Halaman

Jumat, 22 April 2016

Dialog Imajiner Kartini dan Wanita PKS

Agak letih, tetapi Aisyah paksakan melangkahkan kaki memasuki museum Kartini di Rembang. Ia ingin segera menuntaskan Tesis S2-nya yang agak terbengkalai sejak pernikahannya enam bulan lalu. Kartini menjadi objek penelitiannya. Jelas kurang afdhol kalau penelitian itu hanya berbekal surat-surat Kartini yang ia dapat dari buku dan media online tanpa menghayati sendiri dari tempat Kartini hidup.

Hatinya berdesir kagum memandang ruang dalam museum itu. Terlihat seperangkat kursi dan meja model lama. Ia membayangkan Kartini duduk di kursi itu sembari memikirkan kondisi zamannya. Lama Aisyah menatap kursi dan meja itu dengan matanya yang sayu karena lelah. 

Tapi Aisyah semakin merasa lelah. Ia ingin keluar saja dari museum itu. Mungkin lain kali datang lagi, pikirnya. Acara Bakti Sosial PKS yang ia ikuti sejak pagi sebelum pergi ke museum telah menguras tenaganya.

Ia pejamkan matanya sesaat. Saat matanya terbuka, Aisyah terkejut tiba-tiba sesosok wanita mirip tokoh yang ia kagumi, Kartini, berada di depannya.

Kartini memandangnya dengan asing. Tampak oleh Kartini tulisan PKS di jilbab Aisyah, dan Kartini pun menggumamkan bacaan itu, “Pe Ka Es?” Kartini pun memandang kepada Aisyah.

Kartini: “Melihat penampilan kalian dengan jilbab dan pakaian yang tertutup seperti itu, saya teringat dengan kisah sedih yang saya alami sendiri pada usia 12.5 tahun. Ketika bapak memutuskan untuk memasukkan saya ke dalam pingitan. Padahal saya sudah berlutut di hadapannya memohon agar bisa melanjutkan sekolah ke sekolah ke HBS di Semarang.

Saya tidak bermaksud menggugat ekspresi keagamaan kalian, tetapi apakah kalian merasa terpasung dengan pakaian seperti itu?”

Aisyah: “Bunda Kartini yang terhormat, ini bukanlah pakaian yang memasung jiwa dan raga kami. Justru ini adalah pakaian yang melambangkan kemerdekaan. Merdeka dari pandangan kaum lelaki yang menilai kami hanya dari fisik atau menjadikan kami objek pandangan pemuas syahwatnya tanpa jalan yang halal. Kami terbebas dari perasaan terpingit untuk harus berpenampilan yang membuat mata lelaki senang.

Bunda, pakaian ini bukanlah penghalang kami untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Atau penghalang kami untuk berkarya berprestasi menyaingi kaum lelaki. Jangan salah, Bunda. Oh ya, tak lama sepeninggal Bunda, telah lahir seorang pejuang pendidikan wanita di Sumatera Barat yang bernama HR. Rasuna Said. Sebagai informasi untuk Bunda, ia pun berpenampilan sama seperti kami. Dengan pakaiannya yang tertutup berhijab rapi. Tapi sepak terjangnya menyaingi kaum lelaki seperti Haji Rasul, dll.”

Kartini: “Baguslah kalau begitu. Semoga cara berpakaian seperti itu memang benar-benar dari pengetahuan agama yang dalam. Saya baru mendapat pencerahan agama ketika beberapa tahun menjelang berakhirnya hidup saya di dunia. Kalau saya tidak hadir saat Kiai Sholeh Darat menerangkan tafsir Al-Fatihah di pengajian priyayi, saya mungkin akan selalu berada dalam kegelapan.

Tetapi, apakah agama harus mempengaruhi cara berbudaya. Saya pernah menyampaikan dalam surat saya kepada Nyonya Abendon, 10 Juni 1902:

“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang setengah Eropa atau orang Jawa yang kebarat-baratan”.

Lalu apakah dengan belajar agama maka harus ke-Arab-araban seperti pakaian yang Anda kenakan?”

Aisyah: “Bunda, saya berpakaian seperti ini bukan karena panggilan budaya. Tetapi karena perintah Alloh swt dalam Al Qur'an surat An-Nur ayat 31. Memang ada tuduhan dari kaum yang tidak mengerti yang menyangka kami ingin merusak budaya Indonesia dengan hijab yang kami kenakan. Sama sekali tidak. Ini adalah pakaian ketaatan kepada Alloh swt.

Kami pun tak bermasalah dengan budaya asli bangsa ini. Hijab yang kami kenakan bisa dipadukan dengan pakaian daerah. Kami masih bisa berkebaya memperingati hari lahir Bunda dengan pakaian ini. Di pesta pernikahan pun kami tetap mempertahankan hijab sembari memadukannya dengan pakaian daerah. Tak ada masalah dengan budaya, Bunda.”

Kartini: “Saya jadi iri dengan zaman kalian. Tepatlah apa yang saya tulis kepada Stella Zeehandelaar, 6 November 1899.

“Teman-teman saya di sini mengatakan agar sebaiknya kami tidur saja barang 100 tahun. Kalau kami bangun nanti, kami baru akan tiba pada zaman yang baik. Jawa (*baca: Indonesia) pada saat itu sudah begitu majunya kami temukan, seperti apa yang selalu kami inginkan.”

Di zaman kalian wanita bisa menikmati pendidikan. Bahkan Al-Qur'an telah diterjemahkan ke dalam bahasa kita, dan wanita bisa mendapatkan pendidikan agama setara dengan laki-laki. Saya membayangkan, pasti tidak ada lagi pingitan kepada wanita.”

Aisyah: “Pingitan seperti yang Bunda alami mungkin tidak ada lagi saat ini. Tetapi pingitan modern masih ada. Bahkan kaum wanita saat ini berlomba memasuki pingitan itu.”

Kartini: “Pingitan modern? Seperti apa itu?”

Aisyah: “Seperti yang sudah saya katakan tadi, wanita zaman ini membiarkan dirinya terkungkung dalam penilaian fisik oleh kaum laki-laki. Mereka berpakaian untuk memikat lelaki. Bahkan perusahaan-perusahaan mempekerjakan wanita dan mempersolek mereka sedemikian rupa agar bisa memikat kaum lelaki.

Di televisi, iklan-iklan produk berlomba menghadirkan wanita yang cantik dan berpenampilan yang membuat syahwat lelaki bangkit. Begitu juga dalam sinetron. Di zaman ini tampil penyanyi-penyanyi wanita yang menjual goyangan dan penampilan yang lagi-lagi membangkitkan syahwat kaum lelaki.

Masih, Bunda... pingitan itu masih. Sebagian wanita tak berani keluar dari pingitan pandangan lelaki, karena bagi mereka mata lelaki itu segalanya.”

Kartini: “Bagaimana mungkin? Bukankah mereka adalah seorang ibu? Dalam sebuah nota yang saya buat pada tahun 1903 yang tersebar dalam surat kabar, saya telah menulis tentang peranan ibu sebagai pendidik. 

“Siapakah yang akan menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral pada masyarakat. Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia dapat menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu padanya.

Sebagai seorang ibu, wanita merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam pangkuannyalah seorang anak pertama-tama belajar merasa, berpikir dan berbicara, dan dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai arti yang besar bagi seluruh hidup anak…”

Lalu dengan cara apa mereka mendidik anaknya kalau mereka bersikap seperti itu? Atau apakah mereka dididik oleh ibunya dengan cara seperti itu? Jelaskan pada saya, bagaimana pendidikan anak di zaman kalian!”

Aisyah: “Bunda, wanita di zaman kami begitu modernnya hingga mampu bersaing dengan lelaki. Termasuk dalam karir. Akhirnya, tak sedikit anak yang jarang mendapat sentuhan ibunya. Di rumah, anak lebih banyak bergaul dengan pengasuhnya. 

Kalau bunda mendambakan pendidikan tinggi untuk wanita agar bisa digunakannya untuk mendidik anak, di zaman ini wanita berpendidikan tinggi agar bisa bekerja untuk membesarkan sistem kapitalis. Sementara untuk anak mereka, didatangkan pengasuh yang tingkat pendidikannya jauh dari sang ibu. Miris memang.

Kami wanita PKS sadar tentang hal ini. Dalam pengajian agama yang kami ikuti sepekan sekali, selalu ditekankan tanggung jawab kami sebagai seorang ibu yang berkewajiban membangun generasi yang baik untuk agama dan bangsa. Saat kami di rumah, kami selalu pastikan bahwa akhlak dan pemahaman agama anak terpelihara dengan baik. Akan kami upayakan apapun caranya agar moral anak terjaga dalam arahan Islam.

Jujur saja, kalau tidak mengenal partai ini, mungkin saya seperti wanita lain yang merasa cukup menitipkan anak pada pendidikan formal, lalu menuntut anak agar berprestasi. Partai ini lah tempat kami belajar bagaimana menjadi ibu yang baik.”

Kartini: “Apakah hanya di partai kalian pendidikan agama diberikan?”

Aisyah: “Saya tidak mengatakan itu. Di zaman saya ada banyak ormas Islam dan beberapa partai Islam. Semua melakukan pembinaan agama kepada anggotanya. Hanya saja takdir menuntun saya ke partai ini, tempat di mana kepribadian Islam saya dibina, dan saya dituntut untuk mentransmisi hidayah yang saya dapat kepada generasi saya.”

Kartini: “Pengajian sepekan sekali itu seperti apa? Apakah kalian berdiskusi tentang Islam?”

Aisyah: “Tepat, Bunda. Saya tahu benar kegusaran Bunda saat belum bertemu Kiai Sholeh Darat. Bunda bercerita kepada Nyonya Stella,
Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya?

Hingga akhirnya setelah tafsir Al Fatihah yang Bunda dapat dari Kiai Sholeh Darat itu hati Bunda mendapat pencerahan tentang Islam. Apa yang Bunda alami Alhamdulillah tidak kami alami. Kami leluasa mempelajari Islam. Bahkan sebagian orang menuduh kami teroris, fundamentalis, radikal, kolot, dan berbagai tuduhan lainnya karena kuatnya interaksi kami dengan agama.”

Kartini: “Saya gembira mendengar cerita Anda. Benar, apa yang saya impikan memang telah terwujud. Tetapi saya sedih dengan sebagian fenomena lain di zaman kalian, tentang wanita yang terpasung oleh penilaian lelaki, tentang wanita yang ilmunya tak digunakan untuk pendidikan anak.

Bolehkah saya menitipkan wanita seperti itu pada kalian, agar kalian berusaha lebih keras lagi mengembalikan wanita pada fitrahnya?”

Aisyah: “Insya Alloh, Bunda.”

Tiba-tiba Aisyah mendengar suara memanggilnya lembut.

“Aisyah, bangun sayang!”

Aisyah terjaga. Ia dapati dirinya tengah berada di atas sebuah ranjang. 

“Aisyah…” Sebuah suara lagi.

Rupanya itu suara suaminya.

“Alhamdulillah kamu sudah sadar. Kamu tadi jatuh di museum. Kamu sih, memaksakan diri ke Museum Kartini. Sudah dibilang besok saja. Untung masih sempat abang tahan tubuh kamu.”

“Aku di mana, bang?” tanya Aisyah

“Kita di klinik, sayang.”

Mata Aisyah menerawang ke langit-langit. Sosok Kartini tadi serasa nyata di hadapannya.

Penulis: Zico Alviandri (Relawan Literasi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar