Rabu, 10 April 2013

Terhubung ke Langit


berdirimu di waktu malam, sujudmu yang dalam
mengokohkan hatimu, melebihi gunung membiru
lalu kau terima beban untuk mencintai semesta;
membagi senyum ketika kau terluka,
memberi minum ketika kau dahaga,
menghibur jiwa-jiwa ketika kau berduka



SEHARUSNYA dia beroleh istirahat di malam hari. Siang demi siang terasa panjang, melelahkan, dan menyesakkan dada. Ke sana kemari dia susuri Makkah dari ujung lain ke ujung satu, berbisik dan berseru. Dia ajak orang satu demi satu, kabilah suku demi suku, untuk mengimani risalah yang diamanahkan kepadanya.

Dia kadang terlihat di puncak Shofa, membacakan ayat-ayat yang dibalas caci maki dan hinaan menjijikkan dari pamannya sendiri. Di akadang harus pergi, meninggalkan satu kaum dengan dilempari batu dan kotoran sambil diteriaki gila, duku, penyihir, dan penyair ingusan. Dia kadang sujud di depan Ka’bah, lalu seseorang akan menuangkan setimba isi perut unta ke kepalanya, atau menjeratkan selendang ke leher di saat ruku’nya. Dia kadang harus menangis dan menggumamkan ketakberdayaan melihat sahabat-sahabatnya yang lemah dan terbudak disiksa di depan matanya. Kejam dan keji.

Dia sangat lelah. Jiwa maupun raga. Dia sangat payah. Lahir maupun batin. Tenaganya terkuras. Luar maupun dalam. Seharus-nya dia beroleh istirahat di malam hari, meski gulana tetap menghantuinya. Tetapi saat Khodijah membentangkan selimut untuknya dan dia mulai terlelap dalam hangat, sebuah panggilan langit justru memaksanya terjaga.

Hai orang yang berselimut. Bangunlah di malam hari kecuali sedikit. Separuhnya atau kurangilah yang separuh itu sedikit. Atau tambahlah atasnya. Dan bacalah al-Qur’an dengan tartil.” (Qs. al-Muzammil [73]: 1-4)

Untuk apa?

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (Qs. al-Muzammil [73]: 5)

Seberat apa?

“Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah berantakan disebabkan takut kepada Alloh.” (Qs. al-Hasyr [59]: 21)

Ini kalimat yang berat. Itu beban yang berat. Beban yang gunung-gunung tak sanggup menanggung. Beban yang dihindari oleh langit dan bumi. Dan Muhammad harus menerimanya. Dia harus menanggungnya. Maka hatinya harus lebih kokoh dari gunung. Maka jiwanya harus lebih perkasa daripada bumi. Maka dadanya harus lebih lapang daripada lautan. Karena itu dia harus bangun di waktu malam untuk menghubungkan diri dengan sumber kekuatan yang Maha Perkasa.

Maka Sang Nabi pun bangkit. Dia sholat.

“Sholat,” kata Sayyid Quthb dalam Zhilal, “Adalah hubungan langsung antara manusia yang fana dan kekuatan yang abadi. Ia adalah waktu yang telah dipilih untuk pertemuan setetes air yang terputus dengan sumber yang tak pernah kering. Ia adalah kunci perbendaharaan yang mencukupi, memuaskan, dan melimpah. Ia adalah pembebasan dari batas-batas realita bumi yang kecil menuju realita alam semesta. Ia adalah angin, embun, dan awan di siang hari bolong nan terik. Ia adalah sentuhan yang lembut pada hati yang letih dan payah.”

Maka Sang Nabi pun bangkit. Dan sholat.

Sholat itu kewajiban baginya. Sholat itu menjaganya dari kemungkaran dan kekejian. Dia ruku’. Maha Agunglah Alloh dan dia memuji Ilahi. Lalu Alloh mendengarkan orang yang memuji-Nya, dan menjawab derap-derap permohonannya yang menggelora. Dia sujud. Maha Tinggilah Alloh. Dan dia merasakan betapa dekatnya, betapa mesranya, betapa asyiknya bicara pada Robbnya dalam hening, mengadu, berkeluh, berkesah tentang segalanya. Tentang beratnya tugas, tentang lemahnya daya dan kekuatannya.

Lalu dia memohon kekuatan agar mampu mengemban amanah itu. “Ya Robbi,” lirihnya, “Kepada-Mu kuadukan lemahnya dayaku, kurangnya siasatku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Paling Penyayang di antara para penyayang, Engkaulah Robb orang-orang yang lemah. Engkaulah Robbku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari segala kegelapan dan yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tak menurunkan murka-Mu kepadaku. Tiada daya dan kekuatan kecuali dari-Mu.”

Maka Alloh menjawabnya, mencurahkan rohmat kepadanya sebagai cinta dari langit untuk ditebarkan di bumi.

“Maka disebabkan rohmat dari Alloh-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap kasar lagi berhati keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 159)

Dalam dekapan ukhuwah, kita rindu mewarisi keteguhan Sang Nabi. Dalam dekapan ukhuwah, kita rindu dicurahi rohmat-Nya hingga mampu berlemah lembut pada sesama. Dalam dekapan ukhuwah, kita berharap tak ada yang lari dari sisi karena kekasaran sikap dan kekerasan hati ini. Dalam dekapan ukhuwah, kita berambisi dipuji Alloh seperti Sang Nabi, “Sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung.”

Maka dalam dekapan ukhuwah kita pun bangkit, menegakkan sholat, dan mengundang cinta-Nya dengan segenap ketaatan yang terjangkau oleh kemampuan kita.

Orang-orang yang terhubung ke langit, adalah orang-orang yang menanggung beban untuk membawa manusia ke jalan cahaya. Mereka menjadi manusia-manusia dengan ketahanan menakjubkan menghadapi kebengalan sesama titah. Mereka menjadi orang-orang yang paling teguh hati, paling lapang dada, paling sabar, paling lembut, paling santun, paling ramah, dan paling ringan tangan. Keterhubungan dengan langit itu yang mempertahankan mereka di atas garis edar kebajikan, sebagai bukti bahwa merekalah wakil sah dari kebenaran.

Dalam dekapan ukhuwah, Alloh jadikan mereka sebagai teladan bagi kita. Kisahnya diulang-ulang untuk menguatkan hati.

Maka parade sejarah terhubungnya langit dan bumi memben-tang panjang. Mulai dari Nuh yang tak jemu-jemu menyeru kaumnya selama limaratus tahun. Dengan segala cara. Sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Bersepi maupun ramai. Pribadi ke pribadi maupun jamak. Lalu Ibrohim yang menebas keberhalaan dengan kapak kecerdasan. Ibrohim yang membungkam raja pengaku tuhan dengan hujjah tak terbantah. Ibrohim yang menginsyafkan para penyembah bintang, rembulan, dan matahari dengan bahasa lembut menghanyutkan. Lalu Musa dengan lika-liku perjalanan hidupnya. Lalu ‘Isa dengan pernak-pernik kisahnya. Lalu Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.

Salah satu mata rantai dari para pengibar bendera Tauhid di pentas sejarah itu adalah Yunus, ‘Alaihis Salaam. Dan kisahnya mengajarkan pada kita, bahwa dalam dekapan ukhuwah, Alloh begitu mencintai orang-orang yang terhubung ke langit ini, hingga tak membiarkan mereka sedikit pun terlepas dari pelajaran untuk memiliki akhlak dan perilaku mulia. Dalam dekapan ukhuwah, Alloh ingin tiap manusia yang terhubung ke langit menuntaskan tugasnya hingga paripurna karena bersamaan dengan itu disempurnakan pula didikan Robbani pada karakter pribadinya. Jika dia meninggalkannya sebelum tuntas, Alloh akan gunakan cara lain untuk mendidikkan kemuliaan padanya.

Yunus mungkin tercatat sebagai orang yang gagal. Dia meninggalkan kaumnya dengan marah, sesak hati, dan sempit dada sebelum Alloh mengizinkan. Dia pergi. Dan kita sudah hafal kisah selanjutnya; dia naik kapal, dibuang ke laut, dan ditelan ikan Nun.

Alloh ingin mendidik Yunus untuk sabar menghadapi manusia dan teguh membawa mereka ke jalan taqwa. Alloh ingin mendidik-nya agar tak mudah menyerah dan mengerahkan beberapa tingkat lagi daya upaya. Tapi Yunus dibakar perasaan. Dia tinggalkan kaumnya. Maka Alloh menyempurnakan pendidikan langit untuk-nya agar bersabar dengan sebuah musibah. Ditelan ikan. Hidup dalam kegelapan. Saat itulah dia insyaf kembali dengan do’a yang kita kenang hingga kini, “Tiada Ilah selain Engkau, Maha Suci Engkau, sungguh aku ini termasuk orang yang aniaya.”

Ketika pendidikan langit untuk bersabar dia tuntaskan, dia kembali kepada kaumnya dengan semangat menyala. Dia datang untuk menyeru mereka ke jalan cahaya dengan keteguhan yang telah dia siapkan berlipat jumlahnya. Tapi Alloh telah menyempurnakan pendidikannya, maka baginya hadiah yang membahagiakan. Saat dia kembali semua kaumnya telah beriman. Dan kini, tugasnya tinggal memimpin dan membimbing mereka beribadah pada Alloh, dalam dekapan ukhuwah.

Demikianlah. Mereka yang terhubung ke langit, terhubung dengan manusia dalam kata cinta yang berwujud da’wah. “Da’wah adalah cinta,” kata Syaikhut Tarbiyah Rahmat Abdullah. Dan dalam dekapan ukhuwah, cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang da’wah. Tentang ummat yang kau cintai.

Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar