Minggu, 11 Agustus 2013

Sebuah Kenangan Atas Cinta

Tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.

Di perang Uhud, ketika tubuhnya memerisai Rosululloh dan tujuh puluh luka berlomba menguras darahnya, Tholhah ibn ‘Ubaidillah berdoa sambil menggigit bibir. “Robbii”, begitu lirihnya, “Khudz bidaamii hadzal yauum, hattaa tardhoo. Ya Alloh, ambil darahku hari ini sekehendak-Mu hingga Engkau ridho.” Tombak, pedang, dan panah yang menyerpih tubuh dibiarkannya, dipeluknya badan sang Nabi seolah tak rela seujung bulu pun terpapas.

“Kalau ingin melihat syahid yang masih berjalan di muka bumi?”, begitu Sang Nabi bersabda, “Lihatlah pada Tholhah”. Dan Tholhah, yang jalannya terpincang, yang jarinya tak utuh, yang tubuhnya berlumur luka tersenyum malu dan menitikkan air mata. Terlihatlah di pipinya bening luh itu, mengalir di atas darah yang mengering merah.

Tetapi tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.

Satu hari ia berbincang dengan ‘Aisyah, isteri sang Nabi, yang masih terhitung sepupunya. Rosululloh datang, dan wajah beliau pias tak suka. Dengan isyarat, beliau Shollalloohu ‘Alaihi wa Sallam meminta ‘Aisyah masuk ke dalam bilik. Wajah Tholhah memerah. Ia undur diri bersama gumam dalam hati, “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Alloh, takkan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar ‘Aisyah.”

Satu saat dibisikannya maksud itu pada seorang kawan, “Ya, akan kunikahi ‘Aisyah jika Nabi telah wafat.”

Gumam hati dan ucapan Tholhah disambut wahyu. Alloh menurunkan firman-Nya kepada Sang Nabi dalam ayat kelimapuluh tiga surat Al-Ahzab, “Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti Rosululloh dan tidak boleh menikahi isteri-isterinya sesudah wafatnya selama-lamanya.”

Ketika ayat itu dibacakan padanya, Tholhah menangis. Ia lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan kesepuluh untanya untuk jalan Alloh, dan menunaikan umroh dengan berjalan kaki sebagai taubat dari ucapannya. Kelak, tetap dengan penuh cinta dinamainya putri kecil yang disayanginya dengan asma ‘Aisyah. ‘Aisyah binti Tholhah. Wanita jelita yang kelak menjadi permata zamannya dengan kecantikan, kecerdasan, dan kecemerlangannya. Persis seperti ‘Aisyah binti Abi Bakr yang pernah dicintai Tholhah.

Begitulah, tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.

Sesudah wafatnya ‘Utsman ibn ‘Affan di tangan para pemberontak, fitnah besar itu terjadilah. Tholhah bersama Zubair ibn Al-‘Awwam dan ‘Aisyah memerangi ‘Ali ibn Abi Tholib untuk menuntut bela kematian ‘Utsman, meminta ditegakkannya keadilan atas para pembunuh ‘Utsman yang sebagiannya kini menjadi penyokong utama kekholifahan ‘Ali ibn Abi Tholib. Keadaan sangat tidak mudah bagi ‘Ali. Pilihan-pilihannya terbatas. Tholhah tahu itu. Tapi dia sendiri juga kesulitan bersikap lain di tengah kedua kubu.

Satu hari, dalam perang yang dikenal sebagai Waq’ah Jamal itu, ‘Ali mengirim utusan, memohon agar bisa berjumpa dengan kedua sahabat yang dicintainya; Tholhah dan Az-Zubair. Mereka berdua datang. Mereka bertiga berpelukan. Tak terasa air mata meleleh. Kenangan-kenangan ketika ketiganya bersipadu di sisi Rosululloh berkelebatan dengan indah. Namun kini terasa menyesakkan. Menyakitkan. Dulu pedang mereka seayun, langkah mereka sebaris, tangannya bergandengan. Kini mereka harus berhadapan saling menghunus pedang, dengan mata saling menatap tajam, tapi hati tersembilu.

Dan seolah tak ada jalan selain itu.

Sesudah menyeka air mata, ‘Ali menggenggam jemari Tholhah dan menatap dalam ke wajahnya. Dengan menghela nafas, ‘Ali mencoba menyusun kata. “Ingatkah engkau hai Tholhah, mengapa Alloh turunkan ayat tentang hijab bagi isteri Nabi dan mengapa Dia melarang kita untuk menikahi janda beliau?”

Tholhah terisak. Dadanya bergemuruh oleh malu dan sesal. Bahu kekarnya bergeletar.

‘Ali menepuk bahu Tholhah. “Ya”, katanya sambil mengalihkan pandangan, tak sanggup melihat tercabiknya batin Tholhah oleh kata-katanya. Tapi demi perdamaian dan persatuan kembali kaum Muslimin, ‘Ali mau tak mau harus mengatakan ini. Ia menguatkan hati. “Ayat itu turun karena maksud hati dan ucapanmu untuk menikahi ‘Aisyah.”

‘Ali meraba reaksi Tholhah. Lalu ia melanjutkan sambil menatap tajam pada sahabatnya itu. “Dan kini sesudah beliau Shollalloohu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar wafat, mengapa engkau justru membawa ‘Aisyah keluar dari hijabnya dan mengajaknya mengendarai unta dan berperang di sisimu?”

Tholhah menubruk ‘Ali, memeluk dan menangis di bahunya. Hari itu mereka sepakat berdamai dan menyudahi perang saudara. Dan di hari itu pula, sepulang dari kemah ‘Ali, Tholhah, bersama Az-Zubair sahabatnya dibunuh oleh orang-orang yang tak menghendaki perdamaian. Dan ‘Ali ibn Abi Tholib dengan duka yang begitu dalam, sore itu, menggali kubur untuk kedua cintanya.

Seusai pemakaman, ‘Ali menimang putra Tholhah yang masih kecil. Kepada bocah itu dia berbisik. “Nak,’ kata ‘Ali, “Aku sungguh berharap, aku dan ayahmu termasuk orang-orang yang difirmankan oleh Alloh di Surat Al Hijr ayat keempatpuluh tujuh; “Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadapan di atas dipan-dipan.”

Sepenuh cinta,

Salim A. Fillah

http://salimafillah.com/sebuah-kenangan-atas-cinta/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar