Halaman

Selasa, 10 Mei 2016

Pilar Itu Bernama Adab

Jika karakter berbeda dengan perilaku, berbeda pula dengan kebiasaan dan bahkan tata-krama maupun temperamen. Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk membangun karakter anak-anak kita? Langkah apa yang dapat kita tempuh untuk melakukan pendidikan karakter jika pembiasaan (habituation/habit forming) tidak mempengaruhi karakter anak-anak kita, di rumah maupun sekolah?

Apa perbedaan antara karakter dan kebiasaan? Karakter itu serangkaian kualitas pribadi yang membedakannya dengan orang lain. Ia menuntut adanya penghayatan nilai, proses mengindentifikasikan diri dengan nilai-nilai yang diyakini sehingga ia senantiasa berusaha agar bersesuaian dengan nilai yang diyakini dan pada akhirnya terjadi karakterisasi diri. Artinya, karakter merupakan proses yang berkelanjutan. Karakter memang cenderung menetap dan sulit diubah, tetapi bukan berarti sekali terbentuk tak mungkin berubah. Dari karakter itulah –baik atau buruk—melahirkan berbagai perilaku. Tetapi perilaku itu sendiri tidak dapat sertamerta kita katakan sebagai karakter.

Nah, perilaku yang berulang setiap hari dapat membentuk kebiasaan, meskipun sebagian hanya menjadi perilaku berulang (repeated behavior), yakni manakala perulangan perilaku tersebut terjadi semata karena takut terhadap ancaman. Tidak muncul perilaku tersebut jika ancamannya hilang.

Ini perlu kita perhatikan agar kita tidak cepat-cepat merasa puas tatkala melihat perilaku anak-anak kita. Jangan sampai kita mengira anak-anak telah memiliki kebiasaan yang baik, padahal cuma perilaku berulang semata. Tidak lebih.

Ada pelajaran di sini. Karakter itu tidak terlepas dari keyakinan dan penghayatan seseorang terhadap nilai-nilai yang dipeganginya. Adapun perilaku itu cerminannya, tetapi perilaku sendiri bukan gambaran yang dapat memastikan karakter seseorang, kecuali jika ada serangkaian perilaku lain yang searah. Sederhananya begini. Orang baik akan mudah tersenyum, tetapi murah senyum belum tentu orang baik. Apalagi jika sekadar tersenyum. Bukankah para penipu berhasil mengelabuhi orang lain justru karena senyumnya yang memukau? Bukan karena raut muka yang menakutkan.

Lalu darimana kita memulainya? Izinkan saya menengok apa yang ditulis oleh para ulama kita. Mengapa? Karena dalam perbincangan tentang karakter, saya sangat kesulitan menemukan sosok yang dapat menjadi model panutan. Padahal ketika kita berbincang tentang budaya karakter, role model (sosok panutan) merupakan salah satu pilar penting. Apakah kita akan menjadikan Lawrence Kohlberg sebagai sosok panutan? Padahal kita tahu, Bapak Pendidikan Karakter ini justru matinya mengenaskan. Ia mati bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri karena krisis karakter. Ini mirip dengan kematian Sigmund Freud. Meskipun bukan bunuh diri, tetapi Bapak Kesehatan Mental ini mati dengan cara eutanasia (suntik mati) atas permintaan sendiri akibat depresi yang ia alami.

Lalu istilah apa yang bersesuaian dengan karakter? Sepanjang yang saya pahami, istilah Islam yang terdekat dengan karakter adalah akhlaq, bentuk jamak dari khuluq. Khuluq adalah bentuk, sifat, dan nilai-nilai yang berada pada wilayah batin. Ini menarik untuk kita cermati, sebab ketika kita memaksudkannya sebagai aspek lahiriyah, ia adalah kholq. Begitu Ibnu Manzhur menuturkan. Ia menunjukkan bahwa khuluq –terpuji maupun tercela— akan tercermin dalam kholq yang berupa perilaku dan sifat-sifat lahiriyah. Ini berarti pula bahwa yang harus kita perhatikan bukan hanya perilaku yang tampak, tetapi apa-apa yang darinya tercermin dalam bentuk perilaku.

Tentang kaitan antara akhlaq dan perilaku, Imam Al-Ghozali menulis dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, “Akhlak merupakan ungkapan keadaan yang melekat pada jiwa dan darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa perlu berpikir panjang dan banyak pertimbangan.”

Agar tak salah arah, marilah kita tengok pendapat dari Imam Qurthubi rohimahulloh (600–671 H/1204–1273 M). Menurut Imam Qurthubi, akhlak adalah adab atau tata krama yang dipegang teguh oleh seseorang sehingga adab atau tata krama itu seakan menjadi bagian dari penciptaan dirinya.

Dalam peristilahan sekarang, adab meliputi manner & etiquettes (tata krama & etiket). Ia bukan sekadar serangkaian perilaku. Di dalamnya juga terkandung sikap. Ini berarti proses pembentukan adab (ta’dib) memerlukan beberapa unsur, yakni menumbuhkan sikap batin yang baik, melakukan serangkaian pembiasaan yang terkait, menanamkan ilmu sehingga perilaku yang muncul sebagai kebiasaan bukan hanya bersifat fisik dan mekanik, menumbuhkan motivasi serta menunjukkan fadhilah dari adab tersebut.

Wallohu a’lam bishowab.

Dalam Ta’limul Muta’allim karya Syaikh Burhanuddin Az-Zurjani, adab merupakan pilar utama menuntut ilmu. Agar seseorang dapat menuntut ilmu dengan baik, hal pertama yang harus dimiliki oleh murid sekaligus ditumbuhkan oleh guru adalah adab. Proses pembentukan adab (ta’dib) merupakan tahap penting menyiapkan murid menuntut ilmu sekaligus menumbuhkan akhlak mulia dalam diri mereka. Adab merupakan pilarnya dan keyakinan pada dien merupakan fondasi yang sangat penting. Keyakinan itu bersifat afektif. Bukan kognitif. Jika keyakinan telah tumbuh, maka pemahaman secara kognitif akan menguatkannya. Sebaliknya tanpa menyadari dan meyakini, pemahaman yang mendalam pun tidak mempengaruhi sikap, apalagi sampai ke perilaku.

Nah, yang terjadi sekarang, begitu masuk sekolah anak-anak langsung belajar. Tak ada proses membentuk adab pada diri mereka sehingga tak ada kesiapan belajar, pun tak ada bekal awal untuk membentuk akhlak dalam diri mereka. Begitu masuk sekolah, serta merta mereka harus belajar untuk tujuan akademik sebelum sikap dan motivasi belajar mereka dibangun. Padahal sekolah seharusnya menyiapkan mereka terlebih dulu untuk memiliki sikap dan motivasi belajar yang baik. Ada proses perubahan yang terencana; dari segi mental mereka punya motivasi akademik yang baik, sedangkan dari aspek tata krama dan etiket mereka memiliki kesiapan belajar. Bagusnya memudahkan belajar secara akademik, memudahkan pula pembentukan akhlak.

Menarik untuk kita renungkan bahwa Rosululloh Shollallohu ’alaihi wassalam diutus untuk menyempurnakan akhlak. Tetapi apakah yang dilakukan di masa awal risalah dakwahnya? Bukan akhlak yang lebih dulu dibangun, tapi aqidah!

Apa artinya?
Akhlak merupakan cerminan keyakinan yang telah melekat kuat dalam jiwa. Bukan karena bagusnya pemahaman, tetapi karena kuatnya penghayatan. Ia menyandarkan diri pada nilai-nilai tersebut dan berusaha secara sengaja bertindak dan menjalani kehidupan sehari-hari sesuai apa yang ia imani. Boleh jadi seseorang adakalanya bertindak yang tidak sesuai dengan keyakinannya, tetapi ia melakukannya bukan dengan ringan hati. Ia tetap mengingkari perbuatannya dan berusaha agar sesuai dengan dien.

Ada yang perlu kita renungkan tentang pendidikan anak-anak kita. Ada yang harus kita kaji kembali apakah sekolah-sekolah kita sudah melaksanakan proses ta’dib secara sadar, sengaja dan terencana. Jika ta’dib pun tidak, nyaris tak ada yang bisa kita harapkan. Dan ini merupakan tanggung-jawab seluruh unsur sekolah, terlebih guru yang setiap hari bertemu anak-anak. Jika adab hanya menjadi tanggungjawab guru yang mengampu mata pelajaran terkait agama dan budi pekerti, maka ketahuilah bahwa di sekolah tersebut tak ada pendidikan. Ia hanya lembaga kursus yang bernama sekolah. Dan ini bukan pendidikan yang sebenarnya (the real education).

Semoga bulan depan kita dapat bertemu kembali untuk membincang ruang lingkup adab. Insya Alloh. Doakan saya.

Inside teks (inspiring word):
Adab merupakan pilarnya dan keyakinan pada dien merupakan fondasi yang sangat penting. Keyakinan itu bersifat afektif. Bukan kognitif. Jika keyakinan telah tumbuh, maka pemahaman secara kognitif akan menguatkannya.

Mohammad Fauzil Adhim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar