Saya dibesarkan dalam lingkungan muslim tradisional yang di usia 7-8 tahun berkenalan dengan kitab-kitab fiqih dasar semacam Sulam Safinah dan yang serupa dengan itu. Semua itu merupakan kitab-kitab fiqih dasar madzhab Syafi’i yang mencakup berbagai masalah secara umum, termasuk soal menstruasi, bersuci dari hadas besar dan berbagai sebabnya (jima’/sexual intercourse salah satunya).
Pengenalan awal tentang hukum Islam dalam kerangka taat kepada Alloh subhanahu wa ta’ala menjadikan anak-anak usia sekolah dasar kelas bawah telah mengenal berbagai hal yang hari ini dianggap sebagai porsi orang dewasa. Salah satu alasan untuk membekali anak-anak dengan pengetahuan dasar hukum Islam hingga ke masalah hadas besar dan penyebabnya adalah karena orangtua berkewajiban menegakkan disiplin ibadah di usia 10 tahun. Salah satu sanksinya adalah memukul. Dan tidak dibolehkan memukul kecuali anak sudah mengerti hal-hal dasar tentang hukum Islam.
Walhasil, anak-anak mengerti hal-hal pokok terkait kewajiban yang berkaitan dengan seksualitasnya, tetapi tidak memperolehnya dalam konteks pendidikan seks. Anak memahaminya sebagai bekalan penting sebagai hamba Alloh Ta’ala. Anak mengetahui apa itu menstruasi, apa itu ihtilam (wet dream), pun anak paham apa bedanya mani (sperma) dan madzi saat ia berusia sekitar 9 tahunan. Ini semua hasil ikutan dari pendidikan tentang syari’at Islam.
Several Years Ago
Begitu saya dibesarkan. Tetapi ketika saya mengenyam pendidikan di Fakultas Psikologi dan membaca berbagai literatur mengenai seksualitas manusia dan khususnya tentang pendidikan seks, terlebih ketika dihadapkan pada sejumlah pertanyaan dari orangtua, saya sempat mengalami perubahan cara pandang. Anak-anak harus memperoleh informasi “memadai” (sebuah istilah yang sebenarnya sangat ambigu) tentang seksualitas serta organ reproduksi mereka. Ini sangat penting agar mereka dapat mengendalikan diri karena memahami bahayanya melakukan hubungan seks pra-nikah.
Jika anak meminta bertanya tentang hal-hal yang berkait dengan seksualitas, maka orangtua dan pendidik berkewajiban untuk memberikan informasi yang sesuai.
In The Recent Years
Belakangan saya membaca dan merenungi beberapa hal. Pertama, pergeseran paradigma pendidikan seks di Amerika dari seks bertanggung-jawab yang berorientasi kelonggaran melakukan hubungan seks pra-nikah asalkan siap dan mampu bertanggung-jawab, lalu bergeser menjadi safe sex (seks yang aman) sebagai reaksi terhadap merebaknya STD alias penyakit menular akibat hubungan seks bebas, lalu pada tahun 1980-an wacana yang menguat adalah kampanye pro-abstinence alias mencegah hubungan seks pra dan di luar nikah. Tetapi ini justru mendapatkan penentangan dari warga negaranya sendiri, termasuk industri terkait seks semisal kondom yang kemudian melebarkan sayapnya ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia melalui berbagai LSM.
Kedua, ada realitas menarik di berbagai negara kawasan Timur Tengah bahwa remaja umumnya tidak mengalami krisis identitas sebagaimana yang diyakini dalam psikologi perkembangan. Jika Anda membaca buku, yang paling sederhana adalah The 50 Great Myths in Popular Psychology, Anda akan mendapati bahwa tidak mengalami krisis identitas pada saat seseorang memasuki masa remaja bukan hanya terjadi di Timur Tengah. Mereka tidak mengalami keguncangan (storm and stress) yang juga diyakini mutlak terjadi pada remaja. Lalu, apa sebabnya mereka tidak mengalami krisis identitas maupun keguncangan? Ada dua hal. Pertama, apa yang disebut sebagai identity foreclosure. Mereka memiliki kejelasan identitas sebelum mereka memasuki masa remaja. Kedua, jelas dan kuatnya orientasi mereka terkait hubungan dengan lawan jenis, sementara terpaan media yang memberi rangsang seksual relatif rendah.
Ketiga, saya meyakini sebaik-baik masa adalah para salafush-sholih. Dan tidak ada satu pun perkara yang terabaikan dalam agama ini. Inna ashdaqol hadiitsi kitabulloh. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabulloh, yakni Al-Qur’anul Kariim. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk dari Rosululloh Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Kita dapati bahwa agama ini mengajarkan agar para pemuda memiliki orientasi menikah yang kuat. Bekal awalnya ditanamkan semenjak kanak-kanak dengan mengenali taklif (bebanan syari’at) dalam segala hal, termasuk ketika seseorang telah ihtilam (polutio).
Bagaimana kita membekalkan itu? Ini yang perlu kita diskusikan. Semoga lain kesempatan dapat membuat catatan yang lebih memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar