Ada satu sinema yang amat dibanggakan oleh orang Korea Selatan. Dalam 12 hari pertama penayangan, 10 Juta orang di dalam negeri menontonnya. Film 'The Admiral: Roaring Currents', digarap oleh sutradara Kim Han-min dengan anggaran 18,9 Juta USD dan berpendapatan 135,9 Juta USD.
Film ini mengisahkan Pertempuran Myeongnyang pada 26 Oktober 1597, di mana Laksamana Yi Sun-sin yang memimpin Armada Joseon berkekuatan 13 kapal, memukul mundur Angkatan Laut Jepang yang terdiri atas 130 kapal perang dan 200 kapal logistik.
Patung Yi Sun-sin kini tegak berdiri di arah depan patung Sejong Daewang yang bertakhta di jalan menuju Istana Gyeongbokgung. Dia dianggap pahlawan besar penyelamat negara di samping Raja Joseon yang merumuskan huruf Han-gul dan membawa Korea ke puncak keagungannya itu.
Sebaliknya, ada sebuah buku yang sangat digandrungi orang Jepang. Dari saat terbit pertama pada 1940-an hingga hari ini konon ia terjual sekira 140 Juta Eksemplar, melampaui jumlah seluruh penduduk Jepang yang hidup hari ini. Buku ini bertajuk Taiko-ki, ditulis oleh Eiji Yoshikawa, yang terlahir dengan nama Hidetsugu pada 11 Agustus 1892 di Kanagawa.
Film dari Korea dan buku dari Jepang itu sama-sama menyangkut satu nama; Toyotomi Hideyoshi.
Jepang bangga karena memiliki lelaki yang dilahirkan sebagai seorang jelata di Nagoya, kurus, bertampang konyol, jerawatan, dan dijuluki tikus botak namun mampu menyatukan negeri dan menggetarkan dunia itu. Korea bangga karena pernah mampu mengalahkan bala tentara Sang Taiko dan menghentikan mimpinya serta mimpi mendiang Oda Nobunaga untuk menaklukkan negeri para Kaisar Ming.
Dokumen Dinasti Ming menyebut invasi Jepang ini sebagai "Wànlì Cháoxiǎn zhī yì", maknanya Kampanye Kaisar Wanli ke Korea. Dalam Sejarah Korea ia disebut "Imjin-waeran", artinya Gangguan dari Jepang di Tahun Imjin. Kronik Jepang menamakannya "Bunroku no Eki", yakni kampanye akbar di era bunroku, masa bertakhta Go-Yozei Tenno. Perang akbar pada 1592-1593 dan 1597-1598 melibatkan sekira 299.500 prajurit Jepang yang dihadapi 118.000 pasukan gabungan Dinasti Joseon-Dinasti Ming.
Di Kastil Osaka kita dapat melihat perawakan Sang Taiko. Seperti digambarkan Eiji Yoshikawa di akhir novelnya, ini seorang lelaki berperawakan kerempeng yang kedodoran dalam jubah keemasannya, dipapah ke peraduannya setelah menarikan drama Noh gubahannya, serta meletakkan dasar-dasar Jepang modern yang lebih damai, makmur, dan bercita seni tinggi. Lambang bunga labu yang dulu berkibar di panji Hideyoshi, masih digunakan sebagai stempel resmi pemerintahan Jepang hingga hari ini.
Siapa yang hendak mengisahkan pahlawan negeri kita seberjaya buku Eiji Yoshikawa atau filmnya Kim Han-min? Semoga Alloh bimbing.
Salim A. Fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar