Rabu, 21 Agustus 2013

Ketika Alloh ‘Menampar’ Kita dengan Mesir dan Suriah

Kita membaca tarikh dan musuhpun menyimak sejarah; Al-Aqsho dan Palestina selalu dibebaskan dari paduan dua arah; Mesir dan Suriah. Ini pertarungan.

Kholid dari arah Suriah dan ‘Amr ibn Al-‘Ash dari arah Mesir; maka Alloh memilih Abu ‘Ubaidah membebaskan Al-Aqsho dan ‘Umar menerima kuncinya.

Setelah mengambil-alih Mesir dari kebobrokan Fathimiyah dan mewarisi Nuruddin Mahmud Zanki di Suriah; Sholahuddin Al-Ayyubi membebas Al-Aqsho.

Maka hari ini; kaum Muslimin yang sempat tersenyum oleh Mursi di Mesir dan menaruh harap pada Mujahidin di Suriah; harus lagi memanjang sabar.

Banyak kepentingan yang belum merelakan dua negeri ini menjadi pangkalan perjuangan agar Ummat kembali dapat sholat dan beri’tikaf di Al-Aqsho.

Hendaknya lalu kita tahu; kepedulian soal Mesir dan Suriah bersatumuara ke iman kita, cinta kita, rindu kita; tuk menziarahi Al-Aqsho merdeka.

Hari-hari ini Mesir gegap gempita; “Suara damai ini lebih tajam dari peluru; tekad kami lebih baja dari senjata”; maka Alloh menguji mereka.

Alloh menyiramkan darah agar bumi Mesir subur; mengambil syuhada’ agar anak-anak sejarah tahu betapa mahal dan berharga apa nan diperjuangkan.

Juga sejak dua tahun sebelumnya; Suriah telah membayarkan 100.000 nyawa; tapi mata dunia belum utuh terbuka bahwa musuh kemanusiaan ini nyata.

Maka hari ini; jika puasa terasa melemahkan; jika tarawih melelahkan; jika tilawah memayahkan; mari menatap sejenak ke arah Mesir dan Suriah.

Sebab mereka nan mewakili kita di garis depan iman; dibakar musim panas, direpotkan hajat, dicekam ancaman, disuguhi besi dan api; tapi teguh.

Mereka nan darahnya mengalir dengan tulang pecah; tapi tak hendak membatalkan shoum sebab ingin syahid berjumpa Robbnya dalam keadaan puasa.

Mereka gadis-gadis belia yang menulis nama di tangannya; agar jika syahadah menjemput dan jasad remuk tiada yang susah bertanya siapa namanya.

Hari ini ketika kolak dan sop buah tak memuaskan ifthor kita; tataplah sejenak ke negeri yang kucing pun jadi halal karena tiadanya makanan.

Hari ini sungguh kita ditampar Alloh dengan Mesir; dengan kepahlawanan mereka nan lebih suka bertemu Alloh daripada hidup membenarkan tiran.

Hari ini sungguh kita ditampar Alloh dengan Suriah; ketika kisah ibu yang memasak batu dan menidurkan anaknya dalam hujan peluru adalah fakta.

Sebab mungkin 60 tahun penjajahan kiblat pertama, masjid suci ketiga, dan penzholiman atas ahlinya belum utuh mencemburukan hati imani kita.
[Sumber: @salimafillah]

Download Link | [Mediafire]
File Size | 51.06 MB
File Type | PDF

Sejarah Mengajarkan Berterima kasih

Bagi tiap orang zholim yang perkasa; Alloh selalu hadirkan pejuang gigih. Tapi Dia Maha Kuasa mengakhiri dengan hal kecil dan sederhana.

Bagi Fir’aun yang merasa kuasa mengalirkan Nil dan memperbudak Bani Israil; ada Musa tak putus asa. Tapi airlah yang mengakhiri si raja.

Bagi Namrud yang menyatakan mampu menghidupkan dan mematikan; ada Ibrohim mendebatnya. Tapi nyamuk saja yang menjadi sebab khotamnya.

Bagi gegap gempita kepungan pasukan Ahzab; ada keteguhan Nabi dan para sahabat di dalam Khondaq. Tapi anginlah yang menyapu bersihnya.

Bagi Abrohah dan pasukan gajah yang pongah; ada ‘Abdul Mutholib berserah pada Alloh. Lalu batu kecil dari sijjil dilempar burung mungil.

Bagi Jalut yang kuatnya membuat takut dan kecut; ada Tholut yang diutus bersama tabut. Tapi ketapel kecil bocah Dawud-lah pembawa maut.

Maka tugas kita atas kezholiman hanya taat pada Alloh dan berteguh istiqomah. Lalu bersiaplah tuk kejutan pertolongan-Nya Yang Maha Jaya.

Download Link | [MediaFire]
File Size | 51.06 MB

File Type | PDF

Senin, 12 Agustus 2013

Buku Belajar Seni Lukis

The complete photo guide to creative painting ebook adalah sebuah buku belajar melukis yang mempelajari semua aspek dari lukisan kreatif dengan komprehensif serta bagaimana untuk membimbing! Panduan Lengkap untuk Foto Lukisan Creative, mudah mengikuti teknik untuk lukisan dengan semua jenis kerajinan dan seni rupa cat, termasuk akrilik, Oil Painting, tempera, cat air, dan pastel. Anda akan menemukan akses mudah ke informasi dengan langkah-demi-langkah petunjuk dan 700 penuh warna foto untuk pemahaman yang jelas. Galeri karya seni oleh berbagai seniman menawarkan contoh yang indah dari apa yang dapat dilakukan dengan masing-masing kategori lukisan. Menemukan tips ahli, keterampilan, dan inspirasi dengan Panduan Lengkap untuk Foto Lukisan Kreatif

Bagian dari seri The complete photo guide to creative painting ebook ini menetapkan untuk menjadi referensi utama untuk lukisan artistik. Ini mengeksplorasi semua media sehingga Anda dapat melakukan percobaan dengan cat yang berbeda. Teknik-teknik yang berbeda difoto di panduan langkah demi langkah. Serta tips, ada juga sebuah galeri untuk inspirasi lebih. Sangat berguna untuk pemula atau mereka yang tidak akrab dengan semua media lukisan yang berbeda. Ulasan ini pertama kali muncul di website review Karen Platt buku.


About Author:
Paula Guhin adalah seorang mantan pendidik, seniman visual, fotografer, dan penulis Lem yang populer Glorious, Seni dengan Perekat (JW Walch) dan Bisakah Kita Makan Art? (Publikasi Insentif). Artikel telah muncul di Sekolah Seni, Instruktur, Pengajaran Today, dan majalah banyak lagi. Dia juga merupakan editor kontribusi untuk Seni dan majalah Kegiatan.

Geri Greenman, seorang guru seni SMA selama tiga puluh tahun, mendapat kehormatan dengan Penghargaan Prestasi Posisi oleh rekan-rekannya. Dia adalah seorang finalis untuk Kohl Delores (International) Outstanding Service di Bidang Pendidikan penghargaan, seorang calon untuk Golden Apple, dan terdaftar dalam Siapa Siapa di antara Guru Amerika. Geri Greenman telah menulis untuk Seni dan majalah Kegiatan selama 24 tahun, seorang editor selama 10 tahun, dengan 100 artikel yang diterbitkan.

Ebook Painting Detail:
Title: The complete photo guide to creative painting
Author: Paula Guhin, Geri Greenman
Paperback: 224 pages
Size: 25 MB 
Publisher: Creative Publishing international (November 1, 2010)
Language: English
ISBN-10: 1589235401
Download: Mediafire
Password: paceko


Minggu, 11 Agustus 2013

Sebuah Kenangan Atas Cinta

Tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.

Di perang Uhud, ketika tubuhnya memerisai Rosululloh dan tujuh puluh luka berlomba menguras darahnya, Tholhah ibn ‘Ubaidillah berdoa sambil menggigit bibir. “Robbii”, begitu lirihnya, “Khudz bidaamii hadzal yauum, hattaa tardhoo. Ya Alloh, ambil darahku hari ini sekehendak-Mu hingga Engkau ridho.” Tombak, pedang, dan panah yang menyerpih tubuh dibiarkannya, dipeluknya badan sang Nabi seolah tak rela seujung bulu pun terpapas.

“Kalau ingin melihat syahid yang masih berjalan di muka bumi?”, begitu Sang Nabi bersabda, “Lihatlah pada Tholhah”. Dan Tholhah, yang jalannya terpincang, yang jarinya tak utuh, yang tubuhnya berlumur luka tersenyum malu dan menitikkan air mata. Terlihatlah di pipinya bening luh itu, mengalir di atas darah yang mengering merah.

Tetapi tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.

Satu hari ia berbincang dengan ‘Aisyah, isteri sang Nabi, yang masih terhitung sepupunya. Rosululloh datang, dan wajah beliau pias tak suka. Dengan isyarat, beliau Shollalloohu ‘Alaihi wa Sallam meminta ‘Aisyah masuk ke dalam bilik. Wajah Tholhah memerah. Ia undur diri bersama gumam dalam hati, “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Alloh, takkan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar ‘Aisyah.”

Satu saat dibisikannya maksud itu pada seorang kawan, “Ya, akan kunikahi ‘Aisyah jika Nabi telah wafat.”

Gumam hati dan ucapan Tholhah disambut wahyu. Alloh menurunkan firman-Nya kepada Sang Nabi dalam ayat kelimapuluh tiga surat Al-Ahzab, “Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti Rosululloh dan tidak boleh menikahi isteri-isterinya sesudah wafatnya selama-lamanya.”

Ketika ayat itu dibacakan padanya, Tholhah menangis. Ia lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan kesepuluh untanya untuk jalan Alloh, dan menunaikan umroh dengan berjalan kaki sebagai taubat dari ucapannya. Kelak, tetap dengan penuh cinta dinamainya putri kecil yang disayanginya dengan asma ‘Aisyah. ‘Aisyah binti Tholhah. Wanita jelita yang kelak menjadi permata zamannya dengan kecantikan, kecerdasan, dan kecemerlangannya. Persis seperti ‘Aisyah binti Abi Bakr yang pernah dicintai Tholhah.

Begitulah, tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.

Sesudah wafatnya ‘Utsman ibn ‘Affan di tangan para pemberontak, fitnah besar itu terjadilah. Tholhah bersama Zubair ibn Al-‘Awwam dan ‘Aisyah memerangi ‘Ali ibn Abi Tholib untuk menuntut bela kematian ‘Utsman, meminta ditegakkannya keadilan atas para pembunuh ‘Utsman yang sebagiannya kini menjadi penyokong utama kekholifahan ‘Ali ibn Abi Tholib. Keadaan sangat tidak mudah bagi ‘Ali. Pilihan-pilihannya terbatas. Tholhah tahu itu. Tapi dia sendiri juga kesulitan bersikap lain di tengah kedua kubu.

Satu hari, dalam perang yang dikenal sebagai Waq’ah Jamal itu, ‘Ali mengirim utusan, memohon agar bisa berjumpa dengan kedua sahabat yang dicintainya; Tholhah dan Az-Zubair. Mereka berdua datang. Mereka bertiga berpelukan. Tak terasa air mata meleleh. Kenangan-kenangan ketika ketiganya bersipadu di sisi Rosululloh berkelebatan dengan indah. Namun kini terasa menyesakkan. Menyakitkan. Dulu pedang mereka seayun, langkah mereka sebaris, tangannya bergandengan. Kini mereka harus berhadapan saling menghunus pedang, dengan mata saling menatap tajam, tapi hati tersembilu.

Dan seolah tak ada jalan selain itu.

Sesudah menyeka air mata, ‘Ali menggenggam jemari Tholhah dan menatap dalam ke wajahnya. Dengan menghela nafas, ‘Ali mencoba menyusun kata. “Ingatkah engkau hai Tholhah, mengapa Alloh turunkan ayat tentang hijab bagi isteri Nabi dan mengapa Dia melarang kita untuk menikahi janda beliau?”

Tholhah terisak. Dadanya bergemuruh oleh malu dan sesal. Bahu kekarnya bergeletar.

‘Ali menepuk bahu Tholhah. “Ya”, katanya sambil mengalihkan pandangan, tak sanggup melihat tercabiknya batin Tholhah oleh kata-katanya. Tapi demi perdamaian dan persatuan kembali kaum Muslimin, ‘Ali mau tak mau harus mengatakan ini. Ia menguatkan hati. “Ayat itu turun karena maksud hati dan ucapanmu untuk menikahi ‘Aisyah.”

‘Ali meraba reaksi Tholhah. Lalu ia melanjutkan sambil menatap tajam pada sahabatnya itu. “Dan kini sesudah beliau Shollalloohu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar wafat, mengapa engkau justru membawa ‘Aisyah keluar dari hijabnya dan mengajaknya mengendarai unta dan berperang di sisimu?”

Tholhah menubruk ‘Ali, memeluk dan menangis di bahunya. Hari itu mereka sepakat berdamai dan menyudahi perang saudara. Dan di hari itu pula, sepulang dari kemah ‘Ali, Tholhah, bersama Az-Zubair sahabatnya dibunuh oleh orang-orang yang tak menghendaki perdamaian. Dan ‘Ali ibn Abi Tholib dengan duka yang begitu dalam, sore itu, menggali kubur untuk kedua cintanya.

Seusai pemakaman, ‘Ali menimang putra Tholhah yang masih kecil. Kepada bocah itu dia berbisik. “Nak,’ kata ‘Ali, “Aku sungguh berharap, aku dan ayahmu termasuk orang-orang yang difirmankan oleh Alloh di Surat Al Hijr ayat keempatpuluh tujuh; “Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadapan di atas dipan-dipan.”

Sepenuh cinta,

Salim A. Fillah

http://salimafillah.com/sebuah-kenangan-atas-cinta/

Jumat, 09 Agustus 2013

Sedekah 'Tenaga' Tukang Becak Mengantar ke Tanah Suci

Pak Parman, demikian orang-orang memanggilnya. Dia hanyalah seorang tukang becak. Sudah bisa ditebak, berapa kekayaannya? Dia hanya punya tempat tinggal, dan itu pun kost di tempat yang kumuh, yang gentengnya sewaktu-waktu bisa bocor karena hujan. Meski begitu, Pak Parman memiliki budi yang sangat mulia. Kemiskinan yang merenggut kehidupannya, tidak menutup mata batinnya untuk selalu berbagi kepada orang lain.

Tapi, bukan harta yang bisa ia sumbangkan. Sebab, untuk makan sehari-hari saja sulit, apalagi berniat untuk berbagi harta kepada orang lain. Maka, yang hanya bisa dilakukan Pak Parman adalah “sedekah jasa”. Yaitu, setiap hari Jum’at ia menggratiskan semua penumpang yang naik becaknya. Ini adalah hal yang luar biasa. Tidak semua orang bisa melakukannya, apalagi orang miskin seperti dirinya. Maka, atas kebaikannya itulah, suatu “keberkahan hidup” kemudian menghampirinya.

Suatu ketika, di hari Jum’at pertama bulan Romadhon, tiba-tiba, ada orang yang kaya raya mobilnya mogok. Kebetulan, mogoknya tidak jauh dari pangkalan becak Pak Parman. Orang kaya itu pun bertanya kepada supirnya, “Pir, kalau naik becak kira-kira ongkosnya berapa, ya?”

“Paling juga dua sampai tiga ribuan,” jawab supir kepada majikannya.

Orang kaya tersebut pun memutuskan naik becak karena sebenarnya jarak dirinya dengan rumahnya sudah lumayan dekat. Maka, dipanggillah tukang becak yang ada di pangkalan tersebut dan kebetulan Pak Parman yang datang. Lalu, digoweslah becak itu oleh Pak Parman menuju rumah orang kaya tersebut. Setelah sampai di tempat, Pak Parman dikasih uang 10 ribu dan tidak usah dikembalikan. Namun, oleh Pak Parman uang itu ditolaknya.

“Kenapa Bapak menolaknya?” tanya orang kaya itu..

“Saya sudah meniatkan dari dulu, kalau setiap Jum’at saya menggratiskan semua penumpang yang naik becak saya,” jawabnya jujur.

Setelah itu, Pak Parman pun pergi meninggalkan orang kaya tersebut. Rupanya, kejadian itu sangat membekas di hati orang kaya tersebut. Orang kaya seperti dirinya saja tidak pernah sedekah, ini orang miskin malah melakukannya dengan begitu tulus. Lalu, dikejarlah Pak Parman. Setelah dapat, Pak Parman pun dikasih uang satu juta. Orang kaya itu pikir, Pak Parman akan menerimanya karena uangnya besar. Tapi, Pak Parman tetap menolaknya. Lalu, dinaikkan lagi menjadi dua juta dan tetap Pak Parman menolaknya. Alasan Pak Parman sama: dia tidak menerima uang sepeser pun di hari Jum’at untuk jasa ojek becaknya. Sebab, dia sudah meniatkannya untuk bersedekah. Subhanalloh!

Tapi, hal ini justru membuat orang kaya tersebut semakin penasaran. Maka Jum’at berikutnya (di hari Romadhon juga), orang kaya itu pun naik becak lagi. Ia sengaja meninggalkan supirnya untuk pulang ke rumah sendiri dan dia lebih memilih berhenti di pangkalan itu untuk bisa naik becak Pak Parman. Maka diantarlah orang kaya tersebut ke rumahnya oleh Pak Parman. Setelah sampai, Pak Parman pun diberikan uang yang lebih besar lagi, kali ini 10 juta. Orang kaya itu pikir Pak Parman akan tergoda oleh uang sebanyak itu. Tapi, lagi-lagi, perkiraannya meleset. Pak Parman, sekali lagi, menolak uang yang bagi dia itu sebenarnya sangat besar. Apalagi, sebentar lagi akan Lebaran dan uang itu pasti akan berguna buat dirinya dan keluarganya. Tapi, orangtua itu menolaknya dengan halus.

Kejadian ini benar-benar membuat orang kaya tersebut tidak mengerti. Kenapa orang miskin seperti Pak Parman tidak mau menerima uang sebesar itu? Padahal, uang itu bisa ia gunakan selama berbulan-bulan. Namun, rasa penasaran orang kaya itu rupanya tidak pernah berhenti. Jum’at berikutnya, dia pun naik becak milik Pak Parman lagi. Namun, kali ini ia minta diantarkan ke tempat yang lain.

“Pak, antarkan saya ke rumah Bapak,” pinta orang kaya.

“Memangnya, ada apa, Pak?” jawab Pak Parman polos.

“Pokoknya, antarkan saya saja.”

Akhirnya, Pak Parman terpaksa mengantarkan orang kaya itu ke rumahnya. Mungkin orang kaya itu hanya ingin menguji: apakah tukang becak itu benar-benar orang miskin ataukah tidak? Mereka pun akhirnya sampai di rumah Pak Parman. Betapa terkejutnya orang kaya itu, karena rumah yang dimaksud hanyalah sebuah rumah kost yang sangat jelek. Gentengnya sewaktu-waktu bisa roboh karena terpaan air hujan. Karena sangat iba melihat kejadian itu, orang itu pun merogoh uangnya sejumlah Rp. 25 juta.

“Ini Pak, uang sekedarnya dari saya. Mohon Bapak menerimanya,” pinta orang kaya kepada Pak Parman.

Apa reaksi Pak Parman? Ternyata, dengan halus dia pun tetap menolaknya. Hal ini benar-benar sangat mengejutkan orang kaya itu. Bagaimana bisa orang semiskin dia menolak uang pemberian sebesar Rp. 25 juta? Kalau bukan dia adalah lelaki yang luar biasa, yang memiliki budi yang sangat luhur.

Akhirnya orang kaya itu pun menyerah. Dia benar-benar kalah dengan ketulusan hati Pak Parman. Ia percaya bahwa apa yang dilakukan Pak Parman benar-benar tulus dari hatinya. Ia benar-benar tidak tergoda oleh indahnya dunia dan kilaunya uang jutaan rupiah. Mungkin ia satu pribadi yang langka dari 1000 orang yang ada, yang sewaktu-waktu hanya muncul di dunia. Luar biasa!

Tapi, orang kaya itu berjanji bahwa suatu saat ia akan memberikan yang terbaik buat tukang becak yang berhati mulia tersebut. Sebab, mungkin, baru kali ini hatinya terusik lalu disadarkan oleh orang miskin yang hanya seorang tukang becak. Dan waktu pun terus berlalu.

Lebaran telah tiba. Pak Parman dan orang kaya itu tidak bertemu lagi. Menjelang Lebaran Haji (Idul Adha), orang kaya itu kembali menemui Pak Parman di rumah kostnya. Kembali ia pun datang di hari Jum’at. Mudah-mudahan kali ini niatnya tidak sia-sia. Setelah mereka bertemu, di depan Pak Parman orang kaya kemudian bicara terus terang, “Pak, mohon kali ini niat baik saya diterima. Bapak dan istri serta anak Bapak akan saya berangkatkan haji ke Tanah Suci. Sekali lagi, mohon Bapak menerima niat baik saya ini?”

Pak Parman menangis di depan istri dan anak semata wayangnya. Pergi ke Makkah saja tidak pernah ia bayangkan sejak dulu, ini apalagi ia dan keluarganya akan diberangkatkan naik haji. Ini benar-benar hadiah yang sangat luar biasa dari Alloh swt. Tawaran orang kaya itu pun diterima Pak Parman dengan setulus hati.

Maka, Pak Parman dan keluarganya pun akhirnya pergi haji. Ya, seorang tukang becak yang miskin tapi memiliki hati yang sangat mulia akhirnya bisa melihat keagungan Ka’bah di Makkah al-Mukarromah dan makam Nabi Muhammad saw di Madinah. Kebaikannya dibalas oleh Alloh. Ia yang menolak satu juta, dua juta, 10 juta, hingga Rp. 25 juta, tapi Alloh menggantinya dengan haji ke Baitulloh, bersama istri dan anaknya! Jadi, berapa kali lipatkah keberkahan yang didapatkan Pak Parman karena sedekah yang ia lakukan setiap hari Jum’at? Subhanalloh!

Bahkan, tidak saja dihajikan secara gratis, Pak Parman akhirnya dibuatkan rumah oleh orang kaya tersebut. Maka, semakin berkahlah hidup si tukang becak berhati mulia itu. Dan sejak itu, Pak Parman pun bisa tinggal di sebuah tempat yang nyaman dan tidak memikirkan lagi uang untuk kost di bulan berikutnya.

Demikian kisah tukang becak yang bisa naik haji karena sedekah yang dilakukannya. Apakah kita sudah seperti Pak Parman? Dia yang miskin masih memikirkan untuk berbagi untuk orang lain, apalagi kita yang mungkin lebih mampu dibandingkan dia. Mudah-mudahan kita bisa mengikuti jejaknya, terutama dalam hal ketulusannya dalam berbagi! Aamiin.


Sumber: majalah Hidayah

Kamis, 08 Agustus 2013

Dan Bersamalah, Di Sini

malam berlalu,
tapi tak mampu kupejamkan mata dirundung rindu
kepada mereka
yang wajahnya mengingatkanku akan surga
wahai fajar terbitlah segera,
agar sempat kukatakan pada mereka
“aku mencintai kalian karena Alloh.”

-‘Umar ibn al-Khoththob-




PADA SUATU HARI, tiga orang berjumpa di salah satu sudut Madinah. Kisahnya jadi canda. Tapi begini keadaannya: yang pertama menebar kepedulian, yang kedua membagi kebijaksanaan, dan yang ketiga memberi damai dengan pemahaman serta pemaknaan. Itulah ‘Umar ibn al-Khoththob berjumpa dengan Hudzaifah ibn al-Yaman dan ‘Ali ibn Abi Tholib. “Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Hudzaifah?” tanya ‘Umar.

“Wahai Amirul Mukminin,” jawabnya, “Pagi ini aku mencintai fitnah, membenci al-haq, sholat tanpa wudhu, dan aku memiliki sesuatu di muka bumi yang tidak dimiliki oleh Alloh di langit.”

“Demi Alloh,” kata ‘Umar, “Engkau membuatku marah!”

“Apa yang membuatmu marah, wahai Amirul Mukminin?” timpal ‘Ali ibn Abi Tholib.

Hudzaifah terdiam, dan tersenyum pada ‘Ali.

“Wahai Amirul Mukminin,” kata ‘Ali, “Sesungguhnya benar Hudzaifah, dan aku pun seperti dirinya. Adapun kecintaannya pada fitnah, maksudnya adalah harta dan anak-anak, sebagaimana firman Alloh:

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah cobaan.” (Qs. at-Taghobun [64]: 15)

“Adapun kebenciannya terhadap al-haq, maksudnya adalah dia membenci kematian. Sholatnya yang tanpa wudhu itu adalah sholawat kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun yang dimilikinya di bumi dan tidak dimiliki Alloh di langit adalah istri dan anak. Bukankah Alloh tak memiliki keduanya?”

                                                            ***

Bayangkanlah kita membersamai orang-orang macam mereka. Diamnya menjadi tasbih. Bicaranya ilmu. Ucapannya penuh do’a. tak ada yang sia-sia. Bahkan dalam candanya, terkandung ilmu dan kebenaran yang membuat kita merenung dalam-dalam. Mari berangan-angan untuk berada di tengah orang-orang yang terhubung dengan langit dan merasakan ukhuwah mereka mendekap hangat kita dalam kebenaran, kemuliaan, dan kebajikan.

“Berangan-anganlah kalian,” kata ‘Umar di waktu lain pada orang-orang di majelisnya.

Maka di antara mereka ada yang berangan-angan berjihad, lalu mati syahid, lalu dihidupkan lagi, lalu berjihad lagi, lalu mati syahid, lalu dihidupkan lagi, lalu berjihad, begitu seterusnya. Yang lain berangan-angan dikaruniai emas sebesar Gunung Uhud lalu dia menginfaqkannya di jalan Alloh.

“Adapun aku,” kata ‘Umar, “Mengangankan dunia ini dipenuhi orang-orang seperti Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarroh, Salim Maula Abi Hudzaifah, dan Mu’adz ibn Jabal, yang bersama mereka aku meninggikan kalimat Alloh.”

‘Umar benar. Mereka yang disebutnya adalah orang-orang benar. Sayang mereka semua sudah meninggal. Rosululloh menggelari Abu ‘Ubaidah sebagai “Orang terpercayanya ummat ini.” Salim, adalah bekas budak yang kepadanya Rosululloh perintahkan merujuk al-Qur’an di samping Ubay ibn Ka’ab dan ‘Abdulloh ibn Mas’ud. Dia seorang yang teguh hati dan tawadhu’, dan ‘Umar pernah merasakan ketulusannya saat dahulu Salim mendampinginya dalam beberapa urusan pemerintahan. Adapun Mu’adz, lelaki penuh ilmu dengan keperwiraan dan kejujuran yang tiada banding. Mereka adalah orang-orang benar, dan dalam dekapan ukhuwah, bersamalah orang-orang yang benar.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh dan bersamailah orang-orang yang benar.” (Qs. at-Taubah [9]: 119)

Inilah ayat, tentang keterhubungan dengan langit sekaligus bagaimana menebarkan cinta di bumi. Dengan taqwa, Alloh mengaruniakan kita furqon; kepekaan untuk membedakan kebenaran dari kebatilan sekaligus kekuatan untuk mengikutinya. Dia adalah cahaya terang yang membimbing kita menuju masa depan sejati. Hati kita memang berbolak-balik dan bergoyah-gayuh. Maka keajegan taqwa dalam hati akan terdukung dengan adanya orang-orang benar di sekeliling kita. Bahkan meski kebersamaan itu hanya sesekali, sesaat-sesaat. Hanzholah ibn ar-Robi’ berkisah tentang ini pada kita dalam riwayat Imam Muslim.

Satu hari, Abu Bakar ash-Shiddiq berkunjung dan menanyakan kabarnya. “Hanzholah telah menjadi munafiq!” katanya sendu.

“Subhanalloh,” hardik Abu Bakar, “Apa yang engkau ucapkan?”

“Aku sering bersama Rosululloh,” kata Hanzholah, “Beliau mengingatkan tentang surga dan neraka seolah-olah aku melihatnya dengan mata kepala. Namun ketika aku keluar dari sisi beliau, lalu bercengkerama dengan anak-anak serta sibuk dengan pekerjaan, aku pun banyak melupakannya. Semua bayangan tentang Alloh, surga dan neraka seakan tak bersisa.”

“Demi Alloh! Sesungguhnya kami juga merasakan hal seperti itu!” sahut Abu Bakar membenarkan.

Mereka kemudian mendatangi Rosululloh dan menanyakan urusannya. Dengan penuh semangat sekaligus kegelisahan mereka mengadukan keadaan dirinya yang serasa beda. Alangkah dekatnya Alloh, alangkah jelas gambaran surga di hadapan dan bentangan neraka di seputaran saat mereka bersama beliau. Dan celakanya semua rasa yang nikmat dan indah itu hilang ketika mereka ditelan kesibukan dan rutinitas harian.

Rosululloh tersenyum.

“Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya,” demikian sabda beliau, “Seandainya kalian selalu dalam keadaan sebagaimana ketika kalian ada di sisiku dan dalam berdzikir, niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat-tempat tidur, dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi sesaat demi sesaat, wahai Hanzholah! Sesaat demi sesaat, wahai Hanzholah! Sesaat demi sesaat!”

                                                            ***

Apa rambu yang kita jaga agar selaras dengan semangat kebersamaan dalam dekapan ukhuwah ini?

“Jangan kalian saling membenci,” begitu beliau bersabda seperti dikisahkan Abu Huroiroh dalam riwayat al-Bukhori, “Jangan saling menipu, janganlah kalian saling dengki, jangan saling memutuskan hubungan, dan janganlah sebagian menyerobot akad dagang sebagian yang lain.”

“Jadilah kalian hamba-hamba Alloh yang bersaudara,” lanjut beliau, “Seorang Muslim itu saudara Muslim yang lain. Tidak boleh menzholiminya, tidak boleh membiarkannya, dan tidak boleh menghinakannya. Taqwa itu di sini. Di sini. Di sini.” Beliau menunjuk dadanya tiga kali. “Cukuplah seseorang dianggap jahat karena melecehkan saudara Muslimnya. Setiap Muslim atas Muslim yang lain harom darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”

Mencermati hadits yang gamblang ini, lagi-lagi kita diingatkan bahwa keterhubungan dengan langit, yakni taqwa, menjadi pilar yang menyangga setiap interaksi dengan sesama Muslim dalam dekapan ukhuwah. Penjagaan taqwa itu dimulai dengan terlarangnya hal-hal yang bisa menyakiti hati dan merusak persaudaraan. Lalu Sang Nabi melanjutkannya dengan maklumat agung, “Setiap Muslim atas Muslim yang lain harom darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”

Karena taqwa adalah juga kepekaan hati, maka menjaga kehormatan dalam persaudaraan itu, difahami oleh para ulama sampai hal yang sekecil-kecilnya, sehalus-halusnya, sesamar-samarnya. Untuk menjadi renungan, adalah Ibnu Qoyyim al-Jauziyah yang meriwayatkan kisah yang dibawakan oleh al-Imam Ibnu Sirin berikut ini dalam karyanya, Madarijus Saalikin.

“Alangkah indahnya,” begitu Ibnu Sirin memulai cerita, “Kisah dua orang bersaudara di jalan Alloh yang pada mulanya saling mencintai. Lalu hubungan di antara mereka terganggu.

Satu waktu mereka bertemu. “Mengapa kiranya,” tanya lelaki pertama, “Hari-hari ini aku melihatmu seolah engkau berpaling dan menjauhiku?”

“Telah sampai padaku,” jawab orang yang kedua, “Sesuatu tentang dirimu. Dan engkau pasti tak menyukainya.”

“Kalau begitu, aku tak peduli,” lelaki pertama itu tersenyum.

“Mengapa?”

“Karena jika apa yang engkau dengar itu adalah benar sebuah kesalahan yang telah aku lakukan, aku tahu engkau pasti akan memaafkannya. Dan jika berita itu tidak benar, engkau pasti tidak akan menerimanya.”

“Setelah itu,” kata Ibnu Sirin menutup kisah, “Mereka kembali pada ukhuwah yang indah.”

                                                            ***

Dalam dekapan ukhuwah, mari kita telusuri keindahan itu bersama mereka, insya Alloh di lembar-lembar selanjutnya. Tapi sebelum itu, akan kita kenali dulu tanah-tanah gersang yang membuat ukhuwah sulit tumbuh, tak mampu berakar, dan mustahil mekar. Akan kita seksamai juga angin, api, dan air yang bisa saja menggersangkan tanah subur yang pernah kita punya. Kadang mereka datang untuk membuat ukhuwah tertiup hingga hilang, terbakar hingga hangus, dan terbanjir hingga larut. Dalam dekapan ukhuwah, kita mewaspadai ancaman-ancaman padanya.



Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Rabu, 07 Agustus 2013

Pernah Ada Masa-masa


pernah ada masa-masa dalam cinta kita
kita lekat bagai api dan kayu
bersama menyala, saling menghangatkan rasanya
hingga terlambat untuk menginsyafi bahwa
tak tersisa dari diri-diri selain debu dan abu

pernah ada waktu-waktu dalam ukhuwah ini
kita terlalu akrab bagai awan dan hujan
merasa menghias langit, menyuburkan bumi,
dan melukis pelangi
namun tak sadar, hakikatnya kita saling meniadai

di satu titik lalu sejenak kita berhenti, menyadari
mungkin hati kita telah terkecualikan dari ikatan di atas iman
bahkan saling nasehat pun tak lain bagai dua lilin
saling mencahayai, tapi masing-masing habis dimakan api

kini saatnya kembali pada iman yang menerangi hati
pada amal sholih yang menjulang bercabang-cabang
pada akhlak yang manis, dan wangi
hingga ukhuwah kita menggabungkan huruf-huruf menjadi kata
yang dengannya kebenaran terbaca dan bercahaya



Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Selasa, 06 Agustus 2013

Siapa yang Lebih Mengenal Kita

kita menilai diri sendiri berdasar apa yang BISA kita lakukan
orang lain menilai kita berdasar apa yang SUDAH kita lakukan

-Benjamin Franklin-


‘ALI IBN ABI THOLIB Rodhiyalloh ‘Anhu memang lelaki periang dan penuh kelakar. Bahkan menjelang wafatnya, ketika di shubuh itu pedang ‘Abdurrohman ibn Muljam baru saja memancungnya di mihrob sholat, beliau masih sempat bercanda, namun juga sungguh-sungguh.

“Aku telah membeli pedang itu seharga seribu dirham!” teriak ‘Abdurrohman ibn Muljam sambil meronta dalam rangketan para sahabat ‘Ali. “Lalu kulumuri dia dengan racun seharga seribu dirham! Demi Alloh, lalu aku memohon pada-Nya agar pedang itu bisa membunuh makhluk-Nya yang terburuk dan terkutuk!”

‘Ali tersenyum, “Pintamu insya Alloh terkabul.”

“Jadi engkau mengakui bahwa kaulah sejelek-jelek makhluk Alloh?”

“Tidak,” jawab ‘Ali. “Kaulah orangnya! Karena, duhai al-Hasan, putraku, jika aku mati setelah ini, bunuhlah lelaki Khowarij ini sebagai qishosh dengan pedangnya itu! Demi Alloh, aku pernah mendengar Rosululloh bersabda, ‘Maukah kuberitahukan padamu seburuk-buruk makhluk, hai ‘Ali? Dia adalah Ahimyar Tsamud yang membunuh unta Nabi Sholih, dan seorang lelaki yang mengayunkan pedang ke kepalamu hingga darah membasahi janggutmu!’”

                                                           ***

‘Ali, lelaki penuh ilmu dengan pemahaman mendalam, sekaligus periang dan penuh kelakar. Demikianlah ‘Umar ibn al-Khoththob suatu ketika mensifatinya. ‘Umar, meski memiliki sifat firasat tajam, bukanlah orang yang sekilas lalu memberikan penilaian. ‘Umar memiliki tiga ukuran untuk menimbang benarkah seseorang mengenali orang lain.

Satu saat ketika seseorang memuji kawannya dalam persaksian sebagai orang yang baik, ‘Umar bertanya padanya, “Apakah engkau pernah memiliki hubungan dagang atau hutang-piutang dengannya sehingga engkau mengetahui sifat jujur dan amanahnya?”

“Belum,” jawabnya ragu.

“Pernahkah engkau,” cecar ‘Umar, “Berselisih perkara dan bertengkar hebat dengannya sehingga tahu bahwa dia tidak fajir kala berbantahan?”

“Ehm, juga belum…”

Pernahkah engkau bepergian dengannya selama sepuluh hari sehingga telah habis kesabarannya untuk berpura-pura lalu kamu mengenali watak-watak aslinya?”

“Itu, itu juga belum.”

“Kalau begitu pergilah kau, hai hamba Alloh. Demi Alloh, kau sama sekali tidak mengenalnya!”

Ukuran-ukuran yang dipakai ‘Umar ini begitu dalam dan penuh makna.

                                                           ***

Menjelang wafat, ‘Umar memberikan penilaian pada keenam calon penggantinya, termasuk ‘Ali, dengan pengenalan yang jujur dan amat terus terang. Imam az-Zuhri meriwayatkan kejadian itu sebagaimana diuraikan oleh Ibnu Abil Hadiid dalam Kitab Syarh-nya. Ketika terbaring akibat lukanya,” begitu tulis beliau, “’Umar ibn al-Khoththob meminta agar keenam anggota Majelis Syuro yang ditunjuknya dihadirkan dan memulai musyawarah di dekatnya. Lalu beliau minta didudukkan.

“Apakah masing-masing di antara kalian,” tanya ‘Umar menyela, “Berambisi untuk menjadi kholifah setelahku?”

Semua yang hadir terdiam takut. Tapi mereka melihat ‘Umar menyeringai. Ketika dia berteriak, rupanya darah menyembur dari lukanya. Setelah terdiam sejenak, ‘Umar mengulangi pertanyaannya.

“Apakah masing-masing di antara kalian berambisi untuk menduduki kholifah sepeninggalku? Jawablah aku!”

Az-Zubair ibn al-‘Awwam memberanikan diri. “Benar,” ujarnya, “Memangnya apa yang menjauhkan dan menghalangi kami darinya, sedang engkau hai ‘Umar telah menjabat dan melaksanakannya? Padahal tidaklah kami lebih rendah daripada engkau di kalangan Quroisy, juga dalam hal siapa yang lebih dulu masuk Islam, demikian pula dalam hal kekerabatan dengan Rosululloh?”

‘Umar tersenyum. “Bersediakah kalian,” tanya ‘Umar, “Aku beritahukan tentang sifat-sifat diri kalian?”

Mereka menjawab, “Ya. Sebab kau jujur dan keras, dan kau takkan memaafkan kami ataupun meringankan penilaian jika kami meminta maaf!”

“Adapun engkau hai az-Zubair,” kata ‘Umar sembari menghela nafas, “Adalah orang yang cepat terbakar amarah, sempit dada, serta penuh ambisi. Engkau seorang mukmin di saat ridho, dan sekaligus seorang kafir di saat murka. Sehari sebagai manusia dan sehari sebagai syaithon. Bisa jadi jika aku memilihmu dan menyerahkan khilafah kepadamu, niscaya engkau akan berbuat aniaya bahkan meski hanya pada satu mud gandum. Pikirkanlah, hai az-Zubair. Jika aku memasrahkannya padamu, siapa yang akan menjadi pemimpin bagi manusia pada hari engkau menjadi syaithon dan pada saat kemurkaanmu meledak? Demi Alloh, Dia takkan menyerahkan urusan ummat Muhammad ini kepadamu sedang dalam dirimu masih bersemayam sifat-sifat ini.”

Az-Zubair tertunduk malu.

Kemudian ‘Umar menghadap ke arah Tholhah ibn ‘Ubaidillah. “Apakah aku akan bicara tentangmu atau diam?” tanyanya.

“Bicaralah. Tapi memang aku tahu, sesungguhnya engkau takkan bicara tentang kebaikanku sedikit pun!” jawab Tholhah.

“Demi Alloh, hai Tholhah. Aku tidak mengenalmu lagi sejak hilangnya jari-jarimu di Perang Uhud. Kau dirasuki bangga diri dan sombong. Telah wafat Rosululloh dalam keadaan murka atas apa yang kau katakan sehingga turunlah ayat hijab. Hai Tholhah, apakah akan aku tambah lagi ataukah aku diam?”

Tholhah nyaris menangis. “Diamlah! Itu cukup!” katanya terisak.

Kemudian ‘Umar menghadap ke arah Sa’d ibn Abi Waqqosh. “Adapun engkau, hai Sa’d. adalah tukang berburu, pemilik busur, anak panah, dan tombak. Engkau adalah bagian dari sekumpulan kuda perang dan pasukan. Engkau seorang panglima perang yang memiliki kuku-kuku singa. Namun kau bukan kholifah! Bahkan Bani Zuhroh pun takkan sanggup kau mengurusnya!”

Lalu ‘Umar menghadap ke arah ‘Ali ibn Abi Tholib.

“Dan adapun engkau, hai ‘Ali,” katanya, “Demi Alloh, seandainya bukan karena unsur kelakar dalam dirimu, niscaya engkau bisa membawa mereka pada tujuan yang terang dan kebenaran yang jelas ketika engkau memimpin mereka. Sayangnya, mereka takkan mau kau bawa ke sana. Mereka takkan melakukannya.”

Setelahnya, ‘Umar menghadap ke arah ‘Abdurrohman ibn ‘Auf.

“Dan engkau, wahai ‘Abdurrohman. Seandainya setengah iman seluruh kaum Muslimin ditimbang dengan imanmu, maka imanmu akan lebih berat. Akan tetapi dalam dirimu terdapat kelemahan. Dan hal khilafah ini, tidak akan baik jika dipegang oleh orang yang memiliki kelemahan seperti kelemahanmu!”

‘Abdurrohman ibn ‘Auf mengangguk-angguk dan tersenyum.

Terakhir, ‘Umar menghadap ke arah ‘Utsman dan memintanya mendekat.

“Sepertinya, hai ‘Utsman,” kata ‘Umar lembut, “Quroisy akan mempercayakan urusan khilafah ini kepadamu lantaran kecintaan mereka atasmu, ya Dzun Nuroin. Lalu engkau akan mempersamakan dan mengangkat Bani ‘Umayyah serta Bani Mu’aith atas manusia dan memuliakan mereka dengan fa’i. Lalu sekelompok serigala-serigala Arab akan menyerang dan membunuhmu di tempat tidurmu. Demi Alloh, seandainya mereka menyerahkan khilafah kepadamu, niscaya itulah yang akan kau alami. Dan seandainya engkau menerima, niscaya itulah yang akan terjadi.”

‘Umar mendekatkan kepalanya ke kepala ‘Utsman. Diusapnya ubun-ubun ‘Utsman penuh kasih, lalu dia berbisik di telinga ‘Utsman, “Ingatlah ucapanku ini. Sebab ia akan terjadi.”

                                                           ***

Dalam dekapan ukhuwah, Alloh akan menganugerahkan kepada kita sahabat-sahabat yang kadang lebih mampu menilai kita daripada diri kita sendiri. Secara pribadi, kadang kita memang bisa dan menjadi tak jujur dalam mengenali diri. Kita menilai diri sendiri berdasar apa yang bisa kita perbuat. Orang lain menilainya sesuai dengan apa yang telah kita lakukan.

Sungguh di antara nikmat terbesar dalam dekapan ukhuwah adalah keberanian kita untuk menerima penilaian itu sebagai sebuah masukan. Itu sikap agung yang telah diambil oleh az-Zubair. Oleh Tholhah. Oleh Sa’d ibn Abi Waqqosh. Oleh ‘Ali. Oleh ‘Abdurrohman ibn ‘Auf. Dan juga oleh ‘Utsman ibn ‘Affan.

Rosululloh dahulu memuji mereka masing-masing dengan keutamaannya. Az-Zubair adalah Hawari Rosulillah, penjaga setia Sang Nabi. Tholhah adalah syahid yang masih berjalan di muka bumi. Hari Uhud adalah harinya Tholhah. Sa’d ibn Abi Waqqosh adalah satu-satunya orang yang Rosululloh satukan ibu dan ayahnya untuk menjadi tebusan. “Panahlah, hai Sa’d,” kata Sang Nabi dalam berbagai pertempuran, “Ayah dan Ibuku menjadi tebusanmu.” Sa’d jugalah yang dibanggakan sebagai paman oleh Sang Nabi. “Ini pamanku!” seru beliau, “Ayo tunjukkan padaku paman-paman kalian!” ‘Abdurrohman ibn ‘Auf adalah dermawan tak tertandingi. ‘Ali ibn Abi Tholib adalah pintu kota ilmu, dan kedudukannya di sisi Rosululloh bagai Harun di sisi Musa. Sementara ‘Utsman ibn ‘Affan kita tahu, takkan membahayakannya sesudah apa yang disumbang-kannya untuk Perang Tabuk, wakafnya dengan sumur Roumah, hijrohnya yang dua kali, dan dua cahaya yang dinikahinya.

Tetapi di hari yang prihatin itu, ‘Umar dengan perut terluka menganga dan terus mengucurkan darah telah memberikan hal lain yang tak kalah berharga: sebuah penilaian! ‘Umar mengungkap sisi lain dari masing-masing kepribadian mereka. Dalam dekapan ukhuwah, mereka menerima itu semua dengan lapang dada.

                                                           ***

Memperhatikan penilaian orang-orang berhati jernih atas diri kita, lalu menerimanya sebagai masukan berharga akan membuat kita merasa nyaman dengan diri kita. Dalam tataran ilmu, kemampuan kita untuk penilaian itu lalu merasa nyaman atas diri sendiri, harus dimulai dengan memahami diri.

Apa pentingnya memahami diri terkait keterampilan kita untuk menjalin hubungan dalam dekapan ukhuwah? Ternyata sangat penting. Sebab, pertama-tama, siapa diri kita menentukan apa yang kita lihat.

Di Amerika Serikat, ada negara bagian Colorado yang bercirikan pegunungan tinggi, sungai-sungai berarus deras, lembah dan tebing curam, serta hutan cemara yang begitu sejuk dan asri. Dalam kebalikannya, ada negara bagian Texas yang kondisinya kebanyakan berupa dataran, tanah peternakan, dan padang rumput luas seakan tak terbatas.

Satu saat, demikian diilustrasikan seorang penulis, ada orang dari Texas yang pindah rumah ke Colorado. Dia membangun rumah dengan jendela besar menghadap ke arah pegunungan Rocky Mountains. Dia ditanya, apakah dia menyukai pemandangan indah di tempat barunya. “Satu-satunya masalah dengan tempat ini,” ujarnya gusar, “Adalah kau tak bisa melihat apa pun karena ada sebuah pegunungan besar yang menghalangi pandanganmu!”

Di saat yang sama, seorang dari Colorado pindah ke Texas. Rumahnya didirikan menghadap sebuah ranch yang sangat luas dengan lembu dan kuda yang tiap pagi serta sore digiring pulang dan pergi ke padang rumput. Dia juga ditanya, apakah dia menikmati pemandangan di sini. “Masalah terbesarnya adalah,” katanya kesal, “Tak ada apapun yang bisa dilihat!”

Siapa diri kita, juga menentukan bagaimana kita melihat orang lain.

Seorang wisatawan muda yang sedang memasuki sebuah kota besar, demikian ditulis oleh John C. Maxwell dalam Winning with People, bertanya kepada seorang lelaki tua yang duduk di pinggir jalan. “Bagaimana orang-orang di kota ini?”

Lelaki tua itu tersenyum. “Bagaimana orang-orang di kota tempatmu berasal?” balasnya balik bertanya.

“Mengerikan!” pekik si wisatawan muda, “Mereka licik, tak dapat dipercaya, dan menjijikkan dalam segala hal!”

“Ah ya,” timpal si orang tua, “Kau akan menemukan keadaan yang sama di kota ini!”

Ketika wisatawan muda itu berlalu pergi menyusuri kota yang baru dimasukinya, datanglah seorang wisatawan lain kepada si Pak Tua. Wisatawan yang kedua ini juga bertanya tentang orang-orang di kota yang dia tuju ini. Orang sepuh itu kembali balas menanyakan bagaimana keadaan orang-orang di kota asal yang ditinggalkannya.

“Wah,” ujar sang wisatawan, “Mereka adalah orang-orang yang menyenangkan, baik, jujur, rajin, dan suka memaafkan. Aku merasa sangat sayang meninggalkan kotaku.”

“Tenang saja,” kata si lelaki tua, “Engkau akan mendapati orang-orang di kota ini juga seperti itu.”

                                                           ***

Dalam dekapan ukhuwah, siapa kita juga menentukan bagaimana kita memandang dunia dan apa yang menjadi sikap kita atasnya. Maka di awal-awal, bagaimana cara kita memandang diri akan sangat berpengaruh terhadap segala sesuatu. Siapakah kita? Cobalah jawab pertanyaan ini. Tapi sebelum itu, mari kita perhatikan jawaban dari salah satu Muslim yang dinilai sangat berhasil menjalin hubungan indah dengan orang-orang di sekitarnya. Luasnya cakupan ukhuwah yang dia bangun membuatnya digelari Bapak Persaudaraan Islam abad keempatbelas Hijriah.

“Akulah petualang,” kata Hasan al-Banna, “Yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiaannya di tengah Bani Adam. Akulah mujahid yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air di bawah naungan Islam yang hanif.”

“Akulah lelaki merdeka,” lanjutnya, “Yang telah mengetahui rahasia wujudnya, maka ia pun berseru, “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Alloh, Robb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Kepada yang demikian itulah aku diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.””

“Inilah aku. Dan kamu, kamu sendiri siapa?”



Sumber: “Dalam Dekapan Ukhuwah”, Salim A. Fillah; Pro-U Media