Apakah yang kita harapkan dari anak-anak kita? Apakah yang ingin kita petik dari upaya kita mendidik anak-anak kita? Umur belum tentu panjang. Begitu pula umur anak-anak kita. Tetapi yang pasti, kita semua akan mati dan menuju kehidupan abadi sesudah langit digulung dan bumi di lipat. Jika kita salah niat dalam mendidik anak, maka letih lelah kita mengasuh kita hanya menjadi kepayahan yang tidak membawa kebaikan sama sekali di akhirat. Apalagi jika niat salah, berpayah-payah pun enggan bersebab lebih menyukai jalan pintas yang instan.
Apakah yang kita rindui dari anak-anak kita? Penat berpeluh kita merawat dan mengasuh mereka, akan sia-sia tak berguna jika salah niat kita mendidik mereka, salah pula langkah kita dalam menjalankannya. Maka memperbaiki niat dan terus-menerus saling mengingatkan antara suami dan isteri, sangat penting untuk menjaga arah. Juga, agar tidak mudah rontok tatkala menghadapi kesulitan dalam proses mendidik anak. Kita perlu ingat, setiap perjuangan memang memerlukan kesediaan untuk berpayah-payah. Bahkan kita kadang harus sakit. Tapi jika kita punya cita-cita kuat, maka sungguh sakit yang mendera badan itu akan lebih ringan kita rasakan di hati. Bukan tak terasa sakitnya, bukan pula kita ingin menderita, tetapi kepayahan itu tak memberatkan langkah kita, tidak juga membuat kita berputus asa sehingga segera mencari jalan pintas dalam mendidik anak-anak.
Ingatlah tidak ada kedewasaan yang bersifat instan. Tidak pula ada kesholihan yang instan. Sulap pun yang tampak instan, sesungguhnya tidak instan. Pesulap perlu belajar lama untuk dapat melakukan atraksi sulap dengan cepat. Kalaulah ada yang instan, itu adalah minuman instan atau mie instan. Itu pun, proses menuju ke sana tidak instan. Maka, mengapakah kita menginginkan perubahan yang terjadi dalam sekejap dalam mendidik anak-anak kita, padahal kita mengharapkan manfaatnya untuk masa yang sangat panjang?
Mari sejenak kita bertanya pada diri sendiri, atas berbagai hal yang kita lakukan terhadap anak, termasuk les yang kita berikan kepada anak-anak kita, sebenarnya untuk kepentingan mereka atau demi memuaskan keinginan kita? Demi kebaikan mereka di masa yang akan datang ataukah demi kebanggaan kita di hadapan kawan dan kerabat untuk masa yang sesaat saja?
Jadi, yang pertama perlu kita benahi dan senantiasa kita perbaiki adalah niat kita mendidik anak. Tak putus-putus kita berupaya menata niat kita, meluruskannya agar tidak salah arah. Kita kuatkan niat beriring dengan menjaga khosy-yah, yakni rasa takut kita kalau-kalau meninggalkan generasi yang lemah di belakang kita sebagaimana Alloh Ta’ala telah serukan di dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 9:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Alloh orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Alloh dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 9).
Ini berarti, rasa takut yang menjadikan kita senantiasa berhati-hati merupakan bekal penting mendidik anak, lebih penting daripada pengetahuan kita tentang teknik berkomunikasi maupun cara mengajari anak membaca. Bukan saya menyepelekan manfaat mengajari anak membaca. Saya bahkan menulis buku berjudul “Membuat Anak Gila Membaca”. Tetapi sebelum itu semua, yang harus kita miliki adalah rasa takut; rasa khawatir tentang masa depan anak sepeninggal kita yang membuat kita selalu berbenah dan menambah bekal mendidik.
Nah.
Bakda niat yang terus perlu kita perbaiki dengan saling mengingatkan antara suami dan isteri, hal berikutnya yang perlu kita pegangi adalah ikhlas dalam mendidik. Ikhlas sebenarnya merupakan bagian dari niat, tetapi kita perlu bahas tersendiri agar lebih jelas dan membekas pada diri kita.
Apakah ikhlas itu? Melakukan amal dan ibadah semata-mata untuk meraih ridho Alloh Ta’ala. Jadi, kata kuncinya adalah melakukan dan apa yang dilakukan tersebut semata-mata untuk mencari wajah Alloh Ta’ala; dalam keadaan berat maupun ringan. Meskipun merasa berat dengan kebaikan yang patut kita lakukan, tetapi jika kita tetap mengerjakannya demi untuk meraih ridho Alloh ‘Azza wa Jalla, maka sesungguhnya itulah ikhlas.
Tetapi…
Keinginan saja tidak cukup. Kita dapat mengatakan bahwa jerih-payah kita mendidik anak hanyalah untuk meraih ridho Alloh subhanahu wa ta’ala. Tetapi apakah cara yang kita tempuh dalam mendidik anak? Adakah cara kita merupakan cara yang Alloh Ta’ala ridhoi; cara yang Alloh Ta’ala sukai? Adakah cara itu bersesuaian dengan tuntunan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam ataukah justru menyelisihinya? Inilah yang perlu kita telisik pada diri kita. Bagaimana kita akan mencari ridho Alloh ‘Azza wa Jalla jika cara kita mendidik anak justru menyelisihi sunnah? Apalagi jika sampai nyata-nyata bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah.
Ini berarti kita perlu berusaha untuk mengilmui tuntunan mendidik anak. Kita perlu berusaha membekali diri dengan ilmu sebelum Alloh Ta’ala karuniai keturunan kepada kita. Bukan tidak boleh belajar psikologi maupun pengetahuan parenting lainnya, tetapi terlebih dahulu membekali diri dengan pemahaman terhadap tuntunan agama dan mengokohkan iltizam (komitmen) terhadapnya. Bekal ini perlu terus kita perbarui. Begitu pula keyakinan dan komitmen kita kepada sunnah, perlu senantiasa kita perbaiki. Dan sekiranya kita belum membekali diri dengan tuntunan agama, maka sekarang inilah saatnya memperbaiki bekal ilmu kita.
Ini semua perlu kita lakukan agar langkah kita mendidik anak sejalan dengan niat. Sekali lagi, bagaimana kita akan mengatakan bahwa kita benar-benar ikhlas mendidik anak; benar-benar mencari ridho Alloh Ta’ala sedangkan cara yang kita tempuh justru menyelisihi agama?
Semoga Alloh Ta’ala ampuni saya atas kelalaian saya yang telah berlalu serta atas kurangnya bekal agama dalam mendidik anak. Semoga pula Alloh Ta’ala ampuni saya atas kelalaian saya menyiapkan istri serta keluarga. Semoga Alloh Ta’ala mudahkan Anda dalam mendidik sesuai tuntunan agama. Semoga pula Alloh Ta’ala kokohkan keikhlasan kita mendidik dan mengasuh anak-anak kita.
Sesungguhnya, keikhlasan mendidik serta lurusnya niat menjadikan kita lebih mudah ridho terhadap berbagai kesulitan maupun hambatan yang kita jumpai dalam mendidik anak. Kesulitan boleh jadi muncul dari perilaku anak, boleh jadi pula muncul dari lingkungan sekeliling kita maupun kejadian yang mengiringi kehidupan kita. Teriknya panas dapat mencegah seseorang dari berbuat kebaikan di luar rumah, semisal mengantarkan anak belajar ke rumah seorang ‘alim. Tetapi kaki kita akan lebih ringan melangkah apabila ridho terhadap kesulitan yang terjadi, atau bahkan itu pun tak terasa sebagai kesulitan buat kita.
Mohammad Fauzil Adhim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar