DI SUDUT-SUDUT ego yang tajam, manusia
merasakan keasyikan dalam tantangan dan persaingan. Dan hidup ini memang kompetisi.
Ia berjalan dalam batas antara kehidupan dan kematian. Di antara dua titik itu,
berlaku sebuah fungsi waktu, untuk menguji optimalisasi potensi, siapa di
antara kita yang terbaik dalam karya.
“Yang menjadikan
mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik amalnya.
Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)
Dan hidup ini memang kompetisi. Ia berjalan
di seluruh penjuru bumi. Tanpa ada batas kecuali keterjangkauan. Di sana ada fungsi
tangensial untuk mengelola segala sumberdaya nikmat menjadi kemanfaatan paling puncak.
Lagi-lagi, untuk sebuah uji, siapa di antara kita akan terbaik dalam karya.
“Sesungguhnya
Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami
menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Kahfi: 7)
Alangkah besar ambisi ‘Umar, untuk mengungguli
Abu Bakar dalam amal dan pengorbanan. Seorang wanita tua pernah menolak jaminan
kebutuhan darinya dengan mengatakan, “Sudah ada yang menjamin kebutuhanku...”. Dalam
pengintaian ‘Umar di keesokan harinya, ia lihat sosok kurus Abu Bakar mengendap
memikul karung berisi hajat hidup si nenek.
Dalam perang Tabuk, seruan jihad harta
disambut ‘Umar dengan segera. Saat Rosululloh bertanya berapa yang ia tinggalkan
untuk keluarga, ‘Umar mengatakan dengan bangga, “Sebanyak yang aku serahkan pada
Alloh dan RosulNya”.
Tapi betapa ia tercenung saat
pertanyaan yang sama ditujukan pada rivalnya. Dengan gemilang Abu Bakar
menjawab, “Cukuplah Alloh dan RosulNya yang aku tinggalkan untuk keluargaku!”
Menjadikan Abu Bakar sebagai kompetitor
amal memang harus membuat ‘Umar bergumam, “Mulai hari ini aku sadar, tampaknya aku
tak akan pernah bisa mengalahkan Abu Bakar!” Tetapi kita harus tersenyum... Karena
mereka telah menjadi contoh tentang urgensi sebuah kompetisi dalam amal dan pengorbanan,
bahkan tentang perlunya sebuah iri hati.
“Tidak ada iri hati kecuali dalam dua
perkara. (Yaitu) orang yang diberi harta oleh Alloh lalu dia belanjakan pada sasaran
yang benar. Dan orang yang dikaruniai ilmu dan kebijaksanaan lalu dia mengamalkan
dan mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhori)
Kita yang hidup di hari ini, tak hanya
akan menjalin kompetisi di antara kita sendiri. Kita punya
kompetitor-kompetitor yang telah mendahului. ‘Ibroh dan teladan dari kisah pengorbanan pendahulu ummat ini menjadi
tantangan penyemangat bagi seorang mukmin yang menunggu-nunggu untuk memenuhi janji
syahadahnya.
“Di antara
orang-orang mu’min itu ada yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada
Alloh. Maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada yang menunggu-nunggu
dan mereka sedikitpun tiada merubah janjinya!” (QS. Al-Ahzab: 23)
Motivasi Islami generasi belakangan
selalu menyentuh semua sisi kompetisi. Adakalanya bisa memenangkan kompetisi
dalam hal pahala yang mereka peroleh. Tapi generasi awal menjadi penabung pahala
yang tiada henti karena keteladanan yang telah mereka bingkai. Keteladanan itu
menjadi ikutan berharga bagi penerusnya di perputaran zaman.
“Sesungguhnya
setelah masa kalian akan ada hari-hari kesabaran. Kesabaran waktu itu seperti orang
yang menggenggam bara. Bagi orang-orang yang beramal pada hari-hari itu mendapat
pahala senilai lima puluh orang yang beramal seperti amalnya dan masih ditambah
lagi dengan yang lain. Seseorang bertanya, “Ya Rosululloh, pahala lima puluh orang
dari mereka?” Beliau bersabda, “Bahkan pahala lima puluh orang dari kalian.” (HR. Abu Dawud)
Seagung-agung kompetisi yang pernah
ada di muka bumi adalah kompetisi berkorban. Berkorbanlah untuk mendapatkan ridho
Alloh, ampunanNya dan surgaNya yang begitu indah tak tergapai angan!
“Dan bersegeralah
kalian kepada ampunan dari Robb kalian dan kepada surga yang luasnya adalah langit
dan bumi, disediakan bagi orang yang bertakwa. Orang-orang yang berinfaq baik
di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang menahan marahnya, dan yang
memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Alloh menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imron: 133-134)
Waktu menghabiskan sebuah kurma
yang sudah ada di mulut terasa begitu lama bagi ‘Umair ibn Al-Hammam untuk
menyambut seruan kompetisi. Inilah perasaan seorang pemenang. Ia memuntahkan kurma
itu dan mengatakan, “Aku mencium wanginya surga dari balik bukit ini.” Medan Badar
dan Uhud menjadi saksi betapa banyak kompetisi agung ini terjadi. Bahkan di
antara ayah yang pincang dan anak yang terlalu belia, sampai salah satunya berkata,
“Kalau saja bukan surga tujuan kita, tentu aku akan mengalah pada Ayah...”
“Sesungguhnya
orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar. Mereka duduk
di atas dipan-dipan sambil memandang. Dapat kau ketahui dari wajah mereka
kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan, Mereka diberi minum dari khomr murni
yang dilak tempatnya, laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya
orang berlomba-lomba.”
(QS.
Al-Muthoffifiin: 22-26)
Kompetisi itu, begitu menarik. Tetapi
mengapa masih saja ada yang belum mendaftar? Bayangkanlah engkau, wahai Tuan,
suatu ketika menjadi panitia suatu lomba lari. Peserta telah terdaftar dan masing-masing
telah bernomor punggung dan bertanda dada. Start! Dan semua berlari. Lalu di
sana ada seorang berpakaian rapi. Ia ikut berlari. Dari start hingga finish. Tanpa
mendaftar. Tak ada nomor punggung. Tak ada tanda peserta di dada. Dan ia menang!
Benar, ia menang! Lalu meminta hadiah. Adakah engkau, wahai Tuan, akan memberi?
Ya. Terserah engkau. Tetapi mereka
yang mendaftar menjadi sulit menerima keputusanmu. Tetapi terserah engkau. Sebagaimana
dalam kompetisi kehidupan yang berjalan di alur waktu dan terpentas di atas bumi,
terserah Sang Penguasa, yang dalam firmanNya telah berkata:
“Dan orang-orang
kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air
oleh orang-orang yang dahaga, tapi bila didatanginya, tak ada yang ia temukan.” (QS. An-Nur: 39)
Hidup ini kompetisi. Dan syahadat
itulah yang telah menegaskan karunia hidayah bagi kita, adalah tanda keikutsertaan
yang diberikan Sang Penguasa. Maka ada manusia bodoh yang harus kita tunjukkan jalan,
karena mereka bersemangat berlomba tanpa mendaftar, tanpa tanda syahadat di
dadanya. Dan kita pun kadang menjadi manusia bodoh lain yang harus ditegur, karena
meski sudah mendaftat terkadang lebih suka duduk-duduk di garis start, merasa
cukup dengan status keislaman itu. Islam, adalah iman dan amal sholih. Islam adalah
mendaftar dan berlari dengan kekuatan penuh!
Jika engkau telah mendaftar dengan
ikrar syahadatmu, berlarilah menuju Alloh, saudaraku. Hingga seperti Musa dalam
larinya, kita akan terengah berkata, “Itulah mereka sedang menyusuli aku. Dan
aku bersegera kepadaMu, ya Robbi, agar Engkau ridho kepadaku.” (QS.
Thoha: 84)
Kredit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar