Sultan Sholahuddin Al Ayyubi (1137-1193) atau Saladin (versi Barat), namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang Muslim yang memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan tentara salib yang merupakan gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa.
Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan Islam yang saat itu telah tidur nyenyak dan telah lupa akan tongkat estafet yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw, maka Sholahuddinlah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan pantang menyerah yang ditunjukkan melalui “Sirotun Nabawiyah”. Hingga kini peringatan itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.
Tegas terhadap Syi’ah
Sholahuddin Al Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
Buntut dari pengepungan Kairo yang dilakukan oleh orang-orang Kristen, Asaduddin Syirkuh -paman Sholahuddin- beserta enam ribu pasukan dikirim ke Mesir dan Sholahuddin Al Ayyubi juga termasuk dari pasukan tersebut. Dengan datangnya Sholahuddin, orang-orang Kristen angkat kaki dari Mesir dan demikianlah bagaimana proses kedatangan orang-orang Ayyub di Mesir.
Asaduddin Syirkuh wafat setelah dua bulan kedatangannya di Mesir dan Sholahuddin Al Ayyubi mengambil alih posisinya sebagai panglima dan gubernur Mesir. Konsekuensi pengalihan kekuasaan ini membuat pengaruh dan kekuasaan kholifah Bani Fathimiyah yang bermazhab Syi’ah Isma’iliyah semakin berkurang dan yang tersisa hanyalah namanya saja sebagai penguasa. Hingga beberapa tahun setelahnya, Sholahuddin pada khutbah-khutbahnya menggantikan nama kholifah Abbasiyah sebagai ganti nama kholifah Fathimiyah dan demikianlah pemerintahan Syi’ah Bani Fathimiyah di Mesir menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintahan Ayyubi.
Syi’ah Isma’iliyah adalah sekte Syi’ah yang meyakini bahwa Isma’il bin Ja’far adalah imam ketujuh. Adapun mayoritas Syi’ah (Syi’ah Itsna Asyariyah) meyakini bahwa Musah bin Ja’far-lah imam ketujuh setelah Ja’far ash-Shodiq. Perbedaan dalam permasalahan pokok ini kemudian berkembang ke berbagai prinsip ajaran yang lain yang semakin membedakan ajaran Syi’ah Isma’iliyah dengan Syi’ah arus utama, Syi’ah Itsna Asyariyah, sehingga ajaran ini menjadi sekte tersendiri.
Isma’iliyah memiliki keyakinan yang menyimpang jauh dari ajaran dan akidah Islam. Sebagaimana
sekte Syi’ah lainnya, Syi’ah Isma’iliyah juga meyakini bahwa para imam terjaga dari perbuatan dosa, mereka adalah sosok yang sempurna dan tidak ada celah sama sekali. Para imam juga dianggap memiliki kemampuan-kemampuan rubbubiyah. Pendek kata, para imam merupakan perwujudan Tuhan di muka bumi.
Sholahuddin sangat menentang orang-orang Syi’ah Mesir dengan menghancurkan simbol-simbol dan syiar-syiar Syi’ah. Ia berusaha memberangus Syi’ah hingga ke akar-akarnya. Ia terkadang bersikap toleran dengan orang-orang Kristen namun bersikap tegas dan keras dalam menghadapi orang-orang Syi’ah. Sholahuddin berusaha keras menyebarkan fikih Syafi’i dan menyebarluaskan mazhab Syafi’i sebagai ganti mazhab Syi’ah Isma’iliyyah.
Pada 1171 M, Sholahuddin meruntuhkan Daulah Fathimiyah dan menurunkan kholifahnya yang terakhir dari tahtanya. Diantara peninggalan Daulah Fathimiyah yang paling berharga adalah Universitas Al Azhar yang semula mencetak sarjana-sarjana Syi’ah kemudian diganti oleh Sholahuddin menjadi universitas yang mencetak tokoh-tokoh Sunni hingga hari ini.
Sholahuddin tentulah seorang Sunni fanatik dan bermazhab Syafi’i. Tatkala berhasil merebut kekuasaan di Mesir, Sholahuddin berusaha keras untuk menyebarkan mazhab ini dan menjadikanya sebagai mazhab resmi menggantikan mazhab Syi’ah.
Berperang melawan ajaran-ajaran dan simbol-simbol mazhab Syi’ah
Sholahuddin mengisolir ulama Syi’ah dan merusak sekolah-sekolah mereka atau merubahnya menjadi sekolah-sekolah Sunni. Ia juga memerintahkan untuk membakar perpustakaan besar Bani Fathimiyyah. Dan yang paling penting adalah syiar-syiar Syi’ah harus dihentikan. Di antara syiar tersebut adalah Asyuro. Sholahuddin mengumumkan hari Asyuro sebagai hari gembira dan berpesta nasional. Tindakannya ini telah menjadi penghalang besar pelaksanaan acara Asyuro di Mesir bagi orang-orang Syi’ah. (Wadhiyyat-e Syi’ahyân Meshr dar ‘Ashr Sholâhuddin Ayyûbi, hal. 155.)
Demikian juga, ungkapan “Hayya ‘ala Khoir al-‘Amal” yang merupakan salah satu syiar mazhab Syi’ah dihapus dari azan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah 565. Ia menginstruksikan supaya nama-nama para kholifah rosyidun yang merupakan simbol Ahlisunnah disebutkan pada setiap khutbah. Pergantian para hakim Syi’ah adalah salah satu tindakan Sholahuddin dalam melenyapkan Syi’ah.
Dengan menempatkan hakim Syafi’i sebagai ganti hakim Syi’ah berusaha supaya fikih Syi’ah dihapuskan dan fikih Syafi’i dijalankan di tengah masyarakat Mesir sehingga masyarakat akrab dengan jenis fikih ini. Pada sebagian waktu berujung pada adanya pemberontakan-pemberontakan Syi’ah di beberapa daerah namun Sholahuddin lebih memilih melakukan kegiatan-kegiatan kultural dan ideologikal, namun ia tetap saja melakukan perlawanan militer melawan Syi’ah. Menjatuhkan dan mengejar orang-orang Syi’ah merupakan salah satu pekerjaan serius para menteri di bawah pemerintahan Sholahuddin. Pada masa Sholahuddin menjadi Syi’ah adalah sebuah tindak pidana dan orang-orang Syi’ah akan ditindak secara hukum dan diseret ke hadapan pengadilan yang hakimnya dipilih oleh Sholahuddin hanya karena mereka Syi’ah.
Mengatur urusan ekonomi dengan melibatkan pihak pemerintah secara aktif
Pada akhir-akhir pemerintahan Bani Fathimiyyah, kondisi ekonomi masyarakat sangat susah dan dua ratus ribu Dinar yang harus dibayar oleh rakyat setiap tahunnnya. Namun pada masa Sholahuddin, ia memberikan kelonggaran kepada rakyat untuk membayar sekali saja pajak mereka.
Hal ini dilakukan supaya rakyat akan senantiasa bergantung kepada pemerintahan Sholahuddin dan melupakan pemerintahan Syi’ah dan pemikiran Syi’ah.
Mendirikan Sekolah-sekolah Syafi’i
Sholahuddin yang berusaha menyebarkan mazhab Syafi’i mendirikan sekolah Syafi’i di Mesir dan melalui madrasah ini kebanyakan alim dan pendakwah Syafi’i akan memasuki kehidupan masyarakat sehingga dapat membantu penyebaran mazhab Syafi’i di Mesir. (Wadhiyyat-e Syi’ahyân Meshr dar ‘Ashr Sholâhuddin Ayyûbi)
Wallohu A’lam
Credit: NUgarislurus
Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan Islam yang saat itu telah tidur nyenyak dan telah lupa akan tongkat estafet yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw, maka Sholahuddinlah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan pantang menyerah yang ditunjukkan melalui “Sirotun Nabawiyah”. Hingga kini peringatan itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.
Tegas terhadap Syi’ah
Sholahuddin Al Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
Buntut dari pengepungan Kairo yang dilakukan oleh orang-orang Kristen, Asaduddin Syirkuh -paman Sholahuddin- beserta enam ribu pasukan dikirim ke Mesir dan Sholahuddin Al Ayyubi juga termasuk dari pasukan tersebut. Dengan datangnya Sholahuddin, orang-orang Kristen angkat kaki dari Mesir dan demikianlah bagaimana proses kedatangan orang-orang Ayyub di Mesir.
Asaduddin Syirkuh wafat setelah dua bulan kedatangannya di Mesir dan Sholahuddin Al Ayyubi mengambil alih posisinya sebagai panglima dan gubernur Mesir. Konsekuensi pengalihan kekuasaan ini membuat pengaruh dan kekuasaan kholifah Bani Fathimiyah yang bermazhab Syi’ah Isma’iliyah semakin berkurang dan yang tersisa hanyalah namanya saja sebagai penguasa. Hingga beberapa tahun setelahnya, Sholahuddin pada khutbah-khutbahnya menggantikan nama kholifah Abbasiyah sebagai ganti nama kholifah Fathimiyah dan demikianlah pemerintahan Syi’ah Bani Fathimiyah di Mesir menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintahan Ayyubi.
Syi’ah Isma’iliyah adalah sekte Syi’ah yang meyakini bahwa Isma’il bin Ja’far adalah imam ketujuh. Adapun mayoritas Syi’ah (Syi’ah Itsna Asyariyah) meyakini bahwa Musah bin Ja’far-lah imam ketujuh setelah Ja’far ash-Shodiq. Perbedaan dalam permasalahan pokok ini kemudian berkembang ke berbagai prinsip ajaran yang lain yang semakin membedakan ajaran Syi’ah Isma’iliyah dengan Syi’ah arus utama, Syi’ah Itsna Asyariyah, sehingga ajaran ini menjadi sekte tersendiri.
Isma’iliyah memiliki keyakinan yang menyimpang jauh dari ajaran dan akidah Islam. Sebagaimana
sekte Syi’ah lainnya, Syi’ah Isma’iliyah juga meyakini bahwa para imam terjaga dari perbuatan dosa, mereka adalah sosok yang sempurna dan tidak ada celah sama sekali. Para imam juga dianggap memiliki kemampuan-kemampuan rubbubiyah. Pendek kata, para imam merupakan perwujudan Tuhan di muka bumi.
Sholahuddin sangat menentang orang-orang Syi’ah Mesir dengan menghancurkan simbol-simbol dan syiar-syiar Syi’ah. Ia berusaha memberangus Syi’ah hingga ke akar-akarnya. Ia terkadang bersikap toleran dengan orang-orang Kristen namun bersikap tegas dan keras dalam menghadapi orang-orang Syi’ah. Sholahuddin berusaha keras menyebarkan fikih Syafi’i dan menyebarluaskan mazhab Syafi’i sebagai ganti mazhab Syi’ah Isma’iliyyah.
Pada 1171 M, Sholahuddin meruntuhkan Daulah Fathimiyah dan menurunkan kholifahnya yang terakhir dari tahtanya. Diantara peninggalan Daulah Fathimiyah yang paling berharga adalah Universitas Al Azhar yang semula mencetak sarjana-sarjana Syi’ah kemudian diganti oleh Sholahuddin menjadi universitas yang mencetak tokoh-tokoh Sunni hingga hari ini.
Sholahuddin tentulah seorang Sunni fanatik dan bermazhab Syafi’i. Tatkala berhasil merebut kekuasaan di Mesir, Sholahuddin berusaha keras untuk menyebarkan mazhab ini dan menjadikanya sebagai mazhab resmi menggantikan mazhab Syi’ah.
Berperang melawan ajaran-ajaran dan simbol-simbol mazhab Syi’ah
Sholahuddin mengisolir ulama Syi’ah dan merusak sekolah-sekolah mereka atau merubahnya menjadi sekolah-sekolah Sunni. Ia juga memerintahkan untuk membakar perpustakaan besar Bani Fathimiyyah. Dan yang paling penting adalah syiar-syiar Syi’ah harus dihentikan. Di antara syiar tersebut adalah Asyuro. Sholahuddin mengumumkan hari Asyuro sebagai hari gembira dan berpesta nasional. Tindakannya ini telah menjadi penghalang besar pelaksanaan acara Asyuro di Mesir bagi orang-orang Syi’ah. (Wadhiyyat-e Syi’ahyân Meshr dar ‘Ashr Sholâhuddin Ayyûbi, hal. 155.)
Demikian juga, ungkapan “Hayya ‘ala Khoir al-‘Amal” yang merupakan salah satu syiar mazhab Syi’ah dihapus dari azan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah 565. Ia menginstruksikan supaya nama-nama para kholifah rosyidun yang merupakan simbol Ahlisunnah disebutkan pada setiap khutbah. Pergantian para hakim Syi’ah adalah salah satu tindakan Sholahuddin dalam melenyapkan Syi’ah.
Dengan menempatkan hakim Syafi’i sebagai ganti hakim Syi’ah berusaha supaya fikih Syi’ah dihapuskan dan fikih Syafi’i dijalankan di tengah masyarakat Mesir sehingga masyarakat akrab dengan jenis fikih ini. Pada sebagian waktu berujung pada adanya pemberontakan-pemberontakan Syi’ah di beberapa daerah namun Sholahuddin lebih memilih melakukan kegiatan-kegiatan kultural dan ideologikal, namun ia tetap saja melakukan perlawanan militer melawan Syi’ah. Menjatuhkan dan mengejar orang-orang Syi’ah merupakan salah satu pekerjaan serius para menteri di bawah pemerintahan Sholahuddin. Pada masa Sholahuddin menjadi Syi’ah adalah sebuah tindak pidana dan orang-orang Syi’ah akan ditindak secara hukum dan diseret ke hadapan pengadilan yang hakimnya dipilih oleh Sholahuddin hanya karena mereka Syi’ah.
Mengatur urusan ekonomi dengan melibatkan pihak pemerintah secara aktif
Pada akhir-akhir pemerintahan Bani Fathimiyyah, kondisi ekonomi masyarakat sangat susah dan dua ratus ribu Dinar yang harus dibayar oleh rakyat setiap tahunnnya. Namun pada masa Sholahuddin, ia memberikan kelonggaran kepada rakyat untuk membayar sekali saja pajak mereka.
Hal ini dilakukan supaya rakyat akan senantiasa bergantung kepada pemerintahan Sholahuddin dan melupakan pemerintahan Syi’ah dan pemikiran Syi’ah.
Mendirikan Sekolah-sekolah Syafi’i
Sholahuddin yang berusaha menyebarkan mazhab Syafi’i mendirikan sekolah Syafi’i di Mesir dan melalui madrasah ini kebanyakan alim dan pendakwah Syafi’i akan memasuki kehidupan masyarakat sehingga dapat membantu penyebaran mazhab Syafi’i di Mesir. (Wadhiyyat-e Syi’ahyân Meshr dar ‘Ashr Sholâhuddin Ayyûbi)
Wallohu A’lam
Credit: NUgarislurus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar