Halaman

Jumat, 16 Juni 2017

Rehat Manusia-manusia Hebat

“Yaa Bilaal, Arihnaa bish sholaah; Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan sholat!”

TERUNTUK saya yang sangat jauh dari menghayati ibadah, awal-awal kata-kata ini menjadi sangat janggal. Bagaimana tidak, sementara sholat adalah beban yang begitu berat. Tidak, tidak mungkin. Mana bisa sholat menjadi suatu istirahat? Justru sholat menumbuhkan kepenatan-kepenatan yang sangat.

Tetapi melihat aktivitas Rosululloh dan para sahabat di luar sholat, saya minimal menjadi sangat maklum jika sholat dianggap istirahat. Bagaimana tidak, sementara waktu mereka diisi sepenuh bakti untuk kerja-kerja besar yang bernilai dunia akhirat. Di sana mereka bertemu dengan aneka beban berat, halang rintang yang silih berganti, dan kesulitan yang menguras energi raga dan jiwa. Maka Alloh yang Pengasih memanggil mereka dengan kewelasan dan rohmat, memberikan istirahat dalam kesejukan perjumpaan.

“Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan Alloh dengan sabar dan sholat. Sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqoroh: 153)

Sholat, kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Qur’an, digandengkan sabar karena perpaduan ini merupakan mata air yang tak pernah kering dan bekal yang tak pernah habis. Mata air yang memperbarui tenaga, dan bekal yang membekali hati, sehingga tali kesabaran semakin panjang dan tidak mudah putus. Di samping kesabaran ditambahkan pula ridho, suka cita, tenang, percaya, dan yakin.

Sholat adalah hubungan langsung antara manusia yang fana dan kekuatan yang abadi. Ia adalah waktu yang telah dipilih untuk pertemuan setetes air yang terputus dengan sumber yang tak pemah kering. Ia adalah kunci perbendaharaan yang mencukupi, memuaskan, dan melimpah. Ia adalah pembebasan dari batas-batas realita bumi yang kecil menuju realita alam raya. Ia adalah angin, embun, dan awan di siang hari bolong nan terik. Ia adalah sentuhan yang lembut pada hati yang letih dan payah. Itulah mengapa Rosululloh bersabda: Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan sholat.

Di bawah aliran kesejukan thoharoh, kita hajatkan kesegaran dalam kesucian. Kita jujur pada diri tentang sah dan batal ibadah. Dalam roka’at-roka’at sholat kita ingin mendekat. Saat bertakbir, keagungan Alloh menundukkan kesombongan kita. Saat menyebut namaNya, bergetarlah isi dada, berpaling kita dari selainNya menghadap sebuah orientasi pasti. Saat bertahmid, kita puji Ia, atas nikmat, atas kesempurnaan ciptaan, atas rezeki yang mencukup, atas kejujuran yang masih kita jaga, atas kesucian hati yang terus kita upayakan. Ia Maha Pengasih, kasihNya tiada pilih. Ia Maha Penyayang, kasihNya tak berbilang.

Saat kita sebut Ia Penguasa Pembalasan, menitik air mata mengingat dosa, mengenangkan hari-hari yang terisi kesiaan. Bukankah malaikatNya merekam ‘amal kita sejak baligh sampai mati, lalu nanti Ia sajikan tayangannya di sana membuat kita malu hati, sampai-sampai tenggelam dalam keringat sendiri? Hanya kepadaNya sembah dan permohonan. Oh, padahal sering kita lalai, sering kita gantungkan diri pada makhlukNya yang tiada daya membantu kita. Begitulah, ayat-ayatNya melantun dari bibir membangkitkan pendar-pendar kesadaran dalam jiwa.

Ruku’lah kita. Maha Agunglah Ia dan kita memujiNya. Lalu Alloh mendengarkan orang yang memujiNya, dan menjawab derap-derap permohonan yang menggelora. Sujudlah kita. Maha tinggilah Ia. Dan kita merasakan betapa dekatnya, betapa mesranya, betapa asyiknya bicara padaNya dalam hening, mengadu, berkeluh, berkesah tentang segalanya. Dan tentu, memohon, berdoa, meminta. Begitulah hingga dalam gerak-gerak itu kita temukan makna ihsan, “Kau menyembah Alloh seakan-akan engkau melihatNya. Jika engkau tak dapat melihatNya, yakinlah, Ia yang menatapmu lekat setiap saat.”


Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar