Gambar: Bangsal Kepatihan Danurejan Yogyakarta dan adegan Pangeran Diponegoro memukulkan selop ke wajah Danurejo IV dalam Babad Kedung Kebo. |
Namanya Mas Tumenggung Sumodipuro, bupati Kasultanan Yogyakarta untuk wilayah Japan, Mojokerto sekarang.
Selama menjabat, kecakapannya memerintah membuat wilayahnya adalah yang termakmur di Mancanegara Timur. Ini yang membuat Bendara Pangeran Haryo Diponegoro mempromosikan Sang Bupati pada ayahnya untuk menduduki jabatan Patih, menggantikan Raden Adipati Danurejo III yang telah uzur.
Selama menjabat, kecakapannya memerintah membuat wilayahnya adalah yang termakmur di Mancanegara Timur. Ini yang membuat Bendara Pangeran Haryo Diponegoro mempromosikan Sang Bupati pada ayahnya untuk menduduki jabatan Patih, menggantikan Raden Adipati Danurejo III yang telah uzur.
Sultan Hamengkubuwono III yang selama memerintah memang selalu amat memerhatikan saran-saran putra sulungnya, merasa heran dengan pilihan sang pangeran. Menurutnya, Sumodipuro masih terlalu muda, berasal dari kalangan rakyat biasa, dan logat Jawa Wetan-annya yang dianggap kasar sering jadi cibiran para pejabat lain. Tapi Diponegoro meyakinkan ayahnya. Dan Sumodipuro pun dilantik menjadi Pepatih Dalem Danurejo IV pada 2 Desember 1813. Jabatan ini akan didudukinya hingga 34 tahun kemudian, 1847.
Dengan latar belakang yang lemah di hadapan para pejabat lain, pada awal bertugas, Danurejo IV hanya dapat memegang kendali pemerintahan dengan dukungan penuh Diponegoro. Berkat pasang badannya sang Pangeran atas segala kebijakannya, Danurejo IV melewati tahun-tahun pertama jabatannya yang sebenarnya penuh rongrongan dengan prestasi gemilang.
Tapi Danurejo IV menyembunyikan sesuatu di hatinya. Dan itu adalah sebuah luka. Luka karena hidup dalam bayang-bayang.
Dia merasa bahwa seakan-akan seluruh dunia berkata padanya, “Kamu bukan apa-apa seandainya bukan karena Pangeran Diponegoro.” Dia merasa bahwa semua mata menatapnya dengan pandangan meremehkan. Ketika dia bicara, seakan para bawahannya saling lirik dengan bibir dimencongkan, pula semua mulut kasak-kusuk menggunjingnya di belakang.
Anehnya, segala budi baik Diponegoro padanya justru bagaikan taburan gula yang makin membusukkan luka di hatinya. Terobsesi untuk membuktikan bahwa dirinya bisa, dirinya mampu, dan dirinya hebat tanpa Sang Pangeran membuat sang pejabat yang terjangkit sindrom ‘kere munggah bale’ ini kian gelap mata. Ketika Hamengkubuwono III mangkat dan digantikan Raden Mas Ibnu Jarot yang masih kanak-kanak sebagai Hamengkubuwono IV pada 1816, sang Patih mulai menunjukkan kedurjanaannya.
Dia mulai mengganti pejabat-pejabat bawahannya dengan para penjilatnya dan merumuskan berbagai kebijakan yang merugikan rakyat. Ini semua bersebab di luar Pangeran Diponegoro yang mulai lebih banyak berdiam di Tegalrejo, sosok-sosok kuat lain yang dia dapati mampu menjadi patron pelindungnya hanyalah Pemerintah Kolonial Belanda. Orang-orang asing yang amat berkepentingan terhadap Keraton ini menggunakannya sebagai alat bagi segala keuntungan mereka.
Maka naskah Jawa zaman itu mulai menggambarkannya sebagai seorang rusak. Dia disebut “setan kulambi manungso”, syaithon berbaju manusia, yang “angecu sarwi lenggah”, merampok rakyat sembari duduk manis. Sebaliknya, Jenderal Herbert Merkus de Kock, musuh Diponegoro dalam perang Jawa mencatat sang Patih dalam memoarnya sebagai, “Seorang Jawa yang baik, berbusana rapi, suka mengendarai kuda dengan gagah, punya gundik-gundik cantik, dan tak bisa lepas dari pipa madat.”
Untuk memuaskan hatinya yang luka, Danurejo IV rela menjual jiwanya untuk menjadi antek asing.
Antiklimaks hubungannya dengan Sang Pangeran terjadilah. Dalam sebuah penghadapan di awal masa bertakhtanya Sultan bayi Hamengkubuwono V, 1822, menanggapi berbagai laporan atas kesewenang-wenangan anak buah Danurejo IV, Diponegoro selaku Wali Sultan menginterogasinya di paseban, dan sang Patih terus mengelak dengan berbagai dalih. Tak mampu menahan emosi, Pangeran yang amat disegani itu menarik salah satu selop alas kakinya dan dengan langkah murka mendekati Danurejo IV yang duduk bersembah dan memukulkan selop itu ke kepala dan wajah sang patih.
Penghinaan yang direkam oleh Babad Kedung Kebo itu takkan pernah dilupakan oleh Danurejo IV sepanjang hidupnya.
Ketika dalam suatu pesta bersama Belanda, disajikan anggur dan beraneka minuman keras, Danurejo IV hendak membalas penghinaan dengan sebuah gelas yang dia tahu Diponegoro takkan sudi meminum isinya. “Santri udik itu malam ini akan dipermalukan di tengah pesta orang beradab,” batinnya. Tapi Diponegoro melakukan hal yang kian menyalakan dendam Danurejo IV. Begitu gelas diterima, sang Patih kaget karena wajahnya basah di-kapyuk, tersiram wine yang dihempaskan Sang Pangeran.
Semenjak itu, seluruh hidup Danurejo IV akan didedikasikan untuk menghancurkan kedudukan Pangeran Diponegoro di Keraton Yogyakarta. Dan untuk itu, dia memperoleh mitra yang sama dungunya; Residen A.H. Smissaert. Orang yang telah menaikkannya ke jabatan administratif tertinggi di Keraton itu, dimusuhinya dengan sepenuh kedengkian.
Di dunia ini banyak kisah tentang orang terluka, bahkan sejak zaman Rosululloh saw.
Aus dan Khozroj yang sepakat berdamai telah hendak mengangkatnya menjadi Raja Yatsrib. Mahkota dan singgasana telah disiapkan, harinya pun ditentukan. Tetapi Muhammad saw datang dari Makkah membuat orang-orang berpandangan bahwa, “Jika kita memiliki Nabi utusan Alloh, apa perlunya ada Raja?”
‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul yang batal jadi raja itu terluka. Luka yang bukannya dia sembuhkan dengan mengakui keutamaan Rosululloh saw yang dengan itu akan membuatnya menjadi tokoh Anshor paling terkemuka; tapi justru dijaganya luka itu agar kian bengkak, bernanah, dan busuk.
“Mereka menyangka tiap teriakan keras ditujukan pada mereka.” (QS. Al Munafiqun: 4)
Karena luka itu dijaganya tetap sebagai luka, maka tak beda apakah dipukul palu ataupun dijabat dengan sarung tangan beludru dia tetap merasa kesakitan. Dia menanggapi uluran tangan Rosululloh saw yang hendak membimbingnya ke jalan hidayah dan kemuliaan dengan raungan kepedihan. Dia menyambut uluran lembut Sang Nabi saw dengan jerit kesakitan. Dia selalu melebih-lebihkan dan bertingkah dengan rasa terancam yang begitu tinggi.
Di hadapan Rosululloh saw dia menunjukkan wajah paling manis, kata-kata paling lembut, dan dukungan bertabur puja-puji paling meyakinkan. Tapi di belakang, digalangnya kekuatan penentang paling keras, dikontaknya Yahudi maupun Quroisy, didirikannya Masjid Dhiror untuk pecah belah, ditiupkannya berbagai fitnah keji termasuk pada Ibunda ‘Aisyah, dan dibangkit-bangkitkannya permusuhan jahiliyah.
Di dunia ini banyak kisah tentang orang terluka, pula di negeri kita. Mereka yang seperti ‘Abdulloh ibn Ubay dan Danurejo IV, demi luka hatinya rela menjual diri untuk kepentingan musuh bangsa, musuh agama.
@salimafillah
Yang saya heran keturunan Danurejo IV dr 1 sampai 8 , menjadi kyai kyai penerus Rosululloh , bkn sebagai pecundang yang mabuk- msbukan. Adakah sejarah yang tertulis baik dikeraton atau yang lain nya yang mengisahkab tentang beliau, 34 Tahun mempin Keraton, kok sampai tidak tercatat dalam sejarah, apa sebenarnya yang terjadi ?
BalasHapusAda buku sejarah yg ditulis Prof. Peter Cerey mengenai Kuasa Ramalan P. Diponegoro dan lain2 disitu disinggung Danureja IV
HapusSatu hal lagi DN IV satu satunya patih yg bukan turunan Danureja I/ Yudonegoro III
Pak Mahfudz redhowy dari Wonoboyo ya...
Pak Sigit Purwanto penulis pertama Babad Surodipo ditemani Joko Triyanto, kemudian,saya menyempurnakan dgn sumber2 sejarah lain