Di dalam Al Quran, Alloh sering menyandingkan sesuatu yang berkebalikan untuk menajamkan pemahaman kita akan hakikat dan makna. Seperti ketika Iblis mewariskan ucapan, “Ana khoirun minhu.. Aku lebih baik daripada dia”, maka Adam justru punya kalimat, “Robbana zholamna anfusana.. Duhai Robb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Dan seandainya Kau tidak mengampuni dan mengasihi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.”
Iblis adalah makhluq yang gagal menyikapi keberhasilan. Sujud ibadahnya di masa lalu, ketekunan penghambaannya yang mengangkatnya ke alam malakut dengan kedudukan tinggi di antara para malaikat membuatnya merasa lebih mulia, dan karena itu merasa berhak untuk tak mentaati Alloh dalam perintah sujud pada Adam yang belum lama dicipta.
Adapun Adam adalah hamba yang berhasil menyikapi kegagalan. Atas godaan syaithon dia melakukan pelanggaran, tapi hatinya yang tunduk tertuntun pada pertaubatan. Betapa ‘merasa lebih baik’ menghapus semua kebaikan, dan ‘merasa berdosa’ juga menjadi pembuka ampunan. Demikianlah perasaan dan hakikat sering berkebalikan, sehingga merasa salah lebih baik daripada merasa sholih, dan merasa kotor lebih selamat daripada merasa suci.
Sulaiman, ‘Alaihis Salam, adalah juga nama agung yang kisahnya mengilaukan zaman. Bukan karena kekayaan dan kemaharajaannya yang menundukkan jin serta manusia, burung dan aneka satwa, serta angin dan Negeri Saba’. Tapi bersebab ucapannya yang dipenuhi kesadaran paripurna, tentang hakikat limpahan karunia Alloh padanya.
“...Ini semata adalah karunia dari Robbku, untuk menguji aku apakah aku akan bersyukur atau justru kufur. Dan barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia tak lain bersyukur bagi kebaikan dirinya. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Robbku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An Naml [27]: 40)
Betapa berat menjadi Sulaiman. Perintahnya ditaati oleh semua yang dapat mendengar suaranya. Suaranya dapat disampaikan menembus jarak. Jarak dilipat baginya dengan angin yang berarak. Fir’aun yang merasa Nil mengalir di bawah kakinya, Mesir dalam genggamannya, dan Bani Isroil menjadi budaknya saja tak tahan dari mengucap kalimat warisannya, “Akulah Robb kalian yang paling tinggi”. Maka bagaimanakah dengan Sulaiman yang lebih berhak untuk jumawa?
Dari mereka kita tahu, kesombongan tak pernah berasal dari kelebihan yang dimiliki. Keangkuhan adalah buah dari jiwa yang kerdil dan wawasan yang sempit.
Sulaiman mewariskan kesyukuran, kesadaran, dan kewaspadaan. Syukur untuk mensujudkan diri pada Sang Pencipta di setiap nikmat, yang kebaikannya kan kembali pada diri. Sadar bahwa segala yang dimilikinya tanpa kecuali semata-mata hanyalah karunia. Dan waspada bahwa setiap karunia itu hakikatnya ujian yang kan memperlihatkan kesejatian dirinya, sebagai hamba yang bersyukur ataukah hamba yang kufur.
Meloncat ke satu surat setelah An Naml yang banyak mengisahkan kiprah Sulaiman, kita akan berjumpa dengan tajuk Al Qoshosh yang menyinggung sebuah nama bersejarah lainnya. Qorun. Lelaki dari kaum Musa yang perbendaharaan hartanya begitu banyak, hingga kunci gudang penyimpanannya pun tak sanggup dipikul beberapa lelaki kuat.
“Qorun berkata, ‘Hanyasanya harta itu diberikan kepadaku, disebabkan atas ilmu yang ada padaku...” (QS. Al Qoshosh [28]: 78)
“Alangkah indah tafsir yang dikemukakan oleh Imam ‘Abdurrohman ibn Zaid ibn Aslam,” ujar Ibn Katsir dalam Tafsir anggitannya, “Yakni ketika menakwil ayat ini. Beliau mengatakan bahwa Qorun hendak menyatakan, seandainya bukan karena keridhoan Alloh padaku dan pengetahuanNya tentang keutamaanku, niscaya Dia takkan memberikan harta ini padaku.”
Betapa mantap cara berpikir Qorun yang mengaitkan antara kelimpahan dengan kepandaian. Betapa kokoh percaya dirinya bahwa kelebihannya termasyhur di langit. Betapa besar keyakinannya atas cinta Alloh pada pribadinya. Bahkan menurut Imam Qotadah, maksud Qorun dengan “ilmu yang ada padaku” adalah “karena kebaikanku”.
Tapi keyakinan yang setitik melampaui batasnya adalah kenaifan menyedihkan.
Mukmin sejati senantiasa hidup
dalam gigil takut, gerisik harap, dan getar cinta. Orang-orang yang tertipu seperti Qorun salah mengira bahwa dikaruniai harta adalah disebabkan kemuliaan diri, lalu pula sesat menduga bahwa bergelimang dunia adalah tanda dicintai Robb yang Maha Pemberi.
Dia telah diperingatkan, bahwa sebelum dirinya sudah banyak orang-orang yang lebih kuat dan lebih banyak mengumpulkan harta, namun pula akhirnya binasa. Dan sungguh orang berdosa tak usahlah ditanya tentang dosanya. Karena besarnya, karena banyaknya, karena seringnya.
Ketika Qorun dan istananya dibenamkan, orang-orang yang semula dengan penuh semangat menginginkan apa yang dimilikinya tiba-tiba berada dalam keinsyafan agung yang mencekam jiwa mereka.
“...Aduhai, benarlah Alloh melapangkan rezeki bagi siapapun yang dikehendakiNya di antara hambaNya dan menyempitkannya. Kalau saja Alloh tidak melimpahkan karunia petunjukNya atas kita, benar-benar kita telah dibenamkan pula. Aduhai benarlah, tiada kan beruntung orang-orang yang mengingkariNya.” (QS. Al Qoshosh [28]: 82)
@salimafillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar