Rabu, 10 April 2013

Bekerja, Maka Keajaiban



iman kita agaknya bukan bongkah batu karang yang tegak kokoh
dia hidup bagai cabang menjulang dan dedaun rimbun
selalu tumbuh, dan menuntut akarnya menggali kian dalam
juga merindukan cahaya mentari, embun, dan udara pagi


KITA masih bicara tentang iman. Dengan akarnya yang teguh, kita bergayut memelukkan keyakinan. Hunjamannya yang dalam menjadi pengokoh pijakan kaki. Kita berharap tak terusik dilanda badai. Kita tak ingin hanyut, tak hendak luruh dipukul ribut.

Tetapi iman itu terkadang menggelisahkan. Atau setidaknya menghajatkan ketenangan yang mengguyuri hati, dengan terkuak-nya keajaiban. Mungkin itu yang dirasakan Ibrohim ketika dia meminta kepada Robbnya untuk ditunjukkan bagaimana yang mati dihidupkan. Maka saat Robbnya bertanya, “Belum yakinkah engkau atas kuasa-Ku?”, dia menjawab sepenuh hati, “Aku yakin. Hanya saja agar hati ini menjadi tenteram.”

Tetapi keajaiban itu tak datang serta merta di hadapannya. Meski Alloh bisa saja menunjukkan kuasa-Nya dalam satu kata “Kun!”, kita tahu, bukan itu yang terjadi. Ibrohim harus bersipayah untuk menangkap lalu mencincang empat ekor burung. Lalu disusurnya jajaran bukit-berbukit dengan lembah curam untuk meletakkan masing-masing cincangan. Baru dia bisa memanggilnya. Dan beburung itu mendatanginya segera.

Di sinilah rupanya keajaiban itu. Setelah kerja yang menguras tenaga.

Tetapi apakah selalu kerja-kerja kita yang akan ditaburi keajaiban?

Hajar dan bayinya telah ditinggalkan oleh Ibrohim di lembah itu. Sunyi kini menyergap kegersangan yang membakar. Yang ada hanya pasir dan cadas yang membara. Tak ada pepohonan tempat bernaung. Tak terlihat air untuk menyambung hidup. Tak tampak insan untuk berbagi kesah. Kecuali bayi itu. Isma’il. Dia kini mulai menangis begitu keras karena lapar dan kehausan.

Maka Hajar pun berlari, mencoba mengais jejak air untuk menjawab tangis putra semata wayangnya. Ada dua bukit di sana. Dan dari ujung ke ujung coba ditelisiknya dengan seksama. Tak ada. Sama sekali tak ada tanda. Tapi dia terus mencari. Berlari. Bolak-balik tujuh kali. Mungkin dia tahu, tak pernah ada air di situ. Mungkin dia hanya ingin menunjukkan kesungguhannya pada Alloh. Sebagaimana telah ia yakinkan sang suami, “Jika ini perintah Alloh, Dia takkan pernah menyia-nyiakan kami!”

Maka keajaiban itu memancar. Zam zam! Bukan. Bukan dari jalan yang dia susuri atau jeka-jejak yang dia torehkan di antara Shofa dan Marwa. Air itu muncul justru dari kaki Isma’il yang bayi. Yang menangis. Yang haus. Yang menjejak-jejak. Dan Hajar pun takjub. Begitulah keajaiban datang. Terkadang tak terletak dalam ikhtiar-ikhtiar kita.

Mari belajar pada Hajar bahwa makna kerja keras itu adalah menunjukkan kesungguhan kita kepada Alloh. Mari bekerja keras seperti hajar dengan gigih, dengan yakin. Bahwa Dia tak pernah menyia-nyiakan iman dan amal kita. Lalu biarkan keajaiban itu datang dari jalan yang tak kita sangka atas irodah-Nya yang Maha Kuasa. Dan biarkan keajaiban itu menenangkan hati ini dari arah manapun Dia kehendaki.

Bekerja saja. Maka keajaiban akan menyapa dari arah tak terduga.

Di lintas sejarah berikutnya, datang seorang lelaki pengemban da’wah untuk menjadi ‘ibroh. Dari Makkah, dia berhijroh ke Madinah. Tak sesuatu pun dia bawa dari kekayaan melimpah yang pernah memudahkannya. Dia, ‘Abdurrohman ibn ‘Auf. Dan Rosululloh yang tahu gaya hidupnya di Makkah mempersaudara-kannya dengan seorang lelaki Anshor kaya raya: Sa’d ibn ar-Robi’.

Kita hafal kemuliaan kedua orang ini. Yang satu menawarkan membagi rata segala miliknya yang memang berjumlah dua; rumah, kebun kurma, dan bahkan istrinya. Yang satu dengan bersahaja berkata, “Tidak, Saudaraku. Tunjukkan saja jalan ke pasar!”

Dan kita tahu, dimulai dari semangat menjaga ‘izzah, tekadnya untuk mandiri, serta tugas suci menerjemahkan nilai Qur’ani di pasar Madinah, terbitlah keajaiban itu. ‘Abdurrohman ibn ‘Auf memang datang ke pasar dengan tangan kosong, tapi dadanya penuh iman, dana kalnya dipenuhi manhaj ekonomi Qur’ani. Dinar dan dirham yang beredar di depan matanya dia pikat dengan kejujuran, sifat amanah, kebersihan dari riba, timbangan yang pas, keadilan transaksi, transparansi, dan akad-akad yang tercatat rapi.

Sebulan kemudian dia telah menghadap Sang Nabi dengan baju baru, mewangi oleh tebaran minyak kholuq yang membercak-bercak. “Ya Rosululloh, aku telah menikah!”, katanya dengan sesungging senyum. Ya, seorang wanita Anshor kini mendampinginya. Mahar-nya emas seberat biji kurma. Walimahnya dengan menyembelih domba. Satu hari, ketika 40.000 dinar emas dia letakkan di hadapan Sang Nabi, beliau bersabda, “Semoga Alloh memberkahi yang kau infaqkan juga yang kau simpan!”

Kita mengenangnya kini sebagai lelaki yang memasuki surga sambil merangkak.

Di mana titik mula keajaiban itu? Mungkin justru pada keberaniannya untuk menanggalkan segala kemudahan yang ditawarkan. Dalam pikiran kita, memulai usaha dengan seorang istri, sebuah rumah tinggal, dan sepetak kebun kurma seharusnya lebih menjanjikan daripada pergi ke pasar dengan tangan kosong. Tetapi bagi ‘Abdurrohman ibn ‘Auf agaknya itu justru terlihat sebagai belenggu. Itu sebuah beban yang memberati langkahnya untuk menggapai kemuliaan yang lebih tinggi. Keajaiban itu datang dalam keterbatasan ikhtiar keras si tangan kosong. Bukan pada kelimpahan yang ditawarkan saudaranya.

Memulai dengan tangan kosong seperti ‘Abdurrohman ibn ‘Auf seharusnya menjadi penyemangat kita bahwa itu semua mudah. Mungkin dan bisa. Tetapi apakah kemudahan itu? Suatu hari dalam perjamuan Raja Ferdinand dan ratu Isabella, semua orang mencibir perjalanan Columbus menemukan dunia baru sebagai hal yang sebenarnya sangat mudah. Tinggal berlayar terus ke barat. Lalu ketemu.

Christopher Columbus tersenyum dari kursinya. Diambil dan ditimangnya sebutir telur rebus dari piring di depannya. “Tuan-tuan,” suaranya menggelegar memecah ricuh bebisikan. “Siapa di antara kalian yang mampu memberdirikan telur ini dengan tegak?”

“Christopher,” kata seorang tua di sana, “Itu adalah hal yang tidak mungkin!”

Semua mengangguk mengiyakan.

“Saya bisa,” kata Columbus. Dia menyeringai sejenak kemudian memukulkan salah satu ujung telurnya sampai remuk. Lalu memberdirikannya.

“Oh… Kalau begitu caranya, kami juga bisa!” kata seseorang. “Ya… ya… ya…”, seru yang lain. Dan senyum Columbus makin lebar. Katanya, “Itulah bedanya aku dan kalian, Tuan-tuan! Aku memang hanya melakukan hal-hal yang mudah dalam kehidupan ini. Tetapi aku melakukannya di saat semua orang mengatakan bahwa hal itu mustahil!”

Dalam dekapan ukhuwah, bekerjalah, beramallah. Maka keajaiban akan menyapa dari arah tak terduga. Mulailah. Karena dalam keberanian memulai itulah terletak kemudahannya. Bukan soal punya dan tak punya. Mampu atau tidak mampu. Miskin atau kaya. Kita bekerja, kita beramal, karena bekerja dan beramal adalah bentuk kesyukuran yang terindah. Seperti firman-Nya:

“Bekerjalah hai keluarga Dawud, untuk bersyukur. Dan sedikit sekali di antara hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (Qs. Saba’ [34]: 13)

                                                                                          ***

andai si biji hanya menumbuhkan akarnya
tanpa kehendak untuk tampil dengan batang
menggapai langit dengan ranting dan cabang
jadilah dia bangkai,
yang layaknya memang terkubur dalam-dalam

Ketikapun dunia dipenuhi maksud baik dan hati yang berbudi, maka yang membedakan manusia satu dengan yang lain adalah aksi dan amal mereka. Dan bumi menanti makhluk yang diamanahi pemakmurannya ini mengerjakan amal sholih, kerja-kerja ketaatan, dan laku-laku kebajikan.

Sebuah biji awal-awal menumbuhkan akar sebagai tempat berpijak sekaligus wasilah mengambil makanan. Lalu dengan itu dia menyeruakkan diri ke atas, bekerja keras membelah bumi dan tanah padas, untuk tampil di permukaan. Sejalan dengan akarnya yang kian menghunjam, meneguhkan, dan mencerangkah makanan, batang dan daunnya semakin tegak meninggi. Dia membongsorkan pokoknya, menambah reranting, dan melebarkan daun-daunnya.

Itu semua adalah sunnatulloh yang niscaya.

Maka amal sholih, kerja-kerja ketaatan, dan laku-laku kebajikan, kata Sayyid Quthb dalam Zhilal, adalah batang yang tumbuh tegak secara alami dari keimanan yang telah berakar dalam jiwa. Mereka adalah gerak yang bermula pada detik di mana hakikat keimanan itu menghunjam di dalam hati. Maka keimanan adalah hakikat yang aktif dan enerjik. Begitu hakikat keimanan menghunjam dalam nurani, maka pada saat itu pula ia bergerak mengekspresikan dirinya di luar dalam bentuk amal sholih.

Itulah iman Islami! Tidak mungkin tinggal diam tanpa gerak, atau tersembunyi tanpa menampakkan diri dalam bentuk yang dinamis di luar diri sang Mukmin. Jika tak bisa melahirkan gerakan yang alami tersebut, maka keimanan itu adalah palsu atau mati. Sama seperti bunga yang tidak bisa menahan semerbak wewangian-nya. Ia pasti muncul secara alami. Jika tidak, bisa dipastikan wujud di dalamnya pun tiada!

Bekerjalah kamu, maka Alloh dan Rosul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amal-amal kalian itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Alloh Yang Mengetahui akan yang ghoib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. at-Taubah [9]: 105)

Amal-amal itulah yang membuat kita menjulang, menggapai cakrawala yang luas, dan mampu memberi naungan dengan rimbun daun-daun. Amal-amal itulah yang membuat kita dilihat dan berharga di hadapan Alloh, Rosul-Nya, dan para peyakin sejati. Amal-amal itulah yang mengantarkan iman kita menggapai tempat di dekat ‘Arsy-Nya yang mulia. Amal-amal itulah yang mengantar-kan pinta dan do’a kita ke haribaan-Nya.

Dalam dekapan ukhuwah, mahfuzhot masyhur itu begitu menggugah. “Bekerjalah untuk duniamu,” demikian dikatakan, “Seolah engkau akan hidup abadi. Dan beramAlloh untuk akhiratmu seakan engkau mati esok hari.” Dalam dekapan ukhuwah, beramal-lah, bekerjalah. Maka Alloh, Rosul dan orang-orang beriman akan melihat amal-amal kita dengan senyum dan bahagia…

Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar