Jika kita menelaah kehidupan para ulama, mereka sangat produktif dalam menulis kitab. Tebal berjilid-jilid dengan kandungan isi yang berat. Kala itu, mereka melakukannya murni berbasis ilmu, tidak ada unsur bisnis. Kadang ditulis sendiri, kadang dituliskan oleh santrinya.
Sebagian dari mereka ada yang selalu membawa pena, meskipun tengah mengiring jenazah ke kubur sekalipun. Khawatir saat tengah ada dikuburan, tiba-tiba muncul ide. Jika tidak segera ditulis, bisa jadi idenya hilang atau lupa. Mengapa mereka begitu bersemangat untuk menulis? Ada beberapa penjelasan, diantaranya:
Pertama, Mengikat Ilmu
Segala sesuatu perlu diikat agar tidak hilang. Unta diikat dengan tali, nikmat diikat dengan syukur, dan ilmu diikat dengan pena. Diantara penyesalan terbesar dari Ibnul Jauzi adalah berbagai macam ide yang hilang di masa lalu karena tidak segera dituliskan, akibat berbagai kesibukannya. Ibnul Jauzi sendiri adalah seorang ulama besar yang memiliki banyak karya monumental, diantaranya Talbis Iblis dan Shoidul Khothir. Sedikit tambahan, Ibnul Jauzi itu berbeda dengan Ibnul Qoyyim Al Jauziyah.
Ide itu bisa datang kapan saja dan dimana saja. Baik di waktu luang maupun di waktu sibuk. Jika sebagian pihak yang langsung menulis, ada pula yang diendapkan terlebih dahulu untuk ditulis di waktu senggang. Maka jangan dianggap bahwa mereka yang banyak menulis adalah para pengangguran dan punya banyak waktu luang. Sama persis dengan sangkaan liar bahwa mereka yang bisa banyak tilawah karena tidak punya beban kesibukan.
Kedua, MLM Pahala
Ilmu yang bermanfaat termasuk perkara yang pahalanya akan terus mengalir hingga kiamat. Ilmu diwariskan dengan dua cara, yakni talaqqi dan ditulis dalam kitab. Siapa saja yang mengkaji shohih Bukhori, maka Bukhori akan dapat pahala. Demikian pula dengan para ulama dan guru-guru yang menjadi mata rantai sanad ilmunya. Siapa saja belajar Hadits Arba’in, maka Imam Nawawi akan mendapatkan pahala. Siapa yang mengkaji Fiqhus Siroh, maka Syaikh Romadhon Al Buthi akan mendapatkan pahala. Demikian seterusnya.
Maka bersemangatlah untuk menghadirkan banyak pahala lewat tulisan dan karya lainnya. Mari berkomitmen untuk menyajikan ilmu yang bermanfaat, agar kumbang-kumbang berdatangan, melakukan penyerbukan dan bisa menghasilkan madu. Jangan sampai kita memproduksi kotoran (cacian, fitnah dll) dalam tulisan kita, sehingga lalat-lalat mendekat bersuka ria, menyebarkan kotoran dan menularkan bibit penyakit. Pilihlah MLM pahala, bukan MLM dosa.
Ketiga, Menjaga Agama
Para ulama menjalankan peranan yang sama dengan para mujahid, yakni sama-sama menjaga agama. Kadang ada ulama sekaligus mujahid sebagaimana 'Abdulloh ibnu Al Mubarok, kadang ulama saja sebagaimana Imam Malik. Bahkan ada juga ungkapan masyhur, yakni “Tintanya ulama lebih wangi ketimbang darahnya syuhada”.
Adanya kitab bisa menjadi sarana untuk menjaga agama, meski kedudukannya hanya sebagai sarana penunjang. Dengan wasilah kitab, pemahaman bisa ditransmisikan kepada generasi berikutnya. Dengan wasilah kitab, ilmu bisa disebarluaskan hingga pelosok negeri. Maka menulis kitab menjadi sarana pelengkap untuk menjaga agama selain mengajarkan langsung kepada para santrinya.
Khotimah
Sewaktu berada di penjara, petaka paling berat yang dirasakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan siksaan dan intimidasi, tapi saat sipir penjara mengambil semua alat tulisnya dan kitab-kitabnya. Sehingga beliau tidak bisa lagi menulis hingga ajal menjemputnya.
Saat ini, kita begitu lekat dengan handphone dan tablet. Betapa sayang jika hanya digunakan untuk berjualan, narsis atau malah menebar fitnah dan kebencian. Mari kita gunakan segala sarana yang ada untuk membangun kembali budaya literasi yang unggul dan ilmiah sebagaimana dahulu terjadi pada para ulama. Wallohu a’lam bi showab.
Eko Junianto, SE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar