Panggung sejarah biasanya lebih merekam kiprah para pemimpin ketimbang kiprah generasinya. Suksesi berarti kita bicara pergantian orang per orang, sedang regenerasi berarti kita bicara pergantian kelompok komunitas. Proses suksesi sejatinya adalah bagian dari proses regenerasi.
PKS sebagai metamorfosis PK sudah 4 kali mengikuti Pemilu dan dinahkodai oleh 6 Presiden. Usianya sebagai partai sudah 18 tahun, usianya sebagai gerakan dakwah sudah lebih dari 30 tahun. Karenanya sudah cukup layak untuk membicarakan tema regenerasi, selain suksesi.
Membedah Anatomi
Hal esensial saat kita berbicara tentang regenerasi adalah pada karakteristik khusus. Karakter generasi inilah yang akan menghasilkan corak sekaligus tingkat efektivitas kepemimpinan.
Perjalanan PKS sebagai suatu entitas terorganisir menarik untuk dicermati. Pada periode awal, lebih mudah mencari ustadz ketimbang politisi di PKS. Pengurus PKS didominasi para aktivis berjanggut dengan menenteng kitab yang dibaca dari sebelah kanan (arab gundul). Karenanya, wajar jika isu keislaman lebih mendominasi, mulai dari tragedi Ambon hingga krisis Palestina.
Periode selanjutnya, pengurus PKS mulai banyak dihuni jebolan aktivis kampus. Janggutnya tidak terlalu tebal dan kitab pegangannya pun dibaca dari sebelah kiri. Wacana perjuangan pun bergeser mengkritisi kebijakan publik, mulai kenaikan harga BBM hingga polemik Pemilukada.
Di tingkat akar rumput, basis dukungan PKS juga melebar. Dari aktivis masjid melebar ke entitas buruh, mahasiswa, TKI, pengusaha, pegawai swasta, seniman hingga golongan kaum miskin kota (proletar/mustadh’afin).
Spektrum semakin luas, kompleksitas masalah pun semakin besar. Hal yang persis sama terjadi di era ekspansi Islam. Dimana Rosululloh sudah wafat, teritori semakin luas, banyak orang masuk Islam dengan membawa tradisi dimasa lalu serta muncul banyak persoalan yang tidak ada sebelumnya.
Tantangan Regenerasi
Tantangan pertama tentu pada aspek kaderisasi. Sistem kaderisasi menjadi pertaruhan, karena menjadi modal pokok PKS dalam membangun organisasinya. Merubah simpatisan dan swing voter menjadi kader solid bukan perkara mudah.
Hal ini akhirnya menjadi tantangan besar bagi sistem kaderisasi PKS, yakni agar bisa mengikat semua entitas basis pendukungnya, baik secara ideologis maupun organisatoris. Terlebih, pada akhirnya output kaderisasi PKS juga akan dibandingkan dengan sistem kaderisasi dua pihak lain sekaligus, yakni dengan kaderisasi partai lain dan kaderisasi harokah lain.
Tantangan kedua pada pola perjuangan. Generasi awal berpegang teguh pada kesiapan berkorban dan tawakal. Ayat yang sering dijadikan pegangan perjuangan kala itu adalah “Kam min fiatin qoliilatin gholabat katsirotan bi idznillah”. Pergerakan PKS sangat ideologis, karenanya terasa kaku dan mudah ditebak oleh lawan.
Pada generasi selanjutnya, mulai ada banyak hal yang dipertaruhkan. Perjuangan lebih banyak menggunakan jurus langkah kuda (zigzag, unpredictable) pada papan catur. Pola pergerakan bukan hanya terpaku pada masalah ideologis, tapi juga ragam analisis ilmiah. Mulai dari kajian intelijen hingga hasil survei. Orang lain sering menganggapnya sebagai langkah pragmatis, kita memahaminya sebagai siyasatud da’wah.
Meneropong Masa Depan
Perkembangan PKS terus berjalan dengan logika dan permasalahannya sendiri, baik sebagai jama’ah dakwah maupun partai politik. Jika tidak diantisipasi dengan baik, situasi chaos di masa ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Tholib sangat rentan terjadi. Karena itu, proses regenerasi harus menjadi narasi penting dalam rencana strategis PKS dimasa mendatang.
Dalam proses regenerasi, kita membutuhkan pewarisan nilai yang baik. Agar segala bentuk idealisme generasi awal bisa diwarisi secara baik oleh generasi selanjutnya. Sebagai respon atas situasi eksternal, mungkin perlu juga proses metamorfosa gerakan, namun harus tetap berada dalam koridor.
Generasi awal Islam itu lekat dengan jihad, generasi selanjutnya lekat dengan keilmuan. Generasi awal lekat dengan Al Qur’an, generasi selanjutnya lekat dengan hadits dan fikih. Sepintas terlihat ada perbedaan orientasi, namun sesungguhnya hanya perubahan gerakan. Karena jihad ma’rifah juga bagian dari konsepsi jihad secara umum. Karena Al Qur’an, hadits, dan fikih juga pokok ilmu yang menjadi pilar agama Islam.
Kita juga memerlukan banyak para pemikir yang berorientasi konstruktif dan solutif. Bukan hanya di tingkat qiyadah, tapi juga akar rumput. Merekalah yang akan memberikan panduan dan pencerahan terus menerus agar gerbong kereta bisa sampai ke tujuan.
‘Umar bin Khoththob ra adalah seorang shahabat yang berpandangan futuristik. Dia merespon setiap peristiwa dengan lontaran ide dan gagasan. Beliau memunculkan ide pembukuan Al Qur’an kepada Abu Bakar Ash Shiddiq saat banyak huffazh yang gugur di perang Yamamah.
Dia membuat kebijakan merotasi pasukan jihad per 3 bulan demi memenuhi hak berumah tangga pasukannya. Contoh lainnya masih banyak. Beragam pemikiran brilian inilah yang menjadi salah satu sebab pencapaian zaman keemasan Islam. Dan beragam pemikiran brilian masih sangat kita butuhkan saat ini, karena tantangannya lebih berat.
Khotimah
Tholut, ‘Umar bin Khoththob, Sholahuddin al Ayubi, Muhammad Al Fatih dll adalah contoh pemimpin besar yang didukung generasi hebat. Kehebatan pemimpin berpadu dengan kehebatan jama’ahnya, maka lahirlah banyak prestasi besar.
Nabi Musa dan ‘Ali bin Abi Tholib adalah contoh pemimpin besar yang didukung generasi lemah. Sehebat apapun mukjizat yang dibawa, sekuat apapun kepemimpinannya, setinggi apapun hujjah yang disampaikan, ternyata tidak banyak mengubah hasil akhir.
Dulu kita berfikir bahwa pemimpin itu ditaqdirkan. Sehingga Bani Israel tidak mau berjuang sebelum Nabi Musa dilahirkan. Sehingga orang Jawa tidak mau bergerak sebelum ratu adil muncul. Sehingga beberapa kelompok kaum muslimin tidak mau ambil bagian sebelum Imam Mahdi dibai’at.
Sekarang orientasi bergeser, dimana pemimpin adalah produk dari komunitas dan masyarakatnya. Generasi hebat akan melahirkan pemimpin besar. Bahwa pohon yang kuat, lebat, dan berbuah karena disemai di atas tanah yang subur. Sebaliknya, tanah gersang sulit akan menumbuhkan tanaman berkualitas. Sebaik apapun kualitas bijinya.
Jangan sampai sindiran Imam ‘Ali bin Abi Tholib kepada para pencelanya akhirnya terulang kepada kita. “Dahulu mereka pemimpin dan pengikutnya seperti aku. Sekarang aku jadi pemimpin dan pengikutnya seperti kamu”. Wallohu a’lam bi showab.
Eko Junianto, SE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar