Bahkan lebih dari soal tuduhan pendusta, penyihir, dukun, serta gila; bahkan lebih dari soal dikejar-kejar lalu dilempari batu sambil diteriaki hina, ruku' lalu dijerat lehernya, sujud lalu diinjak kepalanya serta dituangkan bebusuk isi jeroan unta ke punggungnya; bahkan lebih dari soal diboikot, dianiaya, diusir, dan dibunuhi pengikutnya; saya masih terngungun-ngungun membayangkan kesabaran lelaki agung itu.
Setiap hari dia memasuki Masjidil Haram melalui Babussalaam. Dia akan berdiri di belakang rukun Yamani, menghadapkan wajah ke Al Aqsho yang jauh di utara sekaligus Baitul 'Atiq di hadapannya, berdiri melafalkan ayat-ayat Robbnya, tunduk dan pasrah pada Pencipta Alam Semesta. Di saat lain dia seru-seru kaumnya, dia tunaikan amanat Robbnya, dia sampaikan RisalahNya.
Mari membayangkan betapa sesak dada Rosululloh saw dan para sahabat ketika harus sholat, membaca Al Quran, dan mempelajari Islam di dekat Ka’bah, di bawah bebayang bentuk-bentuk raksasa berhala-berhala yang menistainya.
Tiga belas tahun.
Latta, 'Uzza, Manat, Hubal dan nama-nama lainnya, tak kurang dari 360 patung dalam selingkar 360 derajat kelilingnya, dari yang dipahat dengan halus dan berseni hingga yang kasar tak beraturan, sesembahan berbagai kabilah itu ‘setia’ menunggui mereka yang berjuang untuk mentauhidkan Alloh.
Tapi Rosululloh saw dan para sahabatnya tidak menghancurkannya saat itu, sebab mereka memahami bahwa yang mereka tempuh adalah jalan dakwah. Yang hendak mereka ubah adalah hati dan pemahaman, bukan prasarana dan bangunan.
Tanpa perubahan hati, berhala yang dihancurkan hari ini hanya akan dibangun jauh lebih megah di esok hari. Tanpa perubahan pemahaman, wadah-wadah kedurhakaan yang dibumihanguskan hari ini akan mendapatkan simpati dan pemodal yang jauh lebih besar tak lama lagi.
Maka bahkan Rosululloh saw terus bersabar hingga Fathu Makkah, tepat 21 tahun setelah dakwah dimulai. Di hari itulah kebenaran datang dan kebatilan lenyap. Di hari itulah patung-patung kemusyrikan penista Ka’bah rubuh dan remuk.
Tangan yang menghancurkan berhala-berhala itu bukan hanya tangan Rosululloh saw dan para sahabatnya, melainkan juga tangan-tangan yang petang sehari sebelumnya masih mengelus patung-patung itu dengan ta’zhim, menaburkan dinar dan dirham di kakinya, serta menuangkan wewangian kepadanya.
Ini semua karena hati, akal, dan jiwa yang berubah.
Jalan dakwah adalah jalan yang panjang tempuhannya. Panjang sebab bukan kayu atau batu, ladang atau hutan, dan gubug atau istana yang hendak dibongkar atau dibangunnya. Panjang karena sasaran utamanya adalah perubahan hati, perbaikan jiwa, pemulihan manusia, dan penyempurnaan akhlaq yang mulia.
Di negeri ini, betapa kita menginginkan perubahan dengan segera, tapi kita lupa apa yang harus diubah.
Ada pula di antara kita yang sangat tahu apa yang harus diubah dan tegas bersemboyan, "Rosululloh memulai dakwah dengan tauhid, dengan 'aqidah." Tapi yang kita lakukan lalu hanya mengadakan kajian tentang 'aqidah. Sedangkan di hari pertamanya masuk Islam, Abu Bakr menyerahkan 40.000 dirham pada Sang Nabi.
Tentu bukan hanya untuk menyelenggarakan kajian. Sebab dakwah ini adalah jalan mendaki lagi sulit. Tahukah kita apa jalan yang menanjak lagi sukar itu? Membebaskan yang teperbudak, membagi makan pada hari susah dan sesak, pada yatim yang berkerabat, hingga orang miskin yang amat melarat.
"..Kemudian adalah mereka itu termasuk orang-orang yang saling berwasiat tentang kesabaran, dan saling berwasiat tentang kasih sayang.." (QS Al Balad [90]: 17)
Salim A. Fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar