Jumat, 26 April 2013

Push-Up

Samapta. Seringkali kita memperhatikan gerakan push-up yang kurang tepat dan terkesan lucu.
Arahan ini semoga memberikan manfaat.

Posisi (laki-laki):


1. Telungkup pada kontur datar dengan kaki lurus ke belakang dengan bertumpu pada ujung kaki dan tangan menapak di samping bahu.
> note: Perhatikan kelurusan tubuh dari dada hingga kaki.


2. Angkat tubuh dengan cara mendorongkan tangan hingga kedua tangan lurus.
> note: Tetap mempertahankan kelurusan tubuh dari dada hingga kaki pada setiap gerakan! Bukan bahu dulu disusul pantat. Atau sebaliknya, pantat dulu baru bahu.


3. Turun lagi dengan tetap mempertahankan kelurusan tubuh.


4. Itu baru 1 hitungan (dari posisi bawah, ke atas dan ke bawah lagi).

Posisi (wanita):


Mirip dengan laki-laki. perbedaannya pada tumpuan di kaki, yakni menggunakan kedua lutut untuk tumpuannya (bukan ujung kaki).
> note: tetap memperhatikan kelurusan tubuh dari dada hingga lutut pada setiap gerakan.

Tips:


1. Untuk tiap repetisi (sekali turun aksi), silakan dilakukan semampunya (dengan gerakan yang benar, tentunya).


2. Buatlah rutinitas push-up tersebut dalam sehari (contoh: 1 repetisi pagi dan 1 repetisi sore hari).


3. Jika sekali repetisi hanya mampu 5 kali naik dengan gerakan yang benar, upayakan untuk tiap repetisi, jangan kurang dari 5. Pertahankan jumlah tersebut. Contoh: pagi 5 kali naik, sore juga 5 kali naik). Lakukan itu hingga tubuh kita benar-benar mulai terlatih.


4. Jika tubuh mulai terlatih, tekadkan untuk menambah jumlah naiknya. Misal: tiap repetisi di tambah 2 kali naik, sehingga jadi 7 kali naik tiap repetisi. Berlakukan tekad itu untuk rutinitas (pagi dan sore).


5. Ingat: harus konsisten! Pertahankan jumlah tersebut jangan sampai berkurang untuk tiap repetisi. Lakukan hingga tubuh mulai terlatih dengan jumlah itu.

Sekedar info:
Saya pribadi bertekad menambah jumlah kelipatan 5 jika saya sudah mulai terlatih dengan jumlah tertinggi yang saya dapat.
Saat ini, sekali repetisi saya mampu melakukan 75 kali!
Bagaimana dengan Anda?

Senin, 22 April 2013

Paulus dan ‘Abdulloh ibn Sabaa


ALKISAH, seorang Yahudi begitu bersedih. Dari ketiga putranya, yang bungsu pindah agama menjadi seorang Kristen. Dia termenung di sinagog besar mengadu pada YHWH, Tuhannya. “Tuhan, mengapa Kau biarkan salah satu anakku memasuki jalan sesat dengan menjadi seorang Kristen.” Pengaduannya terputus, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara entah dari mana. “Mendingan juga kamu, anak masih dua yang beriman. Lha Aku, anak-Ku satu-satunya saja masuk Kristen dan jadi Tuhan di sana. Celaka beybeh.”

Yang begini-begini, sumbernya ya Gus Dur.

The first Christian. Begitulah Karen Armstrong menyebut Paulus. Lalu Yesus? Jelas, Yesus seorang Yahudi. Ia lahir sebagai Yahudi, hidup sebagai Yahudi, dan -menurut Armstrong- mati sebagai Yahudi. Menganalisis setiap kalimat yang keluar dari Yesus -sementara begitu saja saya menyebutnya-, dan membandingkannya dengan apa yang ‘dikredokan’ oleh Paulus sebagai pondasi besar kekristenan membuat kita terperangah. Selalu bertolak belakang!

Lukas 16:17 mencatat kata-kata Yesus, “Lebih mudah langit dan bumi lenyap daripada satu titik dari hukum Taurot batal,” Matius 5:17-18 juga mencatat, “Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurot atau kitab para Nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapkannya. Karena aku berkata kepadamu, “Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurot, sebelum semuanya terjadi.” Sementara Yohannes 7:49 mencatat, “Tetapi orang banyak ini yang tidak mengenal hukum Taurot, terkutuklah mereka!”

Itu Yesus. Apa kata Paulus? Beda lagi. Dalam I Korintus 15:56, Paulus mengatakan, “Sengat maut adalah dosa. Dan kuasa dosa adalah hukum Taurot.” Dalam Roma 4:15, ia berpandangan, “Karena hukum Taurot membangkitkan murka, tetapi di mana tidak ada hukum Taurot, di situ tidak ada juga pelanggaran.”

Setelah beropini bahwa hukum Taurot itu menyusahkan, Paulus berkata dalam Roma 7:6, “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurot, sebab kita telah mati bagi dia yang mengurung kita, yang sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurot.” Sebelumnya, dalam Roma 6:14, Paulus mengatakan, “Sebab kamu tidak akan lagi dikuasai oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurot, tetapi di bawah kasih karunia.” Puncaknya, sambil menanamkan doktrin ketuhanan Yesus, Paulus berkata dalam Efesus 2:15, “Sebab dengan mati-Nya sebagai manusia, Ia telah membatalkan hukum Taurot dengan segala segi dan ketentuannya.”

Beberapa contoh kecil ini cukup membuat orang berkesimpulan, jika Yesus adalah Kristus, maka Paulus adalah Anti-Kristus. Bagaimana bisa Paulus, seorang Yahudi dari Tarsus yang sebelumnya dikenal sebagai penganiaya murid-murid Yesus itu bisa memutar balik semua dasar kekristenan?

Karen Armstrong mencatat setelah penelusurannya bertahun-tahun terhadap sejarah awal kekristenan, “Saya kini mengetahui bahwa surat-surat rosul Paulus merupakan dokumen Kristen paling awal yang masih ada dan bahwa Injil, yang semuanya ditulis bertahun-tahun setelah kematian Paulus sendiri, ditulis oleh orang-orang yang telah mengadopsi versi Kristennya Paulus. Bukannya Paulus menyimpangkan Injil, tetapi -lebih dari itu-, Injil-lah yang justru memperoleh visinya dari Paulus.” (Karen Armstrong; The Spiral Staircase, My Climb Out of Darkness, hal 428)

Maka kecelakaan yang besarlah bagl orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Alloh”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. (Qs. al-Baqoroh[2]: 79)

Awalnya, inilah agama yang ditindas di seantero Imperium Romanum. Hingga, Konstantin, Kaisar cerdik itu membutuhkan stabilitas di negerinya yang mau tak mau harus dimulai dari perangkulan terhadap komunitas Kristen yang makin membesar. Atas prakarsanya, Konsili Nicea di tahun 327 M memvoting dasar-dasar kekristenan tentang ketuhanan Yesus, dosa waris, dan penebusan dosa. Semuanya hanyalah paganisasi sebagaimana dikehendaki oleh Konstantin. David Fiedler memberi sampul bukunya Ancient Cosmology and Early Christian Symbolism dengan tulisan plesetan dominan “Jesus Christ, Sun of God.” Ya, karena semua yang diatributkan pada Yesus, -dari tanggal lahir, tempat lahir, hingga hari ibadah Sunday-, adalah atribut Sol Invictus, dewa matahari yang dipuja Konstantin.

Maka, walk out-lah Arius, Imam Alexandria dan pengikutnya yang tetap bersikukuh meyakini kenabian Yesus. Tragis, ia dibantai rezim Konstantin yang kemudian mengambil hasil konsili Nicea sebagai agama negara. Maka ketika Rosululloh Muhammad menulis surat untuk Heraclius, kaisar Romawi di masanya, beliau tak lupa untuk menuliskan kalimat, “Masuklah Islam, niscaya Alloh akan melimpahkan kebaikan kepada tuan dua kali lipat. Namun jika tuan berpaling, maka tuan akan menanggung dosa atas Arisiyin.” Arisiyin berarti para pengikut Arius yang dibantai.

Inilah sebuah agama yang dihasilkan dari konspirasi. Umberto Eco dalam Il Namo della Rossa menyindirnya sebagai ‘derma Konstantin’. Sementara dalam The Da Vinci Code, Dan Brown menyebutnya ‘kelicikan Konstantin, Sang Kaisar Pagan’.

Unik juga. Modus operandi yang sama, dicobakan seorang Yahudi lain kepada agama Islam yang dibawa Muhammad Shollalloohu ‘Alaihi wa Sallam. Namanya ‘Abdullah ibn Sabaa. Tetapi ia tak sesukses Paulus. Ia hanya berhasil membangun sebuah sistem kepercayaan yang di kemudian hari disebut sebagai Syi’ah. Jika objek Paulus adalah diri Yesus, maka ‘Abdulloh ibn Sabaa menggunakan ‘Ali ibn Abi Tholib.

Al-Qodhi Abu Ya’la ketika menjelaskan fitnah besar yang melanda kaum Muslimin di masa khilafah ‘Ali ibn Abi Tholib menyebut dengan jelas peran ‘Abdulloh ibn Sabaa. Satu kisahnya yang terkenal, ketika ‘Ali dan pasukannya memasuki ‘Iraq pasca tahkim (arbitrase), ‘Abdulloh menghasut sekelompok orang untuk bersujud pada ‘Ali, yang disebutnya sebagai ‘Pemegang washiat Nabi, orang yang dipilih untuk menggantikan beliau, imam junjungan kaum beriman, manifestasi Alloh di muka bumi’.

Ketika mendapati orang-orang itu sujud, ‘Ali sangat marah dan memerintahkan untuk membakar mereka. Maka ‘Abdulloh ibn Sabaa kembali beraksi, “Aku telah mendengar hadits dari Nabi Shollalloohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, ‘Tidak akan menyiksa dengan api kecuali Alloh.’ Adakah kita kenal ‘Ali selain sebagai sosok ini?”

Inilah dasar bagi salah satu sekte paling ekstrim dalam Syi’ah; Kaisaniyah yang sampai menempatkan kedudukan ‘Ali sebagai manifestasi Alloh. Guntur adalah geramnya, dan halilintar adalah cambuk ‘Ali yang murka pada para durjana. Tentu saja kerahasiaan keyakinan yang terlindungi oleh taqiyyah menyebabkan munculnya berbagai aliran Syi’ah yang sangat banyak dari yang paling moderat hingga paling ekstrim. Tapi pilar ajaran mereka tiga: ‘ishmah, ruj’ah, dan taqiyyah. Masing-masing bermakna bahwa para Imam itu bersih dari dosa, kembalinya imam yang menghilang, dan kebolehan menyembunyikan keyakinan jika merasa terancam.

Leopold Weiss, Yahudi Polandia yang mengganti namanya menjadi Muhammad Assad setelah meraih hidayah mengisahkan perjalanannya di Iran dalam The Road to Mecca. Alangkah kontrasnya kegembiraan dan keriangan khas suku-suku Arab gurun yang ditemuinya di Hijjaz dan Najd dengan kemurungan dan kesayuan yang menjadi lekatan di wajah orang-orang Iran. Secara fisik mereka gagah, tapi tidak tegap. Kesedihan yang parah. Seolah mendung selalu bergayut di raut muka itu. Ada apa ini? Adakah hubungannya dengan perayaan ratap duka yang senantiasa mereka lakukan di tanggal 10 Muharrom untuk mengenang syahidnya Husain di Karbala?

Ya. Tepatnya bukan hubungan sebab akibat, tapi sama-sama akibat. Akibat dari sebuah shock budaya dan shock peradaban. Sebuah frustrasi atas kekalahan peradaban mereka yang begitu agung dalam memori, peradaban Imperium Persia Sassaniyah. Ketika angkatan perang Kholifah ‘Umar dipimpin Sa’d ibn Abi Waqqosh menaklukkan kekaisaran ini dan sekaligus membawakan Islam, kultus Zoroaster telah memasuki palung kebekuan, sehingga ia tak mampu melakukan perlawanan terhadap ide dinamis baru dari jazirah Arab. Peremajaan sosial dan intelektual yang sedang berkecambah di titik balik itu tiba-tiba larut oleh serbuan kekuatan baru yang sungguh-sungguh berbeda.

Islam hadir menghancurkan sistem kasta bangsa Iran kuno dan menghadirkan satu sistem sosial yang egaliter dan bebas. Islam membuka celah baru bagi berkembangnya energi-energi kebudayaan yang sejak lama menggelegak diam tak tentu bentuknya. Tetapi kultus keagungan keturunan Darius dan Xerxes yang tak serta merta terpinggir, seolah diputus, dipenggal antara hari kemarin dan esok. Hari ini, oleh Islam. Suatu bangsa yang memiliki watak begitu halus, telah mendapatkan ekspresinya dalam dualisme asing agama Zand dan pemujaan pantheistis terhadap keempat unsur -udara, air, api, dan tanah-, kini dihadapkan pada kesederhanaan Islam dengan monotheisme tak kenal kompromi. Peralihan itu, kata Leopold Weiss, terlalu tajam dan perih.

Lebih dari itu, ada perasaan terpendam mendalam ketika mereka mengidentikkan kemenangan cita Islam sebagai kekalahan peradaban mereka. Perasaan sebagai bangsa yang dikalahkan dan kehancuran tak kenal ampun terhadap wadah warisan peradaban mereka memperparah keberantakan mereka, sehingga Islam, yang bagi bangsa-bangsa lain adalah pembebasan dan rangsang kemajuan, menjadi sebuah kerinduan supernatural dan simbolik yang samar.

Syi’ah, yang digarap ‘Abdulloh ibn Sabaa menawarkan sesuatu yang lebih dekat dengan masa lalu jiwa-jiwa kalah ini. Doktrin mistik, manifestasi Tuhan dalam jasad-jasad terpilih yang agung, kesemuanya disambut sebagai jalan tengah untuk Islam yang lebih ‘ramah’ terhadap kejiwaan dan kemasyarakatan mereka. Syi’ah, yang hampir menyerupai pendewaan terhadap ‘Ali dan keturunannya itu, menyembunyikan cita benih inkarnasi dan penjelmaan kembali terus menerus. Suatu cita yang sangat asing bagi Islam, tetapi sangat akrab bagi kalbu bangsa Iran. Syi’ah menawarkan ratap duka atas Husain sebagai cermin kepedihan atas kekalahan jiwa yang telah terjadi saat ‘Umar menaklukkan peradaban lama mereka. Begitu seterusnya.

Oh, kini mudah menjawab, mengapa meski Syi’ah membenci Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman sebagai perampas hak ‘Ali, kebencian itu dibidikkan lebih ganas kepada ‘Umar. Mengapa bukan Abu Bakr si ‘perampas’ pertama? Karena, ‘Umarlah yang meleburkan kebanggaan psikologis bangsa Iran itu, sesuatu yang diterakan dalam jiwa sebagai kenangan pahit; Imperium Sassaniyah. Dan ‘Umar pun syahid di mihrob, di tangan seorang budak Iran bernama Firouz.[]


Sumber: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Jumat, 19 April 2013

Barokah


Terlabuhkan sudah… lelah ini
Tersandarkan sudah… rindu hati
Terima kasih, Yaa Robbiy… atas pernikahan ini
Belahan jiwa lelah ku nanti… telah kujumpai…
(SeismicTerlabuhkan)


BAYANGKANLAH hari itu. Saat kita berdiri dengan pakaian terindah, haruman mewangi, dan riasan sederhana yang anggun. Di belakang kita, mahligai berukir menaungi kursi berwarna menyala. Tatapan mata hadirin disejukkan wewarna bunga, yang dirangkai dalam tatanan menawan. Satu per satu, dilantuni nasyid Seismic yang romantis dan kilatan blitz kamera, tetamu datang menyalami. Mereka tersenyum, mengadu pipi, dan membisikkan doa. Kira-kira seperti apa doa mereka?

Ada kegundahan besar dalam diri ‘Uqoil ibn Abu Tholib, sang pengantin, ketika mendengar kawan-kawannya berdoa, “Bir rofaa’i wal baniin; semoga bahagia dan banyak anak!” Mudah-mudahan sama dengan kegundahan kita, ketika mendengar doa, “Selamat menempuh hidup baru, semoga kekal dunia akhirat!” Atau doa, “Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rohmah.” Lho apa yang salah? Doa-doa ini semuanya berisi harapan kebaikan. Apa yang salah?

Dari kisah ‘Uqoil ibn Abu Tholib inilah, Ustadz Mohammad Fauzil ‘ Adhim mengawali bukunya yang begitu banyak mendatangkan kebaikan pada kita, Kupinang Engkau dengan Hamdalah. Dari kisah tentang beliau jugalah, saya ingin mulai berbincang dengan Anda tentang barokah. Ya, tentang barokah. Karena kegundahan ‘Uqoil ibn Abu Tholib berujung sebuah sunnah yang sangat indah. Sebuah pelajaran, sebuah doa. Sebuah tuntunan tentang bagaimana selaiknya kita mendoakan orang yang menikah. Berkait dengan pembicaraan kita tentang barokah, insya Alloh ini akan menjadi pelajaran yang sangat berharga.

“Janganlah kalian katakan demikian, karena sesungguhnya Rosululloh telah melarangnya,” kata ‘Uqoil. Lalu bagaimana? Apa yang harus diucapkan? “Ucapkanlah”, sambung ‘Uqoil, “Baarookalloohu laka, wa baaroka ‘alaika, wa jama’a bainakuma fii khoiir; semoga Alloh karuniakan barokah kepadamu, dan semoga Ia limpahkan barokah atasmu, dan semoga Ia himpun kalian berdua dalam kebaikan.”

Ada kata-kata yang sengaja saya ketik italic. Terkadang, kita susah menghargai pentingnya arti sebuah preposisi. Nah, di sinilah tempat kita belajar. Sesungguhnya bentuk gabungan preposisi+nomina la+ka (kepada+mu) memiliki arti siratan yang sangat berbeda dengan ‘alai+ka (atas+mu). Yang pertama memberi siratan bahwa barokah kita harapkan ada pada hal-hal yang kita sukai, sedangkan yang kedua member pengertian bahwa barokah itu juga kita doakan senantiasa ada dalam hal yang tidak kita sukai. Yang satu bersumsumkan hal-hal yang ‘baik’, dan yang lain membawakan makna hal yang ‘buruk’. Mohon perhatikan bahwa kata ‘baik’ dan ‘buruk’ berada di antara dua tanda petik!

Lho, beda toh? Masak ‘kepada’ dan ‘atas’ saja bedanya jauh banget? Iya. Gampangnya, coba lihat apa bedanya kata-kata la+haa maa kasabat dengan ‘alai+haa maktasabat di akhir surat al-Baqoroh, yakni ayat ke-186. Lihat di terjemahan. Jauh kan? Yang satu menunjuk pada amal kebaikan, yang lain pada amal kenistaan. Tetapi, bukan di sini membahas hal itu lebih lanjut. Sedikit-sedikit, silakan alokasikan diri untuk belajar bahasa Arab, ya?!

Kita kembali pada doa kita dan pembahasan tentang barokah. Secara garis besar, hidup ini isinya ya hanya dua yang tadi kita sebut: yang kita sukai dan yang tidak. Dan pasti, dua-duanya ada. Dua-duanya ada. Kadang seiring, ada kala bergantian, dan berselang-seling. Dalam pernikahan pun demikian. Ada saat, ada waktu, ada kala, ada kondisi, ada hal, ada keadaan, semuanya bisa dalam konteks disukai dan tidak. Tetapi dalam hal apapun itu, disukai atau dibenci, menyenangkan maupun memprihatinkan, melahirkan tawa ataupun tangis, membuat gelak maupun isak, kita senantiasa berharap ada barokah. Kita berdoa, baarokalloohu laka wa baaroka ‘alaika, dan kita tutup dengan “Semoga Alloh himpun kalian berdua dalam kebaikan.”

Sejatinya, apa itu barokah? Sepertinya ia begitu penting, begitu menyita prioritas. Gambarannya, -saya masih mengutip Ustadz Mohammad Fauzil ‘Adhim-, kalau Anda menyuruh saya sholat khusyu’, itu berarti Anda menyuruh saya menyempurnakan thoharah, menjaminkan segala kesucian, membuat suasana ibadah yang kondusif; jika masih lapar, makanlah dulu. Jika ada hajat yang ditahan, tunaikanlah dulu ke WC. Anda juga sekaligus telah mengarahkan saya untuk memahami apa yang saya baca dalam sholat, menyuruh saya untuk mengerti dan mengamalkan apa itu ihsaan. Banyak sekali yang terrangkum dari kata-kata ‘sholat khusyu’.

Seperti itu pula barokah. Seolah ia merangkum aneka harapan, yang sejatinya berujung kebaikan. Bahagia, banyak anak, hidup yang baru, kekal dunia akhirat, sakinah, mawaddah, wa rohmah. Itu semua harapan. Tentang bahagia dan banyak anak misalnya, memilih calon pasangan pun kita diperintahkan untuk memilih yang penyayang lagi subur, karena Rosululloh akan berbangga dengan banyaknya jumlah ummatnya di hadapan ummat-ummat lain pada hari kiamat. Tetapi, ada yang bahagia hanya di dunia saja. Ada yang banyaknya anak justru menjadi fitnah. Ada yang kehidupannya yang baru bukan semakin dekat, tetapi semakin jauh dari Alloh. Ada yang kekal berpasangan dunia akhirat, tetapi abadi menggelegak di jahannam, seperti Abu Lahab dan isterinya. Na’udzu billaahi min dzaalik

Jadi, apa yang menjadi perangkum, pengikat semua kebaikan dan kebahagiaan itu, agar benar-benar menjadi kemuliaan? Apa yang membuat banyak anak dan kehidupan baru menjadi bermakna? Apa yang membuat sakinahmawaddah, dan rohmah jauh lebih bernilai dari sekedarnya saja?

Barokah. Ya, barokah. Dan kita semakin bertanya-tanya, apa itu barokah. Secara sederhana, barokah adalah bertambahnya kebaikan dalam setiap kejadian yang kita alami waktu demi waktu. Ketika Alloh mencintai hamba-Nya, maka ia berkenan membuat hati sang hamba begitu peka. Saat ditenggelamkan dalam lautan nikmat, sang hamba peka untuk segera mengenakan alat selamnya. Ia peka. Hatinya berbunga melihat indahnya berbagai rerupa, namun tak pernah melalaikan satu kata. Syukur. Lain sisi, Alloh juga mengasah agar sang hamba peka, di saat gelombang musibah bertubi-tubi menghantam dan badai melantakkan apa yang dia punya, dia tak melupakan satu kata. Sabar. Ia menapaki jalan-jalan Sulaiman, sekaligus juga menyusuri pematang-pematang Ayyub, ‘alaihimassalaam.

Barokah, dalam bahasa Aa’ Gym adalah kepekaan untuk bersikap benar menghadapi masalah. Barokah, dalam kekata Ibnul Qoyyim adalah, semakin dekatnya kita pada Robb, semakin akrabnya kita dengan Alloh. Barokah, dalam umpama ‘Umar ibn al-Khoththob adalah dua kendaraan yang ia tak peduli harus menunggang yang mana: shobr dan syukr. Barokah, dalam pujian Sang Nabi adalah keajaiban. Keajaiban yang menakjubkan!

“Menakjubkan sungguh urusan orang beriman. Segala perkaranya adalah kebaikan. Dan itu tidak terjadi kecuali pada orang yang beriman. Jika mendapat nikmat, ia bersyukur, dan syukur itu baik baginya. Jika ditimpa musibah dia bersabar, dan sabar itu baik baginya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Barokah adalah keajaiban. Keajaiban yang hanya terjadi pada orang beriman. Jadi, yang dicinta di sisi Alloh tak selalu mereka yang senantiasa tertawa dan gembira, tersenyum dan terbahak semata karena nikmat, kemudahan hidup, kekayaan, dan kelimpahan. Sebagaimana bukan berarti dibenci Alloh jika senantiasa merasakan kesempitan. kelemahan, kekurangan, dan kefaqiran. Di dalam sebuah pernikahan. barokah menjawab, barokah menjelaskan, menenangkan, dan menyemangati. Bahwa apapun kondisinya, kemuliaan di sisi Alloh bias diraih. Apapun keadaannya, pernikahan adalah keindahan dan keagungan, kenikmatan dan kemuliaan, kehangatan dan ketinggian. Jika dan hanya jika kita senantiasa membawanya kepada makna barokah.

Saya sering dinasehati, diberi masukan, dan dikritik, Alhamdulillah. Salah satunya, agar saya tak hanya menulis indahnya pernikahan. nikmatnya punya isteri, dan segala seputar nikmat dan indahnya kehidupan rumahtangga. Bias jadinya, kata beliau-beliau. Orang jadi membayangkan bahwa pernikahan itu isinya yang enak-enak saja. Padahal, masih kata beliau-beliau, ada banyak masalah, ada berjuta problem, dan ada selaksa kesulitan yang menghadang, merintangi, dan menelikung hidup berumahtangga. Saya ingin menjawab, tapi lisan ini tak mampu rasanya. Mungkin tulisan ini akan menjadi sekelumit jawab.

Tetapi, dengan pengalaman saya yang masih sedikit bersama isteri, -terimakasih, Sayang- saya mencatat satu hal. Bahwa di saat apapun barokah itu membawakan kebahagiaan. Sebuah letup kegembiraan di hati, kelapangan di dada, kejernihan di akal, dan rasa nikmat di jasad. Barokah itu memberi suasana lain dan mencurahkan keceriaan musim semi, apapun masalah yang sedang membadai rumahtangga kita. Barokah itu membawakan senyum meski air mata menitik-nitik. Barokah itu menyergapkan rindu di tengah kejengkelan. Barokah itu menyediakan rengkuhan dan belaian lembut di saat dada kita sesak oleh masalah.

Barokah, mengubah kalimat “Ini salahmu!,” menjadi “Maafkan aku, Cinta.” Ia mengganti diksi, dari “Kok bisa-bisanya sih kamu?,” rnenjadi “Aku mengerti, Sayang. Sabar, ya?!” Barokah juga melafazhkan, “Kamu ke mana saja sih?” agar terdengar, “Aku di sini, menantimu dalam rindu yang menyesak.” Dan ia membahasakan “Aku tuh sebenarnya ingin, kamu…,” agar berbunyi, “Cinta, makasih, ya?! Kau membuatku…”

Subhanallooh, indah sekali, bahasa barokah. Logatnya logat cinta.

Sesudah menikah, semoga barokah hidup kita semakin bertambah. Barokah mengasah rasa, menempa jiwa, memberikan sebuah dunia yang kadang tak tertembus penglihatan manusia biasa. Suatu hari mungkin kita menyaksikan seorang lelaki, ikut antri di warung pecel lele di daerah Monjali (Monumen Jogja Kembali). Mendung bergantung sore itu, dan warna hitam yang menyeruak di barat mulai bergerak mendekat. Dia, berkaos putih yang leherannya mulai geripis, di kepalanya ada peci putih kecil, dan celananya beberapa senti di atas mata kaki. Sandal jepit swallow yang talinya hampir putus nyangkut di antara jempol dan jari kakinya. Seperti yang lain, ia juga memesan, “Pecel Lele, Mas!”

“Berapa?,” tanya Mas penjual yang asyik menguleg sambal terasi sambil sesekali meraih sothil besar untuk membalik gorengan lele di wajan raksasa. Gemuruh bunyi kompor mengharuskan orang bicara sedikit lebih keras.

“Satu. Dibungkus.” Perlahan tangannya merogoh saku celana, lalu duduk sembari menghitung uangnya. Malu-malu, tangannya dijorokkan sedikit ke bawah meja. Uang pecahan ratusan yang sudah disatukan dengan selotip bening per sepuluh keping, pas jumlahnya sesuai harga.

“Nggak makan sini aja, Mas? Takut keburu hujan, ya?”

“Hi hi, buat isteri.”

“Oo…”

Selesai pesanannya dibungkus, bersamaan dengan bunyi keritik yang mulai menggambar titik-titik basah di tenda terpal milik Mas Pecel Lele. Agak berlari ia keluar, tetapi melebatnya sang hujan jauh lebih cepat dari tapak-tapak kecilnya. Khawatir pecel lele untuk isteri tercinta yang hanya dibungkus kertas akan berkuah, ia selipkan masuk ke perutnya. Bungkusan itu ia rengkuh erat dengan tangan kanan, tersembunyi di balik kaos putih yang mulai transparan disapu air. Tangan kirinya ke atas, mencoba melindungi kepalanya dari terpaan ganas hujan yang tercurah memukul-mukul. Saat itu ia sadar, ia ambil pecinya. Ia pakai juga untuk melapisi bungkusan pecel lele. Huff, lumayan aman sekarang. Tetapi 3 kilometer bukanlah jarak yang dekat untuk berjalan di tengah hujan, bukan?

Apa perasaan Anda melihat lelaki ini? Kasihan. Iba. Miris. Sedih.

Itu kan Anda! Coba tanyakan pada lelaki itu, kalau Anda bertemu. Oh, sungguh berbeda. Betapa berbunga hatinya. Dadanya dipenuhi heroisme sebagai suami baru yang penuh perjuangan untuk membelikan penyambung hayat isteri tercinta. Jiwanya dipenuhi getaran kebanggaan. keharuan, dan kegembiraan. Kebahagiaan seolah tak terbatas, menyelam begitu dalam di kebeningan matanya. Ia membayangkan senyum yang menantinya, bagai bayangan surga yang terus terhidupkan di rumah petak kontrakannya. Di tengah cipratan air dari mobil dan bus kota yang bersicepat, juga sandalnya yang putus lalu hilang ditelan lumpur becek, ia akan tersenyum. Senyum termanis yang disaksikan jagad. Seingatnya, ia belum pernah tersenyum semanis itu saat masih membujang. Subhaanallooh. Inilah kisah nyata ustadz Mohammad Fauzil ‘Adhim.

Begitulah. Karena ada konsep yang dinamakan barokah, kita tidak diperkenankan mengukur badan orang dengan baju kita sendiri. Pada pemandangan yang tak tertembus oleh penilaian subjektif kita itu, daripada berkomentar -yang sifatnya ‘iri tanda tak mampu’-, akan jauh lebih baik kita memuji Alloh atas kebesaran-Nya. Mudah-mudahan, Alloh meluaskan barokah itu hingga kita pun merasainya. Seperti yang dilakukan seorang Ustadz dari Timur Tengah yang datang ke negeri kita untuk memberikan taujih, pengarahan pada para kader da’wah. Apa sih yang dilihatnya? Baik. Sekali lagi, kita uji sikap dan penilaian kita ketika melihat sesuatu. Kita uji saat melihat pemandangan ini bersama beliau.

Seorang bapak hadir pada acara taujih itu bersama keluarganya; seorang isteri dan 4 orang putera. Saat pulang, si ibu menggendong si bungsu dan menggandeng si sulung. Dua putera yang lain ceria membanting putar jemari ayahnya dalam gandengan mesra. Di sudut tempat parkir sebuah sepeda motor Astrea 800 setia menanti. Maka, keenam makhluq itu melintas di hadapan sang ustadz Timur Tengah di atas motor Astrea 800 yang menderu mengejan sambil mengucap salam. Dua orang anak bergelantung bersebelahan di depan sang Abi yang mengemudi. Si sulung erat mendekap pinggang Abi-nya dari belakang tanpa banyak ekspresi kecuali matanya yang mengedip genit dan senyum yang ia tebar pada teman-temannya sepanjang jalan. Ia tak berani banyak gerak, karena Ummi-nya duduk berbagi tempat di belakangnya sembari mendekap si bungsu yang nyenyak dalam gendongan. Tentu ia khawatir si adik bangun dan menangis.

“’Ajiib… ‘ajiib… Indunisiya ‘ajiib… Allohu Akbar!,” seru sang Ustadz memekik melihat pemandangan ini. Menakjubakan… menakjubkan… Indonesia menakjubkan! Allohu Akbar!

Anda pernah melihat juga? He he… Bagaimana perasaan Anda? Takjub saja seperti Ustadz kita tadi? Atau kita masih rnengukur dengan skala-skala kita hingga yang lahir adalah kasihan, iba, memelas, dan prihatin? Atau kita belum pernah lihat? Jika belum pernah melihat, datanglah sekali-sekali pada acara yang dilaksanakan oleh sebuah partai tertentu. Kabarnya, pada pemilu 2004 kemarin partai ini merubah nama menjadi partai tertentu sejahtera.

Lagi-lagi soal barokah. Pada tataran apapun, barokah menghadirkan dunia yang tak tertembus oleh mata kasat kita. Barokah telah menghapus ukuran-ukuran dan standar-standar yang kita pakai untuk mendefinisikan apa itu ‘bahagia’. Barokah bekerja mewujudkan rasa agung itu pada semua tataran, dari urusan besar hingga yang kecil-kecil.

Telah begitu panjang pembicaraan kita tentang barokah, ‘afwan. Maafkan saya. Tentu yang lebih berharga saat ini adalah, bagaimana kita meraih barokah itu. Bagaimana agar dalam kondisi apapun, kapanpun, di manapun, nafas-nafas kita adalah hembusan keberkahan, detik-detik kita dihitung sebagai kebaikan, sebagai pahala. Bagaimana? Di mana kita harus mencari barokah itu?

Dalam hening malam ini, mari kita buka mushhaf al-Qur’an kita. Coba langsung kita tuju surat yang ketujuh, Surat al-A’roof ayat ke sembilanpuluh enam.

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan bukakan atas mereka pintu-pintu barokah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. al-A’roof [7]: 96)

Shadaqollooh. Kunci barokah itu ada pada keimanan dan ketaqwaan. Keimanan yang meyakinkan kita untuk terus beramal sholih menurut apa yang telah dituntunkan Alloh dalam tiap aspek hidup, semuanya. Dan ketaqwaan, yang mengisi hari-hari kita dengan penjagaan, kepekaan, dan rasa malu bahwa kita senantiasa dalam pengawasan Alloh. Dan jika hidup ini terasa menyiksa, langit dan bumi terasa sempit, dada kita sesak, kita merasa semakin jauh dari Alloh. Mari, saya mengajak diri saya dan Anda untuk berkaca. Barangkali ada nikmat Alloh yang kita kufuri. Barangkali ada karunia yang kita dustakan. Atau mungkin ada ayat-ayat-Nya yang kita permainkan. AstaghfirulloohAstaghfirulloohal ‘adhiim.

Wahai jiwaku yang mendamba barokah dalam pernikahan sebagaimana saudara-saudaramu telah mendoakan. Wahai diriku yang merindu detik-detik kebahagiaan dan kedekatan dengan Alloh. Inilah saatnya. Inilah waktunya untuk menggapai pernikahan yang barokah itu. Jika engkau belum menikah, ada kesempatan untuk mempersiapkan dan ada waktu untuk menata hati. Dan jika engkau sudah menikah, tiada kata terlambat untuk bernasyid bersama Nuansa, dan mengisi hari-hari ke depan dengan perbaikan. Karena kita memang tak boleh berhenti belajar, dan tak terkenan istirahat untuk terus memperbaiki diri.

Kini berpadulah dua hati dalam mahligai cinta
Ikatan nan agung sempurna sebagian agama
Alloh telah menghalalkanmu menjadi pendamping bagiku
Dan kau pun tlah mengikhlaskanku menjadi pendampingmu
(NuansaMahligai Cinta)

Ada banyak jalan ditawarkan menuju kebahagiaan. Tetapi tiada vang menjamin khotimah-nya. Kecuali jika kita memilih memprioritaskan barokah. Bahwa di saat apapun barokah itu membawakan kebahagiaan. Sebuah letup kegembiraan di hati, kelapangan di dada, kejernihan di akal, dan rasa nikmat di jasad. Barokah itu memberi suasana lain dan mencurahkan keceriaan musim semi, apapun masalah yang sedang membadai rumahtangga kita. Barokah itu membawakan senyum meski air mata menitik-nitik. Barokah itu menyergapkan rindu di tengah kejengkelan. Barokah itu menyediakan rengkuhan dan belaian lembut di saat dada kita sesak oleh masalah. []

Sumber: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Rabu, 17 April 2013

Kontribusi


“Lakukan segala apa yang mampu kalian amalkan. Sesungguhnya Alloh tidak jemu sampai kalian sendiri merasa jemu.” (HR. al-Bukhori)

Ada banyak hal yang belum kita tahu. Ada banyak keterampilan yang kita belum bisa. Ada banyak wawasan yang terlewatkan. Ada ribuan buku yang terbit tiap hari. Ada milyaran manusia yang belum kita kenal. Ada jutaan tempat yang belum kita kunjungi. Ada banyak kata yang belum sempat terucap dan tersampaikan. Ada banyak buah pikiran yang belum tersalurkan. Ada banyak ide dan rancang karya yang belum kita wujudkan. Demi Alloh, ada banyak ilmu yang belum kita amalkan.

Padahal Alloh telah menyediakan tempat belajar: Ada banyak masjid tanpa jama’ah dan pemakmur. Ada banyak TPA yang kekurangan pembina. Ada banyak acara da’wah yang kurang lancar sebab tak ada personil memadai. Ada pengelolaan yang belum profesional melihat cara kerja Panitia Kegiatan Romadhon kemarin. ROHIS masih pontang-panting dan compang-camping kalau mengadakan acara. Ada banyak remaja masjid yang justru menggunakan kegiatan untuk pacaran, wuih. Itu yang dekat dan kecil. Ada yang dekat tapi besar. Misalnya, ada jutaan Muslimin miskin adalah tetangga kita. Ratusan ribu anak jalanan lalu lalang di depan rumah. Jutaan ummat terancam Kristenisasi dan pemurtadan.

Yang jauh di mata tapi harusnya dekat di hati? Jutaan pengungsi Palestina meregang nyawa. Anak-anak kecil dengan ketapel menghadang tank dan Buldozer Israel. Orang-orang tak berdosa korban bom curah dan bom karpet Amerika dl Afghan dan ‘Iraq. Muslimah yang diteror, ditarik jilbabnya dan diperkosa. Demi Alloh, ada banyak hal yang akan ditanyakan-Nya kepada kita, soal ukhuwah, cinta, dan kepedulian.

Saya kan juga masih bodoh soal agama, belum layak ambil bagian dalam da’wah. Sepantasnya saya dida’wahi dulu sampai benar-benar bisa. Baru memang kalau nanti saya bisa ceramah, ajak deh saya berda’wah.

Ketahuilah, kalau da’wah hanya ceramah, maka dunia hanya perlu lidah, tak perlu anggota badan yang lain!

Pun anda seorang yang hanya bisa mengebut, tak ada keterampilan lainnya, betapa berharganya Anda sebagai penjemput ustadz pengisi kajian yang rumahnya nun di sana. Pun saat Anda seorang yang agak ‘pelit’ (baca: hati-hati) soal uang, ada jabatan bendahara ROHIS menanti. Pun ketika Anda hanya seorang yang suka jajan, Andalah referensi Sie Konsumsi untuk mencari konsumsi terlezat dan termurah. Pun ketika Anda seorang yang suka bertualang, Anda tetap referensi dan surveyor tangguh bagi Tim Outbond Islami. Pun ketika Anda hanya kenal para sopir, bukankah kita perlu Sie Tiansportasi? Pun kalau Anda bercita-cita menjadi pebisnis sukses, mengapa tak sejak sekarang belajar dalam Sie Dana Usaha? Kalau Anda ingin jadi aktivis LSM Muslim, kok tidak sejak sekarang mencoba mengumpulkan dan mengelola infaq untuk pengungsi Ambon, Poso, korban perang di Afghan, ‘Iraq, dan Palestina? Begitu banyak yang bisa dilakukan dalam da’wah ini.

“Hai orang yang berkemul selimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan Robbmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah! Dan perbuatan dosa, tinggalkanlah! Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah Robbmu, bersabarlah!” (Qs. al-Mudatstsir [74]: 1-7)

Ya, lalu kelak? Tahukah kau, dari 1000 anggota dewan partai da’wah, 400 orang di antaranya bergelar Lc? Tegakah kau saksikan mereka terbengong sejenak, dan harus belajar cepat, sangat cepat, untuk mengejar ketertinggalan mereka memahami masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada amanah yang diembannya? Lalu siapa yang sempat memberi taujih bagi ummat, kalau begitu? Tidak. Teruslah menatap ke depan, maka kau akan saksikan betapa da’wah semakin membutuhkan sosok-sosok yang profesional di berbagai bidang untuk menjawab pertanyaan ummat, “Mana kontribusi da’wah bagi kemajuan peradaban?”

Tengoklah ke belakang. Investasi ‘Utsman telah memakmurkan seluruh Madinah. Entrepreneurship ‘Abdurrohman ibn ‘Auf telah membangun keseimbangan pasar yang sebelumnya dikungkung hegemoni Yahudi. Keuletan petani seperti Abu Tholhah telah menjamin ketahanan pangan Madinah. Kemahiran asy-Syifa’ binti ‘Abdillah telah menjaga kesehatan penduduk Madinah. Administrasi ala ‘Umar ibn al-Khoththob membuat negerinya sentausa. Kejelian akunting Abu ‘Ubaidah telah menjaminkan keadilan dan pemerataan ekonomi masyarakat. Kelihaian perang Kholid telah membuka wilayah-wilayah baru. Kecerdikan diplomasi ‘Amr ibn al-‘Ash telah menaklukkan banyak tanah tanpa pertumpahan darah.

Begitulah.

Maka kini, mungkin dalam keterbatasan kita, bercita-cita tinggilah. Kerjakan semuanya yang kau bisa sampai batas kelelahan menghampiri. Malam ini, saat kau rasakan pegal di punggung, ngilu di kaki, dan nyeri di sendi, berbaringlah bertafakur di tempat tidur. Bermuhasabahlah sambil merilekskan tubuhmu. Rasakan kenyamanan istirahat yang sangat. Lalu, bolehlah engkau bersenandung seperti yang dilantunkan Hijjaz:

Selimuti diriku
Dengan sutra kasih saying-Mu
Agar lena nanti, kumimpikan surga yang indah
Abadi
Pabila ku terjaga
Dapat lagi kurasai
Betapa harumnya, wangian surga firdausi
Oh Ilahi
(Hijjaz: Sebelum Mata Terlena)

Semoga segala kelelahanmu, berhadiah pijatan lembut bidadari.[]

Sumber: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Alur Perayaan Cinta


PICTURE BRIDE, film berdasar sejarah migrasi orang-orang Jepang ke Pasifik itu memang memikat. Asli! Tak heran, dalam Sundance Film Festival 1995, film ini meraih penghargaan pilihan pemirsa. Kayo Hatta, sang sutradara, yang menggarap film ini sepanjang tahun 1994 berhasil menghadirkan suatu kisah dramatis tentang wanita-wanita Jepang yang berani memutuskan menikahi para perantau yang telah lebih dahulu berada di Hawaii, dengan spekulasi sangat tinggi. Hanya satu informasi yang mereka tahu tentang calon suaminya: selembar foto! Dan konflik digarap seru, ketika ternyata foto itu adalah selembar foto yang diamibil 20 tahun yang lalu. Apakah mereka masih bicara cinta?

Jangan kau kira cinta datang dari keakraban dan pendekatan yang tekun
Cinta adalah putera dari kecocokan jiwa
Dan jikalau itu tiada
Cinta takkan pernah tercipta, dalam hitungan tahun, bahkan millenia
(Kahlil Gibran)

Saya punya satu kisah lagi yang tak kalah menarik dengan Picture Bride. David Weinlick nama pria itu. Tanggal 13 Juni 1998 jam 11 siang, Dave berdiri di Mall of America di Minneapolis untuk menikah. Tetapi ia belum tahu dengan siapa. Sebuah panitia yang dipimpin psikolog tenar Steve Fletcher sedang memilihkan calon mempelai wanita untuknya melalui serangkaian wawancara dengan 26 orang calon yang telah mendaftar sejak Dave ‘diiklankan’ di televisi. Waow! Acara di mall ini melebihl apa yang diperkirakan Fletcher, ditonton ribuan orang dan ditayangkan live oleh stasiun televisi dari 6 negara.

Richard Calrlson, Ph.D., kolega Fletcher yang kita kenal dl Indonesia melalui rangkaian buku psiko-pop karyanya Don’t Sweat Little Stuff mengisahkan ketakjubannya bahwa Fletcher dan timnya memulai acara di jam 7 pagi, mulai memilih jam 13.30 siang, dan Elizabeth Runze sang mempelai wanita terpilih dan dinikahkan dengan Dave tepat pukul 16.00 sore. Satu menit menuju pernikahan. Sekali lagi “Waow!,” kata Carlson.

Siapa yang was-was selalu? Tentu saja Steve Fletcher sang comblang yang jauh-jauh hari telah dikatai bercanda, gila, dan mabuk saat menyelenggarakan acara ini. Selama beberapa tahun ia terus menjalin komunikasi dengan Dave dan Elizabeth. Ia selalu bertanya, “Bagaimana?” Dan hingga kini ia tersenyum karena mereka masih saling mabuk kepayang pada pasangan hidupnya dalam sebuah rumahtangga harmonis yang sering terasa utopis bagi orang Amerika.

Bagi mereka yang mengupayakan cinta
hanya ada iklim hangat dan iklim sejuk
meski ada goda aurora dan pelangi khatulistiwa

Bagi mereka yang mengupayakan cinta
setiap musim membagi cinderamata
kristal salju, kuntum bunga, pasir pantai, serasah hangat
juga payung dan layang-layang

Bagi mereka yang mengupayakan cinta di tiap cuaca
cerah berbagi harapan, awan bersulam rohmat,
hujan menyanyi rizqi, badai mengeratkan peluk
dan tiba-tiba, surga mengetuk pintu rumah

Apa rahasia kesuksesan pernikahan yang kisahnya seperti judul buku saya -Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan- itu? “Mengapa kau yakin ini akan berhasil?,” tanya teman-teman. Kata Elizabeth, “Karena aku yakin ini akan berhasil. Sesederhana itu. Aku fokus pada apa yang dibutuhkan untuk membangun kehidupan bersama yang panjang dan penuh kebahagiaan.” Ya, dia punya visi.

Bagaimanapun, saya kagum pada kisah ini. Saya lalu teringat pada beberapa undangan walimah di atas meja yang mencantumkan ayat Alloh, Surat ar-Ruum ayat 21. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian dari anfus (jiwa-jiwa) kalian sendiri, azwaaj (pasangan hidup), supaya kalian ber-sakinah kepadanva, dan dijadikan-Nya di antara kalian mawaddah dan rohmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Saya pikir, inilah yang kita punya. Inilah manhaj yang seharusnya kita jadikan plot (alur) dalam merayakan cinta. Sedihnya, kebanyakan mereka yang mencantumkannya dengan tinta emas di atas undangan mewah tak menghayati maknanya. Ringkasnya, ada beberapa kata kunci yang saya tangkap dari ayat ini.

1. Min anfusikum. Dari jiwa-jiwa kalian. Artinya, hal pertama yang dibicarakan al-Qur’an tentang pernikahan dua manusia adalah kesejiwaan. Ruh itu, kata Nabi seperti tentara. Jika kode sama, sandinya nyambung, meskipun belum saling melihat mereka pasti bersepakat. Jika tidak, ya tembak dulu, urusan belakangan. Kodenya saja sudah nggak nyambung sih. Nah, apa sih kode dan sandi untuk ruh? Komitmen kepada Alloh dan agamanya. Itu saja. Itulah kesejiwaan. Dave dan Elizabeth menunjukkan pada kita bahwa sekedar komitmen untuk membina rumahtangga bahagia saja bisa sedemikian kuat. Apalagi komitmen yang lebih besar seperti kesamaan visi untuk memperjuangkan agama Alloh?

2. Azwaajan. Pasangan hidup. Tak berlama-lama, sesudah kesesuaian jiwa, al-Qur’an segera mengatakan bahwa mereka menjadi suami isteri. Saya tergelitik dengan pesan Dave yang mengisyaratkan kuatnya komitmen mengalahkan kekanak-kanakan jiwa. “Orang selalu berpikir,” kata Dave, “Bahwa kita harus mencari pasangan yang tepat, maka hubungan akan berhasil. Aku ingin katakan, berhentilah mencari orang yang tepat, dan jadikan orang di samping Anda yang memang hebat itu menjadi orang yang tepat!” Dave mengajari kita menjadi manusia yang lebih tinggi, manusia yang ‘menjadikan’, bukan sekedar ‘mencari’. Dan Dave benar. Ada dua hal di dunia ini. Menikahi orang yang dicintai atau mencintai orang yang dinikahi. Yang pertama hanyalah kemungkinan. Sedangkan yang kedua adalah kewajiban.

3. Litaskunuu ilaihaa. Supaya kalian tenteram, tenang, padanya. Unik sekali. Kata hubung yang dipakai adalah huruf lam (li) yang menunjukkan otomatis. Kata Alloh, kalau pernikahan dimulai dari kesejiwaan, maka otomatis seorang suami akan merasakan ketenteraman pada isterinya, dan seorang isteri akan merasakan ketenangan pada suaminya. Loh, kok banyak rumahtangga tidak sakinah! Mungkin karena tidak dimulai dari kesejiwaan sehingga untuk sekedar tenteram saja ikhtiyarnya harus luar biasa keras. Apa sih sakinah itu? Sederhananya, sakinah inilah yang menyebabkan pernikahan disebut separuh agama seseorang. Dengannya seorang insan bisa mengoptimalkan potensinya untuk menjadi ‘Abdulloh (hamba Alloh), dan kholifah (pengelola nikmat-nikmat-Nya untuk kemashlahatan alam semesta). Tenteram karena gejolak syahwat telah menemukan saluran yang halal dan thoyyib, tenang karena ada sahabat lekat yang siap mendukung perjuangan.

4. Wa ja’ala bainakum mawaddatan. Kemudian ada yang harus diproses, diupayakan, yakni mawaddah. Apa itu mawaddah? Wah, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris memang kekurangan kosakata untuk cinta. Hanya cinta dan love. Padahal bahasa Arab punya empat belas. Nah, saya membandingkan pemaknaan Ibnul Qoyyim al-Jauziyah terhadap mawaddah dalam buku Roudhotul Muhibbin dengan salah satu jenis cinta yang disebut Erich Fromm dalam The Art of Loving sebagai cinta yang erotis-romantis. Nah, ternyata bisa disejajarkan. Jadi mawaddah adalah cinta yang erotis-romantis. Bentuknya bias ekspresi yang paling bathin sampai paling zhohir, dari yang sifatnya emosional hingga seksual. Inilah mawaddah.

5. Wa (ja’ala bainakum) rohmatan. Yang harus diusahakan bukan Cuma mawaddah tapi juga rohmah. Ini juga cinta lho, bukan sekedar kasih sayang. Cinta yang bagaimana? Cinta yang seperti lagu, kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia. He he, jadi ingat waktu TK. Inilah cinta yang memberi -bukan meminta-, berkorban –bukan menuntut-, berinisiatif -bukan menunggu-, dan bersedia, -bukan berharap-harap. Erich Fromm menyebutnya cinta keibuan.

Nah, sekilas inilah alur perayaan cinta yang dituntunkan al-Qur’an. Jika kita mendesain perayaan cinta dengan plot ini, tanpa bermaksud lancang pada Alloh saya berani menjamin bahwa dalam pernikahan kita bisa menemukan Bahagianya Merayakan Cinta, buku saya yang keempat itu.

Nah, kok banyak pernikahan yang error! Biasanya karena plotnya kacau. Pernikahan tidak dimulai dengan kesejiwaan tapi justru dengan mawaddah, Sebelum menikah mereka sudah menikmati cinta yang erotis-romantis. Entah apa namanya. Pacaran. TTM. HTS. Semuanya adalah mawaddah. Tanpa sakinah, apalagi rohmah.

Perhatian, kado, bunga, coklat, kedekatan, kholwat., bersentuhan, pandangan. Itu semua mawaddah. Bahkan sms berisi nasehat “Bertaqwalah pada Alloh”, missedcall tahajjud, hadiah buku dan kaset nasyid berjudul Jagalah Hati, dan seterusnya, itu juga mawaddah. Bentuknya saja yang berbeda. Yang satu bunga dan coklat valentine. Yang lain buku dan kaset da’wah. Tetapi sensasi yang dirasakan oleh pemberi dan penerima sebenarnya sama: mawaddah. Demi Alloh, silakan pasang ECG (Electro Cardiograph) di jantungnya dan EEG (Electro Encephalograph) di otaknya. Sinyal yang dihasilkan persis. Artinya sensasi yang dirasakan sama.

Nah, hati-hati dengan mawaddah. Biasanya meski engkau, wahai aktivis da’wah, memulai dengan kesejiwaan, coba-coba mencicipi mawaddah sebelum dihalalkan akan mengaburkan kesejiwaan itu dan membuat segalanya berantakan. Celakalah mereka yang menikmati mawaddah sebelum waktunya!

Katakan, “Aamiin.” []

Sumber: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Setelah Badr


JIKA perang Badr merupakan peneguhan eksistensi da’wah generasi pertama umat ini, setidaknya kita bisa berkaca untuk memaknai Pemilu 2004 sebagai salah satu peneguhan eksistensi da’wah kita. Pada perang Badr, kaum muslimin telah membuat terkejut musuh-musuhnya -kafirin, musyrikin, dan munafiqin- bahwa kekuatan kecil yang seyogianya bisa dilumat sekali terjang itu mendapatkan pertolongan Alloh berupa kemenangan atas musuh yang jauh lebih kuat. Tetapi tentu saja, jihad -apalagi jihad siyasi- tidak berhenti sampai di situ. Tarbiyah qur’aniyah yang mendidik para sahabat, ridhwaanulloohi ‘alaihim jamii’a, menjadi pelajaran berharga. Bahwa setelah Badr, ada Uhud. Setelah syukur, ada pembaruan niat. Setelah berita gembira, ada pelurusan shaf. Setelah takbir, ada istighfar. Dan setelah kemenangan, ada kewaspadaan.

Mudah-mudahan Alloh karuniakan pemahaman pada kita, sebagaimana mereka -para sahabat- telah memahaminya dengan pemahaman yang jernih. Agar jalan da’wah yang kita tempuh, menggaris di atas tapak yang telah mereka ukirkan. Agar jihad dan da’wah ini, berada di atas manhaj yarq barokah. Pada bahasan kita ini, ada dua hal yang menjadi fokus perhatian kita: fenomena setelah kemenangan, dan jalan menuju Uhud.

A. Fenomena Setelah Kemenangan

Surat al-Anfaal turun sepanjang perang Badr, memberikan taujih kepada para mujahidin, meluruskan shof mereka, dan menjaga kedekatan mereka dengan Alloh. Maka akhir surat ini adalah juga gambaran agung tentang akhir dari peperangan di hari furqon itu. Inilah yang digambarkan surat al-Anfaal, tentang kondisi manusia-manusia terbaik itu setelah mereka menang. Tentunya, kondisi kita jauh lebih parah, ya?

1. Turunnya Semangat

Jika pertempuran kemarin, sedikit banyak, menjadi orientasi –di samping orientasi akhirat- bagi para jundi, maka setelah kemenangan, disorientasi sulit dihindari. Apa yang menjadi tujuan jihad, perlahan mengabur. Lha wong, sudah menang, terus mau ngapain? Di saat inilah, qiyadah diperintahkan Alloh untuk terus memotivasi dengan akhirat, mengobarkan semangat mereka, dan menghidupkan tantangan. tantangan da’wah. Agar apa? Agar ruh jihad para jundi tetap hidup.

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para Mukmin itu untuk berperang.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 65)

Ayat ini turun dalam perjalanan pulang dari perang. Unik bukan? Lha wong pulang perang kok semangatnya dikobarkan. Tetapi demikianlah. Karena perang antara haq dan bathil tidak berhenti sebatas kemenangan yang kita tinggalkan, tetapi masih banyak lagi perang yang akan kita hadapi. Allohu Akbar!

2. Kelemahan dan Pengurangan Beban dari Alloh

Sebelum kemenangan, pembebanan dari Alloh terhadap orang beriman adalah 1 lawan 10 (Qs. Al-Anfaal [8]: 65). Tetapi ketika jumlah 20 telah menjadi 100, dan 100 telah menjadi 1000, maka pembebanan dari Alloh dikurangi hingga menjadi 1 lawan 2 (Qs. Al-Anfaal [8]: 66). Ini adalah konsekuensi kemenangan: pertambahan kader, pengayaan amanah, dan sedikit melemahnva ikatan.

“Sekarang Alloh telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 66)

Pasca kemenangan, pembebanan yang melampaui kemampuan pada sebagian, dan kelonggaran amanah pada sebagian yang lain akan melipatgandakan kerapuhan. Maka distribusi amanah yang adil, akan meringankan dan menyamankan hati untuk teguh berkomitmen pada jama’ah. Subhanalloh.

3. Munculnya Syahwat-syahwat

“… Kalian menghendaki harta benda duniawi sedangkan Alloh menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian). Dan Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 67)

Selama intikhoob, aneka interaksi para kader dengan ‘dunia’; harta, wanita, dan kedudukan, sedikit banyak akan membangkitkan gelombang-gelombang syahwati yang selama ini tersembunyi di balik ghiroh jihad menyala. Sejak kemenangan itu, kita menyaksikan, alangkah nikmatnya jadi orang berkuasa, dan alangkah nyamannya punya banyak harta. Sejak kemenangan itu, kita lebih leluasa menatap wajah tampan berjenggot tipis atau wajah ayu yang sering menunduk semu. Astaghfirulloh.

Saatnya kita introspeksi, saatnya kita evaluasi, ya akhii, ya ukhti. Adakah teguran Alloh yang begitu penuh kasih ini mengena pada kita: Kalian menghendaki harta benda duniawi sedangkan Alloh menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian). Jika ya, sepertinya kita harus banyak berdoa sebagaimana ‘Isa ‘Alaihis Salaam: “Jadilah kehendak-Mu, bukan kehendakku.”

4. Konsolidasi Musuh-musuh Da'wah

Setelah kemenangan itu, musuh-musuh da’wah telah melihat jelas dengan siapa mereka berhadapan. Mereka telah menambahkan banyak data dan analisa untuk menakar kekuatan orang-orang yang dengan gemilang telah menaklukkan mereka di kesempatan pertama. Inilah saatnya bagi mereka untuk konsolidasi, menyatukan barisan kekufuran, mendayagunakan setiap sumberdaya yang mereka punya untuk melantakkan da’wah di kesempatan berikutnya.

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para Muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Alloh itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 73)

Inilah Alloh memerintahkan kita waspada akan makar-makar mereka. Dan peringatan Alloh itu sungguh nyata. Jika kita tak mentaati Alloh, maka ketertataan yang telah mulai terbangun akan berantakan kembali, ummat akan kembali dizholimi, dan bumi dipenuhi kekacauan dan kerusakan yang besar.

B. Jalan Menuju Uhud

Surat Ali ‘Imron ayat ke-121-179, berbicara khusus mengenai perang Uhud. Ada beberapa taujih Robbani yang akan kita bicarakan di sini, masih seputar pasca-kemenangan sebagai persiapan untuk menghadapi pertempuran yang lebih besar. Bahwa, sekali lagi, dalam proses mensyukuri kemenangan itu, ada banyak hal yang harus kita lakukan sebagai tarbiyah, tadrib, dan i’dad.

1. Pembinaan Ruhiyah

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 133)

Pada waktu-waktu inilah, tadhhiyah tetap diasah dengan shodaqoh di waktu lapang dan sempit, juga pengendalian hawa nafsu dengan menahan marah dan memaafkan (Qs. Ali ‘Imron [3]: 134). Kepekaan untuk bertaubat, beristighfar, merasakan kehadiran dan pengawasan Alloh juga menjadi amalan yang harus senantiasa dihidupkan (Qs. Ali Imron [3]: 135).

2. Penyadaran Makna Kemenangan dan Kekalahan

“… Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Alloh membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Alloh tidak menyukai orang-orang yang zholim.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 140)

3. Kepemimpinan dan Kaderisasi

“ … Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rosul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rosul. Apakah jika dia mati atau terbunuh maka kalian akan berbalik ke belakang?” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 144)

Betapa ayat ini menegaskan jauhnya da’wah dari kultus individu. Da’wah tidak boleh terputus oleh hilangnya seorang pemimpin. Proses kaderisasi harus diperkuat. Elemen kaderisasi harus menjadi penopang da’wah yang akan melahirkan ksatria-ksatria yang segar darahnya, kuat tulangnya, kekar ototnya sekaligus tajam ruh dan fikrohnya untuk membawa bendera tauhid.

4. Penguatan ‘Amal Jama’i

“Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Alloh, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Alloh menyukai orang-orang yang sabar.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 146)

Setelah kemenangan itu, maka kerja-kerja da’wah menuntut ‘amal jama’i yang saling menguatkan. Tidak boleh ada kader yang merasa ‘sendiri’, sehingga melemah karena bala’, lesu, dan menyerah. Maka penguatan ‘amal jama’i menjadi keniscayaan, sharing-sharing harus dihidupkan, tsiqoh harus dikuatkan, dan ukhuwwah dikukuhkan simpul-simpulnya.

                                                                                       ***

Musuh-musuh da’wah kini mengetahui dengan siapa mereka berhadapan. Mereka berkonsolidasi. Musyrikin, munafiqin, kuffar, Yahudi Madinah, semuanya bersekutu dalam konspirasi keji. Mereka mengagendakan pembahasan khusus tentang jama’ah da’wah ini dalam Munas partainya, Rakornas organisasinya, dan Raker underbouw-nya. Mereka serius: jama’ah da’wah ini harus dilenyapkan!

Oleh alasan demikian, jalan menuju Uhud di masa Rosululloh yang hanya berselang satu tahun setelah Badr itu, begitu penuh dengan aktivitas persiapan yang diarahkan oleh taujih Robbani. Pada kesempatan yang lalu kita telah menyebutkan empat di antaranya. Kini kita simak lagi surat Ali ‘Imron yang akan mentaujih kita, apa yang harus kita lakukan untuk melumpuhkan makar musuh-musuh Alloh.

5. Berhati-hati terhadap Negosiator Kekufuran

Kekuatan dan kebersatuan jama’ah da’wah ini bertumpu pada ‘aqidah mereka yang suci, tauhid mereka yang murni, dan ketaatan mereka pada Alloh yang kukuh. Maka syaithon dan wali-walinya akan bekerja keras supaya simpul agung ini terlepas. Mereka akan datang. Mereka membawa tawaran-tawaran, rumusan-rumusan kerjasama. Pada lahirnya, kita melihat mutualisme. Tetapi kebeningan bashiroh akan mengenalinya sebagai penjerumusan jam’ah da’wah ini dan kader-kadernya pada maksiat, khianat, hasad, madhorot, dan mafsadat.

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 149)

Pada saat-saat inilah kader jama’ah da’wah harus terus menggali ilmu, menjaga manhaj Alloh dalam perbaikan masyarakat, dan menjaga kaidah-kaidah interaksi dengan orang kafir. Saat itulah, harus ada yang senantiasa menggaungkan pemahaman, menggemakan keyakinan, dan menggerakkan jiwanya. Salah satunya, pesan langit ini:

“Tetapi (ikutilah Alloh), Alloh-lah Pelindungmu, dan Dialah sebaik-baik Penolong.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 150)

6. Menguatkan Tsiqoh dan Tho’at pada Qiyadah

Setelah kemenangan kemarin, kita lihat dunia seolah meringkuk di bawah kaki kita. Maka jika kita tak menggunakannya untuk menguatkan da’wah, musuh-musuh da’wah akan menggunakannya untuk melemahkan barisan ini. Mereka akan menyebarkan fitnah tentang pemimpin da’wah berkait dengan dunia, mereka akan menggoda ‘pemanah-pemanah di atas bukit’ untuk turun gunung, meraup harta rampasan, jangan sampai tak kebagian.

“Dan sesungguhnya Alloh telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rosul) sesudah Alloh memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (Ali ‘Imron [3]: 152)

Maka, wahai pemanah di atas bukit, tetaplah kita pada tugas yang telah diamanahkan oleh da’wah pada kita. Meski engkau bukan anggota dewan, meski engkau bukan mereka yang di depan. Jama’ah da’wah ini adalah kebenaran yang menuntut ketertataan dalam naungan ridho Alloh. Maka ketika tsiqoh kita dan tho’at kira pada Qiyadah hilang, hancurlah barisan itu menunggu kekalahan yang pasti.

Ingatlah, sepahit apapun tho’at itu terasa, sesungguhnya apa yang ada di sisi Alloh jauh lebih baik.

Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Alloh atau meninggal, tentulah ampunan Alloh dan rohmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 157)

7. Bertaubatlah atas Dosa di Masa Lalu!

Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh syaithon, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Alloh telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 155)

Ayat ini mengatakan pada kita, bahwa dosa masa lalu telah mendekatkan frekuensi jiwa kita kepada godaan syaithon. Maka, inilah saatnya bertaubat. Inilah saatnya istighfar. Inilah saatnya muhasabah. Agar di saat genting, di saat kita berjuang antara hidup dan mati, di saat wangi surga di hadapan mata, kita tidak terbelokkan oleh jerumusan syaithon yang keji. Agar saat berbaris dalam jihad, kita tidak tiba-tiba lari berpaling. Alangkah ruginya! Na’udzu billahi min dzalik.

8. Pemeliharaan Amanah-amanah

Saat ini, ada banyak amanah ummat yang dibebankan pada sebagian kader jama’ah da’wah. Inilah ‘rampasan perang’ pertama kemarin itu. Maka inilah ujian yang sebenarnya. Adakah tarbiyah yang mereka timba selama ini menguatkan mereka untuk menunaikan aneka amanah itu. Dan tentu, adalah kewajiban bagi saudara-saudara yang tulus membersamainya, untuk senantiasa membantu dan menjaga keterlaksanaan amanah-amanah itu. Dengan menasehati, mengingatkan, memahamkan, menguatkan.

“… Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 161)

9. Ri’ayah Tarbawiyah

Ini waktunya mensyukuri tarbiyah. Ini waktunya memaknai kembali urgensi tarbiyah. Ini waktunya kembali menjadikannya juz’un asaasiyyun. Biarkan ia mengambil sebagian waktu kita. Biarkanlah ia mengambil sebagian jasad kita, tenaga, ruh, dan pikiran kita. Karena inilah saatnya menjaga apa yang selama ini telah menjaga kita. Ini saatnya merecovery tarbiyah kita. Kembalilah ke pelukan halaqoh.

Sungguh Alloh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Alloh mengutus di antara mereka seorang Rosul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Alloh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 164)

10. Ini adalah Jama’ah Manusia

Ada kesalahan-kesalahan. Ada khilaf-khilaf. Ada silap. Itulah dinamika jama’ah da’wah. Maka itulah dinamika jama’ah manusia. Ada sahabat Rosululloh yang berzina. Tetapi mereka bertaubat, dan taubatnya mencukupi 70 penduduk Madinah. Bukan pembenaran, bukan justifikasi. Hanya agar yang sadar memiliki lapang dada pada saudaranya, mengambil pelajaran, dan terus untuk menjaga dirinya agar tak terjerumus ke lubang yang sama.

Karena bagaimanapun, maksiat itu akan menjadi sumber kekalahan jama’ah.

Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badr) kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 165)

Astaghfirulloohal ‘Adhim. []


Sumber: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim; Salim A. Fillah; Pro-U Media