Rabu, 29 Mei 2013

Orang yang Terakhir Keluar dari Neraka

Abu Huroiroh telah menceritakan kepada Atho’ bin Yazid al-Laitsi bahwa para sahabat telah bertanya kepada Rosululloh saw., “Apakah engkau akan melihat Tuhan kami kelak pada hari kiamat?” Maka Rosululloh saw. balik bertanya, “Apakah kamu sekalian merasa kesulitan melihat bulan pada malam purnama?” Mereka menjawab, “Tidak.” Selanjutnya Rosululloh saw, bertanya lagi, “Apakah kalian merasa kesulitan melihat matahari yang tidak ada awan yang menghalangi?” Mereka menjawab, “Tidak.”

Mendengar jawaban itu, Rosululloh bersabda, “Seperti itulah kamu sekalian akan melihat-Nya.” Kemudian Rosululloh saw. meneruskan perkataaannya, “Pada hari kiamat nanti Alloh akan mengumpulkan seluruh umat manusia, lalu Alloh berfirman kepada mereka, ‘Hendaknya setiap orang mengikuti sesuatu yang disembahnya selama di dunia.’ Oleh karena itu, orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, dan orang yang menyembah berhala mengikuti berhala. Sedangkan orang-orang munafik dari kalangan umat Muhammad tetap berdiri di tempat dan tidak bergerak sama sekali (karena yang disembah oleh mereka tidak jelas).

Kemudian Alloh mendatangi kaum muslimin dalam wujud yang tidak dikenali oleh mereka, seraya Alloh berfirman kepada mereka, “Aku ini adalah Tuhanmu.” Mendengar itu, mereka berkata, “Kami berlindung kepada Alloh dari bujuk rayumu, dan kami akan tetap berdiri di tempat ini sampai datang kepada kami Tuhan kami yang sebenarnya.” Kemudian Alloh datang kepada mereka dalam wujud yang mereka kenal, dan Alloh berfirman kepada mereka, “Aku ini Tuhanmu yang sebenarnya.” Pada saat mereka mendengarnya dan mereka merasa yakin bahwa itu Tuhannya, maka mereka berkata, “Engkaulah Tuhan kami yang sebenarnya.” Setelah itu mereka mengikuti-Nya.

Kemudian Alloh swt. menciptakan sebuah titian yang membentang di atas api neraka, maka aku –Rosululloh saw.—dan umatku menjadi umat yang pertama menyeberangi titian itu. Pada saat itu tidak ada seorang pun yang dapat berbicara selain para Rosul, dimana ketika itu para Rosul berdoa, “Ya Alloh, selamatkanlah. Ya Alloh, selamatkanlah.” Sementara di dalam neraka Jahanam terdapat besi-besi yang melengkung bagaikan lengkungan pancing, seperti duri pohon Sa’dan (nama pohon yang berduri). Kemudian Rosululloh bertanya kepada sahabat yang hadir, “Apakah kalian pernah melihat duri pohon Sa’dan?” Mereka menjawab, “Ya.”

Mendengar hal itu, Rosululloh saw. bersabda, “Seperti itulah besi-besi yang melengkung itu, hanya saja besarnya tidak terkirakan, dan hanya Alloh yang mengetahui ukurannya. Besi-besi inilah yang kelak akan mengait orang-orang yang sedang meniti titian itu sesuai dengan kadar dosa masing-masing. Dimana orang yang teguh dengan amalnya akan selamat dari kaitannya, sementara orang yang berdosa akan terkait (tersangkut), tetapi akhirnya dilepaskan.”

Setelah Alloh selesai mengadili hamba-hamba-Nya, dan Dia berkehendak mengeluarkan penghuni neraka dengan rahmat-Nya, maka Alloh memberikan perintah kepada para malaikat-Nya untuk mengeluarkan mereka yang patut mendapat rohmat-Nya, yaitu orang yang tidak pernah menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun selama hidup di dunia. Di antara orang yang patut mendapatkan rohmat-Nya adalah orang yang mengatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Alloh. Kemudian para malaikat yang mendapat perintah itu segera mengenali mereka, dan mereka mengenalinya melalui tanda bekas sujud yang ada pada kening mereka karena hanya bekas sujudlah bagian tubuh manusia yang tidak akan hangus dibakar api neraka, dimana Alloh telah mengharamkan api neraka untuk membakarnya dan menghanguskannya.

Kemudian para malaikat segera mengeluarkan mereka dalam keadaan yang sudah pada hangus, lalu disiramkan ke tubuh mereka air kehidupan (air pemulihan). Akibat siraman air kehidupan itulah, akhirnya mereka tumbuh dan pulih kembali seperti sediakala bagaikan tumbuhnya biji-bijian setelah terjadi banjir besar (dimana mereka tumbuh dalam keadaan masih muda dan besar).

Setelah Alloh selesai mengadili dan memvonis di antara hamba-hamba-Nya, tiba-tiba terlihat seseorang (yang masih tertinggal) yang sedang mengarahkan pandangannya ke arah neraka, dan dialah orang yang paling terakhir masuk surga. Kemudian kepada Alloh, dia memohon, “Wahai Tuhanku, palingkan mukaku dari neraka karena baunya telah meracuniku, dan kobaran apinya telah membakarku.” Permohonan itu diulanginya berulang kali, dan akhirnya Alloh berfirman kepadanya, “Seandainya Aku mengabulkan permintaanmu ini, apakah kiranya kamu tidak akan mengajukan permohonan yang lain?” Maka orang itu menjawab, “Tidak.” Kemudian dia berjanji dengan sungguh-sungguh kepada Alloh bahwa dia tidak akan mengajukan permohonan apapun lagi.

Akhirnya permohonan itu dikabulkan Alloh, dimana Alloh memalingkan muka orang itu dari neraka. Akan tetapi ketika dia dihadapkan ke arah surga dan dia menyaksikan kemegahan yang ada di baliknya, maka dia terdiam dalam beberapa saat, lalu dia memohon kepada Alloh, “Wahai Tuhanku, sampaikanlah aku ke dalam pintu surga.” Mendengan hal itu, Alloh berfirman kepadanya, “Bukankah kamu telah berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa kamu tidak akan memohon lagi kepada-Ku selain permohonanmu yang telah Aku kabulkan tadi? Celakalah kamu, wahai anak Adam! Kamu telah memungkiri janjimu sendiri, dan Aku tidak akan mengabulkan permohonanmu ini!” Akan tetapi dia tetap memohon kepada Alloh untuk dikabulkan permohonannya, sehingga Alloh berfirman kepadanya, “Seandainya permohonanmu ini Aku kabulkan, apakah kamu tidak akan memohon yang lainnya lagi kepada-Ku?” Orang itu menjawab, “Demi kemuliaan-Mu, sungguh aku tidak akan mengajukan permohonan lagi.”

Kemudian Alloh mengabulkan permohonannya itu. Alloh membawanya ke depan pintu surga. Setibanya dia di depan pintu surga, Alloh membuka pintu surga itu lebar-lebar sehingga orang itu melihat keindahan dan kebahagiaan yang ada di dalamnya. Menyaksikan itu, orang itu terdiam beberapa saat, lalu memohon kepada Alloh, “Wahai Tuhanku, masukanlah aku ke dalam surga.” Mendengar itu, Alloh berfirman kepadanya, “Bukankah kamu telah berjanji bahwa kamu tidak akan mengajukan permohonan lagi kepada-Ku setelah permohonanmu yang tadi Aku kabulkan? Celaka kamu, wahai anak Adam! Kamu telah memungkiri janjimu sendiri, dan Aku tidak akan mengabulkan permintaanmu itu!”

Akan tetapi orang itu terus menerus memohon kepada Alloh, “Wahai Tuhanku, janganlah kiranya hamba-Mu ini menjadi orang yang paling celaka.” Kemudian ia mengulang-ulang permohonannya, sehingga hal itu menyebabkan Alloh tertawa. Alloh berfirman kepadanya, “Masuklah kamu ke dalam surga.” Pada saat orang itu masuk ke dalam surga, Alloh berfirman kepadanya, “Sekarang angankanlah segala keinginanmu.” Kemudian orang itu memohon kepada Alloh dengan mengajukan berbagai macam keinginannya dan mencita-citakan berbagai macam kenikmatan, sampai Alloh mengingatkannya kepada berbagai menikmatan yang tidak diketahuinya. Lalu Alloh berfirman kepadanya, “Nikmatilah olehmu kemewahan dan kenikmatan yang telah disediakan ini, bahkan akan ditambah lagi dengan berbagai kenikmatan sebanyak itu pula.”

Atho’ bin Yazid berkata, “Ketika Abu Sa’id al-Khudri mendengarkan Abu Huroiroh menuturkan hadits itu, tidak ada bagian dari hadits itu yang dipertanyakannya, selain firman Alloh terhadap orang tadi: ‘Nikmatilah olehmu kemewahan dan kenikmatan yang telah disediakan ini, bahkan akan ditambah lagi dengan berbagai kenikmatan sebanyak itu pula.’

Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Wahai Abu Huroiroh, apakah kenikmatan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat?” Abu Huroiroh menjawab, “Aku tidak mengetahuinya selain aku mendengarnya seperti itu dari Rosululloh saw., dimana beliau bersabda, ‘Kemewahan dan kenikmatan yang telah disediakan ini, bahkan akan ditambah lagi dengan berbagai kenikmatan sebanyak itu pula.’” Kemudian Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Aku bersumpah bahwa aku telah mendengar dari Rosululloh saw. dimana beliau bersabda, ‘Nikmatilah olehmu kemewahan dan kenikmatan yang telah disediakan ini, bahkan kenikmatan ini akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat dengan berbagai kenikmatan sebanyak itu pula.’” (Hadits shohih, Shohih Muslim nomor 182; Shohih Bukhori nomor 7437)

By: Mochammad Bugi

Rabu, 01 Mei 2013

Dua Telaga



TELAGA ITU LUAS, sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Di tepi telaga itu berdiri seorang lelaki. Rambutnya hitam, disisir sepapak daun telinga. Dia menoleh dengan segenap tubuhnya, menghadap hadirin dengan sepenuh dirinya. Dia memanggil-manggil. Seruannya merindu dan merdu. “Marhaban ayyuhal insaan! Silakan mendekat, silakan minum!”

Senyumnya lebar, hingga otot di ujung matanya berkerut dan gigi putihnya tampak. Dari sela gigi itu terpancar cahaya. Mata hitamnya yang bercelak dan berbulu lentik mengerjap bahagia tiap kali menyambut pria dan wanita yang bersinar bekas-bekas wudhunya.

Tapi di antara alisnya yang tebal dan nyaris bertaut itu, ada rona merah dan urat yang membiru tiap kali beberapa manusia dihalau dari telaganya. Dia akan diam sejenak. Wibawa dan akhlaknya terasa semerbak. Lalu dia bicara penuh cinta, dengan mata berkaca-kaca. “Ya Robbi”, serunya sendu, “Mereka bagian dariku! Mereka ummatku!”

Ada suara menjawab, “Engkau tak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu!”

Air telaga itu menebar wangi yang lebih harum dari kasturi. Rasanya lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju. Di telag itu, bertebar cangkir kemilau sebanyak bilangan gemintang. Dengan itulah si lelaki memberi minum mereka yang kehausan, menyejukkan mereka yang kegerahan. Wajahnya berseri tiap kali ummatnya menghampiri. Dia berduka jika dari telaganya ada yang dihalau pergi.

Telaga itu sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Tapi ia tak terletak di dunia ini. Telaga itu al-Kautsar. Lelaki itu Muhammad. Namanya terpuji di langit dan bumi.

                                                                                       ***

Telaga lain yang lebih kecil, konon pernah ada dalam cangkungan sebuah hutan di Yunani. Dan ke telaga itu, setiap pagi seorang lelaki berkunjung. Dia berlutut di tepinya, mengagumi bayangannya yang terpantul di permukaan. Dia memang tampan. Garis dan lekuk parasnya terpahat sempurna. Matanya berkilau. Alis hitam dan cambang di wajahnya berbaris rapi, menjadi kontras yang menegaskan kulit putihnya.

Lelaki itu, kita tahu, Narcissus. Dia tak pernah berani menjamah air telaga. Dia takut citra indah yang dicintainya itu memudar hilang ditelan riak. Konon, dia dikutuk oleh Echo, peri wanita yang telah dia tolak cintanya. Dia terkutuk untuk mencintai tanpa bisa menyentuh, tanpa bisa merasakan, tanpa bisa memiliki. Echo meneriakkan laknatnya di sebuah lembah, menjadi gema dan gaung yang hingga kini diistilahkan dengan namanya.

Maka di tepi telaga itu Narcissus selalu terpana dan terpesona. Wajah dalam air itu mengalihkan dunianya. Dia lupa pada segala hajat hidupnya. Kian hari tubuhnya melemah, hingga satu hari dia jatuh dan tenggelam. Alkisah, di tempat dia terbenam, tumbuh sekuntum bunga. Orang-orang menyebutnya kembang itu, narcissus.

Selesai.

Tetapi Paulo Coelho punyya anggitan lain utnuk kisah Narcissus. Dalam karyanya The Alchemist, tragika lelaki yang jatuh cinta pada dirinya sendiri itu diakhiri dengan lebih memikat. Konon, setelah kematian Narcissus, peri-peri hutan datang ke telaga. Airnya telah berubah dari semula jernih dan tawar menjadi seasin air mata.

“Mengapa engkau menangis?” tanya para peri.

Telaga itu berkaca-kaca, “Aku menangisi Narcissus,” katanya.

“Oh, tak heranlah kau tangisi dia. Sebab semua penjuru hutan selalu mengaguminya, namun hanya kau yang bisa mentakjubi keindahannya dari dekat.”

“Oh, indahkah Narcissus?”

Para peri hutan saling memandang. “Siapa yang mengetahui-nya lebih daripadamu?” kata salah seorang. “Di dekatmulah tiap hari dia berlutut mengagumi keindahannya.”

Sejenak hening menyergap mereka. “Aku menangisi Narcissus,” kata telaga kemudian, “Tapi tak pernah kuperhatikan bahwa dia indah. Aku menangis karena, kini aku tak bisa lagi memandang keindahanku sendiri yang terpantul di bola matanya tiap kali dia berlutut di dekatku.”

                                                                                       ***

Setiap kita punya kecenderungan untuk menjadi Narcissus. Atau telaganya. Kita mencintai diri ini, menjadikannya pusat bagi segala yang kita perbuat dan semua yang ingin kita dapat. Kita berpayah-payah agar ketika manusia menyebut nama kita yang mereka rasakan adalah ketakjuban pada manusia paling mempesona. Kita mengerahkan segala daya agar tiap orang yang bertemu kita merasa telah berjumpa dengan manusia paling sempurna.

Kisah tentang Narcissus menginsyafkan kita bahwa setinggi-tinggi nilai yang kita peroleh dari sikap itu adalah ketakmengertian dari yang jauh dan abainya orang dekat. Kita menuai sikap yang sama dari sesama, seperti apa yang kita tabor pada mereka. Dari jaraknya, para peri memang takjub, namun dalam ketidaktahuan. Sementara telaga itu hanya menjadikan Narcissus sebagai sarana untuk mengagumi bayangannya sendiri. Persis sebagaimana Narcissus memperlakukannya. Pada dasarnya, tiap-tiap jiwa hanya takjub pada dirinya.

Tetapi ‘Amr ibn al-‘Ash merasakan ketiadaan sikap ala Narcissus pada seorang Muhammad, lelaki yang sesampai di surga pun masih menjadikan diri pelayan bagi ummatnya. ‘Amr telah belasan tahun menjadikan silat lidahnya sebagai senjata paling mematikan bagi da’wah Sang Nabi. Lalu setelah hari Hudaibiyyah yang menegangkan itu, hidayah menyapanya. Dia, bersama Kholid ibn al-Walid dan ‘Utsman ibn Tholhah menuju Madinah menyatakan keislaman. Mereka disambut senyum Sang Nabi, dilayani bagai saudara yang dirindukan, dimuliakan begitu rupa.

Bagaimanapun, ‘Amr merasa hanya dirinya yang istimewa. Itu tampak dari sikap, kata-kata, dan perlakuan Sang Nabi padanya. Hari itu dia merasa Sang Rosul pastilah mencintainya melebihi siapapun, mengungguli apapun. Pikirnya, itu disebabkan bakat lisannya begitu rupa yang kelak bermanfaat bagi da’wah. Terasa sekali. Maka dia beranikan diri meminta penegasan. “Ya Rosululloh,” dia berbisik ketika kudanya menjajari tunggangan Sang Nabi, “Siapakah yang paling kau cintai?”

Sang Nabi tersenyum. “’Aisyah,” katanya.

“Maksudku,” kata ‘Amr, “Dari kalangan laki-laki.”

“Ayah ‘Aisyah.” Rosululloh terus saja tersenyum padanya.

“Lalu siapa lagi?”

“’Umar.”

“Lalu siapa lagi?”

“’Utsman.” Dan beliau terus tersenyum.

“Setelah itu,” kata ‘Amr berkisah di kemudian hari, “Aku menghentikan pertanyaanku. Aku takut namaku akan disebut paling akhir.” ‘Amr tersadar, apalagi sesudah berbincang dengan Kholid dan ‘Utsman, bahwa Muhammad adalah jenis manusia yang membuat tiap-tiap jiwa merasa paling dicinta dan paling berharga. Dan itu bukan basa-basi. Muhammad tak kehilangan kejujuran saat ditanya.

Nabi itu indah dan menakjubkan memang. Tapi yang paling menarik dari dirinya adalah bahwa berada di dekatnya menjadikan setiap orang merasa istimewa, merasa berharga, merasa mempesona. Dan itu semua tersaji dalam ketulusan yang utuh.

“Mukmin yang satu”, kata Sang Nabi, “Adalah cermin bagi mukmin yang lain.”

Bercerminlah, tetapi bukan untuk takjub pada bayang-bayang seperti Narcissus, atau telaganya. Menjadikan sesama peyakin sebagai cermin berarti melihat dengan seksama. Lalu saat kita menemukan hal-hal yang tak berkenan di hati dalam bayangan itu, kita tahu bahwa yang harus kita benahi bukanlah sang bayang-bayang. Kita tahu, yang harus dibenahi adalah diri kita yang sedang mengaca. Yang harus diperbaiki bukan sesama yang kita temukan celanya, melainkan pribadi kita yang sedang bercermin padanya.

Itu saja.


Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media