Kalau saja Hatib bin Abi Balta’ah tak tergabung dalam barisan yang memperjuangkan Islam pada perang Badar, maka vonis munafik telah jatuh kepadanya tatkala ia r.a. tertangkap basah membocorkan rencana Rosululloh saw saat persiapan Fathu Makkah. Gatal tangan 'Umar bin Khoththob r.a. ingin mengayunkan pedang, namun Rosululloh saw menahannya karena kesertaan dalam perang Badar adalah jasa besar yang tak teremehkan.
Hatib bin Abi Balta’ah merasa risau dengan keberadaan sanak saudaranya di Makkah. Oleh sebab itu, ia mengirim surat rahasia kepada keluarganya, melalui seorang kurir wanita, yang mengabarkan rencana Rosululloh saw untuk memasuki Makkah bersama ribuan tentara. Upaya pembocoran rahasia itu kemudian terbongkar atas izin Alloh swt. Dan Hatib bin Abi Balta’ah tak dapat mengelak dari perbuatannya. Lantas kisah ini menjadi asbabun nuzul surat Al Mumthanah ayat 1.
Dakwah dan Kerahasiaan
Kerahasiaan sudah menjadi bagian dalam dakwah. Meski karakter dakwah sejatinya bersifat terbuka, namun bila dakwah dilakukan dengan organisasi yang terstruktur, sering kali ada informasi-informasi yang bukan konsumsi publik.
Saat kondisi dakwah berada pada tekanan rezim yang berkuasa, pergerakan dakwah terpaksa dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Rosululloh saw pernah merasakan sendiri aktivitas dakwah secara rahasia di awal perkembangan Islam. Semua itu demi keselamatan dakwah.
Husain bin Muhammad bin Ali Jabir dalam bukunya “Menuju Jama'atul Muslimin” menjelaskan bahwa sirriyatud dakwah yang dilakukan oleh Rosululloh di awal turunnya Islam adalah dengan membentuk jama'ah secara tersembunyi. Yang dimaksud adalah, tersembunyi dalam pembentukan, bukan pada ajaran dan materi dakwah. Hal ini dimaksudkan agar musuh Islam tidak mengetahui detail kekuatan jama'ah sehingga tidak serta merta dipukul ketika kekuatan jama'ah masih seumur jagung.
Ketika kondisi memungkinkan dan dakwah dapat dilakukan dengan terang-terangan, bukan berarti tak perlu lagi ada kerahasiaan dalam dakwah. Buktinya Rosululloh saw tetap memerlukan seorang Hudzaifah bin Yaman sebagai Kepala Intelejen pertama umat Islam untuk menampung kerahasiaan.
Salah satu yang dirahasiakan adalah daftar nama golongan munafik. Suatu ketika 'Umar bin Khoththob r.a. resah tentang dirinya, apakah termasuk orang yang divonis munafik atau bukan. Kholifah yang agung itu lantas menemui Hudzaifah bin Yaman r.a. Namun data yang bisa diakses sekedar memastikan bahwa 'Umar bin Khoththob r.a. tidak termasuk golongan munafik. 'Umar tak dapat mengakses semua nama dalam golongan yang dijanjikan Alloh swt kelak bertempat di dasar neraka itu.
Kerahasiaan tetap ada dalam bangunan dakwah. Konteks kekinian, misalnya proses atau hasil persidangan terhadap seorang anggota jama'ah dakwah yang dianggap bermasalah, bisa menjadi contoh. Karena itu menyangkut aib. Manuver dakwah yang direncanakan dengan sistematis pun kebanyakan dirahasiakan. Materi ceramah dengan konten dan istilah khusus, yang bila didengar orang yang tak paham akan menjadi fitnah, juga dirahasiakan. Dan ada banyak hal lagi yang perlu dirahasiakan dalam barisan dakwah. Semua itu ada maslahatnya.
Karena itu seorang da’i yang ingin bergabung dalam barisan dakwah, harus membiasakan diri memegang hal yang dianggap rahasia. Janganlah menjadi da’i ember.
Da’i Ember
Kenyataannya tak semua orang yang bisa memegang rahasia dengan jujur. Kasus Hatib bin Abi Balta’ah bisa menjadi contoh. Kalau tak memiliki jasa sebesar Hatin bin Balta’ah, maka janganlah menjadi da’i ember yang ringan mengumbar rahasia. Kalau tidak, bisa-bisa terjerumus dalam perbuatan nifaq.
Kesertaan dalam perang Badar adalah jasa yang tak dapat tersaingi. Apalagi oleh aktivitas da’i zaman sekarang. Sekedar membela jama'ah mati-matian di media sosial, atau mengajari rekan seperjuangan mengelola blog, rasanya tidak akan pernah bisa setara dengan berpeluh berdarah di wilayah di sekitar sumur Badar 15 abad yang lampau.
Karakter da’i ember tak sekedar mengumbar rahasia, tapi juga menyebar informasi yang masih sumir. Padahal Alloh swt sudah memberikan standard operating procedure yang tertera dalam Al Qur’an surat An-Nisa ayat 83. Serahkan pada qiyadah atau otoritas berwenang sebagai sumber kabar yang shohih!
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rosul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rosul dan ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Alloh kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa : 83)
Syahwat broadcast –meminjam istilah seorang teman– memang sudah terjadi sejak dahulu. Perilaku manusia terhadap informasi tidak pernah berubah dari dulu hingga kini. Makanya Alloh menurunkan Al Qur’an yang akan selalu sesuai dengan segala zaman, termasuk zaman booming media informasi seperti sekarang.
Saat belum dikenal teknologi informasi, penyebaran sebuah kabar beredar melalui mulut dan telinga. Hingga Rosululloh saw bersabda, “Cukuplah seseorang disebut sebagai pendusta apabila ia mengatakan semua yang didengar” (HR Muslim). Seseorang yang tidak mampu menyaring informasi, akan terjebak pada kegiatan menyebarkan berita hoax. Karena sifat berita bila diestafetkan ia akan dibumbui berbagai macam kabar tambahan.
Di zaman ini, seorang yang memiliki akun media sosial atau blog punya godaan besar memposting atau membagikan informasi yang ia dapat, baik dari dunia nyata maupun dari timeline socmednya. Termasuk seseorang yang beriltizam berjuang dalam barisan dakwah. Godaan itu pun dirasakan juga.
Contohnya memposting susunan pengurus sebuah kepanitiaan atau lembaga di dalam organisasi dakwah melalui blog, yang qiyadah sendiri tidak pernah mengumumkan itu secara terbuka. Bahkan parahnya kadang dibumbui sebuah gosip bahwa lembaga itu untuk menghakimi anu.
Ada yang menganalisa motivasi da’i ember ini. Bisa karena ingin pamer karena memiliki info yang orang lain tidak tahu. Atau memang karena terlalu lugu menganggap semua hal tidak ada yang rahasia. Atau karena alasan ekonomis, menginginkan kenaikan traffic pada blog yang dikelolanya. Kalau yang terjadi pada Hatib bin Abi Balta’ah, alasannya karena kecintaan pada keluarganya yang kemudian Alloh tegur.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana bila 'Umar bin Khoththob r.a. hidup di zaman sekarang lantas bertemu da’i-da’i ember di dunia maya ini.
Bila bertemu da’i ember di dunia maya atau pun nyata, berhati-hatilah ketularan ke-emberan-nya! Info rahasia dan gosip itu begitu menggoda untuk disebar kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar