Kamis, 30 April 2015

Super State

Di tanah ‘Utsmani ini
Yesus dilahirkan dan diangkat ke surga
Cahaya Tuhan turun pada Musa
Bahtera Nuh berlabuh
Dan dari Nyanyian Daud hnga lenguh Sokrates
Akal dan agama saling menjaga
Ulurkan tanganmu, Oo tanah airku
Ke kebun sang Nabi
Gosokkan tubuhmu, hitam, ke Ka’bah suci
(Nanik Kemal, 1881)

Arti penting karya Denys Lombard, Le Sultanat d’ Atjeh au temps d’Iskandar Muda (1607-1636), terutama tentu untuk meruntuhkan asumsi serampangan Snouck Hurgronje dalam De Atjehers yang menyebut kejayaan Aceh zaman Iskandar Muda hanyalah dongeng. Ketika Lombard melakukan penelitian dan mempublikasikannya di tahun 1963, buku Snouck masih ‘kitab suci’ tentang studi Aceh. Oh, tapi lebih penting lagi, dalam edisi terjemahan Indonesia, ilustratornya, atas izin The Bodleian Library, University of Oxford, memilih surat Iskandar Muda pada Raja James I dari Inggris yang bertanda tahun 1615 sebagai latar sampul. Wah!

Aceh sangat kuat dalam hal politik luar negeri. Memang wilayah daratnya ‘hanya’ membentang dari Johor, Pahang, dan Kedah di Malaya, hingga Deli, Barus, Tiku, dan Pariaman di Sumatera Utara dan Barat. Tetapi seorang sejarawan sempat menyebut, Samudera Hindia seluruhnya, hingga pantai Madagaskar dan laut Arab, berada di bawah pengawasan angkatan laut Aceh. Tak heran, kita bisa menelisik sumber sejarah akurat tentang korespondensi intens Iskandar Muda dengan Inggris, Perancis, Spanyol, dan terutama super-state Islam ketika itu, Kesultanan Turki ‘Utsmani.

Jika Kesultanan Aceh Darus Salaam memilih menjadi mitra bagi Kesultanan ‘Utsmani, maka tidak demikian dengan kesultanan-kesultanan di Jawa. Mulanya memang, da’wah Jawa didesain oleh Sultan Muhammad II dari Turki dengan mengirim beberapa ‘ulama. ‘Ulama-‘ulama itu menjadi Wali Sono, penguasa wilayah-wilayah kecil; Ampel, Gresik, Kudus, Muria. Kata ‘Wali’, kita sering mendengar dalam sejarah Khulafaur Rosyidin berarti kepala wilayah. Kita pun masih punya istilah ‘walikota’. Mungkin terpeleset lidah sekaligus mistisisasi angka sembilan sehingga para ‘ulama itu disebut Wali Songo. Yang jelas, sono-sono itu bergabung membentuk Kesultanan Demak.

Keterputusan hubungan agaknya membuat Mataram –pelanjut Demak dan Pajang- diperintah bukan oleh orang bergelar Sultan. Tapi Panembahan. Hingga Panembahan Hanyokrokusumo dengan itikad sangat baik pada tahun 1641 mengirim dutanya kepada Sultan Rum –begitulah Sultan-sultan ‘Utsmani dikenal di Nusantara- untuk mendapat pengesahan gelar Sultan. Dan itu artinya, Mataram kembali mendudukkan diri sebagai bawahan bagi superstate Kesultanan ‘Utsmaniyah. Lihatlah lukisan sejarah tentang penyerbu Batavia tahun 1628-1629 ini, yang mahkotanya sangat kentara sebagai ‘tarbusy’, topi khas Turki.

Hubungan itu terputus lagi. Pengganti Sultan Agung, Amangkurat I, yang dalam Babad dikisahkan membantai ribuan orang termasuk ratusan ‘ulama Giri, dan melewati mayat-mayat bergelimang darah dengan menyingsingkan kainnya menggunakan gelar khas Jawa; Susuhunan, artinya ‘yang dimohon’.

Seabad kemudian, dengan mendandani seorang pelaut Arab yang terdampar di pantai utara Jawa sebagai ‘utusan Sultan Rum’, Belanda mengakhiri perang yang dikobarkan Pangeran Mangkubumi. Utusan palsu itu, meyakinkan sang pangeran bahwa Sultan Rum akan memberikan gelar Sultan padanya, sebagai ahli waris Sultan Agung, jika dia mengakhiri perang dan menerima Perjanjian Gianti. Maka berdirilah Kasultanan Yogyakarta dengan legalitas dari ‘Sultan Rum, dari Negara Atas Angin.’ Gelar ‘Sultan’ yang diikuti kata-kata ‘Abdurrohman, Sayyidin Panotogomo, Kholifatulloh Tanah Jawa’ kembali bergema.

Tigapuluh tahun setelah mangkatnya Hamengkubuwono I, kesultanan yang ditinggalkannya mulai bergolak untuk melahirkan pahlawan baru. Cicitnya, Diponegoro, yang telah dua kali menolak ditawari menjadi Hamengkubuwono IV, yang memimpin perlawanan paling berdarah terhadap Belanda, memakai gelar yang sangat menarik dalam pentahbisan Sultan di Matesih; ‘Abdul Hamid Herucokro Kabirul Mukmin Sayyidin Panotogomoning Jowo Kholifat Rosulillah Sain.

Mengapa memilih nama ‘Abdul Hamid? Polycarpus Swantoro dalam Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, dan Saleh As’ad Djamhari dalam disertasinya yang berjudul Strategi Menjinakkan Diponegoro sepakat, bahwa Diponegoro lahir di masa pemerintahan Sultan ‘Abdul Hamid I di Turki ‘Utsmaniyah. Kata ‘Sain’, menurut Swantoro, kemungkinan adalah pengucapan Jawa atas kata Arab ats-Tsanii, yang berarti, ‘yang kedua’. Panembahan Kabirul Mukmin juga menarik, ditambah lagi penggantian kata Kholifatulloh dengan Kholifat Rosulillah. Ini menunjukkan pengaruh riwayat hadits yang lebih dalam. Adakah Diponegoro pernah mendengar atsar Abu Bakr, “Kholifatulloh hanyalah Dawud ‘Alaihis Salaam.”?

Nah, lebih menarik lagi fakta yang disampaikan Djamhari, bahwa hierarkis kepangkatan, susunan militer, pakaian seragam, bahkan nama korps dalam pasukan Diponegoro sangat jauh dari bau Jawa maupun Eropa. Misalnya, Diponegoro didampingi oleh empat Alibasah. Mereka membawahi beberapa Basah. Dan komandan terendahnya disebut Angadaulah dan Dulah. Itu, tentu saja adalah pengucapan Jawa untuk kata Turki Ali Pasha, Pasha, dan Agha Daulah. Dalam barisan ini ada korps Bulkiya, Turkiya, Harkiya, dan Borjomu’ah. Nah, yang ini persis dengan susunan militer Janissarie, pasukan elit Sultan Turki.

Kalau ingin melihat pakaian seragam prajurit Diponegoro, tergambar jelas dalam lukisan Raden Saleh berjudul Historische Tableu, die Gefangennachmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro –yang mewakili nasionalisme kita- dan bahkan lukisan karya Nicolaas Pieneman –yang menjadi versi resmi pemerintahan Belanda-. Sangat santri, dan sangat tidak ‘nJawani’. Yang ini dibahas dalam buku Peter B. Carey, Asal-usul Perang Jawa.

Darimana Diponegoro memahami hal-hal ini? Djamhari pun belum bisa memastikan, kecuali catatan kabur tentang berlabuhnya ‘tiga kapal raksasa’ di pantai selatan Jawa di saat perang sedang ramai-ramainya. Yang jelas, pangeran dari Kesultanan Yogyakarta ini sejak kecil sangat dekat dengan para ‘ulama. Kalau kita menonton film Kingdom of Heaven garapan Ridley Scott, terlihat bahwa di samping Salahuddin selalu berdiri seorang ‘ulama muda yang penuh semangat jihad, yang kadang mendebat sengit bila Salahuddin bicara tentang perdamaian. Seperti Salahuddin, Diponegoro punya Kiai Mojo. Simak saja jawaban sang ‘Alim berwajah tampan yang tersurat dalam babad ketika menjawab tawaran damai Jenderal de Kock.

Ngantepi Islamnya samya
Nglampahi parentah dalil
Ing Qur’an pan Ayat Katal

Bersama memantapkan Islamnya
Melaksanakan perintah dalil
Dalam al-Qur’an surat at-Taubah

Memang tidaklah berlebihan, ketika kita memandang bahwa sebuah superstate Islam sangat bernilai dalam menaungi kehidupan kaum Muslimin di seluruh dunia. Meski, -sesuai hadits Rosululloh- saya kurang sreg menyebut Turki ‘Utsmani sebagai khilafah, tetapi peran yang diembannya begitu indah, dan terasa di sini, di Nusantara yang puluhan ribu kilometer jaraknya dari Seraglio Sultan di istana Topkapi yang dihilirmudiki 5000 pelayan.

Dari luar keindahannya, ada yang harus kita akui bahwa sistem Mulk, kerajaan, dan bukan Khilafah, yang menopang superstate Islam terakhir ini memperkecil kemungkinan terpilihnya orang terbaik untuk memerintah. Ada Sultan-sultan sholih yang bertahta di sana. Tapi ada pula yang untuk berkuasa harus mencekik puluhan sudara kandungnya. Hingga tahun 1603, Sultan Ahmad I naik tahta, dan ia tak mau ada darah tertumpah. Maka dibangunlah paviliun khusus bagi para pangeran, agar mereka menikmati hidup dan melupakan perebutan kuasa. Kelak, calon Sultan juga diambil dari paviliun ini, lalu merosotlah Turki di bawah Sultan-sultan yang terlambat belajar tata pemerintahan.

Kita kelanai zaman yang lebih awal tentang nilai sebuah superstate Islam. Ahmad Thomson dalam Islam in Andalus mengutip Ibn ‘Arobi tentang suatu kejadian di masa Kholifah an-Nashir ‘Abdurrohman III (912-960), ketika duta besar Negara-negara Eropa datang berkunjung. Sebenarnya pelik juga karena di masa ini, ada 2 orang lagi yang menggunakan gelar Kholifah selain an-Nashir; al-Muqtadir di Baghdad dari keluarga ‘Abbasiyah, dan al-Mahdi di Qoyrowan dari Syi’ah. An-Nashir-lah orang pertama yang memakai gelar Kholifah pada keluarga ‘Umayyah di Andalusia gara-gara mendengar pengangkatan al-Mahdi yang Syi’ah. Semula, ijma’ menyebutkan yang berhak menyandang gelar Kholifah dan Amirul Mukminin hanyalah yang melayani dua kota suci, Makkah dan Madinah yang saat itu berada dalam pengawasan ‘Abbasiyah.

“Sepanjang jalan,” tulis Ahmad Thomson tentang kejadian itu, “Mulai dari gerbang kota Cordoba hingga gerbang Madinatuz Zahro, yang berjarak kira-kira 1 pasarange, -sekitar 22 km-, dibariskan dua jajar pasukan di tiap sisinya. Para prajurit ini, mengangkat tinggi-tinggi pedang mereka yang telanjang, berat dan panjang, hingga ujung-ujungnya saling bersentuhan membentuk semacam atap.

Dengan menelusupi jajaran pedang berkilat yang rasanya tak habis-habis itu, para duta besar telah merasakan teror tak terlukiskan. Tanah yang mereka lewati dilapisi kain brokat, dari mulai gerbang kota hingga tempat penerimaan tamu. Pada interval-interval tertentu di seberang jalan, disediakan tempat duduk bagi para pejabat, yang karena kemewahan bahan dan dekorasinya telah mereka kira sebagai singgasana. Para duta besar itu berlutut menjatuhkan diri, yang segera disambut dengan ucapan santun, “Bangunlah… Ini hanyalah pelayannya pelayan dari pelayan Kholifah…”

Sungguh sebenarnya mereka tak sanggup mengangkat muka. Tetapi pemandangan Madinatuz Zahro terlalu menakjubkan untuk dilewatkan meski dengan lirik-lirik sekilas. Ada 13.750 pelayan laki-laki, 3.350 perwira muda dan sida-sida Sclavonia, ada 6.314 dayang-dayang di harem, dan sesekali terlihat kerumunan para qodhi, khothib, ‘ulama, dan penyair berjalan dengan anggunnya melewati balairung-balairung yang megah, ruang penyokong yang mewah, dan halaman-halaman yang luas bertaman jelita. Memikirkan bagaimana memberi makan dan pakaian pada semua orang ini saja sudah membuat para duta besar itu pusing.

Berdampingan dengan istana, tampak sebuah taman dengan danau buatan yang di tengahnya dibangun sebuah ruang musim panas dari kaca buram dihiasi emas. Arsiteknya begitu baik merencanakan bangunan ini, sehingga dengan hukum geometri tertentu air danau dinaikkan hingga mencapai puncak kubah melalui ruang musim panas ini dan kemudian mengucur di kedua sisinya, bergabung lagi dengan air danau. Dalam ruangan ini, kita dapat duduk tanpa tersentuh air yang mengitari dari semua sisi, dan menghirup udara segar musim hangat. Kadangkala, lilin dinyalakan di dalam ruangan dan menghasilkan efek mengagumkan dari dinding yang transparan itu.

Balairung Kholifah, genteng penutupnya terbuat dari emas dan perak murni, dan terdapat sebuah kolam besar berisi air raksa di tengah-tengah ruangan ini; pada tiap sisi di kedelapan pintu memancang lengkungan gading dan kayu hitam, dihiasi emas dan berbagai jenis batu mulia, menyandar pada tiang-tiang beraneka ragam marmer, pualam, dan kristal bening. Pantulan sinar mentari pun sudah cukup menyilaukan, ditambah lagi, jika Kholifah ingin meminta tamunya pergi, ia tinggal memerintahkan agar air raksa dalam kolam digerakkan, hingga tercipta efek sorotan cahaya dan seolah-olah seisi ruangan itu bergerak dengan suatu poros mengikuti arah matahari dan mengerikan.

Akhirnya para duta besar itu sampai di suatu ruangan yang mencolok sederhana, lantainya bertabur pasir. Di tengahnya seorang lelaki duduk lesehan di lantai dengan kepala condong ke depan. Pakaiannya terbuat dari kain kasar berlengan pendek tak berlapis-lapis. Semua yang dikenakannya berharga tak lebih dari 4 dirham. Di hadapannya terdapat sebuah mushhaf, sebilah pedang, dan perapian kecil.

“Inilah Sang Kholifah!” pemandu memberitahu. Maka tiba-tiba mereka menyungkur sujud. Sebelum mereka sempat menggumamkan kata apa pun, Kholifah berkata, “Alloh telah memerintahkan kami, wahai kalian, untuk menyeru bangsamu pada ini!” sambil menunjuk mushhaf. “Jika kalian menolaknya, kami akan memerangi kalian dengan ini!” ia menunjuk pedang. “Dan celakalah kalian jika terbunuh. Karena kalian akan terbakar dalam ini!” ia menunjuk api.

Teror puncak akhirnya menyergap para utusan itu. Kholifah memerintahkan mereka dibawa keluar sebelum sempat mengatakan apapun. Kemudian traktat disodorkan, dan mereka menandatanganinya gemetaran, lengkap dengan semua syarat yang diajukan Kholifah. Tak ada tawar sedikitpun.”

Sejarah yang eksotis ini, luar biasa. Tetapi agaknya, terus berlaku kaidah sejarah yang sangat klise itu; kejayaan membunuh semangat juang yang melahirkannya. Dan kejatuhan pun mendekat. Dalam karya Amin Maalouf, Leon l’ Africain, kita bisa membaca betapa remuknya moralitas tepi akhir peradaban Andalusia. Maalouf berkisah, bahwa Sultan Granada yang kedua dari akhir, memiliki seorang isteri yang sangat jelita. Suatu hari, dimintanya sang isteri mandi di pemandian istana yang bisa diamati dari sebuah ruang khusus. Di ruang khusus itu, Sang Sultan mengundang semua pejabat tingginya untuk bersama-sama menyaksikan jelitanya sang isteri. Setelah itu, dihidangkanlah kepada mereka air bekas mandi sang ratu untuk diminum sebagai pembuka jamuan. Hanya sang Perdana Menteri –yang Yahudi- yang menolak dengan kalimat terkenalnya, “Maaf, Yang Mulia, jika saya mencicipi kuahnya, saya khawatir nanti saya akan menginginkan dagingnya.”

Akhirnya Granada menyerah pada Ferdinand dari Arragon dan Isabella dari Castillia di masa pemerintahan sang putera, Sultan Abu ‘Abdillah, alias Boabdil dalam literatur Barat. Tahun 1492, di sebuah jalan kecil di Sierra Nevada, dalam perjalanan menuju tempat pengasingannya di Maroko, sang Sultan berhenti sejenak dan menatap ke belakang, ke arah al-Hambra yang gemilang diterpa cahaya mentari. Ia terisak. Tempat itu kemudian dikenal sebagai El Ultimo Sospiro del Moro, desah napas terakhir orang Moor. Mendengar isak sang putera, Ibunda Sultan menggumamkan kalimat yang dikenang para sejarawan.

“Jangan kau tangisi seperti perempuan, apa yang tak dapat kau pertahankan sebagai laki-laki,” katanya. Memang, “Betapa sukarnya terang siang berpamitan dari Granada!” timpal Federico Garcia Lorca, sastrawan latin itu.

Mari bercita tentang superstate yang Islami, meski memang tak ada negara malaikat. []


Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Kuasa Kesholihan

Ada satu kaidah yang senantiasa ditekankan ‘Umar ibn al-Khoththob bagi kemashlahatan sebuah ummat; kekuatan yang terpadu dengan kesholihan dan kelemahan yang menjadi ciri kebathilan. Begitulah seharusnya, karena syari’at ini tidak utopis untuk kemudian mencitakan ‘Negara Malaikat’. Sampai kapan juga, dalam tiap manusia dan masyarakat, potensi negatif akan tetap ada. Yang ditugaskan ‘Umar adalah konsep realistisnya; potensi kesholihan itu menjadi kinesi besar kemajuan dengan percepatan tertentu, sedangkan sang kebathilan dimasukkan ke zona lembam dalam diam.

Da’wah kini ditantang untuk membuktikan ideologi dan metodologinya dalam amal nyata pengelolaan hajat hidup masyarakat. Dulu, kita boleh mencukupkan diri dengan tertanamnya keyakinan Islam sebagai solusi dan tersebarnya fikroh kesholihan. Kini, masyarakat bertanya, “Di manakah bukti keunggulan sistem Islam dalam mengatur urusan kami?”

Lalu apakah kita bisa membuktikannya jika tak memasuki inner circle pengelolaan publik itu? Oh, bahkan Yusuf pun takkan bisa membuktikan bahwa dia yang seorang Muslim itu amanah dan kompeten jika tak memegang kuasa perbendaharaan negara. Dalam konteks wilayah pengelolaan publik seperti sebuah kota, maka sebuah jama’ah da’wah memerlukan diri untuk tak hanya memperjuangkan Furqon, tapi juga mengelola Sulthon. Itulah energi pembangkit untuk menjamakkan kesholihan dan membekuk kebathilan sebagaimana dimaksud ‘Umar; kekuasaan. Maka benarlah ‘Utsman ibn ‘Affan sang penulis wahyu, “Dengan kekuasaan lah, Alloh menegakkan apa-apa yang tak bisa ditegakkan hanya dengan al-Qur’an.”

Bagaimana kesholihan bisa menyatu dengan kekuasaan? Idealnya, tentu mutlak. Kekuasaan adalah milik da’wah, oleh da’wah, dan untuk da’wah. Tetapi Rosululloh mencontohkan pada kita bahwa berserikat adalah jalan yang setapak demi setapak kita upayakan, hingga da’wah itu men-shibghoh perserikatan, dan perserikatan itu men-shibghoh alam semesta dengan nilai kesholihan. Dari Siroh Nabawi, kita berkaca tentang prinsip-prinsipnya.

1. Da’wah adalah Da’wah
Ada satu pesan yang menjadi manifesto paling sederhana da’wah kita, “Perbaiki dirimu, dan ajak yang selainmu!” Dalam terjemah yang lebih luas di ranah pengelolaan publik, kalimat “Ashlih nafsaka wad’u ghoiroka!” itu tentu bermakna melibatkan semua pihak yang peduli pada perbaikan kondisi. Pun ketika untuk menuju kekuasaan, sebuah da’wah harus bekerjasama dengan pihak lain, itupun dalam konteks da’wah. Minimal dalam dua sisi. Pertama, menda’wahi pihak yang diajak bekerjasama hingga mereka ter-shibghoh dengan nilai-nilai Ilahiyah. Dan kedua, bersama dengan rekan seperjuangan yang terda’wahi itu memperbesar peluang menangnya kesholihan di panggung kuasa pengelolaan publik.

Terra Incognita, ke sanalah da’wah menuju. Ke tempat di mana selama ini bicara kesholihan adalah tabu. Adalah Shofwan ibn ‘Umayyah yang musyrik, mulanya meminjamkan ratusan baju besi kepada Nabi dengan sistem sewa. Pasca-perang, ketika dilihatnya akhlaq sang Nabi dalam memenuhi perjanjian, ia menyatakan keislamannya, tentu disertai ketulusan untuk menjihadkan semua hartanya dalam da’wah. Dan kini, tanpa sewa.

2. Mendahulukan Tercegahnya Kerusakan
Dar’ul mafasid muqoddamun ‘alaa jalbil mashoolih. Ini kaidah yang indah dalam menentukan suatu keputusan. “Menolak kerusakan itu, didahulukan daripada teraihnya kebaikan-kebaikan.” Kaidah ini sesungguhnya tercermin dari keseluruhan teks piagam Madinah yang kita kutip sebagian kecilnya berikut ini:

“… Sesungguhnya orang Yahudi wajib mengeluarkan dana bersama kaum Muslimin selama mereka diperangi oleh musuh. Orang Yahudi Bani Auf merupakan satu bangsa bersama kaum Muslimin. Bagi Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Budak-budak dan jiwa mereka terlindungi, kecuali bagi orang yang berbuat dan melakukan tindak kejahatan…”

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memasuki Madinah sebagai seorang pendatang, tetapi telah memiliki pengikut yang banyak. Nilai tawar itulah yang kemudian beliau pakai untuk menyusun pakta kerjasama yang kuat antara beliau dengan semua kelompok berpengaruh di Madinah. Mereka terikat olek kepentingan yang sama untuk menjadikan Madinah sebagai tempat tinggal bersama, yang tetap kondusif dan aman dari gangguan musuh. Substansi ini lebih bersifat mencegah kerusakan.

Sebenarnya, selain dalam “What” dan “How”, kaidah ini dipakai oleh jama’ah da’wah untuk merumuskan kerjasama mereka dengan siapapun. “Who”-nya juga. Sesungguhnya dalam konteks Islam dan da’wah, mencegah kemunkaran dan kerusakan itu didahulukan daripada meraih kebaikan-kebaikan. Seperti apa pemimpin yang akan dipilih? Jika ada dua pilihan, di mana yang satu berkompeten dalam menebar kebaikan namun tak mampu bersikap terhadap kemunkaran, sementara satu pihak lagi adalah orang yang mampu mencegah kerusakan meski kemampuannya menebar kebakan belum teruji, mana yang dipilih? Jawabannya sama, “Dar’ul mafasid muqoddamun ‘alaa jalbil mashoolih.”

Pilihlah pencegah kemnkaran! Karena sesungguhnya, kemashlahatan sejati di sisi Alloh hanya dapat diraih dalam kondisi kemunkaran dan kerusakan minimal. Di situlah barokah Alloh dikaruniakan, bukan pada orang yang menebar pembangunan dan kebaikan-kebaikan namun tak mempedulikan kemunkaran. Barokah Alloh turun, pada ketaqwaan: takut yang sangat pada Alloh untuk mendurhakai-Nya.

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. al-A’roof: 96)

3. Ikatan Kontrak yang Kuat
Sulitnya sebuah jama’ah da’wah bekerjasama dengan selain mereka, kadang berlatar asumsi bahwa tidak ada kata ‘pengkhianatan’ dalam kamus pihak-pihak itu. Akan jadi lucu, jika kemudian pengkhianatan terjadi, hanya kita yang bisa berteriak, “Kami dikhianati!” Lalu mereka bertanya, “Apanya? Ini tidak diatur dalam butir-butir kontrak meski kemudian menguntungkan kami dan merugikan kalian?”

Nah, Rosululloh memberikan teladan bahwa sebuah kontrak tak boleh memberi celah bagi pihak yang diajak bekerjasama untuk menelikung. Tugas kita, menutup semua celah itu, bukan dengan sekedar percaya pada komitmen awal. Bahkan kalau perlu, siapkan kekuatan pemaksa agar mereka selalu mentaati kontraknya. Subhanalloh, perhatikan bunyi surat teguran beliau ketika Yahudi Bani Nadhir diintimidasi Quroisy agar berkhianat pada Sang Nabi. Syaikh Munir al-Ghodhban mengutipnya dalam Manhaj al-Haroki,

“Telah sampai kepadaku berita tentang ancaman Quroisy kepada kalian. Ternyata rencana jahat mereka terhadap kalian tidak lebih hebat daripada rencana jahat kalian terhadap diri kalian sendiri. Kalian bahkan ingin memerangi anak-anak dan saudara-saudara kalian sendiri, yakni penduduk Madinah!”

4. Ketegasan dalam pengkhianatan
Lelaki tampan itu tampak pucat. Dari atas kudanya ia terus menggumamkan doa, “Ya Alloh, berikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan urusan dengan Bani Quroizhoh!” Dan hari itu, lukanya yang terus mengalirkan darah dari nadi yang pecah dibebat kuat-kuat. Ia, Sa’d ibn Mu’adz Rodhiyallohu ‘Anhu, pemimpin Aus, datang sebagai hakim yang ditunjuk Rosululloh dan diridhoi Yahudi Bani Quroizhoh untuk menyelesaikan sengketa pengkhianatan mereka dalam Perang Khondaq. Sebenarnya, Rosululloh sendiri berhak untuk memutuskan vonisnya. Hanya saja ada makna lebih dalam di sana: penghormatan, meredam gejolak, dan memuaskan semua pihak.

“Sambutlah Sayyid kalian…!” begitu Rosululloh berujar ketika melihatnya datang tertatih. Bani Quroizhoh menerima Sa’d menjadi hakim, karena suku Aus adalah sekutu mereka di masa Jahiliyah. Para pemuka Aus pun berpesan pada Sa’d agar bertindak bijaksana, mengingat Rosululloh telah menyerahkan urusan ini kepadanya agar dia berbuat baik terhadap sekutu-sekutunya.

Tapi apa kata Sa’d sebagai vonis? “Telah tiba saatnya bagi Sa’d untuk tak lagi mempedulikan cercaan para pencela dalam memutuskan hukum karena Alloh. Semua laki-laki di antara Bani Quroizhoh harus dibunuh! Anak-anak dan wanita-wanita mereka jadikan tawanan! Dan harta mereka disita!”

“Sungguh,” kata Rosululloh, “Engkau telah memberikan keputusan menurut hukum Alloh.” Beberapa hari setelah itu, sang hakim terus terbaring sakit di tenda Rufaidah. Darah terus mengalir dari lukanya hingga seorang shohabiyah berkata, “Bagai sebuah selokan!” Akhirnya ruhnya pergi menemui Alloh dalam keadaan ridho lagi diridhoi. Kedahsyatan kematiannya pun, sampai-sampai membuat ‘Arsy berguncang. “’Arsy berguncang,” kata Sang Nabi, “Ketika ruh Sa’d ibn Mu’adz diangkat ke langit!”

5. Mendesain selalu Keteladanan Baru
Tantangan selalu muncul saat kita memasuki wilayah baru. Bahkan dalam hal yang sangat sederhana. Saat kita sedang membangun kebiasaan bangun malam untuk menghadap Alloh dalam tahajjud, rasa-rasanya tantangan kita ada pada daya diri untuk bangun dan melangkah ke tempat wudhu. Tetapi begitu kebiasaan bangun itu tersistemkan dalam tubuh kita, tantangan baru muncul: mengapa sholat kita terasa kering? Dulu, ketika bangun terasa sulit, sholat kita rasa-rasanya lebih khusyu’ daripada kini.

Demikian pula di wilayah baru pengelolaan publik. Kita harus semakin cerdas mendesain keteladanan baru. Dulu, demonstrasi memperjuangkan kepentingan masyarakat menjadi istimewa. Dulu, anggota dewan yang mengembalikan uang tidak jelas menjadi keteladanan yang sangat istimewa. Dulu, anggota dewan yang menolak KunKer (kunjungan kerja) tanpa agenda nyata, itu istimewa. Dulu, partai yang memiliki layanan sosial adalah keteladanan istimewa. Dulu, partai yang menerjunkan satgasnya ke lokasi bencana adalah keteladanan istimewa. Kini? Nanti dulu. Masyarakat semakin menganggapnya sebagai hal yang biasa karena tak hanya partai da’wah yang bisa melakukannya. Tentu, kita syukuri hal itu sebagai suatu keberhasilan da’wah, bahwa kini –terlepas apapun motifnya- ada lebih banyak kepedulian.

Selanjutnya, sesudah bersyukur tentu prinsip ‘yakhtaliyatun wa lakin yatamayyazun’. Bagaimana agar identitas da’wah tidak kabur karena kurangnya keteladanan. Nah, seperti ‘Umar mencegah para panglimanya memiliki tanah agar mereka tak kehilangan daya ekspansi, jama’ah da’wah perlu terus membangun sistem yang mendukung terciptanya keteladanan baru yang tak usang tak lekang dari para kader da’wah yang mengelola kepentingan publik, yang menggiatkan penguatan struktur, maupun yang bergerilya di ranah sya’biyah.

Selamat berserikat. Seperti kata Dr. Surahman Hidayat, “Tanggung jawab ini kita bagi bersama, tapi kita tetap sebagai pionernya!” Inilah serikat, untuk kuasa kesholihan. []


Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim’; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Koh Pin Lay

Cinta adalah penyakit nikmat, yang kedatangannya justru dinanti.
(Ibnu Hazm, The Neck Ring of The Dove)


MARI sejenak mengunjungi semenanjung Iberia. Di luar data bahwa kaum Muslimin hanyalah 8 persen dari total penduduk kekhilafahan ‘Umayyah di Andalusia, ternyata memang komunitas Yahudi terampil dalam administrasi dan birokrasi. Maka jabatan administratif yang mengelola kepentingan publik hampir seluruhnya diserahkan pada orang-orang Yahudi.

Ibnu Hazm, ulama besar madzhab Zhohiriyah itu, bersahabat erat dengan Samuel ibn Nagrilla, Perdana Menteri ‘Umayyah yang sekaligus adalah Nagid, pemimpin tertinggi komunitas Yahudi. Tapi di akhir kisah, ketika Samuel Nagid berperan meruntuhkan khilafah dan mengubah tata pemerintahan Andalusia menjadi thoifah, atau polis state, yang masing-masing memiliki Sultan, beliau dirundung duka. Dan jadilah Ibnu Hazm seorang pejuang pengembalian khilafah yang kesepian, dari penjara ke penjara. Syair terkenal yang digubahnya untuk budak yang paling dicintainya, mungkin juga adalah refleksi kenangannya tentang khilafah yang hilang di Cordoba. Setidaknya itulah yang diyakini Maria Rosa Menocal dalam buku sejarah lirisnya, Ornament of The World.

Tahun 1064 tercatat suram. Ibnu Hazm, pejuang khilafah yang kesepian itu wafat, sekira 50 tahun setelah penjarahan mengerikan yang menghancurkan Madinatuz Zahro. Istana-kota ini adalah pusat kekuasaan berkilauan di atas bukit Cordoba yang seolah menjadi mahkota bersusun-susun bagi kota termewah di seluruh dunia itu. Tapi, itulah wajah kita di Andalusia, pemimpin dan pelayan ummat yang tidak kokoh.

Lalu mari ke tanah air kita. Di keping-keping kesultanan Mataram di awal abad XIX, ada catatan menarik tentang gerbang tol. Atau orang Jawa menyebutnya bandar. Di luar berbagai faktor yang kita pertimbangkan menjadi penyebab perang Diponegoro 1825–1830, mungkin bandar adalah gambaran paling kasat dari rakyat banyak atas apa yang kita sebut kezholiman. Dan ternyata memang akar masalah pembauran dengan etnis Tionghoa juga ada di sana; pemungutan pajak jalan di gerbang-gerbang tol itu diserahkan pada etnis Tionghoa. Sekali lagi, itulah kita di sana; Sayidin Panotogomo yang tidak kokoh. Maka etnis Tionghoa menjadi sasaran kebencian dalam perang yang paling menyibukkan pemerintah kolonial itu. Hingga kini.

Koh Pin Lay, tentu bukanlah nama salah seorang pemungut pajak Tionghoa itu. Meski kata “Koh” sering kita pakai untuk memanggil mereka. Saya hanya mencoba menyingkat visi kita; da’wah yang koKOH, memimPIN, dan meLAYani. Kokoh, pimpin, layani! Nah, masalah kekokohan tentu solusi kuantitatifnya dengan merekrut kader. Dan solusi kualitatifnya dengan membina kader. Tapi sudahkah pula kita bermental pemimpin sekaligus pelayan? Karena prinsip amanah kita adalah sayyidul ummah, khoodimuhum; pemimpin suatu ummat adalah pelayan mereka. Apa saja karakter kepemimpinan da’wah yang perlu kita miliki?

Silakan berkenyang-kenyang dengan aneka ragam teori kepemimpinan. Saya hanya ingin menambahkan catatan tentang kepemimpinan da’wah. Katakanlah itu kepemimpinan yang memandu da’wah, bernilai da’wah, dan menginspirasi da’wah.

1. Menggenapkan an-Nafyu dengan al-Itsbaat

Tentang kalimat Laa ilaaha illallooh, ‘ulama kita membaginya menjadi an-Nafyu (penafian) dan al-Itsbaat (penetapan). Nah, sebagai ‘Abdulloh, kita menafikan segala yang disembah selain Alloh, lalu menetapkan hanya Alloh saja yang punya haq untuk itu. Tetapi tauhid kita tak berhenti sampai di situ. Sebagai Khalifah, kita tak boleh berhenti sekedar menafikan sistem Barat, peradaban Barat, budaya Barat, gaya hidup Barat, perlakuan Barat, dan seterusnya. Kita harus melengkapkan tauhid itu, dengan memberi alternatif sistem, peradaban, budaya, gaya hidup, perlakuan, dan seterusnya. Di situlah sifat dasar pemimpin; bukan cuma mengutuk gelap, tapi menyalakan lilin.

Ini kisah tentang Ibu Theresa. Ia lahir di Skopje, Albania, tanah yang juga telah menghadiahi kaum Muslimin dengan muhaddits agung abad ini, Muhammad Nashiruddin al-Albani. Jika Rosululloh pun mengakui keadilan Anusyirwan, Kisra Persia yang bertahta seabad sebelum kelahiran beliau, maka bagi saya, Agnes Maria Bojaxhiu –nama asli sang ‘Beata’- tetaplah misionaris paling mengagumkan. India menjadi saksi kesuksesan ‘da’wah’-nya.

Cobalah sempatkan menonton film Mother Theresa, In The Name of God’s Poor. Saya menyeksamai secuplik adegan menarik di film ini. Ketika para Pandit dan masyarakat fanatik Hindu berdemonstrasi menuntut pengusiran misionaris Ibu Theresa, kepala polisi pun turun tangan. Ia menginspeksi kerja kemanusiaan suster itu di rumah sewaannya. Ia melihat penderita kusta, para fakir, orang cacat, jompo, semua mendapatkan perawatan dan pelayanan. Ia melihat sendiri bagaimana Ibu Theresa mengangkat seorang berpenyakit menular ke pangkuannya, memandikannya, menyuapinya, dan menyelimutinya. Ia lalu keluar menemui para demonstran yang masih berteriak-teriak.

“Tenang semua! Demi dewa, aku pasti akan mengusir wanita itu!”,” ia berkata penuh wibawa. “Aku akan mengusir wanita itu jika isteri-isteri dan anak perempuan kalian telah menggantikan dan menangani semua yang mereka kerjakan di panti ini! Salam!”

Nah, begitupun kira. Dalam hal paling sederhana, da’wah bukanlah yang mengutuk kristenisasi bermodal mie instan, apalagi menyalahkan mereka yang membutuhkan mie instan. Kepemimpinan da’wah menjawab lebih dari sekedar, “Mengapa iman bisa ditukar mie instan?”, tapi, “Bagaimana agar hal itu tidak terjadi?” dan bahkan, “Bagaimana mencukupkan gizi bangsa, hingga orang tak lagi makan mie instan?”

2. Menggenapkan Skill Manajerial dengan Tawadhu’

Seorang pemimpin, simpul Mohammad Fauzil ‘Adhim dalam Da’wah yang Mengubah, Kepemimpinan yang Memberdayakan, melihat yang tak terlihat, mendengar yang tak terdengar. Pemimpin menemukan ‘jalan’. Pemimpin menggabungkan titik-titik potensi, mengetahui yang terpenting untuk mereka. Pemimpin menyambungkan segenap kekuatan. Pemimpin menyadari kekuatan dan menghargai kekuatan. Pemimpin melihat yang lain, pemimpin mampu melihat celah kesempatan. Wah, siapa mau jadi pemimpin? Oh, sungguh setiap kita adalah pemimpin, kata sang Nabi. Dan tak sampai di situ. Kita juga bertanggungjawab.

Maka skill manajerial seorang pemimpin memang seharusnya dimiliki tiap orang. Apa saja itu? Masing-masing punya teori. Rosululloh datang membawa motivasi, tawaran surga dan neraka. Lalu mendidik para sahabat dalam tarbiyah yang intens. Lalu menginstruksi mereka untuk hijrah dan berjihad. Beliau melakukan syuro dalam menghadapi persoalan-persoalan berat. Dan yang terpenting, beliau adalah inspirasi yang tak pernah habis. Motivating, educating, instructing discussing, dan inspiring. Selebihnya? Tawadhu’.

Bayangkan bahwa Anda adalah seorang ibu tua berpendidikan rendah yang tinggal di pelosok hingga Anda sama sekali belum pernah mendengar tentang PKS. Suatu hari, pelayanan kesehatan partai da’wah ini hadir di dekat Anda. Maka Anda pun bertanya pada petugas yang sedang mengukur tekanan darah Anda, “Mbak, ini yang menyelenggarakan pengobatan gratis dari mana to?”

“Ini dari PKS, Bu!” jawab si Mbak sambil tetap sibuk dengan tensimeternya.

“Lha PKS itu apa to?”

“PKS itu ya yang jelas beda dengan PKU!”

Dinilai dari sisi manapun, jawaban ini bukan jawaban seorang da’i, bukan seorang pelayan ummat, apalagi pemimpin. Bahkan bukan jawaban orang yang bisa menjawab pertanyaan. Gajah itu apa to? Oh, gajah itu bukan kudanil. Menyedihkan, tapi mungkin pernah terjadi. Dengan jawaban ini, sang ibu tak menjadi tahu tentang PKS, dan jadi takut bertanya lagi karena merasa terbentak. Terlebih lagi unsur dengki dalam jawaban itu mengundang murka Alloh dan murka manusia. Jawaban yang tidak cerdas dan berefek menjauhkan manusia dari da’wah ini, tentu berawal dari akhlaq yang error.

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Qs. Luqman [31]: 18-19)

Bahkan, Alloh menegur ekspresi ringan semacam mimik wajah, cara berjalan, dan gaya bicara, jika itu semua menunjukkan keangkuhan dan menjauhkan manusia dari da’wah. Rosululloh mulia sebagai da’i, bukan karena mengatakan “Abu Jahl nggak bisa kan merawat anak yatim kayak kamu?!” Tapi Syaikh Shofiyurrohman al-Mubarokfury dalam ar-Rohiiqul Makhtuum mencatat, “Beliau bicara dengan ekspresi yang penuh. Tidak menoleh kecuali dengan seluruh badan. Penuh perhatian untuk mendengarkan. Memberi penekanan dengan memukulkan ibu jari kanan pada telapak tangan kiri. Berjalan dengan cepat seolah bumi dilandaikan.”

Kalau manusia lemah dan tertindas lalu ia tawadhu’, mungkin memang begitu meski seharusnya ia melawan penuh ‘izzah. Tapi ketika dia berada di puncak sebuah piramida kepemimpinan, tawadhu’ jadi tantangan. Seperti kata Solon, pemimpin demokrasi Athena itu saat ia mengundurkan diri, “Kepemimpinan yang didukung penuh rakyat seperti ini memang manis. Tapi aku takut, tak ada jalan turun.”

Suatu saat di masa kepemimpinannya, ‘Umar menemui kaum Muslimin di masjid dengan wajah yang tidak seperri biasa. Ada gurat aneh, ada air muka yang memasam, ada sorot mata yang gundah. “Apa yang kau gelisahkan wahai Amirul Mu’minin, sedang kaum Muslimin hidup dalam ketenteraman di bawah keadilanmu?”, tanya seseorang. Beliau menjawab, “Aku tidak mengkhawatirkan kaum Muslimin. Yang aku khawatirkan justru, ketika tak ada lagi yang mengingatkanku di kala aku khilaf karena rasa sungkan dan rasa segan!”

“Demi Alloh!”, kata seorang sahabat sambil menghunus pedangnya, “Jika engkau bengkok, kami yang akan meluruskanmu dengan pedang ini!”

“Segala puji bagi Alloh”, tukas ‘Umar, “Yang mengaruniakan pada ‘Umar orang yang akan meluruskannya dengan pedang!”

***

Koh Pin Lay. Mungkin mengingatkan Anda akan Zu Qou Ghu yang ditulis KH. Rahmat Abdullah. Maka di sinipun saya ingin mengenang Syaikhut Tarbiyah dengan mara yang basah, rindu akan keteduhan wajah itu. Saya mengenangnya dalam sajak ketawadhu’an, dalam taujih pada para pemimpin da’wah. Pada semua da’i. Pada kita.

Jadilah kau bintang
Berkilau dipandang orang
Di atas riak air, dan sang bintang jauh tinggi[]


Credit: “Saksikan bahwa Aku SeorangMuslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Setelah Badr

JIKA perang Badr merupakan peneguhan eksistensi da’wah generasi pertama umat ini, setidaknya kita bisa berkaca untuk memaknai Pemilu 2004 sebagai salah satu peneguhan eksistensi da’wah kita. Pada perang Badr, kaum muslimin telah membuat terkejut musuh-musuhnya -kafirin, musyrikin, dan munafiqin- bahwa kekuatan kecil yang seyogianya bisa dilumat sekali terjang itu mendapatkan pertolongan Alloh berupa kemenangan atas musuh yang jauh lebih kuat. Tetapi tentu saja, jihad -apalagi jihad siyasi- tidak berhenti sampai di situ. Tarbiyah qur’aniyah yang mendidik para sahabat, ridhwaanulloohi ‘alaihim jamii’a, menjadi pelajaran berharga. Bahwa setelah Badr, ada Uhud. Setelah syukur, ada pembaruan niat. Setelah berita gembira, ada pelurusan shaf. Setelah takbir, ada istighfar. Dan setelah kemenangan, ada kewaspadaan.

Mudah-mudahan Alloh karuniakan pemahaman pada kita, sebagaimana mereka -para sahabat- telah memahaminya dengan pemahaman yang jernih. Agar jalan da’wah yang kita tempuh, menggaris di atas tapak yang telah mereka ukirkan. Agar jihad dan da’wah ini, berada di atas manhaj yarq barokah. Pada bahasan kita ini, ada dua hal yang menjadi fokus perhatian kita: fenomena setelah kemenangan, dan jalan menuju Uhud.

A. Fenomena Setelah Kemenangan

Surat al-Anfaal turun sepanjang perang Badr, memberikan taujih kepada para mujahidin, meluruskan shof mereka, dan menjaga kedekatan mereka dengan Alloh. Maka akhir surat ini adalah juga gambaran agung tentang akhir dari peperangan di hari furqon itu. Inilah yang digambarkan surat al-Anfaal, tentang kondisi manusia-manusia terbaik itu setelah mereka menang. Tentunya, kondisi kita jauh lebih parah, ya?

1. Turunnya Semangat

Jika pertempuran kemarin, sedikit banyak, menjadi orientasi –di samping orientasi akhirat- bagi para jundi, maka setelah kemenangan, disorientasi sulit dihindari. Apa yang menjadi tujuan jihad, perlahan mengabur. Lha wong, sudah menang, terus mau ngapain? Di saat inilah, qiyadah diperintahkan Alloh untuk terus memotivasi dengan akhirat, mengobarkan semangat mereka, dan menghidupkan tantangan. tantangan da’wah. Agar apa? Agar ruh jihad para jundi tetap hidup.

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para Mukmin itu untuk berperang.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 65)

Ayat ini turun dalam perjalanan pulang dari perang. Unik bukan? Lha wong pulang perang kok semangatnya dikobarkan. Tetapi demikianlah. Karena perang antara haq dan bathil tidak berhenti sebatas kemenangan yang kita tinggalkan, tetapi masih banyak lagi perang yang akan kita hadapi. Allohu Akbar!

2. Kelemahan dan Pengurangan Beban dari Alloh

Sebelum kemenangan, pembebanan dari Alloh terhadap orang beriman adalah 1 lawan 10 (Qs. Al-Anfaal [8]: 65). Tetapi ketika jumlah 20 telah menjadi 100, dan 100 telah menjadi 1000, maka pembebanan dari Alloh dikurangi hingga menjadi 1 lawan 2 (Qs. Al-Anfaal [8]: 66). Ini adalah konsekuensi kemenangan: pertambahan kader, pengayaan amanah, dan sedikit melemahnva ikatan.

“Sekarang Alloh telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 66)

Pasca kemenangan, pembebanan yang melampaui kemampuan pada sebagian, dan kelonggaran amanah pada sebagian yang lain akan melipatgandakan kerapuhan. Maka distribusi amanah yang adil, akan meringankan dan menyamankan hati untuk teguh berkomitmen pada jama’ah. Subhanalloh.

3. Munculnya Syahwat-syahwat

“… Kalian menghendaki harta benda duniawi sedangkan Alloh menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian). Dan Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 67)

Selama intikhoob, aneka interaksi para kader dengan ‘dunia’; harta, wanita, dan kedudukan, sedikit banyak akan membangkitkan gelombang-gelombang syahwati yang selama ini tersembunyi di balik ghiroh jihad menyala. Sejak kemenangan itu, kita menyaksikan, alangkah nikmatnya jadi orang berkuasa, dan alangkah nyamannya punya banyak harta. Sejak kemenangan itu, kita lebih leluasa menatap wajah tampan berjenggot tipis atau wajah ayu yang sering menunduk semu. Astaghfirulloh.

Saatnya kita introspeksi, saatnya kita evaluasi, ya akhii, ya ukhti. Adakah teguran Alloh yang begitu penuh kasih ini mengena pada kita: Kalian menghendaki harta benda duniawi sedangkan Alloh menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian). Jika ya, sepertinya kita harus banyak berdoa sebagaimana ‘Isa ‘Alaihis Salaam: “Jadilah kehendak-Mu, bukan kehendakku.”

4. Konsolidasi Musuh-musuh Da'wah

Setelah kemenangan itu, musuh-musuh da’wah telah melihat jelas dengan siapa mereka berhadapan. Mereka telah menambahkan banyak data dan analisa untuk menakar kekuatan orang-orang yang dengan gemilang telah menaklukkan mereka di kesempatan pertama. Inilah saatnya bagi mereka untuk konsolidasi, menyatukan barisan kekufuran, mendayagunakan setiap sumberdaya yang mereka punya untuk melantakkan da’wah di kesempatan berikutnya.

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para Muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Alloh itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 73)

Inilah Alloh memerintahkan kita waspada akan makar-makar mereka. Dan peringatan Alloh itu sungguh nyata. Jika kita tak mentaati Alloh, maka ketertataan yang telah mulai terbangun akan berantakan kembali, ummat akan kembali dizholimi, dan bumi dipenuhi kekacauan dan kerusakan yang besar.

B. Jalan Menuju Uhud

Surat Ali ‘Imron ayat ke-121-179, berbicara khusus mengenai perang Uhud. Ada beberapa taujih Robbani yang akan kita bicarakan di sini, masih seputar pasca-kemenangan sebagai persiapan untuk menghadapi pertempuran yang lebih besar. Bahwa, sekali lagi, dalam proses mensyukuri kemenangan itu, ada banyak hal yang harus kita lakukan sebagai tarbiyah, tadrib, dan i’dad.

1. Pembinaan Ruhiyah

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 133)

Pada waktu-waktu inilah, tadhhiyah tetap diasah dengan shodaqoh di waktu lapang dan sempit, juga pengendalian hawa nafsu dengan menahan marah dan memaafkan (Qs. Ali ‘Imron [3]: 134). Kepekaan untuk bertaubat, beristighfar, merasakan kehadiran dan pengawasan Alloh juga menjadi amalan yang harus senantiasa dihidupkan (Qs. Ali Imron [3]: 135).

2. Penyadaran Makna Kemenangan dan Kekalahan

“… Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Alloh membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Alloh tidak menyukai orang-orang yang zholim.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 140)

3. Kepemimpinan dan Kaderisasi

“ … Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rosul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rosul. Apakah jika dia mati atau terbunuh maka kalian akan berbalik ke belakang?” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 144)

Betapa ayat ini menegaskan jauhnya da’wah dari kultus individu. Da’wah tidak boleh terputus oleh hilangnya seorang pemimpin. Proses kaderisasi harus diperkuat. Elemen kaderisasi harus menjadi penopang da’wah yang akan melahirkan ksatria-ksatria yang segar darahnya, kuat tulangnya, kekar ototnya sekaligus tajam ruh dan fikrohnya untuk membawa bendera tauhid.

4. Penguatan ‘Amal Jama’i

“Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Alloh, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Alloh menyukai orang-orang yang sabar.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 146)

Setelah kemenangan itu, maka kerja-kerja da’wah menuntut ‘amal jama’i yang saling menguatkan. Tidak boleh ada kader yang merasa ‘sendiri’, sehingga melemah karena bala’, lesu, dan menyerah. Maka penguatan ‘amal jama’i menjadi keniscayaan, sharing-sharing harus dihidupkan, tsiqoh harus dikuatkan, dan ukhuwwah dikukuhkan simpul-simpulnya.

***

Musuh-musuh da’wah kini mengetahui dengan siapa mereka berhadapan. Mereka berkonsolidasi. Musyrikin, munafiqin, kuffar, Yahudi Madinah, semuanya bersekutu dalam konspirasi keji. Mereka mengagendakan pembahasan khusus tentang jama’ah da’wah ini dalam Munas partainya, Rakornas organisasinya, dan Raker underbouw-nya. Mereka serius: jama’ah da’wah ini harus dilenyapkan!

Oleh alasan demikian, jalan menuju Uhud di masa Rosululloh yang hanya berselang satu tahun setelah Badr itu, begitu penuh dengan aktivitas persiapan yang diarahkan oleh taujih Robbani. Pada kesempatan yang lalu kita telah menyebutkan empat di antaranya. Kini kita simak lagi surat Ali ‘Imron yang akan mentaujih kita, apa yang harus kita lakukan untuk melumpuhkan makar musuh-musuh Alloh.

5. Berhati-hati terhadap Negosiator Kekufuran

Kekuatan dan kebersatuan jama’ah da’wah ini bertumpu pada ‘aqidah mereka yang suci, tauhid mereka yang murni, dan ketaatan mereka pada Alloh yang kukuh. Maka syaithon dan wali-walinya akan bekerja keras supaya simpul agung ini terlepas. Mereka akan datang. Mereka membawa tawaran-tawaran, rumusan-rumusan kerjasama. Pada lahirnya, kita melihat mutualisme. Tetapi kebeningan bashiroh akan mengenalinya sebagai penjerumusan jam’ah da’wah ini dan kader-kadernya pada maksiat, khianat, hasad, madhorot, dan mafsadat.

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 149)

Pada saat-saat inilah kader jama’ah da’wah harus terus menggali ilmu, menjaga manhaj Alloh dalam perbaikan masyarakat, dan menjaga kaidah-kaidah interaksi dengan orang kafir. Saat itulah, harus ada yang senantiasa menggaungkan pemahaman, menggemakan keyakinan, dan menggerakkan jiwanya. Salah satunya, pesan langit ini:

“Tetapi (ikutilah Alloh), Alloh-lah Pelindungmu, dan Dialah sebaik-baik Penolong.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 150)

6. Menguatkan Tsiqoh dan Tho’at pada Qiyadah

Setelah kemenangan kemarin, kita lihat dunia seolah meringkuk di bawah kaki kita. Maka jika kita tak menggunakannya untuk menguatkan da’wah, musuh-musuh da’wah akan menggunakannya untuk melemahkan barisan ini. Mereka akan menyebarkan fitnah tentang pemimpin da’wah berkait dengan dunia, mereka akan menggoda ‘pemanah-pemanah di atas bukit’ untuk turun gunung, meraup harta rampasan, jangan sampai tak kebagian.

“Dan sesungguhnya Alloh telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rosul) sesudah Alloh memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (Ali ‘Imron [3]: 152)

Maka, wahai pemanah di atas bukit, tetaplah kita pada tugas yang telah diamanahkan oleh da’wah pada kita. Meski engkau bukan anggota dewan, meski engkau bukan mereka yang di depan. Jama’ah da’wah ini adalah kebenaran yang menuntut ketertataan dalam naungan ridho Alloh. Maka ketika tsiqoh kita dan tho’at kira pada Qiyadah hilang, hancurlah barisan itu menunggu kekalahan yang pasti.

Ingatlah, sepahit apapun tho’at itu terasa, sesungguhnya apa yang ada di sisi Alloh jauh lebih baik.

Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Alloh atau meninggal, tentulah ampunan Alloh dan rohmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 157)

7. Bertaubatlah atas Dosa di Masa Lalu!

Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh syaithon, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Alloh telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 155)

Ayat ini mengatakan pada kita, bahwa dosa masa lalu telah mendekatkan frekuensi jiwa kita kepada godaan syaithon. Maka, inilah saatnya bertaubat. Inilah saatnya istighfar. Inilah saatnya muhasabah. Agar di saat genting, di saat kita berjuang antara hidup dan mati, di saat wangi surga di hadapan mata, kita tidak terbelokkan oleh jerumusan syaithon yang keji. Agar saat berbaris dalam jihad, kita tidak tiba-tiba lari berpaling. Alangkah ruginya! Na’udzu billahi min dzalik.

8. Pemeliharaan Amanah-amanah

Saat ini, ada banyak amanah ummat yang dibebankan pada sebagian kader jama’ah da’wah. Inilah ‘rampasan perang’ pertama kemarin itu. Maka inilah ujian yang sebenarnya. Adakah tarbiyah yang mereka timba selama ini menguatkan mereka untuk menunaikan aneka amanah itu. Dan tentu, adalah kewajiban bagi saudara-saudara yang tulus membersamainya, untuk senantiasa membantu dan menjaga keterlaksanaan amanah-amanah itu. Dengan menasehati, mengingatkan, memahamkan, menguatkan.

“… Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 161)

9. Ri’ayah Tarbawiyah

Ini waktunya mensyukuri tarbiyah. Ini waktunya memaknai kembali urgensi tarbiyah. Ini waktunya kembali menjadikannya juz’un asaasiyyun. Biarkan ia mengambil sebagian waktu kita. Biarkanlah ia mengambil sebagian jasad kita, tenaga, ruh, dan pikiran kita. Karena inilah saatnya menjaga apa yang selama ini telah menjaga kita. Ini saatnya merecovery tarbiyah kita. Kembalilah ke pelukan halaqoh.

Sungguh Alloh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Alloh mengutus di antara mereka seorang Rosul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Alloh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 164)

10. Ini adalah Jama’ah Manusia

Ada kesalahan-kesalahan. Ada khilaf-khilaf. Ada silap. Itulah dinamika jama’ah da’wah. Maka itulah dinamika jama’ah manusia. Ada sahabat Rosululloh yang berzina. Tetapi mereka bertaubat, dan taubatnya mencukupi 70 penduduk Madinah. Bukan pembenaran, bukan justifikasi. Hanya agar yang sadar memiliki lapang dada pada saudaranya, mengambil pelajaran, dan terus untuk menjaga dirinya agar tak terjerumus ke lubang yang sama.

Karena bagaimanapun, maksiat itu akan menjadi sumber kekalahan jama’ah.

Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badr) kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 165)

Astaghfirulloohal ‘Adzim. []


Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media