Halaman

Jumat, 15 April 2016

Drama Kesendirian Penguasa

Dia adalah raja di Balkh, satu wilayah yang masuk dalam kerajaan Khurosan, menggantikan ayahnya yang baru mangkat.

Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, Ibrohim ibn Adhom juga bergelimang kemewahan. Hidup dalam istana megah berhias permata, emas, dan perak. Setiap kali keluar istana, ia selalu di kawal 80 orang pengawal. 40 orang berada di depan dan 40 berada di belakang, semua lengkap dengan pedang yang terbuat dari baja yang berlapis emas.

Suatu malam, ketika sedang terlelap tidur di atas dipannya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara langkah kaki dari atas genteng, seperti seseorang yang hendak mencuri. Ibrohim menegur orang itu, “Apa yang tengah engkau lakukan di atas sana?” Orang itu menjawab, “Saya sedang mencari ontaku yang hilang.” “Apa kamu sudah gila mencari onta di atas genteng?” sergahnya. Namun orang itu balik menyerang, “Tuan yang gila, karena tuan mencari Alloh di istana!” Jawabannya membuat Ibrohim tersentak, tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Ia gelisah, kedua matanya tidak dapat terpejam, terus-menerus menerawang merenungi kebenaran kata-kata itu. Hingga adzan shubuh berkumandang ia tetap terjaga.

Esok harinya, keadaannya tidak berubah. Ia gelisah, murung, dan sering menyendiri. Ia terus mencari jawaban di balik peristiwa malam itu.

Karena tidak menemukan jawabannya, sementara kegelisahan hatinya semakin berkecamuk, ia mengajak prajuritnya berburu ke hutan dengan harapan beban di kepalanya sedikit berkurang. Akan tetapi, sepertinya masalah itu terlalu berat baginya, sehingga tanpa disadari kuda tunggangannya yang ia pacu sejak tadi telah jauh meninggalkan prajuritnya. Ia terpisah dari mereka, jauh ke dalam hutan, menerobos rimbunnya pepohonan tembus ke satu padang rumput yang luas. Kalau saja ia tidak terjatuh bersama kudanya, mungkin ia tidak berhenti.

Ketika ia berusaha bangun, tiba-tiba seekor rusa melintas di depannya. Segera ia bangkit, menghela kudanya dengan cepat sambil mengarahkan tombaknya ke tubuh buruannya. Tetapi saat dia hendak melemparkan tombaknya, ia mendengar bisikan keras seolah memanggil dirinya, “Wahai Ibrohim, bukan untuk itu (berburu) kamu diciptakan dan bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!”

Namun, Ibrohim terus berlari sambil melihat kiri-kanan, tapi tak seorang pun di sana lalu ia berucap, “Semoga Alloh memberikan kutukan kepada Iblis!”

Dia pacu kembali kudanya. Namun lagi-lagi teguran itu datang. Hingga tiga kali. Ia lalu berhenti dan berkata, “Apakah itu sebuah peringatan dari-Mu? Telah datang kepadaku sebuah peringatan dari Alloh, Tuhan semesta alam. Demi Alloh, seandainya Dia tidak memberikan perlindungan kepadaku saat ini, pada hari-hari yang akan datang aku akan selalu berbuat durhaka kepada-Nya!”

Setelah itu, ia menghampiri seorang penggembala kambing yang ada tidak jauh dari tempat itu. Lalu memintanya untuk menukar pakaiannya dengan pakaian yang ia pakai. Setelah mengenakan pakaian usang itu, ia berangkat menuju Makkah untuk mensucikan dirinya. Dari sinilah drama kesendirian Ibrohim bermula. Istana megah ia tinggalkan, dan tanpa seorang pengawal ia berjalan kaki menyongsong kehidupan barunya.

Berbulan-bulan mengembara, Ibrohim tiba di sebuah kampung bernama Bandar Nishofur. Di sana ia tinggal di sebuah gua, menyendiri, berdzikir, dan memperbanyak ibadah. Hingga tidak lama kemudian, kesholihan, kezuhudan, dan kesufiannya mulai dikenal banyak orang. Banyak diantara mereka yang mendatangi dan menawarkan bantuan kepadanya, tetapi Ibrohim selalu menolak.

Beberapa tahun kemudian, ia meninggalkan Bandar Nishofur, dan dalam perjalanan selanjutnya menuju Makkah, hampir di setiap kota yang ia singgahi terdapat kisah menarik tentang dirinya yang dapat menjadi renungan bagi kita, terutama keikhlasan dan ketawadhuannya.

Pernah satu ketika, di suatu kampung Ibrohim kehabisan bekal. Untungnya, ia bertemu dengan seorang kaya yang membutuhkan penjaga untuk kebun delimanya yang sangat luas. Ibrohim pun diterima sebagai penjaga kebun, tanpa disadari oleh orang tersebut kalau lelaki yang dipekerjakannya adalah Ibrohim ibn Adhom, ahli ibadah yang sudah lama ia kenal namanya. Ibrohim menjalankan tugasnya dengan baik tanpa mengurangi kuantitas ibadahnya.

Satu hari, pemilik kebun minta dipetikkan buah delima. Ibrohim melakukannya, tapi pemilik kebun malah memarahinya karena delima yang diberikannya rasanya masam. “Apa kamu tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan asam.” tegurnya. “Aku belum pernah merasakannya, tuan,” jawab Ibrohim. Pemilik kebun menuduh Ibrohim berdusta. Ibrohim lantas sholat di kebun itu, tapi pemilik kebun menuduhnya berbuat riya' dengan sholatnya. “Aku belum pernah meliha orang yang lebih riya' dibanding kau!” “Betul, tuanku. Ini baru disaku yang terlihat. Yang tidak, jauh lebih banyak lagi,” jawabnya. Dia pun dipecat lalu pergi.

Di perjalanan, ia menjumpai seorang pria sedang sekarat karena kelaparan. Buah delima tadi pun diberikannya. Sementara itu, tuannya terus mencarinya karena belum membayar upahnya. Ketika bertemu, Ibrohim meminta agar gajinya dipotong karena delima yang ia berikan kepada orang sekarat tadi. “Apa engkau tak mencuri selain itu?” tanya pemilik kebun. “Demi Alloh, jika orang itu tidak sekarat, aku akan mengembalikan buah delimamu,” tegas Ibrohim.

Setahun kemudian, pemilik kebun mendapat pekerja baru. Dia kembali meminta dipetikkan buah delima. Tukang baru itu memberinya yang paling manis. Pemilik kebun bercerita bahwa ia pernah memiliki tukang kebun yang paling dusta karena mengaku tak pernah mencicipi delima, memberi buah delima kepada orang yang kelaparan, minta dipotong upahnya untuk buah delima yang ia berikan kepada orang kelaparan itu. “Betapa dustanya dia,” kata pemilik kebun.

Tukang kebun yang baru itu lantas berujar, “Demi Alloh, wahai majikanku, akulah orang yang kelaparan itu. Dan tukang kebun yang engkau ceritakan itu dulunya seorang raja yang lantas meninggalkam istananya karena zuhud.” Pemilik kebun pun menyesali tindakannya, “Celaka, aku telah menyia-nyiakan kekayaan yang tak pernah aku temui.”

Menjelang kedatangannya di kota Makkah, para pemimpin dan ulama bersama-sama menunggunya. Namun tak seorang pun yang mengenali wajahnya. Ketika kafilah yang diikutinya memasuki gerbang kota Makkah, seorang yang diutus menjemputnya bertanya kepada Ibrohim, “Apakah kamu mengenali Ibrohin ibn Adhom, ahli ibadah yang terkenal itu?” "Untuk apa kamu menanyakan si ahli bid'ah itu?" Ibrohim balik bertanya.

Mendapat jawaban yang tidak sopan itu, orang tersebut lantas memukul Ibrohim dan menyeretnya menghadap pemimpin Makkah. Saat diinterogasi, jawaban yang keluar dari mulutnya tetap sama, “Untuk apa kalian menanyakan si ahli bid'ah itu?” Ibrohim pun disiksa karena dia dianggap menghina seorang ulama agung. Tetapi, dalam hatinya Ibrohim bersyukur diperlakukan demikian, ia berkata, “Wahai Ibrohim, dulu waktu berkuasa kamu memperlakukan orang seperti ini. Sekarang, rasakanlah olehmu tangan-tangan penguasa ini.”

Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan seorang bekas penguasa seperti Ibrohim ibn Adhom; dari pengalamannya memperbaiki diri, dari kesendiriannya menebus segala kesalahan dan kelalaian, dari keikhlasan, kezuhudan, dan ketawadhuannya yang tak ternilai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar