa, menempa jiwa, memberikan sebuah dunia yang kadang tak tertembus penglihatan manusia biasa. Suatu hari mungkin kita menyaksikan seorang lelaki, ikut antri di warung pecel lele di daerah Monjali (Monumen Jogja Kembali). Mendung bergantung sore itu, dan warna hitam yang menyeruak di barat mulai bergerak mendekat. Dia, berkaos putih yang leherannya mulai geripis, di kepalanya ada peci putih kecil, dan celananya beberapa senti di atas mata kaki. Sandal jepit swallow yang talinya hampir putus nyangkut di antara jempol dan jari kakinya. Seperti yang lain, ia juga memesan, “Pecel Lele, Mas!”

“Berapa?,” tanya Mas penjual yang asyik menguleg sambal terasi sambil sesekali meraih sothil besar untuk membalik gorengan lele di wajan raksasa. Gemuruh bunyi kompor mengharuskan orang bicara sedikit lebih keras.

“Satu. Dibungkus.” Perlahan tangannya merogoh saku celana, lalu duduk sembari menghitung uangnya. Malu-malu, tangannya dijorokkan sedikit ke bawah meja. Uang pecahan ratusan yang sudah disatukan dengan selotip bening per sepuluh keping, pas jumlahnya sesuai harga.

“Nggak makan sini aja, Mas? Takut keburu hujan, ya?”

“Hi hi, buat isteri.”

“Oo…”

Selesai pesanannya dibungkus, bersamaan dengan bunyi keritik yang mulai menggambar titik-titik basah di tenda terpal milik Mas Pecel Lele. Agak berlari ia keluar, tetapi melebatnya sang hujan jauh lebih cepat dari tapak-tapak kecilnya. Khawatir pecel lele untuk isteri tercinta yang hanya dibungkus kertas akan berkuah, ia selipkan masuk ke perutnya. Bungkusan itu ia rengkuh erat dengan tangan kanan, tersembunyi di balik kaos putih yang mulai transparan disapu air. Tangan kirinya ke atas, mencoba melindungi kepalanya dari terpaan ganas hujan yang tercurah memukul-mukul. Saat itu ia sadar, ia ambil pecinya. Ia pakai juga untuk melapisi bungkusan pecel lele. Huff, lumayan aman sekarang. Tetapi 3 kilometer bukanlah jarak yang dekat untuk berjalan di tengah hujan, bukan?

Apa perasaan Anda melihat lelaki ini? Kasihan. Iba. Miris. Sedih.

Itu kan Anda! Coba tanyakan pada lelaki itu, kalau Anda bertemu. Oh, sungguh berbeda. Betapa berbunga hatinya. Dadanya dipenuhi heroisme sebagai suami baru yang penuh perjuangan untuk membelikan penyambung hayat isteri tercinta. Jiwanya dipenuhi getaran kebanggaan. keharuan, dan kegembiraan. Kebahagiaan seolah tak terbatas, menyelam begitu dalam di kebeningan matanya. Ia membayangkan senyum yang menantinya, bagai bayangan surga yang terus terhidupkan di rumah petak kontrakannya. Di tengah cipratan air dari mobil dan bus kota yang bersicepat, juga sandalnya yang putus lalu hilang ditelan lumpur becek, ia akan tersenyum. Senyum termanis yang disaksikan jagad. Seingatnya, ia belum pernah tersenyum semanis itu saat masih membujang. Subhaanallooh. Inilah kisah nyata ustadz Mohammad Fauzil ‘Adhim.

Begitulah. Karena ada konsep yang dinamakan barokah, kita tidak diperkenankan mengukur badan orang dengan baju kita sendiri. Pada pemandangan yang tak tertembus oleh penilaian subjektif kita itu, daripada berkomentar -yang sifatnya ‘iri tanda tak mampu’-, akan jauh lebih baik kita memuji Alloh atas kebesaran-Nya. Mudah-mudahan, Alloh meluaskan barokah itu hingga kita pun merasainya. Seperti yang dilakukan seorang Ustadz dari Timur Tengah yang datang ke negeri kita untuk memberikan taujih, pengarahan pada para kader da’wah. Apa sih yang dilihatnya? Baik. Sekali lagi, kita uji sikap dan penilaian kita ketika melihat sesuatu. Kita uji saat melihat pemandangan ini bersama beliau.

Seorang bapak hadir pada acara taujih itu bersama keluarganya; seorang isteri dan 4 orang putera. Saat pulang, si ibu menggendong si bungsu dan menggandeng si sulung. Dua putera yang lain ceria membanting putar jemari ayahnya dalam gandengan mesra. Di sudut tempat parkir sebuah sepeda motor Astrea 800 setia menanti. Maka, keenam makhluq itu melintas di hadapan sang ustadz Timur Tengah di atas motor Astrea 800 yang menderu mengejan sambil mengucap salam. Dua orang anak bergelantung bersebelahan di depan sang Abi yang mengemudi. Si sulung erat mendekap pinggang Abi-nya dari belakang tanpa banyak ekspresi kecuali matanya yang mengedip genit dan senyum yang ia tebar pada teman-temannya sepanjang jalan. Ia tak berani banyak gerak, karena Ummi-nya duduk berbagi tempat di belakangnya sembari mendekap si bungsu yang nyenyak dalam gendongan. Tentu ia khawatir si adik bangun dan menangis.

“’Ajiib… ‘ajiib… Indunisiya ‘ajiib… Allohu Akbar!,” seru sang Ustadz memekik melihat pemandangan ini. Menakjubakan… menakjubkan… Indonesia menakjubkan! Allohu Akbar!

Anda pernah melihat juga? He he… Bagaimana perasaan Anda? Takjub saja seperti Ustadz kita tadi? Atau kita masih rnengukur dengan skala-skala kita hingga yang lahir adalah kasihan, iba, memelas, dan prihatin? Atau kita belum pernah lihat? Jika belum pernah melihat, datanglah sekali-sekali pada acara yang dilaksanakan oleh sebuah partai tertentu. Kabarnya, pada pemilu 2004 kemarin partai ini merubah nama menjadi partai tertentu sejahtera.

Lagi-lagi soal barokah. Pada tataran apapun, barokah menghadirkan dunia yang tak tertembus oleh mata kasat kita. Barokah telah menghapus ukuran-ukuran dan standar-standar yang kita pakai untuk mendefinisikan apa itu ‘bahagia’. Barokah bekerja mewujudkan rasa agung itu pada semua tataran, dari urusan besar hingga yang kecil-kecil.

Telah begitu panjang pembicaraan kita tentang barokah, ‘afwan. Maafkan saya. Tentu yang lebih berharga saat ini adalah, bagaimana kita meraih barokah itu. Bagaimana agar dalam kondisi apapun, kapanpun, di manapun, nafas-nafas kita adalah hembusan keberkahan, detik-detik kita dihitung sebagai kebaikan, sebagai pahala. Bagaimana? Di mana kita harus mencari barokah itu?

Dalam hening malam ini, mari kita buka mushhaf al-Qur’an kita. Coba langsung kita tuju surat yang ketujuh, Surat al-A’roof ayat ke sembilanpuluh enam.

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan bukakan atas mereka pintu-pintu barokah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. al-A’roof [7]: 96)

Shadaqollooh. Kunci barokah itu ada pada keimanan dan ketaqwaan. Keimanan yang meyakinkan kita untuk terus beramal sholih menurut apa yang telah dituntunkan Alloh dalam tiap aspek hidup, semuanya. Dan ketaqwaan, yang mengisi hari-hari kita dengan penjagaan, kepekaan, dan rasa malu bahwa kita senantiasa dalam pengawasan Alloh. Dan jika hidup ini terasa menyiksa, langit dan bumi terasa sempit, dada kita sesak, kita merasa semakin jauh dari Alloh. Mari, saya mengajak diri saya dan Anda untuk berkaca. Barangkali ada nikmat Alloh yang kita kufuri. Barangkali ada karunia yang kita dustakan. Atau mungkin ada ayat-ayat-Nya yang kita permainkan. AstaghfirulloohAstaghfirulloohal ‘adhiim.

Wahai jiwaku yang mendamba barokah dalam pernikahan sebagaimana saudara-saudaramu telah mendoakan. Wahai diriku yang merindu detik-detik kebahagiaan dan kedekatan dengan Alloh. Inilah saatnya. Inilah waktunya untuk menggapai pernikahan yang barokah itu. Jika engkau belum menikah, ada kesempatan untuk mempersiapkan dan ada waktu untuk menata hati. Dan jika engkau sudah menikah, tiada kata terlambat untuk bernasyid bersama Nuansa, dan mengisi hari-hari ke depan dengan perbaikan. Karena kita memang tak boleh berhenti belajar, dan tak terkenan istirahat untuk terus memperbaiki diri.

Kini berpadulah dua hati dalam mahligai cinta
Ikatan nan agung sempurna sebagian agama
Alloh telah menghalalkanmu menjadi pendamping bagiku
Dan kau pun tlah mengikhlaskanku menjadi pendampingmu
(NuansaMahligai Cinta)

Ada banyak jalan ditawarkan menuju kebahagiaan. Tetapi tiada vang menjamin khotimah-nya. Kecuali jika kita memilih memprioritaskan barokah. Bahwa di saat apapun barokah itu membawakan kebahagiaan. Sebuah letup kegembiraan di hati, kelapangan di dada, kejernihan di akal, dan rasa nikmat di jasad. Barokah itu memberi suasana lain dan mencurahkan keceriaan musim semi, apapun masalah yang sedang membadai rumahtangga kita. Barokah itu membawakan senyum meski air mata menitik-nitik. Barokah itu menyergapkan rindu di tengah kejengkelan. Barokah itu menyediakan rengkuhan dan belaian lembut di saat dada kita sesak oleh masalah. []

Sumber: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar