Halaman

Rabu, 22 Juni 2016

Untung Tidak Su-uzhzhon

Alkisah…

Adalah seorang tokoh bernama Abdul Ghoni al-Quwatli. Beliau adalah kakek presiden Suriah yang pertama: Syukri Bik al-Quwatli.

Abdul Ghoni al-Quwatli adalah seorang tokoh ternama dan terpandang di zamannya, yang hidup di kota Damaskus pada abad 19 M.

Diantara kebiasaan Abdul Ghoni al-Quwatli ini, setiap hari dia selalu mempersiapkan hidangan makan besar yang diperuntukkan bagi orang kaum fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.

Menariknya, tidak satu pun yang ditanya tentang siapa namanya, apa pekerjaannya, dan seperti apa kondisi perekonomian dan kehidupan mereka yang datang untuk menyantap hidangan besar hariannya itu. Boro-boro diminta meninggalkan KTP atau tanda pengenal lainnya. Dan sudah tentu, tidak satu pun dari mereka harus melewati pintu metal detector atau pun memasukkan barang bawaannya melalui lubang X-ray karena memang pada zaman itu belum ada.

Pada suatu hari di bulan Romadhon yang mulia, terlihatlah diantara yang hadir untuk menyantap hidangan berbuka di tempat Abdul Ghoni al-Quwatli itu, seorang lelaki yang terlihat perlente: memakai jaket kulit mulus dan halus. Lelaki itu terlihat ikut serta menyantap hidangan dengan tenang, diam, dan tanpa berbicara.

Abdul Ghoni al-Quwatli menyaksikan hal itu dan mengamatinya, namun ia tidak mengenalnya. Maka ia memerintahkan kepada salah seorang pembantunya untuk secara diam-diam memasukkan 10 lira emas ke dalam saku jaket kulit lelaki itu yang saat itu digantung di salah satu dinding tempat acara itu.

“Wahai Beik (tuan), masa’ cuma 10 lira? Terlalu kecil!” kata si pembantu kepada Abdul Ghoni al-Quwatli.

Abdul Ghoni pun tersenyum dan berkomentar, “Kalau begitu, masukkan 20 lira emas ke dalam saku jaket kulit itu!”

Dari body language-nya, sepertinya si pembantu hendak berbicara lagi, maka Abdul Ghoni berkata, “Oke, masukkan 30 lira emas ke dalam saku jaket kulit yang digantung itu!”

Maka sang pembantu melaksanakan titah Abdul Ghoni al-Quwatli, seperti yang dipesan, yaitu jangan sampai diketahui oleh si pemilik jaket kulit itu.

Selesai acara buka puasa bersama itu, lelaki itu pun mengambil jaket kulitnya. Dia merasa ada sesuatu yang lain pada jaket kulit itu. Karena terasa berat pada dua sisi sakunya, maka ia masukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya dan betapa kagetnya ia saat kedua tangannya mendapati ada banyak uang di dalamnya. Namun ia tetap menjaga air muka dan body language-nya supaya tidak tampak bahwa ia terkejut dan keheranan.

Ia pun berjalan pergi meninggalkan rumah Abdul Ghoni. Setelah agak jauh, ia menghitung uang lira emas itu, dan didapatinya berjumlah 30 lira.

Secara diam-diam, Abdul Ghoni pun mengirim seorang “mata-mata”-nya untuk mengamati siapa lelaki itu dan bagaimana reaksinya, tanpa sepengetahuan lelaki perlente itu.

Sementara lelaki perlente itu -setelah mengetahui bahwa di saku jaketnya terdapat tiga puluh lira- ia pun pergi menuju penjual daging, dan ia menyerahkan beberapa lira emas kepadanya sambil meminta maaf kepadanya bahwa ia terlambat dalam melunasi hutangnya kepadanya.

Lalu lelaki perlente itu pun pergi ke penjual roti dan makanan, membeli beberapa makanan.

Lalu pergi ke penjual minyak samin, dan membeli beberapa keperluannya darinya. Dan begitulah lelaki itu berbuat dan berpindah dari satu penjual ke penjual lainnya.

Setelah dirasa keperluannya tercukupi, lelaki itu pun pulang ke rumahnya dan di sana ia telah disambut oleh seorang putri kecilnya yang terlihat sangat cantik.

Gadis kecil mungil itu berkata: “Ayah, kemana saja sih? Kami yang di rumah menunggu ayah sampai hampir mati kelaparan. Kan kita sudah beberapa hari tidak makan...”

Dari mata-matanya, Abdul Ghoni mengetahui bahwa lelaki itu sebenarnya terhitung “orang besar”. Namun perputaran roda zaman telah mengubahnya menjadi lelaki yang miskin. Meski demikian, ia tetap memiliki ‘izzah dan iffah, sehingga ia tidak pernah menunjukkan kemiskinannya kepada siapa pun, apa lagi sampai ke tingkat meminta-minta.

Maka berkatalah Abdul Ghoni kepada keluarga dan orang-orangnya, “Berikanlah belas kasihan kepada tokoh masyarakat yang berubah menjadi miskin seperti dia itu!”

Romadhon karim, Romadhon mubarok.

Untung tidak bersu-uzhzhon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar