Alkisah, seorang raja yang butuh beberapa senjata mendatangi seorang pandai besi terkenal yang tinggal di sebuah desa. Membawa bahan-bahan terpilih, raja ditemani pengawalnya membuat perjanjian dengan pandai besi yang telah menyanggupi pengerjaan senjata-senjata itu dalam waktu yang telah ditentukan.
Sambil menjabat tangan dengan pandai besi itu, raja berpesan, “Bila ada senjata yang telah selesai dibuat, sebelum diserahkan kepada saya, jangan kau serahkan kepada orang lain! Walaupun itu anggota keluargamu sendiri. Senjata ini juga bukan untuk dipamerkan kepada orang lain. Simpan baik-baik senjata yang telah selesai dibuat sampai saya mengambilnya!” Pandai besi menyetujui.
Sepulangnya raja ke istana, pandai besi pun mulai bekerja. Ia tempa bahan-bahan terpilih yang telah diserahkan padanya dengan sungguh-sungguh. Api membara. Panasnya memancar ke seluruh ruangan. Tapi tak mengganggu pandai besi yang memukul-mukul bahan itu di atas kobaran bara.
Berhari-hari si pandai besi mengerjakan sebuah pedang dengan desain unik pesanan raja. Setelah pedang itu jadi, ia pandangi dengan kagum ukiran-ukiran di mata pedang yang telah ia tempa. Namun itu baru satu senjata. Ada beberapa lagi yang harus segera dikerjakan sebelum waktunya habis. Maka si pandai besi tak mau lama-lama mengagumi hasil kerjanya. Ia letakkan pedang berwarna biru berkilau itu di sebuah tempat, lantas menyiapkan bahan lainnya. Sebuah golok yang tak kalah indah akan segera diciptakan.
Pandai besi kembali bekerja bersama panas menyengat dan lidah api yang menyambar-nyambar. Palu dan gada ia pukulkan ke atas bahan yang memuai oleh panas. Ia tak sadar anak sulungnya yang masih berusia bocah telah memasuki ruang kerjanya. Mata si anak sulung itu menangkap sebuah benda berkilauan yang punya ukiran indah di sebuah tempat. Ya, itu adalah pedang yang telah dibuat oleh pandai besi. Anak sulung pandai besi itu mendekat, dan tanpa sungkan mengangkat gagang pedang itu.
Mengetahui pedang pesanan raja sedang dalam genggaman anaknya, si pandai besi terkejut dan menghardik, “Letakkan pedang itu!” ujarnya. “Benda itu tak boleh orang lain pegang selain saya dan raja.”
Si anak patuh. Diletakkan pedang itu ke tempat semula. Tapi tak lama dibujuknya sang ayah agar ia diperbolehkan mengagumi keindahan pedang itu. “Hanya di tempat ini. Aku tak kan membawa pedang itu keluar,” rengek si anak.
Pandai besi menolak. Tetapi rengekan itu terus mengganggunya. Akhirnya pandai besi menyerah dan memperbolehkan anaknya sekedar memegang dan memandangi pedang itu.
Selesai memuaskan diri dengan memandangi hasil kerja ayahnya, si anak pun pergi. Dan pandai besi terus bekerja. Tapi esoknya anak itu kembali ke ruangan kerja pandai besi sembari menangis.
“Aku terlanjur cerita dengan kawan-kawan tentang pedang yang indah itu. Mereka tak percaya dan mengolok-ngolokku sebagai pembohong,” adu anak itu. “Izinkan aku membawa keluar pedang itu, sekedar untuk ditunjukkan kepada teman-teman. Agar aku tidak dituduh pembohong,” rengek si anak.
Seperti yang sudah-sudah, awalnya pandai besi tak mau. Namun si anak terus merengek dan menangis hingga hati pandai besi luluh dan mengizinkan. Terbit iba di hatinya, tak ingin anaknya diolok-olok orang sebagai pembohong. Maka dibawalah pedang itu oleh si anak ke luar rumah.
Sekejap kemudian cerita keindahan pedang buatan pandai besi menyebar ke seantero desa. Penduduk desa itu berbondong-bondong mendatangi rumah pandai besi. Seorang sahabat si pandai besi memohon-mohon sembari mengungkit kebaikan agar pandai besi mengizinkan untuk melihat pedang itu dari dekat serta merasakan tebasannya. Juga para tetangga pandai besi, mereka mengajukan permintaan yang sama. Ingin melihat dari dekat, bahkan menyentuhnya. Tiap hari pandai besi kedatangan tamu yang ingin membuktikan keindahan pedang itu. Tak cuma pedang, mereka juga juga ingin melihat dan memegang golok, lembing, dan senjata lain yang telah dibikin pandai besi.
Hingga waktu yang telah ditentukan tiba, raja beserta pengawal mendatangi rumah pandai besi yang sedang dikerumuni orang banyak. Dan tahulah raja, bahwa pesannya telah dilanggar oleh pandai besi itu. Ia pun murka dan menghukum pandai besi yang tak bisa mengelak dari kesalahannya itu.
***
Bila kita tak setuju dengan tindakan pandai besi pada cerita tadi, lantas bisakah kita menerima perilaku kita yang suka menggandakan tujuan dalam ibadah? Semestinya, tiap ibadah kita ditujukan hanya untuk Alloh. Allohu ghoyatuna, Alloh tujuan kita. Tetapi kenyataannya sering tanpa disadari amal ibadah yang telah kita kerjakan dengan sungguh-sungguh dipamerkan pula kepada orang lain.
Kadang yang kita lakukan itu berupa riya’, memamerkan amal ibadah. Awalnya teman kantor heran mengapa kita sering tidak ada di tempat sekitar pukul sembilan pagi. Demi menjawab pertanyaan teman-teman, kita ajaklah mereka menghampiri musholla kantor di sekitar waktu tersebut untuk ikut mengerjakan sholat dhuha. Tindakan begitu bila ikhlas karena Alloh, maka akan sangat bagus sekali karena sudah menjadi pelopor untuk mengerjakan kebiasaan yang baik. Tetapi bila akhirnya niat melenceng atas bisikan setan, mengharap pujian, habis sudah sholat-sholat dhuha yang telah kita kerjakan tak bersisa. Dan datanglah kemurkaan-Nya.
Atau yang kita lakukan berupa sum’ah, memperdengarkan amal. Awalnya tak ada yang tahu bahwa kita telah bersedekah. Tetapi setan membisiki, “Yayasan itu butuh sumbangan lebih besar.” Maka kita pun bercerita kepada teman-teman tentang yayasan yang sedang butuh dana, sembari mengungkit besaran yang telah kita sumbangan. Bila tindakan itu ikhlas karena Alloh, maka akan menjadi amal yang baik karena telah menginspirasi orang lain untuk berbuat kebaikan. Tetapi bila niat melenceng, percuma sudah apa yang diinfakkan.
Setan selalu menyodorkan alasan kepada kita untuk memamerkan amal ibadah yang telah kita perbagus hanya untuk Alloh. Mungkin kita tidak ingin diremehkan sebagai orang yang kurang ilmu, maka kita pamerkan ilmu kita dalam sebuah diskusi. Atau ingin agar orang lain tahu bahwa kita sangat pantas ditunjuk menjadi imam tetap di masjid dekat rumah, maka sekali waktu kita dapat kesempatan menjadi imam, bacaan Qur’an kita perbagus.
Padahal pesan Alloh, jangan sampai ibadah yang kita perbuat ditujukan juga untuk pihak lain. Entah agar mendapat pujiannya, atau terlindung dari kecurigaannya. Alloh inginkan keikhlasan dalam amal perbuatan.
“Katakanlah: sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Alloh, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Alloh)”. (QS. Al-An’aam: 162-163).
Allohu a’lam bish-showab.
Credit: www.muslimpolitan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar