ABU BAKR, rodhiyallohu ‘anhu, membuat keputusan bersejarah. Beliau
mendeklarasikan perang pada kaum yang menolak membayar zakat. Ketika ‘Umar yang
biasanya garang berkata dengan lembut, “Wahai Kholifah Rosulillah, mereka tetaplah
bagian dari kaum muslimin.” Ia yang biasanya penuh kelembutan justru terlihat begitu
tegas, “Demi Alloh, aku akan memerangi kaum yang telah memisahkan kewajiban sholat
dengan kewajiban zakat! Aku akan memerangi mereka, jika mereka menolak untuk menyerahkan
padaku kekang unta yang biasa mereka berikan kepada Rosululloh!”
‘Aisyah, puteri kesayangannya, dibuat
takjub hingga berkata, “Demi Alloh, aku takkan melupakan suatu hari bersama Abu
Bakr.”
“Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka,
dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi
mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Taubah: 103)
Aspek pertama ayat ini adalah perintah
kepada Ulil Amri dengan kata-kata “Khudz; Ambil!” Dalam bahasa Arab kata Akhodza bahkan mencerminkan paksaan. Redaksi
Al-Qur’an kadang menggunakan kata ini untuk menggambarkan ‘adzab atau siksa. Subhanalloh!
Tetapi betapa berimbangnya senantiasa. Sesudah itu, Ulil Amri harus mendoakan para muzakki.
Ini yang sering dilupakan para ‘Amil.
Padahal, shodaqolloh, doa itu benar-benar
menjadi penenteram hati para muzakki. Bagaimanapun melepas harta yang rasanya telah
mereka miliki sedikit atau banyak menimbulkan guncangan pada jiwa, maka doalah
penenteramnya.
Empirik, di Yogyakarta sebuah Baitul
Maal Masjid menjadi sangat dipercaya para muzakki
untuk menyalurkan zakat bahkan dari luar wilayah kerjanya karena satu hal; doa!
“Eh, kalau mau zakat, di sana saja. Didoakan lho! Setelah kita memberikan zakat
kita, dicatat administrasinya terus didoakan oleh seorang Ustadz. Doanya bagus sekali!”
Nah, angka kepercayaan muzakki
menjadi semakin tinggi dengan marketing dari lisan ke lisan yang sangat efektif.
Mengapa zakat? Cobalah hitung mana
yang lebih banyak: belanjanya orang miskin kepada orang kaya atau belanjanya
orang kaya kepada orang miskin? Tetangga sebelah rumah yang punya warung kaki lima
sering pergi ke mall megah. Tetapi belum pernah kita lihat pemilik mall itu datang
ke warung si ibu sekedar membeli combro atau es lilin. Ya, kalau jalan Alloh memberimu
rezeki adalah orang miskin, mengapa kau ingkari bahwa ada bagian mereka dalam hartamu?
Zakat!
Jika harta zakat tak disisihkan, ia
akan merusak ‘sesamanya’. Karena zakat adalah kesucian. Dan sesudah itu, shodaqoh
adalah rumus kekayaan. Perumpamaan orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Alloh
seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh runggai, pada setiap runggai ada
seratus biji. Tujuh ratus. Dan Alloh melipatgandakan bagi siapapun yang Ia kehendaki.
Padahal Ia, Maha Kaya, Maha Pemberi, Maha Mengaruniakan Rezeki.
Kredit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar