Cara paling sederhana untuk melihat sebuah sekolah adalah dengan memeriksa kejelasan standar lulusan yang ingin dihasilkan. Ungkapan indah tak cukup menggambarkan. Yang sangat penting adalah jabaran tentang apa yang harus diraih di jenjang tersebut. Nah, di sinilah kita melihat banyak sekolah yang tidak memiliki rumusan jelas dan rinci tentang output profile (profil lulusan). Meskipun, sekali lagi, kadang kita menjumpai rumusan sangat wah, tapi tidak kongkret apa yang mau dicapai.
Tidak jelasnya standar profil lulusan yang dihasilkan serta kurangnya rincian menjadikan sekolah sulit mengevaluasi kinerja. Sekolah tidak mampu melakukan asesmen untuk menentukan apa yang harus dilakukan pada waktu tertentu di tiap jenjangnya. Di samping itu, sekolah juga mudah terkena jebakan proses. Ketika muncul masalah, sekolah tak menggali akar masalah, tapi segera menganggap wajar. Sekolah mudah mengampuni diri sendiri karena jebakan ungkapan "semua perlu proses". Padahal untuk rusak dan semakin rusak pun perlu proses.
Munculnya masalah dalam proses pendidikan memang wajar. Tapi yang disebut wajar tidak otomatis selesai seiring berlangsungnya proses. Perlu penanganan yang tepat, akurat dan segera agar masalah segera selesai dan tidak berkembang menjadi gangguan pendidikan yang serius. Salah satu hal yang memudahkan sekolah mengenali masalah adalah kejelasan standar profil lulusan. Dari sini dapat diketahui apakah proses kependidikan yang berlangsung sudah sesuai atau belum dengan tujuan yang ingin dicapai beserta tahapan per jenjangnya.
Tidak sesuainya proses dengan standar yang ingin diraih kadang tidak tampak sebagai masalah karena tidak menimbulkan situasi chaos. Ini terutama di kelas-kelas awal. Masalah tidak tampak karena dampaknya belum terlihat, padahal sesungguhnya sudah mulai ada masalah. Nah, justru di sinilah letak pentingnya standar profil lulusan yang jelas dan menjadi misi bersama yang kuat. Inilah yang memudahkan sekolah untuk senantiasa berbenah bahkan saat tampak sangat baik dan tidak ada masalah. Tanpa kepekaan terhadap standar lulusan yang ingin dihasilkan, masalah bukanlah semata ketidaksesuaian proses. Tetapi masalah adalah kesulitan atau gangguan (trouble) yang timbul dari unsur pendidikan, baik guru maupun siswa. Di sini, berkelahi baru dianggap masalah. Adapun anak yang pasif, ketiadaan antusiasme di kelas dianggap sebagai kewajaran. Misalnya menganggap anak memang belum sadar belajar.
Ada beragam cara untuk mengenali masalah maupun potensi masalah. Ini juga berguna bagi para calon wali murid yang mencari sekolah anak. Ada cara yang kompleks. Ini terutama penting bagi yang mau membenahi sekolah. Ada yang sederhana. Ini berguna untuk calon wali murid.
Selain melihat ada tidaknya rumusan standar profil lulusan yang jelas, juga memperhatikan fungsional tidaknya organisasi. Apakah ada gejala disfungsi organisasi di sekolah tersebut? Bagian terendah dari berfungsi tidaknya organisasi secara efektif adalah kepercayaan. Ini antara lain tercermin dari kualitas hubungan antar pribadi di sekolah, khususnya antar guru. Sekolah yang mengalami disfungsi organisasi pasti hubungan antar guru tidak kohesif. Hubungan antara guru dan tenaga kependidikan yang lainnya semisal janitor (petugas kebersihan WC) juga tidak kohesif.
Itu merupakan penanda yang sederhana. Jika tidak kohesif saja menunjukkan kurang berfungsinya organisasi, apalagi jika hubungan buruk. Pada tingkat lebih parah, akan terbentuk blok-blok antar guru maupun tenaga kependidikan lainnya. Jika ini ada, sekolah dalam bahaya.
*** Bagi yang berminat tentang masalah ini antara lain dapat membaca buku the Five Dysfunctions of a Team beserta buku rangkaiannya karya Patrick Lencioni serta buku-buku mengenai fasilitasi perubahan di sekolah.
Kredit: www.hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar