“Yaa Bilaal,
Arihnaa bish sholaah; Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan sholat!”
TERUNTUK saya yang sangat jauh dari
menghayati ibadah, awal-awal kata-kata ini menjadi sangat janggal. Bagaimana tidak,
sementara sholat adalah beban yang begitu berat. Tidak, tidak mungkin. Mana bisa
sholat menjadi suatu istirahat? Justru sholat menumbuhkan kepenatan-kepenatan yang
sangat.
Tetapi melihat aktivitas Rosululloh
dan para sahabat di luar sholat, saya minimal menjadi sangat maklum jika sholat
dianggap istirahat. Bagaimana tidak, sementara waktu mereka diisi sepenuh bakti
untuk kerja-kerja besar yang bernilai dunia akhirat. Di sana mereka bertemu dengan
aneka beban berat, halang rintang yang silih berganti, dan kesulitan yang
menguras energi raga dan jiwa. Maka Alloh yang Pengasih memanggil mereka dengan
kewelasan dan rohmat, memberikan istirahat dalam kesejukan perjumpaan.
“Wahai orang-orang
yang beriman, mohonlah pertolongan Alloh dengan sabar dan sholat. Sesungguhnya Alloh
beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqoroh: 153)
Sholat, kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Qur’an, digandengkan sabar
karena perpaduan ini merupakan mata air yang tak pernah kering dan bekal yang tak
pernah habis. Mata air yang memperbarui tenaga, dan bekal yang membekali hati,
sehingga tali kesabaran semakin panjang dan tidak mudah putus. Di samping kesabaran
ditambahkan pula ridho, suka cita, tenang, percaya, dan yakin.
Sholat adalah hubungan langsung antara
manusia yang fana dan kekuatan yang abadi. Ia adalah waktu yang telah dipilih untuk
pertemuan setetes air yang terputus dengan sumber yang tak pemah kering. Ia adalah
kunci perbendaharaan yang mencukupi, memuaskan, dan melimpah. Ia adalah
pembebasan dari batas-batas realita bumi yang kecil menuju realita alam raya. Ia
adalah angin, embun, dan awan di siang hari bolong nan terik. Ia adalah
sentuhan yang lembut pada hati yang letih dan payah. Itulah mengapa Rosululloh
bersabda: Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan
sholat.
Di bawah aliran kesejukan thoharoh, kita hajatkan kesegaran dalam
kesucian. Kita jujur pada diri tentang sah dan batal ibadah. Dalam roka’at-roka’at
sholat kita ingin mendekat. Saat bertakbir, keagungan Alloh menundukkan
kesombongan kita. Saat menyebut namaNya, bergetarlah isi dada, berpaling kita
dari selainNya menghadap sebuah orientasi pasti. Saat bertahmid, kita puji Ia, atas
nikmat, atas kesempurnaan ciptaan, atas rezeki yang mencukup, atas kejujuran yang
masih kita jaga, atas kesucian hati yang terus kita upayakan. Ia Maha Pengasih,
kasihNya tiada pilih. Ia Maha Penyayang, kasihNya tak berbilang.
Saat kita sebut Ia Penguasa
Pembalasan, menitik air mata mengingat dosa, mengenangkan hari-hari yang terisi
kesiaan. Bukankah malaikatNya merekam ‘amal kita sejak baligh sampai mati, lalu
nanti Ia sajikan tayangannya di sana membuat kita malu hati, sampai-sampai tenggelam
dalam keringat sendiri? Hanya kepadaNya sembah dan permohonan. Oh, padahal sering
kita lalai, sering kita gantungkan diri pada makhlukNya yang tiada daya
membantu kita. Begitulah, ayat-ayatNya melantun dari bibir membangkitkan pendar-pendar
kesadaran dalam jiwa.
Ruku’lah kita. Maha Agunglah Ia dan
kita memujiNya. Lalu Alloh mendengarkan orang yang memujiNya, dan menjawab
derap-derap permohonan yang menggelora. Sujudlah kita. Maha tinggilah Ia. Dan
kita merasakan betapa dekatnya, betapa mesranya, betapa asyiknya bicara padaNya
dalam hening, mengadu, berkeluh, berkesah tentang segalanya. Dan tentu,
memohon, berdoa, meminta. Begitulah hingga dalam gerak-gerak itu kita temukan
makna ihsan, “Kau menyembah Alloh
seakan-akan engkau melihatNya. Jika engkau tak dapat melihatNya, yakinlah, Ia
yang menatapmu lekat setiap saat.”
Kredit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar