Minggu, 28 Juli 2013

Crocodile Drug Mencipta Zombie

Narkoba memang sudah terbukti mengakibatkan berbagai efek mematikan bagi pecandunya. Tapi mungkin tidak ada yang seganas narkoba asal Rusia ini. Crocodile adalah zat adiktif mengerikan yang akan mengubah pecandunya menjadi mayat hidup yang berjalan.

Sebagai negara yang memiliki pengguna heroin terbanyak di dunia, Rusia dapat dibilang cukup berhasil dalam memerangi peredaran heroin yang biasanya berasal dari Afghanistan. Berkat operasi yang intensif dan usaha yang serius dari pemerintah, kini obat-obatan terlarang itu semakin sulit untuk ditemui di Rusia. Dan itu tentu saja hal yang baik. Tapi di balik itu semua, para pecandu yang semakin kesulitan mendapatkan heroin -karena semakin langkanya dan juga semakin melambungnya harga heroin- berupaya mencari pengganti bubuk putih itu.

Dari sinilah kebanyakan dari mereka lalu berkenalan dengan obat terlarang home-made bernama Crocodile. Harganya yang murah menjadikan Crocodile sebagai obat-obatan populer di kalangan para junkies, terutama mereka dengan kondisi fiskal yang minim.

Nama Crocodile diambil dari reptil besar yang dalam bahasa Inggrisnya bernama Crocodile, atau dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan buaya. Mengapa dinamakan demikian? Hal ini dikarenakan para pecandu yang menggunakan Crocodile pada kulitnya akan ditemukan sisik-sisik seperti buaya, bahkan pecandu yang belum lama menggunakan obat inipun sudah dapat dicirikan dengan tanda berupa bagian-bagian tubuh yang bersisik dan membusuk.

Obat ini keras, sangat-sangat keras. Jika pecandu menyuntikan jarum suntik berisi Crocodile dan cairan tersebut tidak masuk ke pembuluh darah, bengkak berisi nanah akan segera terlihat.

Jika hal itu masih belum cukup mengerikan, maka perlu di ketahui bahwa penggunanya yang sudah parah akan mengalami sebuah kejadian yang akan membuat orang lain bergidik melihat kondisinya. Daging beserta kulitnya akan jatuh bagaikan meleleh dari tubuhnya, menyisakan lobang besar menganga di bagian-bagian tubuh yang membusuk. Tulang putih penderitanya dapat terlihat dengan jelas di tengah luka yang lebih tampak seperti telah dicabik atau digigit oleh hewan buas. Mereka, pada dasarnya adalah jasad manusia yang masih hidup namun telah membusuk. Tubuhnya akan terus membusuk hingga mereka tidak dapat bergerak lagi dan mati dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

Fotografi dari pecandu Crocodile akan memperlihatkan pemandangan yang dapat membuat mual karena begitu ekstrimnya keadaan mereka.






Para pecandu Crocodile juga dapat dikenali dengan bau khasnya. Tubuh mereka akan memancarkan bau Iodine yang kuat, bahkan dokter penanggulangan obat-obatan berbahaya di Rusia mengatakan tak ada cara untuk menyingkirkan bau tersebut selain dengan membakar baju yang telah mereka gunakan.

Hingga saat ini, belum ditemukan serum untuk menyembuhkan efek Crocodile drug ini kecuali mengamputasi bagian tubuh yang telah mulai membusuk.

Hal yang paling memprihatinkan adalah tingkat perkembangan pecandu obat ini di masyarakat. Diperkirakan ada 100 ribu orang Rusia yang kecanduan obat mengerikan ini. Dan itu artinya Rusia akan memiliki 100 ribu mayat hidup (zombie) dan akan terus bertambah apabila peredaran obat ini tidak segera dihentikan.

Minggu, 21 Juli 2013

Segalanya adalah Cermin

semua orang yang ada dalam hidup kita
masing-masingnya, bahkan yang paling menyakiti kita
diminta untuk ada di sana
agar cahaya kita dapat menerangi jalan mereka




TAMPARAN di wajah Mu’awiyah itu diberikan oleh ‘Uqoil ibn Abi Tholib.

Inilah yang dikisahkan Imam as-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa’. Adalah ‘Uqoil yang suatu hari didesak kebutuhan, mendatangi saudara kandungnya, ‘Ali ibn Abi Tholib. “Aku ini,” kata ‘Uqoil, “Adalah seorang yang memerlukan bantuan dan engkau telah mengetahui kefakiranku.”

‘Ali mengangguk. Ingin sekali dia membantu. Sayang, tak ada apapun di tangannya, tidak juga di rumahnya. “Bersabarlah,” ujarnya, “Hingga gajiku dibayarkan dari Baitul Maal bersama dengan kaum Muslimin lainnya. Saat itulah akan aku berikan padamu apa yang kau minta.”

‘Uqoil tak sabar. Dia terus mendesak.

“Baik,” kata ‘Ali sambil memanggil salah seorang pembantu dekatnya. “Bawalah ‘Uqoil ini,” kata ‘Ali padanya, “Ke jajaran kios yang ada di pasar. Suruh dia mengambil apapun yang ada di sana!”

“Subhanalloh!” kata ‘Uqoil, “Apakah engkau menginginkan aku menjadi pencuri?”

“Apa bedanya itu dengan engkau yang mendesakku untuk mengambil harta kaum Muslimin lalu memberikannya kepadamu?”

“Kalau begitu, aku akan menemui Mu’awiyah!”

“Terserah engkau!”

Saat itu, ketegangan antara Mu’awiyah di Syam dan ‘Ali di Iraq terkait kepemimpinan kaum Muslimin sedang tinggi-tingginya. Setiap hal bisa menjadi ladang perebutan pengaruh di antara kedua belah pihak. Tak mendapat apa yang dia mau dari ‘Ali, ‘Uqoil pun menemui Mu’awiyah dan mengajukan permintaan harta kepadanya. Tanpa pikir panjang, Mu’awiyah memberikan padanya seratus ribu dirham.

“Naiklah ke mimbar,” kata Mu’awiyah pada ‘Uqoil setelah itu, “Dan sampaikanlah kepada khalayak seperti apa tanggapan ‘Ali atas pintamu dan seperti apa perlakuanku padamu!”

Maka ‘Uqoil pun naik ke mimbar. Dia memuji Alloh, dan bersholawat atas Rosululloh. “Amma ba’du,” katanya, “Wahai hadirin yang mulia. Akan aku kabarkan kepada kalian bahwa aku menginginkan ‘Ali mengkhianati agama dengan memenuhi hajatku. Tetapi dia lebih memilih agamanya dibandingkan aku, saudara kandungnya. Adapun Mu’awiyah, kuminta dia melakukan hal yang sama, dan dia telah memilih mengutamakanku, yakni saudara dari saingannya, daripada agamanya!”

Mu’awiyah terbelalak. Kata-kata ‘Uqoil itu sungguh bukan yang diharapkannya. Tapi seperti biasa, dengan cepat dia menguasai diri. Dan tersenyum.

Hari ini sebuah tempelak nyaris memelantingkan harga dirinya. Rasanya seperti ditusuk sembilu tepat di ulu hati. Tapi dia tahu, ‘Ali memang orang yang mulia. Dan hari ini ‘Uqoil telah membawakan ‘Ali, sosok terpuji itu, untuk menjadi cermin yang bening baginya. Dia terlalu dibakar hasrat untuk mengalahkan ‘Ali. Sedang ‘Ali telah mengalahkan dirinya dengan kejernihan dan kekuatan menjaga amanah. Mu’awiyah merasa retak dan buram.

Tak sedikit pun ada kebencian pribadi darinya pada menantu Rosululloh itu. Mereka sama-sama penulis wahyu. Mereka sama-sama menjadi saksi peristiwa agung bersama Sang Rosul di perempat terakhir tugas kenabian beliau. Jika kini mereka berhadapan, mungkin keadaannya justru mencerminkan apa yang pernah dikatakan ‘Ali saat menggambarkan kejayaannya dalam berbagai perang bersama Sang Nabi. Mu’awiyah ingat kata-kata itu, “Aku adalah laki-laki,” kata ‘Ali, “Yang ditakdirkan Alloh berdiri di satu titik untuk mengayunkan pedang. Dan tertakdir pula, di hadapanku berdiri seorang laki-laki yang hendak menjulurkan leher.”

Pertentangan sekaligus persaudaraan, pertikaian sekaligus hubungan antara kakak ipar dan menantu Rosululloh ini memang pelik.

                                                               ***

Para sejarawan yang ‘alim dan jernih hati hampir mufakat bahwa kebenaran lebih dekat berada di pihak ‘Ali, Rodhiyallohu ‘Anhu. Mu’awiyah dan kelompoknya adalah kelompok pembangkang yang telah diisyaratkan oleh Sang Nabi. Hanya saja, itu tidak mengeluarkan mereka dari keislaman dan jama’ah kaum Muslimin.

Dan kita tetap belajar banyak dari seorang Mu’awiyah.

Seperti hari yang dikisahkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya itu. Majelis Mu’awiyah sedang ramai dihadiri orang-orang yang telah berdamai berkat kelapangan hati al-Hasan ibn ‘Ali. ‘Ali ibn Abi Tholib sendiri telah wafat, ditikam oleh seorang Khowarij yang dendam dan zholim, ‘Abdurrohman ibn Muljam. Di majelis Mu’awiyah hari itu, hadir sosok istimewa. Orang itu, Dhiror ibn Dhomroh al-Kinani, adalah lelaki yang selalu berada di dekat ‘Ali ibn Abi Tholib ketika ‘Ali dan Mu’awiyah berseteru di Shiffin.

Dan hari ini Mu’awiyah sekali lagi hendak bercermin.

“Wahai Dhiror,” ucap Mu’awiyah, “Sifatkanlah padaku tentang ‘Ali.”

“Apakah engkau akan memaafkanku nanti, hai Amirul Mukminin, jika ada hal yang tak berkenan di hatimu?”

“Baiklah, aku tidak akan marah kepadamu.”

Maka Dhiror bangkit dari duduknya dan berkata, “Kalau sudah semestinya aku sifatkan, maka ‘Ali itu―demi Alloh―adalah jauh pandangannya dan teguh cita-citanya. Kata-katanya pemutus, hukumannya adil, ilmu terpancar dari sekitarnya, dan hikmat terus berbicara dari liku-likunya.”

“Dia,” lanjut Dhiror sambil setengah menerawang, “Senantiasa membelakangi dunia dan kemewahannya, selalu menyambut kedatangan malam dan kegelapan. Dia, demi Alloh, adalah kaya dalam ibaratnya, jauh pemikirannya, mengangkat kedua tangan seraya berkata-kata memberi nasehat kepada dirinya. Pakaian yang kasar itulah yang selalu dipakainya, dan makanan yang rendah itulah yang senantiasa diasupnya.”

Dhiror menghela nafas.

“’Ali tidaklah berbeda dengan salah seorang di antara kami. Dia akan mengajak duduk bersamanya bila kami datang, dan selalu mengulurkan bantuan bila kami menadah tangan. Meskipun dia terlalu akrab dengan kami, dan selalu duduk bersama-sama kami, namun tidak pernah berkata-kata dengan kami melainkan dengan penuh kehebatan. Jika dia tersenyum, maka senyumannya seumpama mutiara yang berkilauan. Dia selalu menghormati ahli agama, suka mendampingkan diri kepada orang miskin. Orang yang kuat tidak berharap akan terlepas dari kesalahannya, dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilannya.”

“Aku bersaksi,” lanjut Dhiror dengan telunjuk mengacung dan mata berkilat, “Bahwa aku telah melihatnya dalam keadaan yang sungguh mengharukan. Ketika itu, malam telah menabiri alam dengan kegelapannya, dan bintang-bintang menyiramkan sekitaran dengan cahayanya. Adapun dia masih tetap duduk di mihrob tempat sholatnya, tangannya terus menggenggam janggutnya, dia kelihatan sangat gelisah seperti gelisahnya orang yang menanggung perkara yang besar. Dan dia menangis, seperti ratapan seorang yang patah hati. Telingaku masih mengiang-ngiang akan suaranya hingga kini. Dia mengatakan, “Robbi. Robbi. Ya Robbi!”

“’Ali,” kata Dhiror, “Terus bermunajat kepada Alloh dengan mengadukan hal yang berbagai macam. Setelah itu, dia berkata pula kepada dunia, “Hai dunia, menjauhlah dariku! Mengapa engkau datang padaku? Tak adakah orang lain untuk engkau dayakan? Adakah engkau sangat menginginkanku? Engkau tak mungkin mendapat kesempatan untuk mengesankanku! Tipulah orang lain! Aku tak memiliki urusan denganmu! Aku telah menceraikanmu tiga kali, yang sesudahnya tak ada rujuk lagi. Kehidupanmu singkat, kegunaanmu kecil, kedudukanmu hina, dan bahayamu mudah berlaku! Ah… Sayang. Sangat sedikit bekal di tangan, jalan begitu panjang, perjalanan masih jauh, dan tujuan sukar dicapai!”

Dhiror ibn Dhomroh pun duduk. Dia meratap.

Mendengar ratapan itu, tangis Mu’awiyah makin tak tertahan. Dia terisak-isak, dan air matanya menetes, mengalir ke atas janggut-nya. Dia selalu mengelapnya dengan ujung pakaiannya. Orang-orang yang ada di majelisnya turut terharu dan menangis.

“Demi Alloh,” kata Mu’awiyah di sela isaknya, “Memang benarlah apa yang engkau katakan tentang ayah si Hasan itu, moga-moga Alloh merohmatinya. Tetapi, bagaimana engkau dapati dirimu dengan kehilangannya, hai Dhiror?”

“Kesedihanku atas kehilangannya umpama kesedihan seorang ibu yang anaknya disembelih di hadapan matanya sendiri. Air matanya tidak akan mengering, dan pilu hatinya tidak akan terlenyap.”

Dhiror ibn Dhomroh al-Kinani, masih dengan air mata dan keharuannya bangkit dari majelis itu dan pergi meninggalkan Mu’awiyah bersama para sahabatnya. Mereka juga masih terus menangis.

                                                               ***

“Bukankah tidak tulus,” tanya seorang mahasiswa, “Jika kita memaksakan diri memuji orang yang kita benci, atau orang yang kita musuhi?”

Orang yang ditanya itu tersenyum. Namanya George W. Crane, seorang dokter, konsultan, dan psikolog. Saat mengajar di Northwestern University di Chicago pada tahun 1920-an, dia mendirikan apa yang disebutnya ‘Klub Pujian’.

“Bukan,” kata Crane masih tetap tersenyum. “Anda bukannya tidak tulus ketika Anda memuji musuh Anda. Mengapa? Karena pujian itu adalah pernyataan yang jujur atas sifat atau keunggulan objektif yang memang pantas dipuji. Anda akan menemukan bahwa setiap orang memiliki sifat baik atau keunggulan.”

“Mungkin saja,” lanjut Crane dengan serius, “Pujian Anda mengangkat semangat dalam jiwa orang-orang kesepian yang hampir putus asa untuk berbuat baik. Anda tidak pernah tahu bahwa bisa saja pujian Anda yang sambil lalu itu, barangkali mengenai seorang anak laki-laki, anak perempuan, wanita, atau pria, pada titik penting ketika mereka―seandainya tidak mendapat sapaan itu― sudah akan menyerah.”

Segalanya adalah cermin. Kemampuan kita untuk mengaca, melihat hal-hal baik dari keunggulan pada siapapun yang ada di sekeliling, baik dia adalah sahabat ataupun musuh, akan memberi nilai kebajikan pada tiap hubungan yang kita jalin dengan mereka. Kita bercermin, melihat bahwa ada selisih nilai antara kita dan sang bayang-bayang. Lalu kita menghargai kelebihannya. Memujinya, sehingga kebaikan itu makin bercahaya.

Jika Mu’awiyah, Rodhiyallohu ‘Anhu, mampu mengajarkan pada kita untuk bercermin pada musuhnya, lalu berani untuk memujinya, menghargainya, dan belajar darinya; maka apatah lagi kepada orang-orang yang kita anggap sahabat dan saudara. Kita mencintai mereka, dan itu artiny akita bercermin pada mereka lalu memandang bayangannya dengan tatapan cinta. Tatapan cinta itu mengajarkan untuk tak hanya takjub, melainkan juga mengejar ketertinggalan, dan menebus selisih nilai di mana kita masih berada di bawah tingkat kejelitaan akhlak mereka. Kita bercermin untuk mendaki, menggapai derajat yang makin tinggi. Lalu cinta antara kita dan mereka pun makin menjulang.

Pada hal-hal yang sebaliknya, kebencian misalnya, segalanya juga adalah cermin.

“Jika Anda membenci seseorang,” demikian ditulis oleh penyair besar Jerman Herman Hesse, “Anda sebenarnya membenci sesuatu dalam dirinya yang merupakan bagian dari diri Anda. Apa yang bukan merupakan bagian dari diri Anda sendiri sama sekali takkan mengganggu Anda.”

Maka saat kita berkaca, menemukan aib pada kawan perjalanan itu sungguh sama artinya dengan menemukan aib kita. Dalam dekapan ukhuwah, setiap saudara adalah tempat kita bercermin untuk melihat bayang-bayang kita. Seperti sabda Sang Nabi, “Mukmin yang satu adalah cermin bagi mukmin yang lain.” Dalam hening kita mematut diri di depannya, lalu kita sempatkan untuk bertanya, “Adakah retak-retak di sana?”

Seringkali memang ada retak menghiasi bayangan kita dalam kaca. Dalam dekapan ukhuwah, kita diajarkan bahwa retak itu bukan terletak pada sang kaca. Retak itu justru mungkin terdapat pada sekujur diri kita yang sedang berdiri di depannya. Lalu kita pun merapikan diri lagi, menata jiwa, merekatkan retakan-retakan itu hingga sang bayangan turut menjadi utuh.

Makna bercermin tak berhenti di situ. Dalam dekapan ukhuwah, kita juga tahu, menjadikan sesama peyakin sebagai cermin berarti melihat dengan seksama. Lalu saat kita menemukan hal-hal yang terkenan di hati dalam gambaran itu, kita tahu bahwa yang harus kita benahi adalah diri kita yang sedang mengaca. Yang harus diperbaiki bukan sesama yang kita temukan celanya, melainkan pribadi kita yang sedang bercermin padanya.

Satu lagi. Bahkan jikapun sang cermin buram, barangkali noda itu disebabkan hambusan nafas kita yang terlalu banyak mengan-dung asam arang dosa.

Dalam dekapan ukhuwah, kita menginsyafi bahwa diri kita adalah orang yang paling memungkinkan untuk diubah agar segala hubungan menjadi indah. Kita sadar bahwa diri kitalah yang ada dalam genggaman untuk diperbaiki dan dibenahi. Kita mafhum, bahwa jiwa kitalah yang harus dijelitakan agar segala bayang-bayang yang menghuni para cermin menjadi mempesona. Dalam dekapan ukhuwah, biarkan sesama peyakin sejati sekedar memantulkan kembali keelokan akhlak yang kita hadirkan.

Dalam dekapan ukhuwah, segalanya adalah cermin.



Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Manis, Harum, Lembut

persaudaraan adalah mu’jizat, wadah yang saling berikatan
dengannya Alloh persatukan hati-hati berserakan
saling bersaudara, saling merendah lagi memahami,
saling mencintai, dan saling berlembut hati

-Sayyid Quthb-



DI PERJALANAN, pemuda itu terbiasa menyapa dan mengajak bicara siapa saja yang berdiri di dekatnya ataupun duduk di sebelahnya. Setelah itu tergantung lawan bicara; jika mereka merasa nyaman, dia akan mengerahkan kemampuannya berakrab-akrab. Dia akan hanyut bersama mereka dalam perbincang-an mengasyikkan. Tapi jika yang disapa terlihat merasa terganggu, dia akan kembali mengakrabi buku yang telah dia siapkan. Sebelum meletakkan bagasi di ruang penyimpanan atas, dia tak pernah lupa membuka tas punggungnya, mengeluarkan sebuah buku dan melemparkannya ke kursi. Setelah itu duduk.

Hari itu, yang duduk di sampingnya dalam penerbangan Jakarta-Singapura tampak tak biasa. Seorang ibu. Sudah cukup sepuh dengan keriput wajah mulai menggelayut. Kerudungnya kusut. Sandalnya jepit sederhana. Dan dalam pandangan si pemuda, beliau tampak agak udik. Tenaga kerjakah? Setua ini?

Tetapi begitu si pemuda menyapa, si ibu tersenyum padanya dan tampaklah raut muka yang sumringah dan merdeka. Sekilas, garis-garis ketuaan di wajahnya menjelma menjadi semburat cahaya kebijaksanaan. Si pemuda takjub.

“Ibu hendak ke mana?” tanyanya sambil tersenyum ta’zhim.

“Singapura, Nak.” senyum sang ibu bersahaja.

“Akan bekerja atau…?”

“Bukan, Nak. Anak Ibu yang nomor dua bekerja di sana. Ini mau menengok cucu. Kebetulan menantu Ibu baru saja melahirkan putra kedua mereka.”

Si pemuda sudah merasa tak enak atas pertanyaannya barusan. Kini dia mencoba lebih hati-hati.

“Oh, putra Ibu sudah lama kerja di sana?”

“Alhamdulillah, lumayan. Sekarang katanya sudah jadi Permanent Resident begitu. Ibu juga nggak ngerti apa maksudnya, hehe… Yang jelas di sana jadi arsitek. Tukang gambar gedung.”

Si pemuda tertegun. Arsitek? PR di Singapura? Hebat!

“Oh iya, putra Ibu ada berapa?”

“Alhamdulillah, Nak. Ada empat. Yang di Singapura ini, yang nomor dua. Yang nomor tiga sudah tugas jadi dokter bedah di Jakarta. Yang nomor empat sedang ambil S2 di Jerman. Dia dapat beasiswa.”

“Masya Alloh. Luar biasa. Alangkah bahagia menjadi Ibu dari putra-putra yang sukses. Saya kagum sekali pada Ibu yang berhasil mendidik mereka.” Si pemuda mengerjap mata dan mendecakkan lidah.

Si ibu mengangguk-angguk dan berulangkali berucap “Alhamdulillah.” Lirih. Matanya berkaca-kaca.

“Oh iya maaf, Bu… Bagaimana dengan putra Ibu yang pertama?”

Si ibu menundukkan kepala. Sejenak tangannya memain-mainkan sabuk keselamatan yang terpasang di pinggang. Lalu dia tatap lekat-lekat si pemuda. “Dia tinggal di kampung, Nak. Sawah peninggalan bapaknya.” Si ibu terdiam. Beliau menghela nafas panjang, menegakkan kepala. Tapi kemudian menggeleng, menerawang ke arah jendela sambil mengulum senyum yang entah apa artinya. Si pemuda menyesal telah bertanya. Betul-betul menyesal. Dia ikut prihatin.

“Maaf Bu kalau pertanyaan saya menyinggung Ibu. Ibu mungkin jadi sedih karena tidak bisa membanggakan putra pertama Ibu sebagaimana putra-putra Ibu yang lain.”

“Oh tidak, Nak. Bukan begitu!” si Ibu cepat-cepat menatap tajam namun lembut pada si pemuda. “Ibu justru sangat bangga pada putra pertama Ibu itu. Sangat-sangat bangga. Sangat-sangat bangga!” Si Ibu menepuk-nepuk pundak si pemuda dengan mata berbinar seolah dialah sang putra pertama.

“Ibu bangga sekali padanya, karena dialah yang rela membanting tulang dan menguras tenaga untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Bahkan dialah yang senantiasa mendorong, menasehati, dan mengirimi surat penyemangat saat mereka di rantau. Tanpa dia, adik-adiknya takkan mungkin jadi seperti sekarang ini!” sang Ibu terisak.

Sunyi. Tak ada kata.

Pemuda itu mengambil sapu tangan. Genangan di matanya tumpah…

                                                            ***

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Alloh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Robbnya. Alloh membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Qs. Ibrohim [14]: 24-25)

Ampuni kami, ya Robbi. Jika selama ini kami lalai dari memperhatikan hakikat ini.

Ayat ini bicara kepada kita dengan pilihan kata “ukul”, dan bukannya “tsamarot”. Memberikan bukan sekedar buah, namun apa yang terasa lezat dan nikmat dari buah itu. Rasa. “Tu’ti ukulaha, memberikan rasa buahnya di tiap musim dengan izin Robbnya.” Ukhuwah adalah soal menyuapkan lezatnya rasa buah dari pohon iman kita. Tanpa henti, tanpa jeda, dengan rasa terbaik yang kita hasilkan dari tumbuh dan mekarnya pohon iman.

Seperti kisah si ibu tua dan sang pemuda. Rasa buah dari pohon iman kita seharusnya adalah kemanfaatan setinggi-tingginya bagi saudara-saudara kita. Iya, berprestasi menjadi arsitek, menjadi dokter, dan belajar di luar negeri sungguhlah sesuatu yang amat tinggi nilainya. Tetapi mungkin itu sekedar cabang yang menjulang tinggi di langit. Indah. Agung. Menakjubkan. Mempesona. Tetapi semua kementerengan profesi dan status itu dikalahkan nilainya oleh seorang petani yang tinggal di kampung sunyi.

Karena berkat kerja keras sang petanilah segala kemegahan itu dicapai. Sebab atas segala dorongan dan bimbingannyalah semua keberhasilan itu digapai. Dia yang telah memerah rasa ternikmat dari cinta tulusnya pada keluarga dan mempersembahkannya demi kebermaknaan hidup adik-adiknya. Cinta dan kasihnya berbuah. Rasanya manis, baunya harum, teksturnya lembut.

“Orang mukmin itu,” tulis Ibnu Katsir dalam Tafsirul Qur’anil ‘Adhim, “Bagaikan sebuah pohon yang berbuah setiap waktu. Pada musim panas maupun dingin, pada malam hari juga pada siangnya. Demikianlah seorang mukmin yang senantiasa diangkat amal baiknya sepanjang malam dan selama siang di tiap detik, tiap kejap, tiap saat. Dengan izin Robbnya, yakni secara sempurna, baik, banyak, bagus, dan penuh keberkahan.”

Sang kakak, sang petani, telah mengajarkan kita hakikat cinta yang berbuah nikmat. Rasanya manis, aromanya harum, sentuhan-nya lembut. Dengan itulah dia suburkan cabang dan ranting dari jiwa saudara-saudaranya agar menjulang menggapai langit. Persaudaraannya dengan adik-adiknya adalah persaudaraan darah. Ikatan mereka ikatan nasab. Dalam dekapan ukhuwah, sanggupkah kita merasa bahwa persaudaraan kita ini atas dasar aqidah, atas dasar iman, mengunggulinya dalam menyuapkan rasa lezat buah keyakinan?

Dalam dekapan ukhuwah, jawabannya harus ya! Karena kita telanjur berkata bahwa ikatan persaudaraan ini lebih tinggi dari pertautan rahim dan pertalian darah.

Dalam dekapan ukhuwah, jawabannya harus ya! Sebab kita mengambil bahannya bukan dari bumi yang sesak dan sempit.

Dalam dekapan ukhuwah, jawabnya harus ya! Karena kita akan mengambil racikan cintanya dari bentangan langit nan tak terbatas.

                                                            ***

Sungguh untuk bisa menyajikan rasa buah yang lezat dari keimanan pada mereka yang kita cintai, lebih dahulu kita akan mengambil cinta dari langit. Kita akan menyesapnya dari sumber yang tak habis-habis. Kita akan menadahnya dari curahan yang tak kenal henti. Kita akan menimbanya dari mata air yang tak pernah kering. Kita akan merengkuhnya dari semesta yang tak terhingga. Kita akan mengambil cinta dari langit, lalu menebarkannya di bumi.

Tetapi bagaimanakah caranya menghubungkan diri kita yang tertatih di bumi dengan langit yang begitu tinggi? Tetapi bagaimanakah menghubungkan jiwa kita yang lemah dengan kekuatan yang seolah tak terjangkau? Alloh, Penguasa langit dan bumi, menjawabnya dalam sebuah hadits Qudsi.

“Tiadalah hamba-Ku,” begitu Dia berfirman, “Mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai, daripada saat dia jalani apa-apa yang Aku wajibkan untuknya. Dan hamba-Ku itu tidak puas hanya dengan menjalankan yang wajib saja. Maka dia terus mendekat kepada-Ku dengan hal-hal yang Aku sunnahkan, sampai Aku mencintainya.”

“Maka jika Aku telah mencintainya,” lanjut-Nya, “Aku akan menjadi pendengaran yang dia gunakan untuk menyimak. Aku akan menjadi penglihatan yang dia gunakan untuk menyaksikan. Aku akan menjadi tangan serta kakinya yang dia gunakan untuk bertindak dan bergerak. Jika dia memohon pada-Ku, Aku akan menjawab pintanya. Jika dia minta perlindungan, maka Aku pasti melindunginya.”

Dalam dekapan ukhuwah, alangkah rindunya kita mencintai saudara-saudara kita dengan cinta Alloh. Alangkah inginnya kita memperlakukan mereka dengan perlakuan Alloh. Alangkah harapnya kita bisa bergaul pada mereka dengan akhlak Alloh. Kita ingin menatap mereka dengan tatapan rohmat-Nya. Kita ingin gandeng mereka dengan tangan hidayah-Nya. Kita ingin menjajari langkah mereka dengan tapak ridho-Nya.

Di situlah mahabbah. Di situlah cinta langit yang kita peluk, lalu kita semaikan kembali di bumi.

“Mahabbah,” demikian ditulis Ibnul Qoyyim al-Jauziyah dalam Madarijus Saalikiin, “Adalah kejernihan cinta. Ia adalah kekuatan, ketinggian, dan besarnya keinginan hati kepada yang dicinta, karena pertautannya dengan yang ia cinta dan inginkan. Mahabbah adalah keteguhan keinginan kepada yang disinta. Ia adalah kehendak untuk selalu bersama, dan keengganan meninggalkannya agar sang pencinta bisa memberikan hal paling berharga yang dimilikinya pada yang dicintai. Yakni hatinya.”

Dalam dekapan ukhuwah, kita tunaikan kewajiban-kewajiban untuk menghubungkan diri dengan-Nya. Kita genapkan sunnah-sunnah untuk mengambil cinta-Nya. Lalu kita sedekahkan hati yang telah terisi cinta Ilahi kepada segenap penduduk bumi…



Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Kamis, 11 Juli 2013

Merajut Cinta di Bulan Suci

.:: Pengantar

Saudaraku, tidak terasa bulan suci Romadhon kembali menyapa kita. Bulan samudra cinta Alloh pada kekasih-Nya. Bulan agung penuh berkah tak pernah jemu menemui kita. Bulan berjuta pahala. Pintu-pintu surga dibuka lebar-lebar. Pintu-pintu neraka ditutup rapat-rapat. Dan setan-setan dibelenggu oleh Dzat Yang Maha Kasih.

Saudaraku, detik-detik bulan suci Romadhon adalah detik-detik cinta, Ketika kita mampu mengisinya dengan mendekat mesra kepada Alloh swt, maka cinta dari Dzat Pemilik cinta tersebut akan mengalir dalam jiwa kita. Dengan cinta seperti inilah, kita tidak akan pernah letih menebar cinta terhadap sesama.

Jika cinta telah mendominasi seseorang, ia dapat menelikung hawa nafsunya, ia pun tidak akan merasa nikmat, selain dengan kekasih-Nya. (lmam Al-Ghozali)

“Romadhon adalah bulan pembuktian cinta, pada setiap ruang dan waktu yang berpuluh-puluh lipat nilainya. Ketundukan adalah cinta. Kebajikan adalah cinta. Derma adalah cinta. Dan menata jiwa lebih dewasa adalah cinta. Romadhon, saatnya memberi makna istimewa pada cinta.” (H.M. Anis Matta)

Semoga sajian buku sederhana ini menginspirasi para pembaca sekalian. Semoga Alloh swt melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua, Aamiin. Selamat membaca!


.:: Merajut Cinta di Bulan Suci

Alloh swt senantiasa mencurahkan cinta-Nya kepada umat manusia. Alloh swt membuka banyak sarana dan jalan bagi keselamatan hamba-hamba-Nya, salah satunya melalui bulan suci Romadhon, bulan di mana Alloh swt membuka lebar-lebar pintu cinta-Nya pada umat manusia.

Cinta Alloh Tak Bertepi

Alloh swt Dzat Pemilik cinta tak bersyarat. Dia mencintai semua hamba-Nya tanpa mengharap balasan apapun. Alloh swt selalu mencintai hamba-Nya walaupun hamba itu berbuat zholim dan tetap membangkang dari perintah-Nya. Maka, tak berlebihan bila bulan Romadhon dikatakan sebagai bulan cinta, bulan di mana Alloh swt membuka pintu-pintu kecintaan-Nya.

Bukti cinta Alloh swt itu mewujud dalam panggilan cinta dan mesra terhadap orang-orang beriman ketika Alloh swt mewajibkan ibadah shoum. Bukan sisi kemanusiaan yang Alloh swt sentuh, bukan nama personal yang dipanggil, juga bukan label lainnya, tapi Alloh swt memanggil hamba-hamba-Nya dengan panggilan keimanan. Alloh swt berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqoroh: 183)

Samudera cinta Alloh swt kepada umat manusia digambarkan Rosululloh saw dalam berbagai sabdanya:

“Telah datang kepadamu bulan Romadhon, bulan yang diberkahi. Alloh mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan diikat; juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak akan memperoleh apa-apa.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)

“Telah datang kepadamu bulan Romadhon, bulan keberkahan, Alloh mengunjungimu pada bulan ini dengan menurunkan rahmat, menghapus dosa-dosa dan mengabulkan doa. Alloh melihat berlomba-lombanya kamu pada bulan ini. Alloh membangga-banggakanmu di hadapan malaikat-Nya, maka tunjukkanlah kepada Alloh hal-hal yang baik dari dirimu. Karena orang-orang yang sengsara ialah yang tidak mendapatkan rahmat Alloh di bulan ini.” (HR. Thobrani, periwayatnya tsiqoh)

Beragam amaliyah ibadah Romadhon Alloh swt persiapkan agar para kekasih-Nya terpenuhi kebutuhan ruhaninya, sehat fisiknya, stabil emosinya, harmoni kehidupannya. Dalam buku ini kita sebutkan paling tidak ada sepuluh amaliyah ibadah khusus Romadhon, yang apabila itu dilaksanakan dengan baik, insya Alloh umat manusia akan meraih cinta Alloh swt.

Meraih Cinta Alloh

Ketika cinta Alloh swt terhadap umat manusia demikian besar, maka hendaknya kita membalas cinta-Nya, meski sejatinya Alloh swt tidak membutuhkan cinta kita. Sebab, orang yang mengaku cinta ia harus bisa membuktikan kebenaran cintanya. Jika kita mencintai Alloh swt maka kita harus menyambut seruan-Nya. Potongan syair Arab menyatakan:

Anda bermaksiat kepada Alloh dan Anda mengklaim mencintai-Nya
Sungguh itu jauh panggang dari api
Jika Anda benar mencintai-Nya, pasti Anda mentaati-Nya
Karena orang yang mencinta terhadap Dzat Yang dicintai itu mentaati-Nya.

Karena itu, Rosululluh saw dan para sahabatnya selalu menyambut bulan Romadhon dengan suka cita. Bahkan semenjak bulan Rojab dan Sya’ban mereka telah mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambutnya, termasuk dengan memperbanyak puasa dan amalan sunnah lainnya. Aisyah ra. menceritakan bahwa Rosululloh saw tidak pernah berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari puasanya pada bulan Sya’ban, hampir sebulan penuh beliau berpuasa di bulan ini. (HR. Bukhori-Muslim)

Rosululloh saw juga menjadi teladan bagi kita bagaimana beliau mengisi jenak-jenak waktu di bulan Romadhon dengan kesibukan amal sholih. Tidak ada waktu luang sedikitpun berlalu sia-sia. Semua nafas adalah ibadah, semua langkah adalah kebaikan, semua tindakan adalah manfaat, dan semua perilaku berpahala.

Nah, ketika cinta kita sudah berbicara, maka tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak bahagia menyambut dan mengisi bulan Romadhon. Tidak ada lagi keluh kesah menahan lapar, haus, dan semua keletihan tatkala menjalankan ibadah Romadhon. Dengan cinta semua yang pahit akan menjadi manis. Dengan cinta yang berat akan menjadi ringan. Dengan cinta yang susah akan menjadi mudah.

Cinta Terhadap Sesama

Selain merajut cinta Alloh swt, bulan Romadhon juga menjadi momentum merajut cinta terhadap sesama umat manusia, dengan melaksanakan beragam aktivitas kebajikan dan kepedulian sosial; memberi buka puasa, mengeluarkan zakat, infaq, dan sedekah, menebarkan kedamaian, memaafkan, menjalin shilaturrohim, berbuat baik terhadap tetangga dan seterusnya.

Rosululloh saw menjadi teladan dalam kedermawanan di bulan suci ini. Aisyah ra. Menceritakan “Bahwa Rosululloh adalah manusia yang paling dermawan. Dan beliau semakin dermawan saat bulan Romadhon tiba.”

Rosululloh saw memotivasi kita untuk melipatgandakan kepedulian sosial, salah satunya dengan memberi buka puasa, Rosul bersabda: “Barangsiapa memberi buka (makan atau minum) terhadap orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa, tanpa mengurangi sedikitpun pahala arang yang berpuasa itu.” (HR. Tirmidzi)

Termasuk upaya untuk merajut cinta terhadap sesama di bulan suci adalah lapang dada, memaafkan, tidak memfitnah dan meninggalkan bermusuhan. Rosululloh saw bersabda:

“Puasa itu sebagai perisai. Jika, seseorang berpuasa, maka jangan berkata kotor dan melanggar aturan. Jika ada orong mencacinya atau mengajak berkelahi maka hendaknya ia katakan kepadanya; ‘Aku sedang berpuasa’.” (HR. Imam Bukhori dan Muslim)

Di penghujung bulan Romadhon, Rosululloh saw memperintahkan umat muslim untuk menyempurnakan shoumnya dengan mengeluarkan zakat, sebagai bentuk kepedulian sosial yang tinggi terhadap sesama. Rosululloh saw bersabda: “Zakat fitrah menjadi pencuci bagi orang yang shoum dari perkara yang tidak ada gunanya, dari perkara yang jorok. Sekaligus untuk memberi makan bagi fakir miskin.”

Ada tradisi bagus di kalangan umat muslim di Indonesia, yaitu dalam rangka menyambut bulan suci Romadhon, umat muslim saling memberi maaf, bershilaturrohim terhadap orang tua, keluarga, tetangga, teman sekantor, sesama jamaah masjid dan seterusnya. Itu dilakukan dalam rangka merajut cinta kasih terhadap sesama umat manusia sehingga memasuki bulan suci Romadhon dalam kondisi terhindar dari kesalahan terhadap sesama anak Adam.

Bahkan, tradisi saling memaafkan dan shilaturrohim ini dikuatkan kembali pada saat umat muslim menutup bulan suci Romadhon dan mengawali bulan Syawal. Berlebaran dengan saling shilaturrohim, mengucapkan selamat lebaran, memberi hadiah, mendoakan dan membantu meringankan saudaranya yang tidak berkecukupan.

Seluruh aspek kehidupan dalam bulan suci Romadhon dapat dijadikan media untuk merajut cinta Alloh swt, juga cinta sesama umat manusia. Selamat menempuh perjalanan satu bulan penuh merajut cinta; cinta Ilahi yang hakiki dan cinta sesama yang harmoni.


.:: Sepuluh Amaliyah Romadhon

Cinta mendorong kekasih Alloh swt untuk terus beramal. Cinta meringankan kekasih Alloh swt untuk senantiasa melaksanakan ketaatan. Cinta mengantarkan kekasih Alloh swt untuk selalu peduli terhadap sesama. Dan sumber cinta itu adalah iman yang benar kepada Alloh swt.

Di bulan suci Romadhon, cinta ini kembali menguatkan kekasih Alloh swt untuk melaksanakan berbagai macam amaliyah (kerja) ibadah Romadhon secara optimal. Begitu sebaliknya, ketika berbagai amaliyah ibadah Romadhon dilaksanakan dengan baik, maka cinta itu akan menguat dan mengantarkan seseorang menjadi kekasih-Nya.

Nah, di antara amaliyah ibadah khas bulan suci Romadhon adalah:

Amaliyah Pertama, Shoum

Shoum tidak sekedar menahan hal yang membatalkan shoum -makan, minum dan berhubungan biologis- dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari saja. Karena, kalau hanya sekedar menahan yang demikian, boleh jadi anak kecil, usia SD bisa melakukannya.

Kalau demikian, apa bedanya shoumnya kita dengan mereka? Harus ada nilai lebih, yaitu menjaga dari yang membatalkan nilai dan pahala shoum. Apa yang membatalkan nilai shoum? Di antaranya berbohong, ghibah, namimah, mengumpat, hasud, dan penyakit hati lainnya. Dengan demikian, mata, telinga, lisan, tangan, kaki dan anggota badan kita ikut serta shoum.

“Betapa banyak orang yang shoum, tidak mendapatkan sesuatu kecuali hanya rasa lapar dan dahaga semata.” (HR. Ad-Darimi, Al-Albani mengatakan hadits ini sanadnya Jayyid)

Amaliyah Kedua, Sahur

Sahur tidak pengganti sarapan pagi, bukan juga penambah makan malam. Namun sahur yang penuh berkah, yang dilakukan di akhir lelang waktu fajar. Di sinilah waktu-waktu yang sangat mahal, doa dikabulkan, permintaan dipenuhi. Sehingga ketika melaksanakan sahur tidak sambil nonton hiburan, tayangan yang melenakan, oleh media elektronik. Sibukkan diri dan keluarga kita dengan mensyukuri nikmat Alloh dengan bersama-sama melaksanakan sunnah sahur ini dengan penuh hikmat dan kekeluargaan. Rosululloh saw bersabda:

“Sahurlah, karena dalam sahur itu ada keberkahan.” (Muttafaqun ‘alaih)


Amaliyah Ketiga, Ifthor atau Berbuka

Sunnah buka puasa itu disegerakan. Ketika mendengar kumandang adzan Maghrib, segera lakukan buka puasa. Dengan apa kita ifthor? Sunnahnya dengan ruthab atau kurma muda. Berapa biji? Bilangan ganjil satu atau tiga biji. Kalau tidak ada, seteguk air putih. Itu yang dilakukan Rosululloh saw, bukan dengan memakan aneka hidangan, ragam makanan.

Ifthor bukan ajang balas dendam, seharian manahan lapar, ketika bedug Maghrib, seakan ingin melampiaskan rasa laparnya dengan memakan semua yang ada. Perilaku ini tentu tidak akan membawa dampak perubahan dalam kehidupan pelakunya. Justeru dengan berlapar-lapar sambil merenungkan hikmah shoum. Sehingga dengan sadar dan hikmat kita berdoa saat berbuka:

“Ya Alloh, kepada-Mu aku shoum, dengan rizki-Mu aku berbuka, telah hilang rasa haus-dahagaku, kerongkongan telah basah, karena itu tetapkan pahala bagiku, insya Alloh,” (HR. Abu Daud, Al-Albani menganggap hadits ini Hasan)

Amaliyah Keempat, Sholat Tarawih

Tarawih berasal dari akar kata “rooha-yaruuhu-roohatan-watarwiihatan- yang artinya rehat, istirahat, santai. Sehingga sholat tarawih adalah sholat yang dilaksanakan dengan thuma’ninah, santai, khusyu’ dan penuh penghayatan, bukan hanya sekedar mengejar target bilangan roka’atnya saja.

Umat muslim hendaknya mengevaluasi diri dalam hal pelaksanaan sholat tarawih ini. Sebab, sudah kesekian kali kita melaksanakan sholat tarawih dalam hidup kita, namun kita belum bisa meresapi, merenungkan, dan mendapatkan manisnya sholat, bermunajat kepada Alloh swt secara langsung, sehingga dampak sholat pun belum bisa kita rasakan.

“Barangsiapa menghidupkan malam Romadhon -qiyamu Romadhon- dengan sholat dilaksanakan dengan penuh rasa keimanan dan keikhlasan, akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)

Bahkan sholat tarawih menjadi ajang untuk merajut cinta terhadap sesama umat muslim, dengan saling menyapa, memberi salam, mendoakan, merapatkan barisan shof sholat, mendengarkan taushiyah dan seterusnya.

Amaliyah Kelima, Membaca Al-Qur’an

Membaca Al-Qur’an atau tadarus Al-Qur’an tidak hanya dilakukan di bulan suci ini, tapi juga dilakukan setiap hari di luar Romadhon. Namun pada bulan ini tadarus lebih dikuatkan, ditambah kuantitas, dan kualitasnya. Setiap malam, Rosululloh saw bergantian bertadarus dan mengkhotamkan Al-Qur’an dengan Malaikat Jibril as.

Imam Malik, ketika memasuki bulan suci Romadhon meninggalkan semua aktivitas keilmuan atau memberi fatwa dan hanya fokus tadarus. Imam Syafi’i, ketika masuk bulan Romadhon ia mengkhotamkan Al-Qur’an sehari dua kali, sehingga beliau khotam Al-Qur’an 50 kali selama sebulan penuh. Subhanalloh!

Kita tidak perlu mendebat, apakah itu mungkin? Bagaimana caranya beliau bisa melakukan hal itu? Esensi yang jauh lebih penting adalah semangat dan mujahadah yang kuat itulah yang mesti kita miliki dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an.

Amaliyah Keenam, Ith’aamul Ifthor atau Memberi Buka Puasa

Jangan diremehkan memberi berbuka puasa kepada orang yang berpuasa, baik langsung maupun lewat masjid atau perkantoran. Walau hanya sebutir kurma, seteguk air, makanan, minuman, dan lainnya. Sebab, nilai dan pahalanya sama seperti orang yang berpuasa yang kita kasih berbuka tersebut.

Di negara-negara Timur Tengah, tradisi memberi buka puasa sangat kental. Hampir-hampir setiap rumah membuka pintu selebar-lebarnya bagi para kerabat, tetangga, sahabat, dan musafir untuk turut serta berbuka bersama dengan mereka. Tradisi memberi berbuka ini akan menguatkan cinta kasih di antara umat Islam.

Amaliyah Ketujuh, I’tikaf

Melaksanakan i’tikaf 10 hari akhir Romadhon. Inilah amalan sunnah muakkadah yang tidak pernah ditinggalkan Rosululloh saw semasa hidupnya. Bahkan di tahun di mana beliau meninggal, beliau beri’tikaf 20 hari akhir Romadhon. Rosululloh saw bersabda:

“Adalah Rosululloh saw jika masuk pada sepuluh hari akhir Romadhon, beliau mengencangkan sarungnya -lebih giat beribadah-, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhori)

Amaliyah Kedelapan, Taharri Lailatil Qodar atau Memburu Malam Lailatul Qodar

Usia rata-rata umat Nabi Muhammad saw adalah 60 tahun. Jika lebih, itu kira-kira bonus dari Alloh swt. Namun usia yang relatif pendek itu bisa menyamai nilai usia umat-umat terdahulu yang bilangan umur mereka ratusan bahkan ribuan tahun.

Bagaimana caranya? Ya, dengan cara memburu lailatul qodar. Sebab orang yang meraih lailatul qodar dalam kondisi beribadah kepada Alloh swt, berarti ia telah berbuat kebaikan sepanjang 1000 bulan atau 83 tahun 3 bulan penuh. Jika kita meraih lailatul qodar sekali, dua kali, tiga kali, dan seterusnya, maka nilai usia dan ibadah kita bisa menyamai umat-umat terdahulu. Rosululloh saw bersabda:

“Pada bulan ini ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, siapa yang terhalang dari kebaikannya berarti ia telah benar-benar terhalang dari kebaikan.” (HR. Ibnu Majah, Al-Albani menganggap hadits ini Hasan)

Rosululloh saw bersabda:

“Burulah oleh kalian malam lailatul qodar itu di bilangan ganjil di sepuluh malam akhir Romadhon.” (HR. Bukhori)

Amaliyah Kesembilan, Umroh

Melaksanakan ibadah umroh di bulan suci Romadhon, terutama 10 akhir Romadhon. Sebab melaksanakan umroh di bulan suci ini seperti melaksanakan ibadah haji atau ibadah haji bersama Rosululloh saw, Rosululloh saw bersabda:

“Umroh di bulan Romadhon sebanding dengan haji.” Dalam riwayat yang lain: “Sebanding haji bersamaku.” (HR. Muslim)

Amaliyah Kesepuluh, Menunaikan ZISWAF

Yaitu mengeluarkan zakat, infaq, sedekah, dan wakaf. Rosululloh saw bersabda:

“Zakat fitrah menjadi pencuci bagi orang yang shoum dari perkara yang tidak ada gunanya, dari perkara yang jorok sekaligus untuk memberi makan bagi kaum miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum sholat idul fitri, maka zakatnya diterima -sebagai zakat fitrah yang wajib-. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah sholat idul fithri, maka itu bagian dari sedekah biasa.” (HR. Al-Baihaqi, Al-Albani menshohihkan)

ZISWAF adalah merupakan ibadah maaliyah ijtima’iyyah, ibadah yang terkait dengan harta yang berdampak pada manfaat sosial, menumbuhkan cinta kasih antara aghniya’ dan fuqoro’ bahkan mensejahterakan masyarakat. Mengeluarkan ZISWAF tidak hanya di bulan suci Romadhon, kecuali zakat fitrah yang memang harus dikeluarkan sebelum sholat idul fitri, sedangkan zakat-zakat yang lain, sedekah, dan juga infaq dilakukan kapan saja dan di mana saja. Akan lebih efektif dan berdampak luas, jika ZISWAF disalurkan lewat Lembaga Amil Zakat yang mengelola dana-dana umat secara rutin.

Sepuluh amaliyah ibadah yang khusus di bulan suci Romadhon ini akan bisa kita laksanakan dengan optimal ketika dilandasi oleh cinta; cinta kepada Alloh swt, cinta kepada sunnah Nabi, cinta pada bulan suci, cinta pada syiar Islam. Sebaliknya, jika amaliyah ibadah ini dilaksanakan dengan baik dan benar, maka akan menguatkan rasa cinta kepada Alloh swt dan cinta terhadap sesama.


.:: Meneladani Ibadah Romadhon Generasi Salaf

Pertanyaan yang sering mengemuka di kalangan umat Islam sekarang ini adalah bagaimana generasi terbaik Islam (Generasi Salaf) terdahulu mengisi hari-hari di bulan suci Romadhon.

Dari lembaran sejarah bisa kita temukan bahwa, mereka generasi terbaik Islam itu berlomba meraih fadhilah atau keutamaan bulan suci Romadhon, mereka menyibukkan diri dengan berbagai amaliyah ibadah Romadhon, dan mereka mengerahkan segenap kekuatan fisik dan kekuatan jiwa untuk mengisinya.

Waktu siang hari mereka adalah kesungguhan, produktifitas dan prestasi kerja. Malam hari mereka adalah malam-malam meraih bekalan ruhani, tahajjud dan tilawah Al-Qur’an.

Sebulan penuh mereka belajar; beribadah dan berbuat baik.

Lisan mereka shoum, jauh dari berkata yang tidak ada manfaatnya, apalagi kata-kata kasar, jorok, dan dusta.

Telinga mereka shoum, tidak mendengarkan pernyataan sesat, negatif, dan hal yang sia-sia. Mata mereka shoum, tidak melihat yang diharamkan dan maksiat.

Hati mereka shoum, tidak terbersit untuk melakukan kesalahan atau dosa.

Tangan mereka shoum, tidak digunakan untuk mengambil sesuatu yang tidak halal dan tidak pula menyakiti orang lain.

Begitu juga dengan anggota tubuh lainnya, turut serta shoum.

Kalau kita lihat pelaksanaan ibadah Romadhon umat Islam sekarang ini, maka paling tidak ada dua model.

Model pertama, mereka yang menjadikan Romadhon sebagai musim taat kepada Alloh swt dengan melipatgandakan kebaikan. Mereka shoum siang harinya dengan sebaik-baiknya. Di malam hari mereka qiyam Romadhon -sholat tarawih dan tahajjud- dengan sebaik-baiknya. Mereka bersyukur kepada Alloh swt atas nikmat yang mereka peroleh. Mereka juga tidak lupa dengan saudara-saudara mereka yang lemah ekonomi lagi tidak beruntung. Mereka berusaha meneladani Nabi saw sebagai orang yang paling dermawan dan paling banyak berbuat baik dalam bulan Romadhon, laksana angin yang tertiup.

Model lainnya, ada sebagian orang yang tidak pernah tahu dan sadar dengan kebaikan Romadhon. Mereka tidak merasakan ada manfaat dari hadirnya bulan Romadhon. Mereka tidak peduli dengan shiyam dan qiyam. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu keutamaan dan keistimewaan Romadhon.

Padahal Alloh swt menghidangkan Romadhon bagi qolbu dan ruh (hati dan jiwa) sekaligus. Sedangkan mereka malah menjadikan Romadhon untuk memperturutkan syahwat perut dan mata (tidur) semata.

Alloh swt menjadikan Romadhon sebagai upaya menyemai sikap kasih sayang dan kesabaran. Justeru mereka menjadikannya sebagai ajang amarah, mengumpat, dan memfitnah.

Alloh swt menjadikan Romadhon sebagai wahana meraih sakinah (ketenteraman) dan keteduhan. Mereka malah menjadikannya sebagai bulan pertengkaran dan perselisihan.

Alloh swt menjadikan Romadhon sebagai momentum perubahan diri (pola makan sehat), namun mereka hanya merubah jadwal makan belaka.

Alloh swt menghadirkan Romadhon untuk menggugah si kaya agar peduli dengan yang tak berpunya. Namun mereka menjadikannya sebagai ajang memperbanyak makanan dan minuman dengan aneka ragamnya secara berlebihan.

Generasi sekarang ini berhajat untuk meneladani ibadah dan ketaatan generasi para pendahulunya. Sebab, Imam Malik (Rohimahulloh) menyatakan; “Umat sekarang ini hanya akan menjadi baik, jika mereka meneladani umat terdahulu yang menjadikan mereka menjadi umat terbaik.”

Semoga kita semua, umat Islam sekarang ini mampu melaksanakan shoum Romadhon dengan baik dan benar sehingga menjadi hamba-hamba-Nya yang benar-benar bertaqwa, suatu predikat tertinggi di mata Alloh swt, bi idznillah.


.:: Munajat ‘Cinta’ Romadhon

Doa adalah senjata orang beriman. Secara khusus bulan Romadhon disebut dengan syahrud du’a yaitu bulan berdoa. Rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang ibadah Romadhon di selingi dengan ayat perintah berdoa. Alloh swt berfirman:

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqoroh:186)

Rosululloh saw bersabda:

“Tiga kelompok yang tidak akan ditolak doanya: Pemimpin yang adil, orang yang berpuasa sampai ia berbuka, dan doa orang yang teraniaya.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

Sepanjang hari di bulan suci Romadhon doa-doa dikabulkan, lebih lagi menjelang berbuka dan di waktu sahur. Hendaknya kita persiapkan sebaik mungkin fisik, mental, dan keluangan waktu kita untuk berdoa dan bermunajat kepada Alloh swt. Di antaranya rangkaian munajat itu adalah:

“Allohumma lakal hamdu bil islaam wa lakal hamdu bil iimaani wa lakal hamdu bil qur’aani wa lakal hamdu bisyari romadhoona wa lakal hamdu bil ahli wal maali wal mu’aafaati lakal hamdu bi kulli ni’matin an’amta bihaa ‘alainaa; Ya Alloh, segala puji hanya bagi-Mu atas nikmat Islam, nikmat Iman, nikmat Al-Qur’an, nikmat bulan Romadhon, nikmat keluarga, harta dan kesehatan. Segala puji bagi-Mu atas semua nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepada kami.

“Allohumma sholli wa sallim wa baarik ‘alaa ‘abdika wa rosuulika muhammadin shollallohu ‘alaihi wa sallam wa ‘ala aalihi wa ashhaabihi ajma’iina; Ya Alloh, sampaikanlah shalawat, salam, dan keberkahan kepada hamba, nabi dan Rosul-Mu Muhammad saw beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.”

“Allohummaghfirlanaa waliwaalidaynaa warhamhum kamaa robbanaa shighooroo; Ya Alloh, ampunilah kami dan ampuni pula kedua orang tua kami dan sayangilah mereka seperti kasih sayang mereka saat mendidik kami di waktu kecil.”

Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah Engkau jadikan di hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman, ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Ya Alloh, kami memohon kepada-Mu ridha dan surga-Mu serta semua ucapan maupun perbuatan yang dapat mendekatkan kami kepadanya, dan kami berlindung kepada-Mu dari murka dan neraka-Mu serta semua ucapan maupun perbuatan yang dapat mendekatkan kami kepadanya.

Ya Alloh, berikan kepada kami dari rasa takut kami kepada-Mu sesuatu yang akan membentengi kami dari maksiat kepada-Mu, anugerahkan kami dari ketaatan kami kepada-Mu sesuatu yang akan mengantarkan kami ke surga-Mu, dan berikan untuk kami dari keyakinan kami kepada-Mu sesuatu yang akan meringankan kami dalam menghadapi musibah dunia. Berikan kenikmatan pada pendengaran, penglihatan dan semua kekuatan dan potensi kami selama Engkau hidupkan kami, jadikan semua itu sebagai peninggalan kami. Jadikan pembalasan kami hanya kepada orang yang telah menzholimi kami, tolonglah kami atas orang-orang yang memusuhi kami, jangan Engkau jadikan musibah menimpa kami dalam agama dan iman kami, jangan Engkau jadikan dunia ini sebagai puncak cita-cita dan ilmu kami, dan jangan Engkau kuasakan kami kepada orang-orang yang tidak takut kepada-Mu dan tidak menyayangi kami.

Ya Alloh, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan suka memberi maaf, maka maafkanlah (kesalahan-kesalahan) kami.

Ya Alloh, bantulah kami dalam berdzikir dan bersyukur serta beribadah kepada-Mu dengan baik.

Ya Alloh, jadikanlah kami dan seluruh kaum muslimin sebagai orang yang berpuasa Romadhon dan sholat malam dengan penuh keimanan dan harapan akan pahala-Mu lalu diampuni semua dosanya baik yang telah lalu maupun yang belakangan, dengan rahmat-Mu wahai Dzat Yang Maha Penyayang.

Ya Alloh, jadikan kami golongan orang-orang yang mampu melaksanakan puasa Romadhon, menyempurnakan pahala, mendapatkan lailatul qodr dan meraih kemenangan dan penghargaan dari-Mu.

Ya Alloh, bersihkan dan sucikan hati dan jiwa kami dengan Al-Qur’an yang mulia.

Ya Alloh, ingatkan kami ayat Al-Qur’an terlupa, ajarkan kami darinya apa yang tidak kami ketahui, berikan rizki kepada kami berupa kenikmatan membacanya malam dan siang, jadikan ia hujjah bagi kami jangan jadikan ia hujjah atas kami.

Ya Alloh, berikan kepada jiwa-jiwa kami ketakwaan kepadamu, dan sucikan dia, Engkaulah sebaik-baik Zat Yang Menyucikan jiwa, Engkaulah Pelindung dan Penolongnya.

Ya Alloh, kami memohon kepada-Mu segala kebaikan di dunia dan akhirat yang kami ketahui maupun yang tidak kami ketahui, dan kami berlindung kepada-Mu dari semua keburukan di dunia dan akhirat yang kami ketahui maupun yang tidak kami ketahui.

Ya Alloh, perbaikilah agama kami yang merupakan penjaga urusan kami, perbaikilah dunia kami yang menjadi tempat hidup kami, dan perbaikilah akhirat kami karena dialah tempat kembali kami. Jadikan kehidupan ini sebagai penambah segala kebaikan bagi kami, dan jadikan kematian sebagai kebebasan kami dari segala keburukan.

Ya Alloh, bebaskan diri kami dari api neraka, lapangkan untuk kami rizki yang halal.

Ya Alloh, jadikanlah amal kami yang terbaik adalah akhirnya, dan umur kami yang terbaik adalah penghujungnya, dan hari terbaik kami adalah hari bertemu Engkau.

Ya Alloh Yang Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri, Pemilik segala keagungan dan kemuliaan, Yang Maha Mengabulkan doa orang yang berada dalam kesulitan, kami memohon kepadamu agar Engkau memuliakan Islam dan kaum muslimin, menghinakan kemusyrikan dan orang-orang musyrik, menghancurkan musuh-musuh agama, dan menjadikan negeri ini dan negeri-negeri kaum muslimin lainnya aman dan tenteram.

Ya Alloh, tolonglah dan menangkanlah saudara-saudara kami kaum muslimin para mujahidin di jalan-Mu di mana pun mereka berada. Tolonglah saudara-saudara kami kaum muslimin para mujahidin Palestina. Ya Alloh, bantulah pula saudara-saudara kami kaum muslimin para mujahidin di Suriah, dan negeri-negeri kaum muslimin yang lain, wahai Penguasa alam semesta.

Ya Tuhan kami, kami telah menzholimi diri sendiri, jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami pastilah kami termasuk orang-orong yang merugi.

Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan akhirat, dan peliharalah kami dari api neraka.

Semoga sholawat senantiasa tercurah kepada pemimpin kami Muhammad saw keluarga dan sahabatnya semua. Maha suci Tuhanmu Pemilik kemuliaan dari apa yang mereka persekutukan. Semoga salam sejahtera selalu tercurah kepada para Rosul dan segala puji hanya bagi Tuhan semesta alam.


.:: Penutup

Bulan suci Romadhon menjadi bukti cinta Alloh swt pada hamba-hamba-Nya. Alloh swt menyiapkan satu bulan penuh dalam satu tahun ini agar hamba-hamba-Nya merasakan kelezatan ruhani, hangatnya aura ketaatan, munculnya suasana perlombaan, merasakan kenikmatan peduli, dan menebar cinta-kasih terhadap sesama sehingga seakan-akan manusia terlahir kembali lagi menjadi fitri.

Ketika kita bahagia bertemu dengan bulan Romadhon itu sama artinya dengan bahagia bertemu dengan Alloh swt Konsekuensinya adalah;

“Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Alloh, maka Alloh pun mencintai pertemuan dengannya, Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Alloh, maka Alloh pun tidak menghendaki pertemuan dengannya.” (HR. Bukhori)


Semoga Alloh swt menerima segala amal ibadah kita semua. Semoga kita menjadi hamba-hamba Alloh swt yang bertaqwa, Aamiin.