Halaman

Jumat, 16 Juni 2017

Mensucikan Pokok Kehidupan

ABU BAKR, rodhiyallohu ‘anhu, membuat keputusan bersejarah. Beliau mendeklarasikan perang pada kaum yang menolak membayar zakat. Ketika ‘Umar yang biasanya garang berkata dengan lembut, “Wahai Kholifah Rosulillah, mereka tetaplah bagian dari kaum muslimin.” Ia yang biasanya penuh kelembutan justru terlihat begitu tegas, “Demi Alloh, aku akan memerangi kaum yang telah memisahkan kewajiban sholat dengan kewajiban zakat! Aku akan memerangi mereka, jika mereka menolak untuk menyerahkan padaku kekang unta yang biasa mereka berikan kepada Rosululloh!”

‘Aisyah, puteri kesayangannya, dibuat takjub hingga berkata, “Demi Alloh, aku takkan melupakan suatu hari bersama Abu Bakr.”

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Taubah: 103)

Aspek pertama ayat ini adalah perintah kepada Ulil Amri dengan kata-kata “Khudz; Ambil!” Dalam bahasa Arab kata Akhodza bahkan mencerminkan paksaan. Redaksi Al-Qur’an kadang menggunakan kata ini untuk menggambarkan ‘adzab atau siksa. Subhanalloh! Tetapi betapa berimbangnya senantiasa. Sesudah itu, Ulil Amri harus mendoakan para muzakki. Ini yang sering dilupakan para ‘Amil. Padahal, shodaqolloh, doa itu benar-benar menjadi penenteram hati para muzakki. Bagaimanapun melepas harta yang rasanya telah mereka miliki sedikit atau banyak menimbulkan guncangan pada jiwa, maka doalah penenteramnya.

Empirik, di Yogyakarta sebuah Baitul Maal Masjid menjadi sangat dipercaya para muzakki untuk menyalurkan zakat bahkan dari luar wilayah kerjanya karena satu hal; doa! “Eh, kalau mau zakat, di sana saja. Didoakan lho! Setelah kita memberikan zakat kita, dicatat administrasinya terus didoakan oleh seorang Ustadz. Doanya bagus sekali!” Nah, angka kepercayaan muzakki menjadi semakin tinggi dengan marketing dari lisan ke lisan yang sangat efektif.

Mengapa zakat? Cobalah hitung mana yang lebih banyak: belanjanya orang miskin kepada orang kaya atau belanjanya orang kaya kepada orang miskin? Tetangga sebelah rumah yang punya warung kaki lima sering pergi ke mall megah. Tetapi belum pernah kita lihat pemilik mall itu datang ke warung si ibu sekedar membeli combro atau es lilin. Ya, kalau jalan Alloh memberimu rezeki adalah orang miskin, mengapa kau ingkari bahwa ada bagian mereka dalam hartamu? Zakat!

Jika harta zakat tak disisihkan, ia akan merusak ‘sesamanya’. Karena zakat adalah kesucian. Dan sesudah itu, shodaqoh adalah rumus kekayaan. Perumpamaan orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Alloh seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh runggai, pada setiap runggai ada seratus biji. Tujuh ratus. Dan Alloh melipatgandakan bagi siapapun yang Ia kehendaki. Padahal Ia, Maha Kaya, Maha Pemberi, Maha Mengaruniakan Rezeki.


Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar