Setiap anak memilih perilakunya sendiri. Salah satu bukti yang mudah kita jumpai adalah, anak berperilaku secara berbeda terhadap orang yang berbeda, sekalipun itu orangtuanya sendiri. Anak bisa menunjukkan perilaku manja ketika sedang berhadapan dengan ibunya, tetapi mungkin berbeda 180 derajat tatkala berbicara dengan bapaknya. Perbedaan pola perilaku ini bisa sangat mencolok, bisa tipis sekali. Semakin tipis perbedaannya, anak akan semakin mudah mengembangkan pola perilaku positif bagi dirinya sendiri. Dan ini memudahkan terbentuknya budaya keluarga yang sehat dan produktif.
Sebaliknya, semakin besar perbedaan pola perilaku dalam menghadapi ayah dan ibunya, semakin sulit anak mengembangkan karakter yang kuat. Sebab, anak sibuk menemukan taktik menghadapi orangtua demi memperoleh apa yang diharapkan. Mengapa anak berperilaku secara berbeda pada kedua orangtuanya? Karena kita juga mengembangkan sikap yang berbeda terhadap mereka. Ayah tidak satu sikap dengan ibu. Atau mereka satu sikap, tetapi perilaku mereka saling bertolak belakang dalam menghadapi anak. Begitu pula disiplin terhadap prinsip yang ingin ditegakkan. Padahal anak adalah pembaca perilaku yang sangat jeli. Ia bisa segera menentukan pola perilaku apa yang harus dikembangkan ketika menghadapi ibu yang semacam ini, begitu pula ketika menghadapi bapaknya yang memiliki kecenderungan sikap berbeda. Ketika meminta dibelikan sesuatu, seorang anak mungkin akan langsung marah-marah ketika berhadapan dengan bapaknya, tetapi ia menunjukkan sikap yang manis merayu kepada ibunya.
Apakah ayah dan ibu tidak boleh berbeda gayanya dalam menghadapi anak? Boleh-boleh saja. Bagaimana pun kita berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda dengan pengalaman pengasuhan yang juga sangat berbeda. Menyamakan gaya dalam menghadapi anak juga bisa membuat masing-masing stress atau bahkan saling menyalahkan. Apalagi jika salah satu atau keduanya dibesarkan dalam budaya menyalahkan orang lain ketika menghadapi kesulitan. Hanya saja, sekalipun ada perbedaan gaya dan cara, tapi menghadapi anak harus satu arah. Ayah-ibu satu kata dalam prinsip, satu kata pula ketika sebuah keputusan telah diambil dalam keluarga. Ringkasnya, gaya boleh berbeda, tetapi sikap tetap senada dan prinsip harus sama.
Ini menunjukkan bahwa mendidik bukan hanya soal bagaimana menghadapi anak. Lebih dari itu, bekal awal mendidik anak adalah keluarga bahagia yang berdiri di atas nilai-nilai yang kokoh.
‘Alaa kulli haal, ada yang perlu kita pahami tentang perilaku anak. Ada tiga tujuan perilaku anak, yakni untuk memiliki perasaan mampu (capable), menjalin hubungan yang positif dan akrab dengan orangtua maupun anggota keluarga di rumah serta orang lain, dan mempunyai peran yang berarti. Jika anak memiliki ketiga-tiganya, insya Allah mereka akan tumbuh baik, bersemangat dan produktif. Sebaliknya, jika salah satunya bermasalah bisa memunculkan kenakalan anak. Artinya, bisa saja anak tidak nakal meskipun ada salah satu atau bahkan ketiganya yang rendah. Tetapi ini sebatas tidak nakal semata.
Lebih jelasnya, mari kita perbincangkan satu per satu:
Cerdas Belum Tentu Mampu
Tujuan pertama perilaku anak adalah memiliki perasaan mampu. Ini berkait dengan keyakinan terhadap kemampuan dirinya sendiri dan peluangnya untuk meraih kemampuan. Bukan kemampuan yang ia miliki atau prestasi yang telah ia raih. Anak yang memiliki keyakinan tinggi terhadap kemampuannya, meski prestasinya lebih rendah dibanding temannya, bisa jauh lebih berhasil. Keyakinan yang tinggi memacu anak untuk berusaha dengan gigih, sehingga ia mampu menguasai apa yang sebelumnya terasa sulit. Sebaliknya, anak yang tidak memiliki perasaan mampu, akan mudah jatuh mentalnya dan kendor perjuangannya meskipun ia sebenarnya memiliki catatan prestasi yang sangat baik. Ia merasa tidak mampu bukan karena rendah hati (tawadhu’), melainkan karena rendah diri alias minder.
Pada anak-anak yang merasa tidak punya kemampuan dan dibarengi dengan prestasi yang rendah, mereka cenderung mengembangkan perilaku bermasalah. Inilah yang kerapkali kita sebut nakal. Perilaku bermasalah ini bisa muncul di rumah, di sekolah atau kedua-duanya. Yang jelas, perilaku bermasalah ini terjadi demi menghindari kegagalan. Maksudnya, karena takut gagal maka mereka nakal agar orang maklum terhadap kegagalan mereka. Itu sebabnya kita mendapati bahwa anak nakal lebih berada di sekolah-sekolah tak bermutu daripada sekolah favorit penuh prestasi. Cuma kita sering keliru memahami. Kita mengira bahwa karena nakal, mereka tidak berprestasi. Padahal yang terjadi justru sebaliknya, yakni karena miskin prestasi maka mereka cenderung nakal.
Apa sebab anak-anak hebat tidak punya perasaan mampu? Sebab utamanya, orangtua tidak menghargai usaha dan prestasi anak. Bentuknya bisa bermacam-macam. Yang paling umum ada dua. Pertama, membanding-bandingkan dengan saudaranya atau orang lain. Orangtua tidak memperhatikan seberapa gigih anak berusaha. Yang mereka urus hanyalah seberapa baik anak meraih prestasi, baik akademik di sekolah atau pun bidang lainnya. Padahal kita seharusnya menghargai usaha anak. Nilai enam yang diperoleh dengan belajar yang gigih jauh lebih layak untuk dihargai daripada nilai 8 tanpa usaha berarti.
Kedua, merendahkan kemampuan dan prestasi anak. Orangtua menunjukkan sikap merendahkan terhadap kemampuan anak, meskipun anak sudah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai yang terbaik. Kadang sikap merendahkan ini ditunjukkan orangtua karena prestasi anaknya memang kurang menggembirakan. Tetapi tidak jarang orangtua merendahkan prestasi anak, sehebat apa pun anaknya, dengan maksud agar anaknya terpacu untuk meraih prestasi yang lebih tinggi lagi.
Menjalin Hubungan Baik
Selain memiliki perasaan mampu, tujuan perilaku anak adalah untuk memiliki hubungan dengan orangtua dan orang-orang yang ada di rumah. Pada anak-anak usia balita hingga 10 tahun, kita menjumpai kecenderungan anak untuk meninggikan suara apabila orangtua tidak menunjukkan perhatian ketika ia berbicara. Semakin mudah orangtua diajak komunikasi oleh anak, semakin cepat orangtua menanggapi ketika anaknya berbicara atau meminta perhatian, maka perilaku anak akan semakin terarah. Mereka mengembangkan pola komunikasi yang hangat dan luwes.
Agaknya, inilah yang perlu kita perbaiki. Misalnya ketika anak menunjukkan hasil karya berupa gambar, kita sering menanggapinya sambil lalu. Kita merasa sudah memberi perhatian, tetapi anak merasakan betul bahwa kita sebenarnya tidak sungguh-sungguh memperhatikan. Inilah yang kemudian mendorong anak untuk bertingkah. Apalagi jika kemudian terbukti bahwa dengan bertingkah, orangtua memberi perhatian lebih besar. Tak penting, perhatian itu dalam bentuk positif atau negatif berupa kemarahan.
Punya Peran Berarti
Anak merasa berharga ketika ia memiliki peran. Sama-sama membersihkan rumah, beda sekali maknanya bagi anak antara sebagai tugas dengan sebagai kepercayaan. Anak merasa berharga jika ia yakin punya peran yang berarti dalam keluarganya. Hal yang sama juga berlaku dalam keluarga. Sebaliknya, meskipun yang dilakukan sama, anak cenderung merasa berat jika pekerjaan tersebut semata-mata merupakan perintah orangtua yang harus dikerjakan.
Ingin sekali saya berbicara lebih panjang tentang dua tujuan yang terakhir. Tetapi saya harus mengakhirinya karena keterbatasan tempat yang tersedia di majalah ini. Insya Alloh pada lain kesempatan kita akan berdiskusi lebih panjang.
Mohammad Fauzil Adhim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar