Halaman

Sabtu, 09 April 2016

Kurang Piknik dan "Aku Tak Tahu"

Kurang piknik tak selalu tak baik. Seperti keagungan Imam Malik.

Dibanding para Imam Ahlis Sunnah lainnya, barangkali beliaulah yang tersedikit melakukan rihlah 'ilmiyah, mencukupkan diri dengan ilmu dan atsar dari guru-gurunya di Madinah. Tapi justru karena kurang piknik, nyaris tak pernah keluar dari Madinah sepanjang hidupnya selain untuk berhaji, beliaulah rujukan tepercaya sebagai Imam Daril Hijroh.

Dikatakan bahwa ilmu para sahabat Rosulillah saw tersebar pada 7 Tabi'in Fuqoha' Madinah; Al Qosim ibn Muhammad ibn Abi Bakr Ash Shiddiq, Salim ibn 'Abdillah ibn 'Umar Al Faruq, 'Urwah ibn Zubair ibn Al 'Awwam, Abu Salamah ibn 'Abdirrohman ibn 'Auf, Khorijah ibn Zaid ibn Tsabit, Sulaiman ibn Yasar, dan Sa'id ibn Al Musayyib. Dan ilmu ketujuh beliau nantinya berhimpun kembali dalam diri Imam Malik.

Cintanya pada bumi berkah di mana Rosululloh saw mempersaudarakan Muhajirin dan Anshor ini amat dalam. Bahkan beliau mendasarkan fiqihnya salah satunya dengan 'Perbuatan Penduduk Madinah'. Salah satu konsekuensinya, hadits yang shohih dari sahabat Rosulillah namun tak diamalkan penduduk Madinah dapat menjadi batal kehujjahannya di sisi beliau rohimahulloh, seperti dalam soal puasa 6 hari di Bulan Syawal semisal.

Tapi kita mesti tahu, wibawa orang kurang piknik ini membuat para Kholifah merunduk. Suatu ketika Harun Ar Rosyid mengundangnya untuk membacakan hadits-hadits Rosulillah bagi dirinya dan putra-putranya. Jawaban sang Imam menghentak, "Ilmu itu didatangi. Bukan mendatangi."

Maka Harun Ar Rosyid beserta putranya hadir ke majelis beliau yang mulia, itupun dengan diperingatkan, "Hendaknya duduk di manapun tempat tersedia, jangan lancang melangkahi pundak orang-orang." Maka Imam Malik yang untuk membacakan hadits Rosulillah saw selalu memakai pakaian terbaik, bersurban indah, berwangian harum, berada dalam keadaan wudhu', terlihat lebih megah melebihi sang Kholifah.

Watak fiqih atsari beliau yang tawadhu' juga terbentuk dari sini. Beliau mencukupkan diri dengan riwayat lalu selebihnya berkata, "Aku tidak tahu," yang ucapan ini disebutnya sepertiga ilmu. Seorang utusan dari Maroko pernah amat kecewa, 40 pertanyaan titipan diajukan tapi hanya 8 yang dijawab. "Tiga bulan perjalanan kutempuh untuk menjumpaimu dengan pertanyaan dari kaumku," ujarnya, "Apa yang nanti harus kukatakan pada mereka?"

"Katakan saja," ujar Sang Imam penuh wibawa, "Bahwa Malik tidak tahu." 

Hal menarik terjadi ketika Imam Muhammad ibn Hasan Asy Syaibani, salah satu murid utama Imam Abu Hanifah mengunjungi Imam Malik dengan tak dikenali. "Bagaimana hukumnya," tanya Muhammad ibn Hasan, "Jika seorang lelaki yang sedang junub mendengar adzan. Tapi dia tak menemukan air untuk mandi, sedangkan dia tahu bahwa di dalam Masjid ada air."

"Orang junub tidak boleh masuk Masjid," jawab Imam Malik.

"Tapi dia mendengar adzan dan sudah seharusnya ikut sholat berjama'ah bukan?"

"Ya, tapi dia tidak boleh masuk Masjid sebelum bersuci."

"Jadi, apa yang harus dia lakukan?" desak Imam Muhammad ibn Hasan.

"Aku tidak tahu," jawab Imam Malik.

Imam Muhammad ibn Hasan menghela nafas lalu berkata, "Seharusnya lelaki itu bersuci dengan tayammum dulu untuk masuk Masjid. Lalu dia mengambil air dari dalam Masjid kemudian keluar untuk mandi. Lalu masuk Masjid lagi untuk sholat." Sang penanya ini lalu mohon diri.

"Siapakah engkau ini?" tanya Imam Malik.

"Saya 'Abdulloh; hamba Alloh."

"Dan dari manakah?"

"Asal saya dari tanah," jawab Muhammad ibn Hasan lalu beranjak tanpa menoleh lagi.

Seorang murid yang sedari tadi memperhatikan bincang keduanya pun bertanya, "Benarkah Anda tidak mengenal orang itu, ya Imam?"

"Siapa dia rupanya?"

"Dialah Muhammad ibn Hasan Asy Syaibani yang termasyhur, sahabat Abu Hanifah."

"Celaka, dia menipuku dengan mengatakan namanya 'Abdulloh."

"Tapi kan memang benar dia itu hamba Alloh?"

"Aku tetap tidak suka hal semacam itu."

Kisah ini adalah salah satu penanda ketegangan yang sering terjadi antara Madrosah Ahlil Atsar yang dipimpin Imam Malik dan para Ahli Hadits di Hijjaz dengan Madrosah Ahlir Ro'yi yang berpusat di 'Iraq dalam generasi murid-murid Imam Abu Hanifah seperti Al Qodhi Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan.

Watak Fiqih 'Iraq yang karena sedikitnya hadits tersampai harus mengembangkan berbagai kaidah penyimpulan hukum menghadapi persoalan masyarakat yang lebih rumit menjadikan mereka terampil berlogika, berdebat, dan mendiskusikan berbagai persoalan yang tak terbayangkan di Hijjaz. Dua madrasah yang sebenarnya saling melengkapi ini, di kalangan para murid sering berolok satu sama lain.

Hingga akhirnya datanglah Al Imam Asy Syafi'i, murid terhebat Imam Malik tapi sekaligus juga murid terdahsyat Muhammad ibn Hasan Asy Syaibani. Pada beliau, kedua madrasah berpadu menjadi Ilmu Fiqih yang kokoh dalilnya sekaligus kuat metodologinya.

"Dulu Ahli Hadits tertidur," simpul Imam Ahmad ibn Hanbal, "Hingga Imam Asy Syafi'i datang membangunkan mereka; memahamkan mana umum mana khusus, mana nasikh mana mansukh, serta mana yang mujmal dan mana yang memerinci."

Mari senantiasa belajar dari mereka, terutama atas kalimat "Aku tak tahu." Tiada aib atas ungkapan itu. Sebab dengannya Alloh lah yang kan jadi guru, mengajarkan segala yang bermanfaat di dunia hingga akhir waktu.

Seperti Imam Malik yang sering mengatakannya, suatu hari di musim dingin beliau berpeluh. Maka bertanyalah Imam penduduk Mesir, Al Laits ibn Sa'd, "Apa yang membuatmu berkeringat?"

"Abu Hanifah," jawab Imam Malik. "Betapa pandainya orang itu." Lalu ketika Al Laits menyampaikan pujian Malik ini pada Abu Hanifah, begini jawab sang Imamul A'zhom sembari mengambil nafas berat, "Malik, orang yang mendapatkan bagian terbanyak dari warisan Rosulillah saw."

Rohimahumullohu ajma'in.

@salimafillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar