Senin, 08 April 2013

Super State


Di tanah ‘Utsmani ini
Yesus dilahirkan dan diangkat ke surga
Cahaya Tuhan turun pada Musa
Bahtera Nuh berlabuh
Dan dari Nyanyian Daud hnga lenguh Sokrates
Akal dan agama saling menjaga
Ulurkan tanganmu, Oo tanah airku
Ke kebun sang Nabi
Gosokkan tubuhmu, hitam, ke Ka’bah suci
(Nanik Kemal, 1881)

Arti penting karya Denys Lombard, Le Sultanat d’ Atjeh au temps d’Iskandar Muda (1607-1636), terutama tentu untuk meruntuhkan asumsi serampangan Snouck Hurgronje dalam De Atjehers yang menyebut kejayaan Aceh zaman Iskandar Muda hanyalah dongeng. Ketika Lombard melakukan penelitian dan mempublikasikannya di tahun 1963, buku Snouck masih ‘kitab suci’ tentang studi Aceh. Oh, tapi lebih penting lagi, dalam edisi terjemahan Indonesia, ilustratornya, atas izin The Bodleian Library, University of Oxford, memilih surat Iskandar Muda pada Raja James I dari Inggris yang bertanda tahun 1615 sebagai latar sampul. Wah!

Aceh sangat kuat dalam hal politik luar negeri. Memang wilayah daratnya ‘hanya’ membentang dari Johor, Pahang, dan Kedah di Malaya, hingga Deli, Barus, Tiku, dan Pariaman di Sumatera Utara dan Barat. Tetapi seorang sejarawan sempat menyebut, Samudera Hindia seluruhnya, hingga pantai Madagaskar dan laut Arab, berada di bawah pengawasan angkatan laut Aceh. Tak heran, kita bisa menelisik sumber sejarah akurat tentang korespondensi intens Iskandar Muda dengan Inggris, Perancis, Spanyol, dan terutama super-state Islam ketika itu, Kesultanan Turki ‘Utsmani.

Jika Kesultanan Aceh Darus Salaam memilih menjadi mitra bagi Kesultanan ‘Utsmani, maka tidak demikian dengan kesultanan-kesultanan di Jawa. Mulanya memang, da’wah Jawa didesain oleh Sultan Muhammad II dari Turki dengan mengirim beberapa ‘ulama. ‘Ulama-‘ulama itu menjadi Wali Sono, penguasa wilayah-wilayah kecil; Ampel, Gresik, Kudus, Muria. Kata ‘Wali’, kita sering mendengar dalam sejarah Khulafaur Rosyidin berarti kepala wilayah. Kita pun masih punya istilah ‘walikota’. Mungkin terpeleset lidah sekaligus mistisisasi angka sembilan sehingga para ‘ulama itu disebut Wali Songo. Yang jelas, sono-sono itu bergabung membentuk Kesultanan Demak.

Keterputusan hubungan agaknya membuat Mataram –pelanjut Demak dan Pajang- diperintah bukan oleh orang bergelar Sultan. Tapi Panembahan. Hingga Panembahan Hanyokrokusumo dengan itikad sangat baik pada tahun 1641 mengirim dutanya kepada Sultan Rum –begitulah Sultan-sultan ‘Utsmani dikenal di Nusantara- untuk mendapat pengesahan gelar Sultan. Dan itu artinya, Mataram kembali mendudukkan diri sebagai bawahan bagi superstate Kesultanan ‘Utsmaniyah. Lihatlah lukisan sejarah tentang penyerbu Batavia tahun 1628-1629 ini, yang mahkotanya sangat kentara sebagai ‘tarbusy’, topi khas Turki.

Hubungan itu terputus lagi. Pengganti Sultan Agung, Amangkurat I, yang dalam Babad dikisahkan membantai ribuan orang termasuk ratusan ‘ulama Giri, dan melewati mayat-mayat bergelimang darah dengan menyingsingkan kainnya menggunakan gelar khas Jawa; Susuhunan, artinya ‘yang dimohon’.

Seabad kemudian, dengan mendandani seorang pelaut Arab yang terdampar di pantai utara Jawa sebagai ‘utusan Sultan Rum’, Belanda mengakhiri perang yang dikobarkan Pangeran Mangkubumi. Utusan palsu itu, meyakinkan sang pangeran bahwa Sultan Rum akan memberikan gelar Sultan padanya, sebagai ahli waris Sultan Agung, jika dia mengakhiri perang dan menerima Perjanjian Gianti. Maka berdirilah Kasultanan Yogyakarta dengan legalitas dari ‘Sultan Rum, dari Negara Atas Angin.’ Gelar ‘Sultan’ yang diikuti kata-kata ‘Abdurrohman, Sayyidin Panotogomo, Kholifatulloh Tanah Jawa’ kembali bergema.

Tigapuluh tahun setelah mangkatnya Hamengkubuwono I, kesultanan yang ditinggalkannya mulai bergolak untuk melahirkan pahlawan baru. Cicitnya, Diponegoro, yang telah dua kali menolak ditawari menjadi Hamengkubuwono IV, yang memimpin perlawanan paling berdarah terhadap Belanda, memakai gelar yang sangat menarik dalam pentahbisan Sultan di Matesih; ‘Abdul Hamid Herucokro Kabirul Mukmin Sayyidin Panotogomoning Jowo Kholifat Rosulillah Sain.

Mengapa memilih nama ‘Abdul Hamid? Polycarpus Swantoro dalam Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, dan Saleh As’ad Djamhari dalam disertasinya yang berjudul Strategi Menjinakkan Diponegoro sepakat, bahwa Diponegoro lahir di masa pemerintahan Sultan ‘Abdul Hamid I di Turki ‘Utsmaniyah. Kata ‘Sain’, menurut Swantoro, kemungkinan adalah pengucapan Jawa atas kata Arab ats-Tsanii, yang berarti, ‘yang kedua’. Panembahan Kabirul Mukmin juga menarik, ditambah lagi penggantian kata Kholifatulloh dengan Kholifat Rosulillah. Ini menunjukkan pengaruh riwayat hadits yang lebih dalam. Adakah Diponegoro pernah mendengar atsar Abu Bakr, “Kholifatulloh hanyalah Dawud ‘Alaihis Salaam.”?

Nah, lebih menarik lagi fakta yang disampaikan Djamhari, bahwa hierarkis kepangkatan, susunan militer, pakaian seragam, bahkan nama korps dalam pasukan Diponegoro sangat jauh dari bau Jawa maupun Eropa. Misalnya, Diponegoro didampingi oleh empat Alibasah. Mereka membawahi beberapa Basah. Dan komandan terendahnya disebut Angadaulah dan Dulah. Itu, tentu saja adalah pengucapan Jawa untuk kata Turki Ali Pasha, Pasha, dan Agha Daulah. Dalam barisan ini ada korps Bulkiya, Turkiya, Harkiya, dan Borjomu’ah. Nah, yang ini persis dengan susunan militer Janissarie, pasukan elit Sultan Turki.

Kalau ingin melihat pakaian seragam prajurit Diponegoro, tergambar jelas dalam lukisan Raden Saleh berjudul Historische Tableu, die Gefangennachmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro –yang mewakili nasionalisme kita- dan bahkan lukisan karya Nicolaas Pieneman –yang menjadi versi resmi pemerintahan Belanda-. Sangat santri, dan sangat tidak ‘nJawani’. Yang ini dibahas dalam buku Peter B. Carey, Asal-usul Perang Jawa.

Darimana Diponegoro memahami hal-hal ini? Djamhari pun belum bisa memastikan, kecuali catatan kabur tentang berlabuhnya ‘tiga kapal raksasa’ di pantai selatan Jawa di saat perang sedang ramai-ramainya. Yang jelas, pangeran dari Kesultanan Yogyakarta ini sejak kecil sangat dekat dengan para ‘ulama. Kalau kita menonton film Kingdom of Heaven garapan Ridley Scott, terlihat bahwa di samping Salahuddin selalu berdiri seorang ‘ulama muda yang penuh semangat jihad, yang kadang mendebat sengit bila Salahuddin bicara tentang perdamaian. Seperti Salahuddin, Diponegoro punya Kiai Mojo. Simak saja jawaban sang ‘Alim berwajah tampan yang tersurat dalam babad ketika menjawab tawaran damai Jenderal de Kock.

Ngantepi Islamnya samya
Nglampahi parentah dalil
Ing Qur’an pan Ayat Katal

Bersama memantapkan Islamnya
Melaksanakan perintah dalil
Dalam al-Qur’an surat at-Taubah

Memang tidaklah berlebihan, ketika kita memandang bahwa sebuah superstate Islam sangat bernilai dalam menaungi kehidupan kaum Muslimin di seluruh dunia. Meski, -sesuai hadits Rosululloh- saya kurang sreg menyebut Turki ‘Utsmani sebagai khilafah, tetapi peran yang diembannya begitu indah, dan terasa di sini, di Nusantara yang puluhan ribu kilometer jaraknya dari Seraglio Sultan di istana Topkapi yang dihilirmudiki 5000 pelayan.

Dari luar keindahannya, ada yang harus kita akui bahwa sistem Mulk, kerajaan, dan bukan Khilafah, yang menopang superstate Islam terakhir ini memperkecil kemungkinan terpilihnya orang terbaik untuk memerintah. Ada Sultan-sultan sholih yang bertahta di sana. Tapi ada pula yang untuk berkuasa harus mencekik puluhan sudara kandungnya. Hingga tahun 1603, Sultan Ahmad I naik tahta, dan ia tak mau ada darah tertumpah. Maka dibangunlah paviliun khusus bagi para pangeran, agar mereka menikmati hidup dan melupakan perebutan kuasa. Kelak, calon Sultan juga diambil dari paviliun ini, lalu merosotlah Turki di bawah Sultan-sultan yang terlambat belajar tata pemerintahan.

Kita kelanai zaman yang lebih awal tentang nilai sebuah superstate Islam. Ahmad Thomson dalam Islam in Andalus mengutip Ibn ‘Arobi tentang suatu kejadian di masa Kholifah an-Nashir ‘Abdurrohman III (912-960), ketika duta besar Negara-negara Eropa datang berkunjung. Sebenarnya pelik juga karena di masa ini, ada 2 orang lagi yang menggunakan gelar Kholifah selain an-Nashir; al-Muqtadir di Baghdad dari keluarga ‘Abbasiyah, dan al-Mahdi di Qoyrowan dari Syi’ah. An-Nashir-lah orang pertama yang memakai gelar Kholifah pada keluarga ‘Umayyah di Andalusia gara-gara mendengar pengangkatan al-Mahdi yang Syi’ah. Semula, ijma’ menyebutkan yang berhak menyandang gelar Kholifah dan Amirul Mukminin hanyalah yang melayani dua kota suci, Makkah dan Madinah yang saat itu berada dalam pengawasan ‘Abbasiyah.

“Sepanjang jalan,” tulis Ahmad Thomson tentang kejadian itu, “Mulai dari gerbang kota Cordoba hingga gerbang Madinatuz Zahro, yang berjarak kira-kira 1 pasarange, -sekitar 22 km-, dibariskan dua jajar pasukan di tiap sisinya. Para prajurit ini, mengangkat tinggi-tinggi pedang mereka yang telanjang, berat dan panjang, hingga ujung-ujungnya saling bersentuhan membentuk semacam atap.

Dengan menelusupi jajaran pedang berkilat yang rasanya tak habis-habis itu, para duta besar telah merasakan teror tak terlukiskan. Tanah yang mereka lewati dilapisi kain brokat, dari mulai gerbang kota hingga tempat penerimaan tamu. Pada interval-interval tertentu di seberang jalan, disediakan tempat duduk bagi para pejabat, yang karena kemewahan bahan dan dekorasinya telah mereka kira sebagai singgasana. Para duta besar itu berlutut menjatuhkan diri, yang segera disambut dengan ucapan santun, “Bangunlah… Ini hanyalah pelayannya pelayan dari pelayan Kholifah…”

Sungguh sebenarnya mereka tak sanggup mengangkat muka. Tetapi pemandangan Madinatuz Zahro terlalu menakjubkan untuk dilewatkan meski dengan lirik-lirik sekilas. Ada 13.750 pelayan laki-laki, 3.350 perwira muda dan sida-sida Sclavonia, ada 6.314 dayang-dayang di harem, dan sesekali terlihat kerumunan para qodhi, khothib, ‘ulama, dan penyair berjalan dengan anggunnya melewati balairung-balairung yang megah, ruang penyokong yang mewah, dan halaman-halaman yang luas bertaman jelita. Memikirkan bagaimana memberi makan dan pakaian pada semua orang ini saja sudah membuat para duta besar itu pusing.

Berdampingan dengan istana, tampak sebuah taman dengan danau buatan yang di tengahnya dibangun sebuah ruang musim panas dari kaca buram dihiasi emas. Arsiteknya begitu baik merencanakan bangunan ini, sehingga dengan hukum geometri tertentu air danau dinaikkan hingga mencapai puncak kubah melalui ruang musim panas ini dan kemudian mengucur di kedua sisinya, bergabung lagi dengan air danau. Dalam ruangan ini, kita dapat duduk tanpa tersentuh air yang mengitari dari semua sisi, dan menghirup udara segar musim hangat. Kadangkala, lilin dinyalakan di dalam ruangan dan menghasilkan efek mengagumkan dari dinding yang transparan itu.

Balairung Kholifah, genteng penutupnya terbuat dari emas dan perak murni, dan terdapat sebuah kolam besar berisi air raksa di tengah-tengah ruangan ini; pada tiap sisi di kedelapan pintu memancang lengkungan gading dan kayu hitam, dihiasi emas dan berbagai jenis batu mulia, menyandar pada tiang-tiang beraneka ragam marmer, pualam, dan kristal bening. Pantulan sinar mentari pun sudah cukup menyilaukan, ditambah lagi, jika Kholifah ingin meminta tamunya pergi, ia tinggal memerintahkan agar air raksa dalam kolam digerakkan, hingga tercipta efek sorotan cahaya dan seolah-olah seisi ruangan itu bergerak dengan suatu poros mengikuti arah matahari dan mengerikan.

Akhirnya para duta besar itu sampai di suatu ruangan yang mencolok sederhana, lantainya bertabur pasir. Di tengahnya seorang lelaki duduk lesehan di lantai dengan kepala condong ke depan. Pakaiannya terbuat dari kain kasar berlengan pendek tak berlapis-lapis. Semua yang dikenakannya berharga tak lebih dari 4 dirham. Di hadapannya terdapat sebuah mushhaf, sebilah pedang, dan perapian kecil.

“Inilah Sang Kholifah!” pemandu memberitahu. Maka tiba-tiba mereka menyungkur sujud. Sebelum mereka sempat menggumamkan kata apa pun, Kholifah berkata, “Alloh telah memerintahkan kami, wahai kalian, untuk menyeru bangsamu pada ini!” sambil menunjuk mushhaf. “Jika kalian menolaknya, kami akan memerangi kalian dengan ini!” ia menunjuk pedang. “Dan celakalah kalian jika terbunuh. Karena kalian akan terbakar dalam ini!” ia menunjuk api.

Teror puncak akhirnya menyergap para utusan itu. Kholifah memerintahkan mereka dibawa keluar sebelum sempat mengatakan apapun. Kemudian traktat disodorkan, dan mereka menandatanganinya gemetaran, lengkap dengan semua syarat yang diajukan Kholifah. Tak ada tawar sedikitpun.”

Sejarah yang eksotis ini, luar biasa. Tetapi agaknya, terus berlaku kaidah sejarah yang sangat klise itu; kejayaan membunuh semangat juang yang melahirkannya. Dan kejatuhan pun mendekat. Dalam karya Amin Maalouf, Leon l’ Africain, kita bisa membaca betapa remuknya moralitas tepi akhir peradaban Andalusia. Maalouf berkisah, bahwa Sultan Granada yang kedua dari akhir, memiliki seorang isteri yang sangat jelita. Suatu hari, dimintanya sang isteri mandi di pemandian istana yang bisa diamati dari sebuah ruang khusus. Di ruang khusus itu, Sang Sultan mengundang semua pejabat tingginya untuk bersama-sama menyaksikan jelitanya sang isteri. Setelah itu, dihidangkanlah kepada mereka air bekas mandi sang ratu untuk diminum sebagai pembuka jamuan. Hanya sang Perdana Menteri –yang Yahudi- yang menolak dengan kalimat terkenalnya, “Maaf, Yang Mulia, jika saya mencicipi kuahnya, saya khawatir nanti saya akan menginginkan dagingnya.”

Akhirnya Granada menyerah pada Ferdinand dari Arragon dan Isabella dari Castillia di masa pemerintahan sang putera, Sultan Abu ‘Abdillah, alias Boabdil dalam literatur Barat. Tahun 1492, di sebuah jalan kecil di Sierra Nevada, dalam perjalanan menuju tempat pengasingannya di Maroko, sang Sultan berhenti sejenak dan menatap ke belakang, ke arah al-Hambra yang gemilang diterpa cahaya mentari. Ia terisak. Tempat itu kemudian dikenal sebagai El Ultimo Sospiro del Moro, desah napas terakhir orang Moor. Mendengar isak sang putera, Ibunda Sultan menggumamkan kalimat yang dikenang para sejarawan.

“Jangan kau tangisi seperti perempuan, apa yang tak dapat kau pertahankan sebagai laki-laki,” katanya. Memang, “Betapa sukarnya terang siang berpamitan dari Granada!” timpal Federico Garcia Lorca, sastrawan latin itu.

Mari bercita tentang superstate yang Islami, meski memang tak ada negara malaikat. []

Sumber: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim karya Salim A. Fillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar