Senin, 08 April 2013

Kuasa Kesholihan



Ada satu kaidah yang senantiasa ditekankan ‘Umar ibn al-Khoththob bagi kemashlahatan sebuah ummat; kekuatan yang terpadu dengan kesholihan dan kelemahan yang menjadi ciri kebathilan. Begitulah seharusnya, karena syari’at ini tidak utopis untuk kemudian mencitakan ‘Negara Malaikat’. Sampai kapan juga, dalam tiap manusia dan masyarakat, potensi negatif akan tetap ada. Yang ditugaskan ‘Umar adalah konsep realistisnya; potensi kesholihan itu menjadi kinesi besar kemajuan dengan percepatan tertentu, sedangkan sang kebathilan dimasukkan ke zona lembam dalam diam.

Da’wah kini ditantang untuk membuktikan ideologi dan metodologinya dalam amal nyata pengelolaan hajat hidup masyarakat. Dulu, kita boleh mencukupkan diri dengan tertanamnya keyakinan Islam sebagai solusi dan tersebarnya fikroh kesholihan. Kini, masyarakat bertanya, “Di manakah bukti keunggulan sistem Islam dalam mengatur urusan kami?”

Lalu apakah kita bisa membuktikannya jika tak memasuki inner circle pengelolaan publik itu? Oh, bahkan Yusuf pun takkan bisa membuktikan bahwa dia yang seorang Muslim itu amanah dan kompeten jika tak memegang kuasa perbendaharaan negara. Dalam konteks wilayah pengelolaan publik seperti sebuah kota, maka sebuah jama’ah da’wah memerlukan diri untuk tak hanya memperjuangkan Furqon, tapi juga mengelola Sulthon. Itulah energi pembangkit untuk menjamakkan kesholihan dan membekuk kebathilan sebagaimana dimaksud ‘Umar; kekuasaan. Maka benarlah ‘Utsman ibn ‘Affan sang penulis wahyu, “Dengan kekuasaan lah, Alloh menegakkan apa-apa yang tak bisa ditegakkan hanya dengan al-Qur’an.”

Bagaimana kesholihan bisa menyatu dengan kekuasaan? Idealnya, tentu mutlak. Kekuasaan adalah milik da’wah, oleh da’wah, dan untuk da’wah. Tetapi Rosululloh mencontohkan pada kita bahwa berserikat adalah jalan yang setapak demi setapak kita upayakan, hingga da’wah itu men-shibghoh perserikatan, dan perserikatan itu men-shibghoh alam semesta dengan nilai kesholihan. Dari Siroh Nabawi, kita berkaca tentang prinsip-prinsipnya.

1. Da’wah adalah Da’wah
Ada satu pesan yang menjadi manifesto paling sederhana da’wah kita, “Perbaiki dirimu, dan ajak yang selainmu!” Dalam terjemah yang lebih luas di ranah pengelolaan publik, kalimat “Ashlih nafsaka wad’u ghoiroka!” itu tentu bermakna melibatkan semua pihak yang peduli pada perbaikan kondisi. Pun ketika untuk menuju kekuasaan, sebuah da’wah harus bekerjasama dengan pihak lain, itupun dalam konteks da’wah. Minimal dalam dua sisi. Pertama, menda’wahi pihak yang diajak bekerjasama hingga mereka ter-shibghoh dengan nilai-nilai Ilahiyah. Dan kedua, bersama dengan rekan seperjuangan yang terda’wahi itu memperbesar peluang menangnya kesholihan di panggung kuasa pengelolaan publik.

Terra Incognita, ke sanalah da’wah menuju. Ke tempat di mana selama ini bicara kesholihan adalah tabu. Adalah Shofwan ibn ‘Umayyah yang musyrik, mulanya meminjamkan ratusan baju besi kepada Nabi dengan sistem sewa. Pasca-perang, ketika dilihatnya akhlaq sang Nabi dalam memenuhi perjanjian, ia menyatakan keislamannya, tentu disertai ketulusan untuk menjihadkan semua hartanya dalam da’wah. Dan kini, tanpa sewa.

2. Mendahulukan Tercegahnya Kerusakan
Dar’ul mafasid muqoddamun ‘alaa jalbil mashoolih. Ini kaidah yang indah dalam menentukan suatu keputusan. “Menolak kerusakan itu, didahulukan daripada teraihnya kebaikan-kebaikan.” Kaidah ini sesungguhnya tercermin dari keseluruhan teks piagam Madinah yang kita kutip sebagian kecilnya berikut ini:

“… Sesungguhnya orang Yahudi wajib mengeluarkan dana bersama kaum Muslimin selama mereka diperangi oleh musuh. Orang Yahudi Bani Auf merupakan satu bangsa bersama kaum Muslimin. Bagi Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Budak-budak dan jiwa mereka terlindungi, kecuali bagi orang yang berbuat dan melakukan tindak kejahatan…”

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memasuki Madinah sebagai seorang pendatang, tetapi telah memiliki pengikut yang banyak. Nilai tawar itulah yang kemudian beliau pakai untuk menyusun pakta kerjasama yang kuat antara beliau dengan semua kelompok berpengaruh di Madinah. Mereka terikat olek kepentingan yang sama untuk menjadikan Madinah sebagai tempat tinggal bersama, yang tetap kondusif dan aman dari gangguan musuh. Substansi ini lebih bersifat mencegah kerusakan.

Sebenarnya, selain dalam “What” dan “How”, kaidah ini dipakai oleh jama’ah da’wah untuk merumuskan kerjasama mereka dengan siapapun. “Who”-nya juga. Sesungguhnya dalam konteks Islam dan da’wah, mencegah kemunkaran dan kerusakan itu didahulukan daripada meraih kebaikan-kebaikan. Seperti apa pemimpin yang akan dipilih? Jika ada dua pilihan, di mana yang satu berkompeten dalam menebar kebaikan namun tak mampu bersikap terhadap kemunkaran, sementara satu pihak lagi adalah orang yang mampu mencegah kerusakan meski kemampuannya menebar kebakan belum teruji, mana yang dipilih? Jawabannya sama, “Dar’ul mafasid muqoddamun ‘alaa jalbil mashoolih.”

Pilihlah pencegah kemunkaran! Karena sesungguhnya, kemashlahatan sejati di sisi Alloh hanya dapat diraih dalam kondisi kemunkaran dan kerusakan minimal. Di situlah barokah Alloh dikaruniakan, bukan pada orang yang menebar pembangunan dan kebaikan-kebaikan namun tak mempedulikan kemunkaran. Barokah Alloh turun, pada ketaqwaan: takut yang sangat pada Alloh untuk mendurhakai-Nya.

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. al-A’roof: 96)

3. Ikatan Kontrak yang Kuat
Sulitnya sebuah jama’ah da’wah bekerjasama dengan selain mereka, kadang berlatar asumsi bahwa tidak ada kata ‘pengkhianatan’ dalam kamus pihak-pihak itu. Akan jadi lucu, jika kemudian pengkhianatan terjadi, hanya kita yang bisa berteriak, “Kami dikhianati!” Lalu mereka bertanya, “Apanya? Ini tidak diatur dalam butir-butir kontrak meski kemudian menguntungkan kami dan merugikan kalian?”

Nah, Rosululloh memberikan teladan bahwa sebuah kontrak tak boleh memberi celah bagi pihak yang diajak bekerjasama untuk menelikung. Tugas kita, menutup semua celah itu, bukan dengan sekedar percaya pada komitmen awal. Bahkan kalau perlu, siapkan kekuatan pemaksa agar mereka selalu mentaati kontraknya. Subhanalloh, perhatikan bunyi surat teguran beliau ketika Yahudi Bani Nadhir diintimidasi Quroisy agar berkhianat pada Sang Nabi. Syaikh Munir al-Ghodhban mengutipnya dalam Manhaj al-Haroki,

“Telah sampai kepadaku berita tentang ancaman Quroisy kepada kalian. Ternyata rencana jahat mereka terhadap kalian tidak lebih hebat daripada rencana jahat kalian terhadap diri kalian sendiri. Kalian bahkan ingin memerangi anak-anak dan saudara-saudara kalian sendiri, yakni penduduk Madinah!”

4. Ketegasan dalam pengkhianatan
Lelaki tampan itu tampak pucat. Dari atas kudanya ia terus menggumamkan doa, “Ya Alloh, berikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan urusan dengan Bani Quroizhoh!” Dan hari itu, lukanya yang terus mengalirkan darah dari nadi yang pecah dibebat kuat-kuat. Ia, Sa’d ibn Mu’adz Rodhiyallohu ‘Anhu, pemimpin Aus, datang sebagai hakim yang ditunjuk Rosululloh dan diridhoi Yahudi Bani Quroizhoh untuk menyelesaikan sengketa pengkhianatan mereka dalam Perang Khondaq. Sebenarnya, Rosululloh sendiri berhak untuk memutuskan vonisnya. Hanya saja ada makna lebih dalam di sana: penghormatan, meredam gejolak, dan memuaskan semua pihak.

“Sambutlah Sayyid kalian…!” begitu Rosululloh berujar ketika melihatnya datang tertatih. Bani Quroizhoh menerima Sa’d menjadi hakim, karena suku Aus adalah sekutu mereka di masa Jahiliyah. Para pemuka Aus pun berpesan pada Sa’d agar bertindak bijaksana, mengingat Rosululloh telah menyerahkan urusan ini kepadanya agar dia berbuat baik terhadap sekutu-sekutunya.

Tapi apa kata Sa’d sebagai vonis? “Telah tiba saatnya bagi Sa’d untuk tak lagi mempedulikan cercaan para pencela dalam memutuskan hukum karena Alloh. Semua laki-laki di antara Bani Quroizhoh harus dibunuh! Anak-anak dan wanita-wanita mereka jadikan tawanan! Dan harta mereka disita!”

“Sungguh,” kata Rosululloh, “Engkau telah memberikan keputusan menurut hukum Alloh.” Beberapa hari setelah itu, sang hakim terus terbaring sakit di tenda Rufaidah. Darah terus mengalir dari lukanya hingga seorang shohabiyah berkata, “Bagai sebuah selokan!” Akhirnya ruhnya pergi menemui Alloh dalam keadaan ridho lagi diridhoi. Kedahsyatan kematiannya pun, sampai-sampai membuat ‘Arsy berguncang. “’Arsy berguncang,” kata Sang Nabi, “Ketika ruh Sa’d ibn Mu’adz diangkat ke langit!”

5. Mendesain selalu Keteladanan Baru
Tantangan selalu muncul saat kita memasuki wilayah baru. Bahkan dalam hal yang sangat sederhana. Saat kita sedang membangun kebiasaan bangun malam untuk menghadap Alloh dalam tahajjud, rasa-rasanya tantangan kita ada pada daya diri untuk bangun dan melangkah ke tempat wudhu. Tetapi begitu kebiasaan bangun itu tersistemkan dalam tubuh kita, tantangan baru muncul: mengapa sholat kita terasa kering? Dulu, ketika bangun terasa sulit, sholat kita rasa-rasanya lebih khusyu’ daripada kini.

Demikian pula di wilayah baru pengelolaan publik. Kita harus semakin cerdas mendesain keteladanan baru. Dulu, demonstrasi memperjuangkan kepentingan masyarakat menjadi istimewa. Dulu, anggota dewan yang mengembalikan uang tidak jelas menjadi keteladanan yang sangat istimewa. Dulu, anggota dewan yang menolak KunKer (kunjungan kerja) tanpa agenda nyata, itu istimewa. Dulu, partai yang memiliki layanan sosial adalah keteladanan istimewa. Dulu, partai yang menerjunkan satgasnya ke lokasi bencana adalah keteladanan istimewa. Kini? Nanti dulu. Masyarakat semakin menganggapnya sebagai hal yang biasa karena tak hanya partai da’wah yang bisa melakukannya. Tentu, kita syukuri hal itu sebagai suatu keberhasilan da’wah, bahwa kini –terlepas apapun motifnya- ada lebih banyak kepedulian.

Selanjutnya, sesudah bersyukur tentu prinsip ‘yakhtaliyatun wa lakin yatamayyazun’. Bagaimana agar identitas da’wah tidak kabur karena kurangnya keteladanan. Nah, seperti ‘Umar mencegah para panglimanya memiliki tanah agar mereka tak kehilangan daya ekspansi, jama’ah da’wah perlu terus membangun sistem yang mendukung terciptanya keteladanan baru yang tak usang tak lekang dari para kader da’wah yang mengelola kepentingan publik, yang menggiatkan penguatan struktur, maupun yang bergerilya di ranah sya’biyah.

Selamat berserikat. Seperti kata Dr. Surahman Hidayat, “Tanggung jawab ini kita bagi bersama, tapi kita tetap sebagai pionernya!” Inilah serikat, untuk kuasa kesholihan. []

Sumber: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim karya Salim A. Fillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar