Dia
sangat bersih, wajahnya berseri-seri, bagus perawakannya, tidak merasa berat
karena gemuk, tidak bisa dicela karena kepalanya kecil, elok, dan tampan, di
matanya ada warna hitam, bulu matanya panjang, lehernya jenjang, matanya jelita,
memakai celak mata, alisnya tipis, memanjang dan bersambung, rambutnya hitam,
jika diam dia tampak berwibawa, jika berbicara dia tampak menarik, dia adalah
orang yang paling elok dan menawan jika dilihat dari kejauhan, tampan dan manis
setelah mendekat…
-Ummu
Ma’bad al-Khuza’iyyah, tentang Rosululloh-
SAYA penasaran, adakah
di antara Anda yang pernah ditengarai para sahabat Anda sendiri sebagai ‘ikhwan
pesolek’? Berpenampilan menarik, mungkin. Dan apa salahnya, karena Sang Nabi
pun berpenampilan sangat menarik? Tapi adakah yang seekstrim deskripsi ini:
seorang pria dengan tas kerja Alfred
Dunhill di tangan, memasuki sebuah salon kecantikan. Sekitar satu jam
berselang, keluarlah dia setelah mendapat layanan creambath, facial, manicure, dan pedicure. Pria itu tampak lebih segar di balik Kenzo dan Hugo Boss yang
membungkus tubuhnya. Aroma mewah parfum Bvlgari
merebak dari tubuhnya.
Seperti Anda, saya
juga berpikir, “Wah, ini sih keterlaluan”. Tapi beberapa waktu lalu tren ini
mendunia. “Mark Simpson di pertengahan dekade 90-an lah,” tulis Michael Flocker dalam buku The Metrosexual Guide to Style, “Yang membuat istilah untuk tren
pria yang revolusioner ini; metroseksual. Saya katakan revolusioner karena
beberapa tahun sebelumnya perawatan kulit, perawatan kuku serta rambut, dan narsisme serta perhatian terhadap mode
busana pada pria identik dengan homoseksualitas.”
Kode
Maskulin yang Berubah
Persolekan dan
homoseksualitas, sedekat apa hubungannya sebelum itu? Wallohu a’lam. Sementara mufassir berpendapat, kemakmuran kaum Luth
memang telah menggiring mereka menjadi bangsa pesolek. Di saat itulah penduduk
kota Sodom dan Gomorah mengalami gangguan perkaguman. Apa itu? Karena seringnya
berdandan, para lelaki jadi mengagumi ketampanan. Dan dari sanalah bencana keji
itu dimulai.
Lepas dari pendapat
Michael Flocker yang menyatakan bahwa tren metroseksual ini revolusioner karena
mengubah pandangan umum dengan menggemakan ‘yang berdandan itu tak selalu gay’,
saya melihat ada sebuah gejala bahwa masyarakat dunia semakin longgar terhadap
ketabuan perbuatan kaum Luth ini. Ini tentu keprihatinan. Dan setiap hal yang
kita prihatinkan agaknya selalu membola salju ketika berada ditangan
kepentingan bisnis para pemilik modal. Dari sinilah kode maskulin berubah —atau
diubah. Mungkin memang bukan untuk kepentingan kaum Luth, tapi dekat-dekat lah.
Tren metroseksual
ini digulirkan membersamai kepentingan para pebisnis gaya hidup sejak beberapa
tahun lalu. Seperti kejadian suatu hari dalam tahun 2003, di Tokyo Beauty
Center. Publik berebut memelototi seorang lelaki yang duduk di bawah poster Gone with The Wind. Sang isteri duduk di
sebelahnya. Mereka berbicara dan tersenyum di depan kamera yang menyorot.
Mereka sedang menjajakan sebuah produk perawatan wajah. Dan orang beramai-ramai
antre untuk membeli produk tersebut karena pria yang duduk sambil tersenyum itu
adalah David Beckham.
Sekitar 2,5 juta
USD Beckham dibayar untuk ngobrol dan tersenyum kali itu. Mungkin membuat
geleng-geleng kepala. Tetapi Beckham adalah ikon metroseksual dunia. Ia
digandrungi bukan hanya karena umpan-umpan akurat dan tendangan bebasnya yang
mencekat. Ia adalah trendsetter gaya
rambut dan perawatan kulit. Parfumnya, pakaian yang dikenakan, hingga mobil
yang dipakainya ke mana-mana menjadi mode. Sang isteri, Victoria ‘Posh Spice’,
pernah membuat pengakuan, “Saya hanya perlu setengah jam untuk bersiap ke luar
rumah. Dia? Setidaknya dua jam untuk dandan!”
Memilih Beckham
sebagai ikon adalah cerdik. Inilah yang membalikkan semua citra negatif pria
berdandan. Beckham bukan gay, bukan homoseks. Dia seorang suami dan ayah yang
dalam ukuran budayanya ‘baik’ dan ‘bertanggungjawab’. Beckham juga tidak kemayu. Ia pemain sepakbola, permainan
yang selama ini lekat dengan maskulinitas. Sangat lelaki. Dan Beckham seolah menjadi
simbol profesionalisme kerja. Di lapangan dia memberi umpan manis untuk para striker. Di luar lapangan, Manchester
United dan Real Madrid pernah merasakan manisnya jadi klub terkaya sejagad
karena Beckham.
Lengkap sudah citra
Beckham untuk mendongkrak metroseksualitas:
lelaki sejati, ayah dan suami yang ‘baik’, maskulin, serta profesional.
“Beckham”, kata Dr. Andre Parker, sosiolog dari University of Warwick, “Telah
menghancurkan dan menyusun ulang kode maskulin.” Maka tren ini pun segera
menjadi sebuah wabah bagi para profesional muda di kota-kota.
Hasil riset Euro
RSCG pada paruh kedua tahun 2004 yang mencoba memantau perilaku pria di Inggris
dan Amerika untuk penampilan fisik mereka, menunjukkan 89 persen responden
mengaku bahwa merias dan mempercantik penampilan diri adalah hal penting bagi
mereka. Saat digali lebih dalam konteksnya terletak pada semakin banyaknya
wanita yang memasuki dunia kerja. Munculnya para wanita yang bekerja membuat
para pria merasa harus tampil seimbang dengan para wanita yang secara alami
cantik, rapi, dan terawat. Ini persaingan antar gender, Bung!
Lingkaran setannya:
ketika para wanita mulai memberi perhatian dan merasa ‘Wow!’ terhadap pria-pria
jenis ini, semakin banyaklah pria yang berlomba menjadi metroseks hingga tak
canggung ke luar masuk salon. Benar-benar wabah. Prosesnya persis seperti
kaidah epidemi Malcolm Gladwell.
Pria
Masa Depan
Untuk Anda yang
tiba-tiba bersemangat menjadi pria metroseksual, saya akan memberi sebuah kabar
yang tak terlalu menggemberikana. Tren ini, insya Alloh segera berakhir. Karena
didasari motif tertentu yang cepat terkuak oleh sasaran maka keruntuhan tren
metroseksual sangat bergegas.
Marian Salzman,
kepala riset di Euro RSCG bersama Ira Matathia dan Ann O’Relly di paruh akhir
tahun 2005 merilis buku barunya, The
Future of Men. Siapakah pria masa depan menurut riset Salzman dan
kawan-kawan? Uberseksual!
Mungkin ada di
antara kita yang masih terngiang kata-kata “Deutsche
uber Alles! Bangsa Jerman di atas segala bangsa!” dalam pidato Hitler.
Istilah uber diambil dari situ,
kosakata Jerman yang berarti ‘di atas’ atau ‘superior’. Konsep uberseksual
menekankan keunggulan kualitatif. “Pria uberseksual,” kata Salzman, “Adalah
pria yang menggunakan aspek positif maskulinitas, seperti kepercayaan diri,
kepemimpinan, dan kepedulian terhadap orang lain dalam kehidupannya. Pria
uberseksual sangat peduli pada nilai dan prinsip hidup. Pria jenis ini lebih
memilih untuk memperkaya ilmu dan wawasannya di sela-sela waktu kosong yang ia
miliki.”
Jika pria
metroseksual menjadikan Beckham sebagai model, dalam kategori uberseksual
masuklah nama Barrack Hussein Obama dan Sir
Paul Hewson alias Bono, vokalis U2. Bono menghabiskan waktunya untuk kegiatan
memerangi kemiskinan dan kelaparan di Afrika. Meski memiliki jadwal tur yang
padat bersama U2, Bono tidak lupa mengampanyekan perdamaian dunia. Seperti
Obama, ia gigih menyuarakan anti-perang Irak. Ia juga menjadi salah seorang
yang berada di balik gerakan penghapusan hutang negara-negara miskin. Semua
aktivitas ini membuatnya beberapa kali masuk daftar nominasi penerima Nobel
Perdamaian.
Terlepas apatah
motif Bono, ataupun semua pria uberseksual yang lain, sekali lagi dunia sedang
berubah. Dunia, kata Marian Salzman, jauh lebih berharap kepada pria-pria yang
menghabiskan waktunya untuk membaca buku, mengikuti berbagai pelatihan,
mencermati perkembangan mutakhir, dan menganalisis berbagai peristiwa daripada
mereka yang sibuk ke salon, menata rambut, mempermak wajah, dan memadupadankan
sesorisnya. Dunia berharap pada pria masa depan, pria yang memiliki perhatian
besar pada lingkungannya, nasib masyarakatnya, dan kemajuan dunia tinimbang
mereka yang begitu perhatian pada berapa kalori yang diserapnya tiap hari dan
menginvestasikan uang untuk mempercantik kulit.
Tapi sekedar
catatan, pria uberseksual bukannya tidak menarik secara penampilan. Mereka
menarik, dan uniknya semua itu alami. Sepertinya pakai baju apapun mereka
pantas. Tampi di manapun mereka elegan. Ketika berbicara semua orang ingin
mendengarkan. Ketika dia diam, semua menunggu komentarnya.
Apa rahasianya? Wallohu a’lam. Mungkin karena mereka
meletakkan harga dirinya bukan pada penampilannya itu, tetapi di otak yang
cerdas, ide-ide cemerlang, antusiasme, dan kepedulian yang tinggi. Secara
psikologis, pria metroseksual adalah gelas kosong yang dipoles, sedang pria uberseksual
adalah gelas yang penuh minuman manis. Maka akan tampak gejala kecil perbedaan
ini: para pria metroseksual selalu mencoba menarik perhatian para wanita.
Mungkin mereka penghayat setia lagu Samsons, Naluri Lelaki. Sebaliknya, para pria uberseksual sangat menghormati
wanita, tepi hebatnya, mereka lebih memilih pria sebagai sahabat-sahabatnya.
Intinya, metroseksual setia pada dirinya, sementara uberseksual setia pada
prinsipnya.
***
Nah, dunia berubah.
Manusia berubah. Dan para pejuang harus berbenah. Kelak, yang kita hadapi dalam
perjuangan menegakkan agama ini mungkin bukan para metroseksual yang takut
kulitnya legam. Tapi mereka yang begitu teguh memegang prinsipnya namun belum
mengenal bagaimana mentauhidkan Alloh ‘Azza
wa Jalla. Yang akan kita hadapi bukan para pria cengeng yang menangisi kuku
tergores, tapi mereka yang kukuh karakternya meski tak dibesarkan dalam
nilai-nilai Islam.
Sejak awal, di
jalan cinta para pejuang kita punya teladan yang lebih agung daripada para pria
uberseksual manapun. Itulah Rosululloh yang penampilan menariknya kita sebut di
awal pembicaraan. Penampilan beliau yang menarik bukanlah ide utama, yang jauh
lebih menarik adalah bahwa beliau imam di jalan cinta para pejuang yang penuh
prinsip. Insya Alloh, kita diskusikan itu di perbincangan kita selanjutnya.
Juga, kita punya gank muda yang lebih
dahsyat dari Enjolras, Combeferre dan semua kawan-kawan ABC di bagian lalu.
Mereka adalah para pemuda Kahfi.
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) kisah ini dengan
benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan
mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi [18]: 13)
Tetapi,
pertanyaannya kemudian seperti senandung nasyid ‘Izzatul Islam, “Di mana di cari pemuda Kahfi, terasing demi
kebenaran hakiki…” Pada tanya ini, alangkah inginnya saya menjawab, “Mereka di
sini! Di jalan cinta para pejuang!”
Credit: “Jalan Cinta Para Pejuang”; Salim
A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar