Senin, 08 April 2013

Khilafah


Kenabian itu ‘mempersiapkan’ Khilafah selama 22 tahun.
Maka, tanpa kenabian, berapa lama waktu yang kita perlukan untuk mempersiapkan Khilafah yang semisalnya?

Novel Leon l’ Africain karya Amin Maalouf, bagi saya adalah novel yang cerdas memilih setting politik. Sangat eksotis!

Bayangkan bahwa kisah dimulai dengan periode reconquesta, bersatunya Ferdinand of Arragon dan Isabella of Castillia membentuk Spanyol dan implikasinya yang mengerikan bagi seluruh Muslim dan Yahudi di seluruh daratan Andalus. Kisah dilanjutkan dengan pelarian mereka di Afrika Utara. Mesir saat itu berada di bawah kekuasaan Sultan-sultan Mamalik yang memerintah atas nama kholifah boneka, sisa keturunan terakhir ‘Abbasiyah. Ketika Sultan Salim I menaklukkannya, gelar kholifah dipersatukannya kembali atas nama wangsa ‘Utsmaniyah, untuk dirinya. Kisah berlanjut hingga masa kekuasaan Sulaiman I al-Qonuni yang berbarengan dengan ekspansi besar-besaran Charles V dari Holy Roman Empire. Di dalamnya terselip intrik-intrik besar di Vatikan, ketika Paus Leo X (1513-1521) dengan semangat glamornya membangun Basilica St. Peter hingga Martin Luther mengobarkan reformasi gereja dan pasukan petaninya berhasil merangsek ke kediaman Paus Clementius VII (1523-1534), kastil San Angelo. Eksotis sekali!

Di novel ini, terkisah Hasan ibn Muhammad al-Wazzan, sang tokoh utama, dihadapkan pada Paus Leo X setelah dijual sebagai budak oleh bajak laut religius –mungkin mereka generasi awal Mafioso ala The Godfathernya Mario Puzo-. Jawabannya sangat menarik ketika ditanya tentang sistem kekuasaan Islam. “Tanah air kami adalah peradaban tak tertandingi dengan kemakmuran dan keadilan yang tergelar, ketika kekuasaan ada di tangan para Kholifah. Begitu para Sultan mengambil alihnya, dua hal itu adalah kenangan dan impian.” Meski sempat dibaptis sebagai Johannes Leo de Medici, Hasan tak kehilangan kerinduan pada sebuah kehidupan di bawah naungan khilafah. Menarik sekali.

Baik. Mari kita bicara tentang kekholifahan dari sumber yang tak tercela dan dari lisan yang tak berdusta. Dia, Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda,

“Akan berlangsung masa nubuwwah pada kalian menurut apa yang dikehendaki Alloh, lalu Alloh mengangkatnya ketika Ia menghendaki mengangkatnya. Kemudian akan berlangsung khilafah di atas minhaj nubuwwah menurut kelangsungan yang dikehendaki Alloh, lalu Alloh mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan berlangsung kerajaan yang menggigit menurut kelangsungan yang dikehendaki Alloh. Lalu Alloh akan mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan berlangsung kerajaan sewenang-wenang menurut kelangsungan yang dikehendaki Alloh. Lalu Alloh mengangkatnya ketika Ia menghendaki. Kemudian akan berlangsung khilafah di atas minhaj nubuwwah. Lalu beliau diam.” (HR. Ahmad)

Nubuwwah berlangsung selama 22 tahun lebih. Lalu tentang khilafah, diriwayatkan bahwa Ummu Aiman rodhiyallohu ‘anha, wanita yang mengasuh Rosululloh dan ibu dari pahlawan belia Usamah ibn Zaid itu, berkisah bahwa dia telah mendengar Rosululloh bersabda bahwa Khilafah berlangsung selama tigapuluh tahun. “Semula kukira hanya sampai masa ‘Umar,” demikian Ummu Aiman suatu hari berkata, “Ternyata kuhitung lagi dan dia sampai pada akhir hayat ‘Ali.”

Nah, itulah mengapa ‘ulama Ahlus Sunnah lalu sepakat, khilafah rosyidah ada pada empat shohabat utama tersebut. Lalu Mu’awiyah adalah sebaik-baik raja, yang memerintah dengan menggigit sunnah sekuat-kuatnya. Dan seterusnya.

Nubuwwah Nabi tentang kembalinya khilafah setelah fase-fase berat yang dilalui ummat, adalah bara yang terus menyala di dada para pejuang Islam dan kader da’wah. Harapan besar itu seperti yang saya pelajari di matakuliah Komputasi Dasar dan Komputasi Numeris; y=f(x). Kita tahu x, kita tahu inputnya, kita tahu kondisi awalnya. Kita tahu y, kita tahu outputnya, kita tahu hasil akhirnya. Yang kita cari dan coba temukan adalah f-nya, fungsi yang mengantarkan x pada y. Mungkin dengan trial dan error. Tapi dalam kasus khilafah, kita punya model yang mungkin lebih sederhana namun tetap relevan: Siroh Nabawiyah.

Secara nakal, saya akan menyebut bahwa pada masa Rosululloh, inputnya tentu kondisi masyarakat di masa jahiliyah. Jika kita pandang wafatnya Rosululloh, alias sempurnanya turun wahyu, dan dengan kata lain dimulainya khilafah Abu Bakr sebagai output, maka kita tahu apa fungsi yang mengantarkannya; kenabian. Kini pun sama. Inputnya ya kondisi kita sekarang, outputnya juga khilafah lagi. Prosesnya? Tentu bukan kenabian. Tetapi alurnya harus mirip; da’wah yang sesuai sunnah dalam panduan Siroh Nabawiyah. Apa itu? Dengan sangat menyederhanakan, saya ambil rosam ustadz Mohammad Fauzil ‘Adhim tentang kepemimpinan Rosululloh sebagai ringkasan fungsi besar itu:

1. Makkah Awal: Motivasi
Ayat-ayat yang turun pada fase ini adalah motivasi amal yang luar biasa. Gambaran surga dan neraka ditampakkan dengan abstraksi yang sangat rendah dan mudah ditangkap akal. Maka pada tahap ini semua shohabat beramal dan bekerja. Dan uniknya, kerja-kerja itu kebanyakan kerja sosial yang bahkan disebut eksplisit dalam wahyu: menyantuni fakir, memelihara yatim, membebaskan budak, menyambung kerabat, dan lainnya. Pembangunan kredibilitas sistem dan personal telah dimulai.

2. Makkah Akhir: Edukasi
Pada fase inilah, tarbiyah diintensifkan. Halaqoh di rumah al-Arqom dibawa keluar untuk bertemu dengan realita. Kader-kader da’wah terdidik bukan hanya dengan pembacaan wahyu, tapi juga dengan tazkiyah, dan pengajaran berbagai hikmah yang mereka dapati dari pertentangan antara al-Haq dan al-Bathil.

3. Hijroh: Instruksi
Ada ketaatan yang diuji, ada kedisiplinan dan keteraturan shoff yang bisa dievaluasi. Hijroh adalah pengujian untuk soliditas barisan. Dan mulai saat ini, institusi komando mulai ditegakkan sebagai pilar awal daulah yang sebenarnya.

4. Madinah Awal: Diskusi
Di sini dimulai babak baru. Da’wah tanpa kuasa tak kenal kompromi. Tapi pada satu titik memulai penegakan institusi, kekokohan internal difokuskan dan ancaman eksternal sementara direduksi dengan diskusi. Maka lahirlah Piagam Madinah, traktat perjanjian damai, bahkan syuro untuk menggelar perang yang menghadirkan tokoh besar munafiq.

5. Madinah Akhir: Inspirasi
Pada titik inilah Rosululloh dan para shohabat adalah inspirasi. Mungkin ada orang-orang berkompeten di luar sana yang lalu menerima hidayah karena objektif menilai perjuangan beliau. Maka Makkah pun menyerahkan jantung hatinya; Kholid, panglima terhebat, ‘Amr ibn al-‘Ash diplomat terlihai, dan ‘Utsman ibn Tholhah, tokoh strategis pemegang kunci Ka’bah. Bersiaplah untuk itu, wahai kader da’wah.

Nah, bisakah dikatakan bahwa kerja menuju khilafah hanyalah kerja politik? Saya kira, lebih tepat disebut kerja da’wah. Maka, terperangah saya ketika membaca satu bagian artikel di situs www.hayatulislam.net di bawah judul Apakah Khilafah Itu? Ada tertulis, “Jadi, mendirikan khilafah paling tepat dilakukan oleh sebuah kelompok politik. Tidak tepat bila mendirikan khilafah ditempuh melalui jalur selain politik, misalnya jalur yang dilakukan kelompok yang mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan –seperti membangun sekolah dan rumah sakit; membantu fakir miskin, anak-anak yatim atau orang-orang jompo dan sebagainya, atau kelompok yang bergerak dalam peribadatan dan amalan-amalan sunnah, atau kelompok yang menerbitkan buku-buku keislaman, mentakhrij hadits-hadits Nabi, dan sebagainya. Memang, semua itu adalah amal sholih, bukan amal salah. Namun tidak tepat kalau itu dimaksudkan sebagai langkah atau jalur menuju berdirinya khilafah.”

Sebenarnya, saya salut bahwa kini dalam tataran amal mulai ada kerja-kerja sosial, sudah ada Tabbani Masholih. Tapi jika secara konseptual begitu, yang kita tawarkan terlalu simplitis dan mengejek pada ummat yang akan memberikan kepercayaan pada sebuah Daulah Khilafah. “Kalau Anda tak berlatih dan tak terlatih mengurus hal-hal publik untuk kami, kelak dalam kekuasaan Anda, siapa yang akan mengurusnya? Apa kita akan mengulang kesalahan sejarah dengan menyerahkannya pada orang-orang Majusi seperti beberapa masa khilafah ‘Abbasiyah dan orang-orang Yahudi pada masa khilafah ‘Umayyah di Andalusia? Tidak. Itu terlalu mengerikan!”

Berdebat tanpa amal sungguh saya benci. Tetapi saya berharap slogan itu diganti. “Khilafah is the Only Solution”, tidaklah menggambarkan cita perjuangan peradaban Islam. Itu hanya teriakan “y!”. Padahal sekali lagi, yang kita perlukan adalah “f”. Bagi ummat ini, khilafah adalah sistem terbaik, cara –bukan solusi, apalagi tujuan- untuk merumuskan dan menjalankan solusi-solusi besar bagi permasalahan ummat, bahkan dunia. Maka khilafah bukanlah sesuatu yang instan menyelesaikan persoalan. Tak ada serta-merta di sini. Kerja-kerja itu harus dimulai sejak sekarang. Tak hanya menyiapkan perangkat sistem, tapi juga sumberdaya pengelolanya. Seorang Muslim yang mu’min lagi muttaqin. Seorang profesional yang muhsin, seorang sholih yang mushlih.

Nah, jika saya ringkas, agaknya sikap kita terhadap khilafah ada dalam empat poin berikut ini.

1. Khilafah itu adalah satu keniscayaan nubuwwat, realistis, dan bukan utopia.

2. Khilafah itu memerlukan sebab. Maka kewajiban kita adalah berpartisipasi dalam mengikhtiyarkan sebabnya. Bukan menunggu berpangku tangan.

3. Khilafah itu bukan ‘solusi jadi’ atas permasalahan ummat. Tetapi alat yang dipakai untuk merumuskan dan menjalankan solusi. Maka dia membutuhkan banyak sekali perangkat.

4. Sumberdaya yang akan mengelola perangkat-perangkat dalam khilafah haruslah:

a. Kapabel dan kredibel. Maka dibutuhkan tarbiyah yang membuat mereka tumbuh, berkembang, berdaya, terjaga, dan tertokohkan.

b. Kompeten. Maka dibutuhkan banyak kader da’wah yang terdidik ahli, spesialis berwawasan luas untuk mengisi kualifikasi di berbagai bidang pelayanan ummat.

c. Profesional dan Well-trained. Maka dibutuhkan banyak eksperimen, latihan, dan pembelajaran yang diperoleh melalui pengelolaan publik dalam organisasi da’wah, lembaga pelayanan, dan terlebih lagi institusi pemerintahan daerah maupun pusat.

d. Terorganisir. Maka dibutuhkan satu ‘amal jama’i yang menopang segala aktivitas persiapan menuju khilafah.

Begitulah. Hingga nantinya, kata Hasan al-Banna, kita menyelesaikan tahap tugas Ustadziyatul ‘Alam. Khilafah itu bukan berdiri angkuh dan berteriak nyaring di atas tahta dan mahkota, tetapi bekerja keras dan tersenyum ramah menjadi teladan semesta. Hingga nantinya, kata Anis Matta, ada satu titik di mana manusia tak bisa lagi membedakan pesona kebenaran Islam dengan pesona keagungan seorang Muslim. Itulah kemenangan, dan Alloh tempat memohon pertolongan.

Dinukil dari buku Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim karya Salim A. Fillah terbitan Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar