Kamis, 11 April 2013

Paku dan Palu


jika satu-satunya alat yang kau miliki adalah palu
kau akan cenderung melihat segala hal sebagai paku

-Abraham H. Maslow-




KATAKAN yang benar meskipun pahit.

Muhammad ibn Sirin, ‘alim besar murid Anas ibn Malik rodhiyallohu ‘anhu itu terpekik. “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’uun,” gumamnya. Dia baru saja membuka salah satu dari empat puluh kaleng besar minyak zaitun yang dikulaknya dari pemasok dengan berhutang. Tak tanggung-tanggung, nilai akadnya kali ini 40.000 dirham. Yang membuat dia terkejut di pagi itu adalah bahwa di dalam kaleng pertama yang dibukanya, dia menemukan bangkai tikus.

“Seluruh minyak ini,” ujarnya kepada seorang pelayan, “Dibuat di tempat penyulingan yang sama. Aku khawatir bahwa najis bangkai ini telah mencemari keseluruhan minyak. Maka buanglah semuanya!”

Kebetulan, saat itu modal di tangan Muhammad ibn Sirin sedang nihil. Rencananya, untuk pembayaran minyak itu dia akan memakai hasil penjualan nantinya. Maka dengan peristiwa ini, prakiraannya meleset. Dan sang tengkulak pun mengadukannya ke pengadilan.

Muhammad ibn Sirin ridho dengan pemidanaannya. Hakim memutuskan, dia harus dijebloskan ke penjara. Penduduk kota merasa berat dan sedih mendengar vonis yang dijatuhkan pada ulama yang sangat terhormat itu. Ya, beliau harus menanggung hukuman bukan karena salah atau dosa. Melainkan justru karena sifat waro’-nya yang membuat beliau sangat menjaga diri dari syubhat. Beliau mengatakan yang benar meski pahit.

Para warga mengantar Muhammad ibn Sirin ke penjara dengan linangan air mata.

Di dalam penjara, sipir yang bertugas juga merasa iba padanya. Tiap hari dia menyaksikan Muhammad ibn Sirin menangis ketika beristighfar, sholat, dan membaca al-Qur’an. “Wahai Syaikh,” satu hari dia menawarkan, “Bagaimana seandainya kuizinkan engkau untuk pulang ke rumahmu setiap malam tiba dan datanglah kembali ke penjara ini seusai shubuh?”

“Jika engkau melakukan itu,” kata Muhammad ibn Sirin sambil tersenyum, “Engkau akan menjadi seorang yang khianat. Demi Alloh, aku ridho berada di tempat ini.”

Tapi satu saat sang penjaga mengatakan bahwa Gubernur dan Pengadilan memerintahkan dan memberinya izin untuk keluar guna mengurus jenazah Anas ibn Malik sesuai dengan wasiat shohabat Rosululloh tersebut. “Aku berada di sini,” jawab Muhammad ibn Sirin, “Bukan karena Gubernur dan Pengadilan. Melainkan karena hutangku pada seorang pedagang. Tolong sampaikan padanya perkara ini. Jika dia mengizinkan aku keluar untuk mengurus jenazah guruku, insya Alloh aku akan melakukannya. Dan sampaikan padanya rasa syukur dan terima kasihku.”

Maka pedagang itu pun dimintai izin, dan dia merelakan.

Seusai mengurus jenazah gurunya, Muhammad ibn Sirin kembali ke penjara. Dia selesaikan seluruh sisa hukumannya dengan penuh kesabaran dan tawakal kepada Alloh.

***

“Katakan yang benar,” begitu Rosululloh bersabda dalam riwayat al-Baihaqi dari Abu Dzar al-Ghiffari, “Meskipun pahit.” Beberapa ulama fiqh memasukkan hadits ini dalam pembahasan Kitaabut Tijaaroh, kitab perdagangan. Khususnya bab tentang para pedagang. Konteksnya adalah, agar para pedagang berlaku jujur dan terbuka terkait keadaan barang dagangannya.

Sikap ini, mengatakan yang benar meski pahit, sungguh beresiko tinggi bagi sang niagawan. Jika yang bersangkutan mendapatkan barang yang diambilnya dengan harga beli tinggi ternyata tak sesuai dengan kualitas yang dibayangkannya lalu dia harus berkata jujur dan terbuka pada para pembelinya, tentu saja dia dimungkinkan tak mendapatkan keuntungan, merugi, dan bahkan bangkrut. Padahal, bisa saja dia telah ditipu sebelumnya sehingga dia mau membeli barang tersebut. Sedangkan ketika akan menjualnya, dia terbentur kejujuran yang harus dijunjungnya.

Itulah Islam. Dengan kemuliaannya selalu ingin menjaga nilai-nilai kebaikan. Kejujuran para pedagang itu insya Alloh akan memutuskan matarantai ketertipuan sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap para penyedia barang dan jasa. Maka para pedagang itu hendaknya mengatakan yang benar meski pahit.

Dalam kasus Muhammad ibn Sirin, yang terjadi memang bukan penipuan. Tetapi dia juga tak ingin para pembelinya menanggung keraguan atas najis tidaknya minyak itu. Dia sebenarnya punya banyak pilihan. Misalnya dengan menimpakan kesalahan pada pemasoknya. Atau dengan hanya membuang satu kaleng yang didapati bangkai di dalamnya dan tetap menjual yang lain. Tetapi Muhammad ibn Sirin mencontohkan jalan yang lebih tinggi dari sekedar mengatakan yang benar meski pahit. Dia menjaga amanahnya dari ancaman syubhat yang paling halus.

Kita mendapat pelajaran berharga dari sabda Sang Nabi dalam riwayat Imam al-Baihaqi ini. Jika para pedagang mengatakan yang benar meski pahit, dalam kasus mereka, bagi siapakah kepahitan yang dimaksud oleh hadits ini? Benar. Kepahitan itu bagi yang mengucapkannya. Katakan yang benar, meski dengan demikian kita yang mengucapkannya merasa sakit, menanggung rugi, dan bahkan ditimpa bangkrut. Kepahitan itu sama sekali bukan bagi yang mendengarnya. Sebab andai begitu, sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mungkin akan berbunyi, “Dengarkanlah yang benar, meskipun pahit.”

Katakan yang benar, meski pahit. Bagi kita yang mengucapkannya.

Hari-hari ini, kita yang sedang penuh semangat hilir mudik ke sana-kemari untuk menebarkan kebenaran sesuai dengan apa yang kita fahami. Tetapi kadang tanpa sadar kita sebenarnya hanya menyakiti hati, memerahkan telinga, dan membuat sesak di dada. Orang-orang yang mendengar itu merasakan bahwa kita bukan membawa kebenaran bagi mereka. Kita hanya sekedar mengunjukkan diri sebagai yang paling benar, mengungkit-ungkit salah mereka, merasa bangga sebab memenangkan hujjah, dan kadang juga kita merasa mempermalukan mereka.

Apa dalil kita? Katakan yang benar meski pahit. Sayang sekali, agaknya kita agak meleset memaknainya. Yang benar belum tentu tersampaikan. Yang pahit sudah pasti dirasakan para penyimak kata-kata kita. Dengan begitu, disebabkan kesempitan ilmu, kita telah menjadi pemilik palu, dan merasa semua orang adalah paku. Astaghfirullohal ‘azhiim.

                                                                                        ***

Ada beberapa ciri dari orang yang hanya memiliki palu, dan menganggap segala hal adalah paku.

Pertama, mereka seringkali bertindak sebelum mengetahui gambaran persoalan dengan utuh sehingga mereka salah waktu dan salah cara dalam merespons sesuatu. Dengan agak bercanda, John C. Maxwell bercerita dalam buku Winning with People bahwa ada seorang pria setengah baya dengan tergesa-gesa memasuki sebuah rumah makan. Dia bergegas menuju meja kasir dan menemui seorang pelayan.

“Apakah Anda punya sesuatu untuk menyembuhkan cegukan?” tanyanya.

Tanpa berkata apapun, si pelayan restoran merogoh sesuatu di bawah meja. Dia mengambil lap basah, dan menamparkannya ke wajah pria itu.

“Aduh! Apa-apaan ini?”

“Nah,” si pelayan tersenyum, “Sekarang cegukan Anda sudah hilang bukan?”

“Bukan saya yang cegukan!” teriak si pria berapi-api. “Saya perlu sesuatu untuk menolong istri saya. Dia ada di luar sana menunggu di dalam mobil!”

                                                                                        ***

Tanda yang kedua, seringkali mereka adalah orang yang suka mengungkit masa lalu. Dalam pembicaraan-pembicaraan, mereka suka menyakiti sesama dengan menyebut ulang kesalahan-kesalahannya. Dengan menunjukkan bahwa masa lalu seseorang kelam dan penuh kekhilafan, maka si pemilik palu hendak mengatakan, “Jika dulu engkau adalah orang yang banyak melakukan kesalahan, maka sekarang pun akulah yang benar dan engkau tetap saja berada dalam kungkungan watakmu yang selalu keliru.”

Rosululloh pernah mewanti-wanti hal ini kepada para istri. “Perbanyaklah sedekah,” kata beliau di suatu hari raya pada serombongan wanita, “Karena kalian banyak kufur.” Maksud beliau bukanlah kufur kepada Alloh, melainkan kufur kepada suami. “Yakni,” lanjut beliau, “Ketika untuk masa yang panjang suaminya telah berbuat baik kepadanya, lalu di satu waktu sang suami itu melakukan kesalahan. Maka dalam kemarahan, si istri menyebut-nyebut kesalahan suaminya di masa lalu dan bahkan berkata, ‘Kau belum sekalipun pernah berbuat baik kepadaku.’”

Apakah penyakit ini hanya dimiliki para istri? Sesungguhnya tidak. Banyak lelaki terjangkiti hal yang sama, sehingga mereka menyakiti orang-orang di dekatnya. Kadang-kadang sifat ini tampil dalam bentuk yang agak berbeda. Yang diungkit bukanlah kesalahan orang di masa lalu, melainkan kebaikannya pada orang lain yang diangkat-angkat. Hakikat sebenarnya sama dan pesan yang ingin disampaikan terlihat jelas. “Ingatlah, kau takkan jadi seperti ini tanpa diriku. Maka sekarang pun kau bukan apa-apa jika berani menentangku!”

Adalah indah apa yang dikatakan Rosululloh untuk menenangkan orang-orang Anshor saat mereka tak puas atas pembagian rampasan Perang Hunain di Ji’ronah. Beliau dengan penuh hikmah membawakan kesadaran yang menginsyafkan orang-orang Anshor tanpa menyakiti hati mereka. Bahkan beliau membesarkan hati dan menguatkan keteguhan mereka untuk selalu memberikan yang terbaik.

Saat itu, persoalannya adalah, siapa yang dipanggil di saat semua orang lari dari Rosululloh di lembah Hunain? Dan siapa yang dengan bergegas menyambut, “Labbaik!” hingga menggetarkan seluruh wadya musuh yang berlindung di atas bukit? Bukankah Anshor? Bukankah Anshor yang menjadi kunci kemenangan pasukan ini?

Pertimbangan manusiawi mengatakan, Anshor yang paling berhak mendapatkan rampasan Hunain yang memenuhi wadi itu. Tapi Rosululloh justru membagikannya kepada pemuka-pemuka Thulaqoo, muallaf Makkah yang paling depan dalam melarikan diri dari pertempuran dan berkata, “Mereka takkan berhenti berlari sampai mencapai laut!”

Ada sesuatu yang mengganjal setelah pembagian itu, sesuatu yang disampaikan oleh Sa’d ibn ‘Ubadah dan membuat orang-orang Anshor dikumpulkan di sebuah padang gembalaan. Sang Nabi datang dan berbicara kepada mereka.

“Amma ba’du. Wahai semua orang Anshor, ada kasak kusuk yang sempat kudengar dari kalian, dan di dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal terhadapku. Bukankah dulu aku datang, sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Alloh memberi petunjuk kepada kalian melalui diriku? Bukankah kalian dulu miskin lalu Alloh membuat kalian kaya, bukankah dulu kalian bercerai-berai lalu Alloh menyatukan hati kalian?”

Mereka menjawab, “Begitulah. Alloh dan Rosul-Nya lebih murah hati dan lebih banyak karunianya.”

“Apakah kalian tak mau menjawabku, wahai orang-orang Anshor?” tanya beliau.

Mereka ganti bertanya, “Dengan apa kami menjawabmu, ya Rosulalloh? Milik Alloh dan Rosul-Nya lah anugerah dan karunia.”

Beliau bersabda, “Demi Alloh, kalau kalian menghendaki, dan kalian adalah benar lagi dibenarkan, maka kalian bisa mengatakan padaku: Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan lemah lalu kami menolongmu. Engkau datang dalam keadaan terusir lagi papa lalu kami memberikan  tempat dan menampungmu.”

Sampai di sini air mata sudah mulai melinang, pelupuk mereka terasa panas, dan isak mulai tersedan.

“Apakah di dalam hati kalian masih membersit hasrat terhadap sampah dunia, yang dengan sampah itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam, sedangkan keislaman kalian tak mungkin kuragukan? Wahai semua orang Anshor, apakah tidak berkenan di hati kalian jika orang-orang pulang bersama domba dan unta, sedang kalian kembali bersama Alloh dan Rosul-Nya ke tempat tinggal kalian?”

Isak itu semakin keras, janggut-janggut sudah basah oleh air mata.

“Demi Zat yang jiwa Muhammad dalam Genggaman-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku termasuk orang-orang Anshor. Jika manusia menempuh suatu jalan di celah gunung, dan orang-orang Anshor memilih celah gunung yang lain, tentulah aku pilih celah yang dilalui orang-orang Anshor. Ya Alloh, sayangilah orang-orang Anshor, anak orang-orang Anshor, dan cucu orang-orang Anshor,” Rosululloh menutup penjelasannya dengan do’a yang begitu menentramkan.

Dan tentu, akhir dari semua ini mempesona, semempesona semua pengorbanan orang-orang Anshor selama ini, “Kami ridho kepada Alloh dan Rosul-Nya dalam pembagian ini…, kami ridho Alloh dan Rosul-Nya menjadi bagian kami…”

                                                                                        ***

Ciri yang ketiga, pemilik palu suka memperburuk keadaan dengan memberikan reaksi berlebihan. Ketika marah, mereka cenderung menjatuhkan bom, padahal sebenarnya kerikil mungil pun sudah cukup. Sikap ini akan banyak menimbulkan kesulitan baru karena ukuran masalah yang menjadi makin besar tergantung bagaimana ia ditangani. “Pada umumnya,” tulis John C. Maxwell dalam Winning with People, “Jika reaksi lebih buruk dari suatu tindakan, maka masalahnya akan membesar. Dan jika reaksinya tak seburuk tindakannya, persoalan akan mengecil.”

Di antara kehebatan para Rosul Ulul ‘Azmi adalah, bahwa mereka selalu berhasil memberikan respons yang paling indah atas suatu persoalan. Mereka dianugerahi akhlak untuk membalas kejahatan dengan kebaikan hingga musuh pun jatuh cinta dan menjadi kawan setia. Banyak sekali kisah tentang bagaimana Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyentuh hati para penentangnya dengan kesediaan beliau mendengarkan mereka, menanyakan kabar orang yang selalu meludahinya ketika dia tak muncul di suatu hari, dan menjadi orang pertama yang menjenguknya.

Diriwayatkan juga tentang ‘Isa ibn Maryam ‘Alaihis Salam bahwa suatu hari, seorang lelaki pandir menimpuk wajahnya dengan kotoran dan mencaci makinya dengan kata-kata yang sangat jijik dan menyakitkan.

‘Isa membalasnya dengan mengucapkan kalimat-kalimat yang begitu sejuk dan indah pada lelaki itu. Dia memberikan semangat dan penghiburan. Lalu kepada lelaki itu diulungkannya buah anggur serta minyak wangi. Para muridnya bertanya, “Mengapa kau balas kata-kata kejinya dengan kalimat-kalimat mulia, dan kau beri dia anggur serta haruman padahal dia menimpukmu dengan kotoran?”

“Karena setiap orang,” jawab ‘Isa, “Hanya bisa memberikan apa yang dia punya.”

***

Kekhasan yang keempat, pemilik palu selalu beranggapan bahwa situasi jauh lebih penting daripada hubungan. Bagi mereka, memenangkan debat saat ini lebih penting daripada menjaga agar hati seorang kawan tak tersakiti. Mereka menduga bahwa membuktikan diri tidak bersalah dalam suatu keadaan jauh lebih penting daripada menyadari bahwa mereka bisa saja sedang mempermalukan orang yang mereka cintai.

Andai tiap suami dan istri di dunia ini memiliki anggapan bahwa keadaan lebih penting daripada hubungan, mungkin takkan ada ikatan pernikahan yang bertahan. Tetapi kerepotan-kerepotan kecil tetap saja sering timbul. Seperti saat sepasang suami istri datang terlambat ke sebuah undangan jamuan. Tahankah sang suami untuk tak mengatakan, “Maaf, kami terlambat karena istri saya tadi mandi serta dandannya lama sekali!”

Ketika seorang kawan mengatakan bahwa perabot di rumah sungguh jauh dari anggun, tahankah sang suami untuk tidak berkata, “Wah, itu yang memilih istri saya. Saya sebenarnya juga kurang suka.”

Orang-orang yang menganggap situasi lebih penting daripada hubungan sungguh merepotkan orang-orang yang ada di dekatnya. Jika menjadi atasan, dia akan sering menginjak bawahan. Jika menjadi rekan searas, sikutnya mungkin akan bergerak kian ke mari untuk menyakiti. Ketika menjadi bawahan, di belakang dia akan menebarkan kasak-kusuk dan isu-isu untuk menjatuhkan. Itu semua dilakukan hanya untuk hal yang yang sangat sesaat sifatnya dengan mengorbankan hubungan yang seharusnya dipelihara dalam jangka panjang.

Orang-orang yang menganggap bahwa memenangi argumen-tasi pada suatu saat jauh lebih penting daripada hubungan memang selayaknya menyadari bahwa ada pilihan lain yang lebih bijaksana. Untuk memenangkan hati dan kasih sayang misalnya. Maka sabda Sang Nabi dalam riwayat Abu Dawud itu sungguh penuh makna. “Aku jaminkan sebuah rumah,” kata beliau, “Di surga bagian tengah-tengah, untuk mereka yang mampu menahan diri dari berdebat meskipun berada di atas kebenaran.”

                                                                                        ***

Nah. Apakah di dalam diri kita, masih ada keempat ciri pemilik palu ini? Subhanalloh, hanya memiliki palu, dan menganggap segala hal sebagai paku akan menjadikan diri kita tanah yang gersang dalam persaudaraan. Sangat gersang. Dalam dekapan ukhuwah, agaknya perlu kerja keras untuk menyuburkannya kembali.

                                                                                        ***

Saat kita hanya punya palu, semua yang ada di sekitar kita akan melakukan apapun sekedar agar terhindar dari pukulan. Mungkin yang bisa menjadi sahabat-sahabat kita hanyalah orang-orang yang lebih buruk daripada kawan-kawan Fir’aun. Setidaknya itulah yang dikatakan seorang anak kecil di Iraq kepada durjana zaman ‘Umayyah, al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofi.

Sedikit kita ingat tentang al-Hajjaj. Dia, bersama Abul Aswad ad-Du’ali, adalah seorang ‘alim yang punya andil merumuskan sistem harokat untuk mush-haf yang kita baca. Tapi adalah dia seperti persaksian ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, “Andai ummat-ummat dan bangsa datang dengan segala kejahatan mereka; dan kita Bani ‘Umayyah datang dengan al-Hajjaj seorang, demi Alloh takkan ada yang bisa mengalahkan kita.”

Para penulis riwayat menghitung, al-Hajjaj bertanggung jawab atas pembunuhan 120.000 orang yang kebanyakan adalah ulama dan orang-orang sholih. Belum lagi ketika dia meninggal, masih ada sekitar 80.000 jasad yang ditemukan di penjaranya, mati tanpa peradilan yang hak. Rincian ini bisa kita teliti dalam redaksi Ibn ‘Abdil Barr, al-Isti’aab fii Ma’rifatul Ash-hab 1/353 dan 2/571; Ibn al-Atsir, al-Kamil fit Tarikh 4/29 dan 133; Ibn Katsir, al-Bidayah wan Nihayah 9/2, 83, 91, 128, 129, dan 131-138; serta Ibn Kholdun, at-Tarikh 3/39.

Di antara mereka yang dibunuh al-Hajjaj, terdapat shohabat-shohabat utama Rosululloh seperti ‘Abdulloh ibn Zubair ibn al-‘Awwam, putra Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq. Juga an-Nu’man ibn Basyir, ‘Abdulloh ibn Shofwan, dan ‘Imaroh ibn Hazm. Kepala mulia ‘Abdulloh ibn az-Zubair yang pernah diciumi Rosululloh itu dipenggal dan dikelilingkan ke berbagai kota; Makkah, Madinah, hingga Damaskus. Jasad-jasad mereka disalibkan di kota Makkah, dijadikan tontonan hingga berbulan lamanya. Keterangan ini bisa kita telusur dalam tulisan Ibn ‘Abdil Barr, al-Isti’aab 1/353-354; ath-Thobari, at-Tarikh 5/33-34; Ibn Katsir, al-Bidayah 8/245 dan 332; Ibn Kholdun, at-Tarikh 3/39; serta Ibn Sa’d, ath-Thobaqot al-Kubro 6/53.

Selain itu, patut dicatat nama Sa’id ibn Jubair, tabi’in agung, murid kesayangan ‘Abdulloh ibn ‘Abbas yang dikuliti dan disayati dagingnya oleh al-Hajjaj. Juga tindakan dan cercaannya yang mengancami ‘Abdulloh ibn ‘Umar, almarhum ‘Abdulloh ibn Mas’ud, Anas ibn Malik, dan Sahl ibn Sa’d as-Sa’idi, rodhiyallohu ‘anhum. Di masa ini pula para penguasa termasuk al-Hajjaj melaksanakan khuthbah pertama Jum’at sambil duduk, menjadikan caci-maki terhadap ‘Ali ibn Abi Tholib dan keluarganya sebagai rukun khuthbah, dan melangsungkan khuthbah Hari Raya sebelum sholat-nya. Bid’ah-bid’ah yang dahsyat ini bisa kita telusuri dalam anggitan Ibn al-Atsir, al-Kamil 4/119, 300; ath-Thobari, at-Tarikh 6/26; dan Ibn Katsir, al-Bidayah 8/258, 10/30-31.

Subhanalloh! Hajjaj benar-benar contoh ekstrim sempurna untuk seorang Muslim yang hanya punya palu, dan memperlakukan segala hal sebagai paku.

Ada banyak kisah tentang al-Hajjaj, ketika dia berhadapan dengan orang-orang di zamannya. Dia mengatur dan memimpin manusia dengan cekaman ketakutan. Selain kekejaman, dia dikenal punya lidah yang fasih, hujjah yang mantap, dan bahkan senantiasa memiliki dalil untuk membenarkan segala tindakannya. Tetapi ada waktu-waktu di mana saat berhadapan dengan orang sholih dia tak berkutik dan kehilangan kata. Kali ini giliran seorang anak kecil yang cerdas membungkamnya.

Anak berusia belasan dengan rambut panjang dikepang hingga dada itu dihadapkan pada al-Hajjaj. Tanpa rasa takut dia mendekat. Melihat al-Hajjaj duduk di atas panggung kehormatan yang tinggi dan megah, dia memperhatikannya dengan takjub. Ditelusurinya detail panggung yang gemerlapan itu dengan matanya yang berkejap-kejab. Lalu dia membaca sebuah ayat.

“Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah yang tinggi bangunan megah untuk bermain-main? Dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal di dunia? Dan apabila kamu menyiksa, maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka bertaqwalah kepada Alloh dan taatlah kepadaku.” (Qs. asy-Syu’aroo [26]: 128-131)

Al-Hajjaj yang sedang duduk bertelekan di atas kursinya segera bergeser pijakan dan mencondongkan tubuh ke depan. “Hai anak kecil,” tegurnya, “Sungguh kulihat engkau memiliki kecerdasan dan kepandaian. Apakah kamu menghafal al-Qur’an?”

Dalam bahasa Arab kata hafizho bisa berarti menghafal, bisa juga berarti menjaga. Maka anak itu dengan mata berbinar menjawab, “Apakah engkau takut bahwa al-Qur’an akan hilang sehingga aku harus menjaganya? Sedangkan Alloh sendiri telah berjanji untuk menjaganya.”

“Apakah kamu sudah mengumpulkan keseluruhan al-Qur’an?” tanya al-Hajjaj memperjelas apakah anak ini sudah menghafal kesemua isi al-Qur’an.

“Memangnya dulunya ia terpisah-pisah sehingga aku harus mengumpulkannya?”

“Apakah kamu sudah menyempurnakannya?” lagi-lagi al-Hajjaj bertanya apakah si anak telah mengkhotamkan hafalan al-Qur’annya.

“Bukankah Alloh telah menurunkannya dengan sempurna?”

“Maksudku,” kata al-Hajjaj mulai kesal, “Apakah engkau sudah menghafalnya di belakang punggungmu?” ‘Di belakang punggung’ adalah kiasan untuk menghafal di luar kepala, tapi juga bisa berarti mengabaikan.

“Aku berlindung kepada Alloh,” kata si bocah, “Agar tidak menjadikan al-Qur’an di belakang punggungku!”

“Celakalah kamu!” gertak al-Hajjaj, “Jadi aku harus mengatakan apa?”

“Kecelakaan justru bagimu dan orang-orang yang bersamamu. Katakan saja: Apakah kamu sudah memenuhi hatimu dengan al-Qur’an?”

“Bacalah beberapa ayat dari al-Qur’an!” pinta al-Hajjaj.

“Aku berlindung kepada Alloh dari godaan syaithon yang terkutuk. Dengan nama Alloh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ketika datang pertolongan Alloh dan kemenangan. Dan kamu melihat manusia akan KELUAR dari agama Alloh dengan berbondong-bondong!”

“Kurang ajar kamu! Mereka MASUK agama Alloh, bukan KELUAR!”

“Dulunya mereka memang masuk, tapi sekarang mereka kaluar.”

“Mengapa?”

“Karena kejahatan dan kezholimanmu kepada mereka!”

“Celaka kamu! Tahukah dengan siapa kamu sedang bicara?”

Alhamdulillah tsumma a’udzubillah, dengan syaithon Tsaqif yang bernama al-Hajjaj!”

Begitulah. Antara al-Hajjaj dan bocah itu terus terjadi tanya-jawab yang makin lama kian panas dan membuat al-Hajjaj habis kesabaran. Tiap kali ditanya, si anak menjawab dengan kalimat yang cerdas dan menghunjam. Setelah merasa lelah dengannya, al-Hajjaj berpaling pada para pembesar yang ada di sisinya. “Bagaimana pendapat kalian tentang bocah ini?”

“Tumpahkan saja darahnya!” seru mereka. “Sungguh, dia telah membangkang kepada pemimpin dan keluar dari jama’ah!”

“Wahai al-Hajjaj,” panggil si anak kecil, “Teman-teman Fir’aun jauh lebih baik daripada kawan-kawanmu ini. Ketika Fir’aun, saudaramu itu, kesal karena Musa yang gagah dan dewasa, maka mereka mengatakan pada sang tiran seperti termaktub di ayat ke-36 surat asy-Syu’aroo, “Beri tangguhlah dia dan saudaranya, Harun.” Sementara kawan-kawanmu ini justru mengatakan tentang seorang anak kecil yang lemah, “Tumpahkanlah darahnya!” Demi Alloh, akan ada hujjah di hadapan-Nya, Raja dari sekian raja. Dia yang akan membinasakan semua penguasa zholim dan menghinakan orang-orang yang sombong!”

                                                                                        ***

Dalam dekapan ukhuwah, saatnya menukar palu dengan sarung tangan beludru…

Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar