Ibarat gula dan semut, milenial dan media sosial (medsos) adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Hampir setiap milenial melakukan interaksi via medsos—kalau tidak bisa dikatakan seluruhnya. Berbagai platform media sosial semacam Instagram, Facebook, Twitter, dan YouTube bukan lagi hal asing dalam kehidupan milenial. Tak dapat disangsikan bahwa media sosial kini sudah menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang.
Risiko di Media Sosial
Layaknya kehidupan di dunia nyata, bermedsos di dunia
maya juga memiliki risiko, aturan main, dan tata krama yang mesti diperhatikan.
Jika melanggar, tentu ada ‘sanksi’ media sosial yang harus diterima. Sanksi itu
dari yang terendah bisa berupa unfollow, dislike, atau komentar bernada menggunjing
dari publik medsos—netizen—hingga yang terberat semisal penangkapan langsung
karena melanggar undang-undang ITE.
Milenial sebagai kaum mayoritas di dunia maya mesti
melek dan menyadari hal ini. Usia dan emosi yang labil sering kali membuat
banyak kaum milenial bertindak gegabah yang ujung-ujungnya merugikan dirinya
sendiri. Medsos yang seolah bebas sebebas-bebasnya memang menggiurkan bagi anak
muda yang sedang mencari jati diri dan kebebasan berekspresi. Naas, banyak dari
mereka yang sebenarnya belum siap untuk menggunakan media sosial. Kasus
pornografi, bullying, hate speech, pencemaran nama baik,
kekerasan, dan perilaku negatif lainnya lazim berseliweran di media sosial dan
beberapa didalangi oleh milenial.
Dalam media sosial, kita harus menyadari adanya
ketidakpastian (uncertainty) yang dapat
memunculkan kemungkinan (probability)
sebagai embrio dari risiko (risk).
Manajemen risiko mengontrol itu semua dengan kesadaran sebagai kuncinya.
Kesadaran bahwa medsos memiliki aturan dan etika, hingga kesadaran untuk tidak
menelan mentah-mentah segala hal yang terdapat di dalam media sosial merupakan
modal dan fondasi terdalam sebelum memutuskan bermedsos. Peran serta kontrol
dari orang tua dan guru sangat vital untuk menanamkan kesadaran ini sebelum
memberi izin anak-anaknya untuk berinteraksi di media sosial.
Risiko yang sering menjebak milenial di media sosial
adalah hoax alias pemberitaan
bohong. Tak hanya milenial, orang-orang dewasa pramilenial pun kerap termakan
tipu daya hoax. Selain ketergesaan
dalam menerima informasi tanpa merasa perlu untuk check
and balance, kemasan yang
apik dan penyaluran informasi yang cepat nan masif juga membuat setiap dari
kita rawan tertipu oleh hoax. Tak
bisa dipungkiri bahwa hoax adalah
bentuk setan digital yang terkutuk.
Kisah Socrates
Socrates, seorang filsuf Yunani yang hidup dalam kurun
waktu 469-399 sebelum Masehi punya cara jitu untuk memfilter sebuah informasi
yang diterima. Metode Socrates ini kiranya sangat relevan untuk dijadikan sebagai
perisai diri bagi milenial untuk melawan hoax. Kisah ini saya sadur dari buku
Fahruddin Faiz berjudul Filosof Juga
Manusia.
Syahdan, Socrates sedang berkunjung ke rumah salah
seorang temannya. Memulai pembicaraan, temannya berkata kepada Socrates, “Socrates,
tahukah kamu apa yang baru saja aku dengar tentang salah seorang muridmu?”
“Tunggu sebentar,” jawab Socrates. “Sebelum kamu
bercerita, aku ingin kau menjawab tiga pertanyaan dariku. Namanya ujian tiga
lapis. Pertama adalah ujian kebenaran. Sudahkah kau pastikan bahwa apa yang
akan kau katakan padaku itu benar?”
“Tidak,” jawab temannya. “Sebenarnya aku baru saja
mendengar dari seseorang…”
“Baiklah,” tangkis Socrates. “Jadi kau tidak
benar-benar tahu apakah yang akan kau katakan itu benar atau salah. Sekarang
mari menuju ujian yang kedua, yakni ujian kebaikan. Apakah yang akan kau
katakan tentang muridku adalah sesuatu yang baik?”
“Tidak. Hm, bahkan sebaliknya.”
“Jadi,” kata Socrates, “kamu ingin mengatakan kepadaku
sesuatu yang buruk mengenainya meskipun kamu tidak yakin apakah itu benar.”
Temannya mengangguk dan mulai merasa malu. Lalu
Socrates melanjutkan, “Kamu mungkin masih bisa lolos, tetapi masih ada ujian
yang terakhir, yakni uji kemanfaatan. Apakah yang akan kau katakan padaku
tentang muridku akan memberi manfaat padaku?”
“Tidak. Kukira tidak.”
“Simpulannya, kalau apa yang akan kau katakan padaku
itu tidak benar, tidak baik, dan juga tidak berguna, mengapa kau masih akan
menyampaikannya juga?” pungkas Socrates.
Teman Socrates terdiam dan amat malu.
Penutup
Untuk menangkal hoax, tiga variabel yang terdapat dalam
ujian tiga lapis Socrates mesti menjadi filter. Kebenaran, kebaikan, dan
kegunaan. Jika salah satu dari ketiganya tidak kita jumpai dalam informasi yang
kita terima dari media sosial, sudah selayaknya kita tidak mengonsumsinya,
apalagi memberi like dan share kepada orang lain. Semoga kita
senantiasa dijauhkan dari godaan setan-setan digital hoax yang
terkutuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar