Ketika pelajaran sejarah kita dulu merujuk pada teori Prof. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyimpulkan Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dengan dalil adanya beberapa artefak dan dokumen tentang Kesultanan Samudera Pasai, kita sudah bertanya, "Hebat dan ajaib, ya? Baru masuk langsung bisa mendirikan Kerajaan?"
Untunglah teori yang mengerdilkan dan mengakhirkan keislaman jazirah yang pernah disebut sepotong surga nan jatuh ke bumi itu cepat tersanggah dan runtuh.
Sesudah Buya HAMKA, tabik amat besar di masa ini kita haturkan pada Tgk. Taqiyuddin Muhammad, seorang putra Aceh yang setelah menamatkan pelajarannya di Al Azhar memilih bertungkus lumus memesrai artefak dan menelisik ideofak Kesultanan Islam pionir di Nusantara. Karya tulisnya yang menawan, "Daulah Shalihiyyah di Sumatera: Ke Arah Penyusunan Kerangka Baru Historiografi Samudera Pasai", menggambarkan penguasaannya yang mendalam akan buku-buku babon tarikh dunia Islam, ketelitian serta ketekunannya menggali dan mengungkap inskripsi-inskripsi primer, juga keterampilannya merangkai narasi sejarah yang mudah difahami, hingga memilahnya dari mitos dan legenda yang sarat kepentingan.
Dalam berbagai dokumen antara abad XIV-XVI daerah ini telah disebut Sumathrah, Syummuthrah, atau Syummathrah. Sementara nama Pasai, dimungkinkan telah menjadi nama satu negeri pra-Islam yang menempati pengaliran Krueng Pase'.
Ibn Baththuthah dalam Tuhfatun Nazhar fi Gharaibil Amshar wa 'Ajaibil Asfar menyatakan bahwa ketika dia berada di Sumathrah, jazirah yang disebutnya Jawah atau Jabah telah 'tampak menghijau berseri dalam setengah hari perjalanan'. Apa yang disebut Jawah oleh para ahli geografi Arab pada masa itu tentulah mewakili Nusantara Raya, dengan yang disebut kebudayaan Jawiy nantinya bertumbuh menjadi kebudayaan Melayu yang hingga kini masih menyebut tulisan berbahasa Melayu dalam aksara Arab sebagai 'tulisan Jawi'.
Tgk. Taqiyyuddin Muhammad banyak mengajukan bukti eratnya hubungan Daulah Shalihiyah ini dengan wilayah Persia Pra-Syi'ah Shafawi. Di antaranya nisan-nisan yang diawali dengan gelaran indah, "As Sa'id Asy Syahid Mahbub Qulub Al Khalaiq" yang bermakna, "Yang Berbahagia lagi Mencapai Syahid, Yang Tercinta di Hati-hati Para Makhluq." Nama yang tertera antara lain; Ibnu Khaddajih dan Nur Khatun Umar. Khaddajih adalah Syaikh dalam Bahasa Persia, sedang Khatun ada dalam bahasa Persia maupun Turki dalam arti "Puan". Ada pula Na'ina Husamuddin yang di nisannya terukir bait syair milik Syadi Asy Syairazi. Ada pula tokoh yang dilaporkan Ibn Baththuthah; Al Qadhi Amir Asy Syairazi dan Tajuddin Al Ashbahany serta para 'ulama yang bergelar Khawajah.
Gelar yang dipakai para penguasa Samudera-Pasai, "Malik" sebagaimana Malikush Shalih dan Malikuzh Zhahir mengingatkan kita dengan penguasa sezaman mereka yang juga menggunakan gelar ini, seperti Al Malik Al 'Adil dan Al Malik Al Kamil dari Daulah Ayyubiyah (1171-1341).
Betapa luar biasa Daulah yang memerintah sekira dua setengah abad ini; hingga kita akan menemukan banyak referensi bahwa para penyebar Islam di Jawa menjadikan Samudera Pasai sebagai tempat belajar utama atau setidaknya tempat transit utama yang sembari menunggu angin baik ke Tanah Suci, mereka belajar kepada para 'ulama di sini.
Di sisi makam Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, sebuah nisan memuat nama yang familiar dengan sejarah Jayakarta; Tubagus Pasai Fathullah. Satu versi kisah menyebut, sang pembebas Sunda Kelapa dari ancaman bangsa Prenggi (Franji) Portugis itu, Fatahillah, adalah menantu Sang Wali yang berasal dari Samudera-Pasai.
Rahimahumullah, dan semoga Allah berkahi ahli negeri pewaris para Sultan Daulah Shalihiyah ini. Samudera Pasai; gerbang ke timur menuju jazirah sepotong surga yang jatuh ke bumi, sekaligus gerbang ke barat untuk menunaikan haji nan mabrur, yang tiada balasan baginya selain surga.
@salimafillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar