Selasa, 24 November 2020

Mohammad Natsir; Simbol Perekat NKRI


“Selalulah meminta kepada Tuhan dan teruslah berbuat, sehingga hidup ini menjadi lebih berarti.”
Pesan monumental ini meluncur dari politisi sejati, seorang pejuang, negarawan, ulama intelektual, Dr. Mohammad Natsir saat berpidato di depan Mahasiswa Medan tanggal 2 Desember 1953.

Pesan paling dalam yang ditanamkan seorang Natsir bukanlah tulisan berbunga-bunga apalagi retorika mengangkasa tak bertepi. Melainkan lebih banyak pesan ini berwujud dalam tindakan. Dalam masa krisis, kata-kata mesti diisi dengan makna nyata. Sebuah kata harus dapat menemukan tenaga kreatif dan kemampuannya untuk menyatukan dan membebaskan manusia. Kata dan perbuatan harus selaras dan menyatu. Bagai api dan udara, dalam perbuatan pada umumnya.

Setidaknya itulah yang ditulis Natsir sepanjang hidupnya dengan pena keikhlasan dan tinta pengorbanan. Masa-masa hidupnya adalah masa pengabdian dan pelayanannya kepada negeri tercinta. Prestasi spektakuler Natsir terekam dalam sejarah. Ketika Indonesia menjadi negara serikat sebagai produk dari KMB (Konferensi Meja Bundar) −melalui sidang RIS tahun 1950, Natsir tampil dengan melontarkan pernyataannya yang dikenal dengan “Mosi Integral Natsir”.

Implikasi dari mosi itu, Indonesia yang sudah terpecah ke dalam 17 negara bagian dapat bersatu kembali ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas jasanya ini, Soekarno mengangkatnya sebagai Perdana Menteri RI. Kedudukan ini merupakan karier politik tertinggi yang pernah dicapainya. Pada saat itu, usianya baru 42 tahun.

Terhitung sejak menyatakan merdeka, Indonesia masih terpuruk dalam kesulitan karena Belanda tetap bertahan untuk tidak mengakui kemerdekaan RI. Tidak seperti negara bekas penjajah lain yang mengakui kemerdekaan bekas koloninya, yaitu Filipina pada 1946, India pada 1947, Burma dan Srilanka pada 1948.

Upaya mempertahankan kedaulatan dari ofensif Belanda dan pergolakan-pergolakan politik tahun 1945-1950, telah menyebabkan langkah-langkah kebijakan pemerintah dalam menyejahterakan rakyat tidak optimal. Tantangan dan bahkan ancaman yang maha berat segera menghadang negara yang baru mendapatkan kedaulatannya setelah hampir empat tahun melalui revolusi kemerdekaan yang dibasahi darah dan air mata.

Secara hukum negara yang berdaulat ialah negara Republik Indonesia Serikat −sebuah negara hasil kompromi, bukan negara yang diproklamasikan pada tahun 1945. RIS yang diakui sebagai “pewaris” Hindia Belanda harus membayar pula utang yang dibuat negara kolonial yang digantikannya itu. Padahal utang itu diperbuat untuk membiayai usaha penghancuran Republik Indonesia. Betapa ironis. Tetapi begitulah keadaannya. Irian Barat pun masih di tangan Belanda. De Javasche Bank tetap berperan sebagai bank sentral. Big Five tetap menjadi urat nadi perekonomian.

Rasionalisasi TNI harus dijalankan, dengan perwira Belanda menjadi penasihat. Jika ini saja belum cukup, maka negara yang masih teramat muda ini pun masih harus pula menghadapi masalah bekas pejuang yang dikembalikan ke masyarakat. Sedangkan KNIL −yang terlatih baik dan sesuai dengan perjanjian KMB− diintegrasikan ke dalam TNI. Luka-luka Revolusi di mana-mana masih jauh mencekam ke dalam lubuk kesadaran dan kehidupan rakyat. Dan, siapakah yang bisa melupakan sekian banyak “bom waktu” kolonial yang meletus di sana dan di sini −di Bandung, di Makassar, di Ambon? Hanya saja, di atas segala-galanya kedaulatan negara −apakah itu berarti “pengakuan” seperti kata Bung Karno atau “penyerahan” sebagaimana teks resmi mengatakannya− telah berada di tangan bangsa kita. Dan itu rupanya adalah modal yang sangat berharga.

Peristiwa-peristiwa politik segera terjadi setelah RIS berdiri. Baru beberapa pekan memasuki tahun 1950, parlemen jalanan bermunculan di setiap negara-bagian atau daerah istimewa yang disponsori Belanda. Kesemuanya menuntut pembubaran negara atau daerah istimewa itu atau segera bergabung kembali ke dalam sebuah negara bagian lain. Tetapi cikal bakal dari RIS, yaitu R.I., yang berpusat di Yogyakarta dan yang telah “meminjamkan” Presiden dan Wakil Presidennya ke RIS, yang berpusat di Jakarta.

Begitulah dalam empat bulan saja negara bagian yang masih tertinggal tidak lebih dari tiga saja, yaitu Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Sumatera Timur (NST), dan Republik Indonesia (RI). NST dan NIT inipun menyerahkan masa depan mereka pada wibawa seorang pemimpin yang menjadi Perdana Menteri RIS; Mohammad Hatta; dalam perundingan dengan RI mengenai masa depan negara federal itu.

Negara Republik Indonesia setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) − yang waktu itu pecah menjadi 17 Negara Bagian, RIS diterima sebagai suatu kenyataan. Walaupun di daerah-daerah Negara Bagian itu sendiri muncul berbagai gejolak politik (political anrest) yang menuntut untuk mengakhiri atau membubarkan RIS.

Dalam suasana dorongan terwujudnya kembali negara kesatuan seperti  itu −sebagaimana yang diproklamasikan pada tahun 1945− demikian kuat, gagasan brilian pun muncul dari seorang anak bangsa; Mohammad Natsir.

Beliau berpendapat, masalah pokok yang harus dipecahkan adalah bagaimana membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), apakah itu dengan cara penggabungan negara-negara bagian ke RI Yogyakarta atau langsung semua negara-negara bagian ke NKRI, itu menurutnya adalah masalah teknis. Yang penting menurut beliau, ‘pembentukan NKRI itu harus tanpa menimbulkan konflik antar negara-negara bagian dan golongan dalam masyarakat’ (Noer 1986: 261).

Ketika mosi integral Natsir diterima parlemen, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 negara kesatuan pun kembali berdiri −meskipun Irian Barat masih merupakan wilayah sengketa. Barangkali terabaikan dalam ingatan kolektif bangsa, tetapi ini adalah peristiwa yang kedua Negara kita dipersatukan oleh tekad yang kuat.

Keseluruhan isi ‘Mosi Integral Natsir’ tertuang dalam sebuah naskah otentik DPR Sementara RIS. Pada tanggal 2 April, Mohammad Natsir menyampaikan pidato ‘mosi integral’ yang bersejarah tersebut dengan beberapa butir latar pemikiran yang penting (1) Semua negara-negara bahagian mendirikan NKRI melalui prosedur parlementer; (2) Tidak ada satu negara bahagian menelan negara bahagian lainnya; dan (3) Masing-masing negara bahagian merupakan bahagian integral dari NKRI yang akan dibentuk.

Mohammad Natsir adalah tokoh kunci dan pejuang yang gigih mempertahankan Negara Kesatuan RI. Berkali-kali dia menyelamatkan Republik ini dari ancaman perpecahan. Dialah yang pada tahun 1949 berhasil membujuk Syafruddin Prawiranegara −yang bersama Soedirman− merasa tersinggung dengan perundingan Roem-Royen untuk kembali ke Yogya dan menyerahkan pemerintahan kembali kepada Soekarno-Hatta. Dia jugalah kemudian yang berhasil melunakkan tokoh Aceh; Daud Beureuh; yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara pada tahun 1950. Terutama karena keyakinan Daud Beureuh akan kesholihan Natsir, sikap pribadi yang tetap dipegang teguh sampai akhir hayatnya.

Natsir dilahirkan dari pasangan suami-isteri Idris Sutan Saripado – Khadijah di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli 1908. Dibesarkan di tengah-tengah keluarga Muslim yang taat. Ayah seorang juru tulis kontrolir, banyak mendorongnya agar mendalami agama. Di mana pada waktu itu letak rumahnya berdekatan dengan masjid.

Demikianlah, sejak kecil mengaji jadi makanannya sehari-hari. Sejak di HIS (Hollandsch Inlandsche School) dia sudah rajin mengaji di surau. Menginjak kelas dua, tinggal di rumah seorang saudagar; Haji Musa; di Solok. Selepas maghrib, malam hari Natsir kecil biasa mengaji. Mencari guru, tempat untuk berdialog. Guru mengaji tamatan sekolah di Sumatera Thawalib.

Dorongan untuk belajar agama dari orangtua begitu kuat. Pagi sekolah umum, sore masuk madrasah diniyyah dengan belajar bahasa Arab, dan malam hari mengaji. Di situ, guru-gurunya sangat aktif berdakwah. Melihat Natsir kecil bersungguh-sungguh, guru itu tertarik. Lalu diberikan pelajaran ekstra. Lama-lama Natsir bisa mengaji kitab kuning, sementara teman-teman lain belum bisa membacanya.

Waktu itu, seorang meester in de rechten adalah seorang yang luar biasa. Jadi, cita-citanya sejak kecil menjadi Meester −sekarang disebut sarjana hukum. Sampai di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), semuanya dilalui dengan nilai baik. Malah dapat beasiswa dua puluh rupiah sebulan. Bisa beli buku dan keperluan lain.

Padahal dia sekolah sambil cari kayu bakar, memasak, membuat sambal, dan mencuci pakaian sendiri. Masih sempat pula ikut pandu NATIPIJ (Nationale Islamitische Padvindrij) dari organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB). Akhirnya, Natsir lolos dan masuk AMS (Algemeene Middelbare School) di Bandung, juga dengan mendapatkan beasiswa sebesar tiga puluh rupiah sebulan.

Di Bandung itulah pikirannya berubah. Ternyata yang bagus itu tak hanya meester. AMS (A-II), bahasa Belandanya tidak fasih. Natsir sering diejek. Soalnya sewaktu sekolah di Padang, yang dipakai sebagai bahasa pengantar adalah bahasa Indonesia. Sedangkan di Bandung, dia bertemu dengan anak-anak dari Jawa yang kemampuan bahasa Belandanya jauh lebih tinggi. Natsir kebingungan juga. Makanya dia belajar sungguh-sungguh. Sehingga dapat angka tinggi untuk bahasa Latin yang begitu sulit.

Di Bandung, sejak kelas satu, dia tetap belajar agama tanpa mengurangi ketekunan belajar di sekolah. Malah Natsir sempat jadi anggota perpustakaan museum dengan membayar iuran tiga rupiah sebulan. Dia selalu dikirimi buku-buku baru dari perpustakaan itu. Membaca jadi tabiatnya waktu di Bandung.

Kejujurannya dalam berjuang telah membawa dirinya dipercaya menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia. Kejujuran itu pula yang mengundang seorang Indonesianis; George McTurnan Kahin. Ia berkomentar untuk Natsir, “Dia (Natsir) tidak bakal berpakaian seperti seorang menteri. Namun demikian, dia adalah seorang yang amat cakap dan penuh kejujuran. Jadi, kalau Anda hendak memahami apa yang sedang terjadi dalam republik, Anda sudah seharusnya berbicara dengannya.”

Ya, Natsir tak pernah berpenampilan seperti seorang menteri dalam pengertian modern. Ia selalu tampil dalam balutan busana sederhana, lengkap dengan peci dan sorban putih yang selalu ia lilitkan di lehernya.

Sejak 1932 sampai 1942, M. Natsir diangkat sabagai direktur Pendidikan Islam di Bandung sebagai Kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung (Bandung Syiakusyo). Dari 1945 sampai 1946 sebagai anggota badan pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan kemudian menjadi wakil ketua badan ini. Pada 1946 (Kabinet Sjahrir ke-2 dan ke-3) dan 1949 (Kebinet Hatta-1) ia menjadi Menteri Penerangan Rl. Dari 1949 sampai 1958, ia diangkat menjadi Ketua Umum Masyumi. Dalam Pemilu 1956, ia terpilih menjadi anggota DPR. Dari 1956 hingga 1958 ia menjadi anggota Konstituante Rl.

Pada 1950-1951, tokoh kita ini mendapat amanah menjadi Perdana Menteri. Hubungannya dengan Presiden Soekarno sempat merenggang selama penyelesaian Irian Barat. Puncaknya terjadi setelah peristiwa Cikini, November 1957. Waktu itu, sebuah granat diledakkan untuk membunuh Soekarno. Namun tidak berhasil dan menewaskan anak-anak sekolah. Meski Natsir tidak ada kaitan sama sekali dengan rencana itu, Soekarno menuduhnya berada di belakang aksi tersebut. Dalam situasi negara yang tidak menentu, Ketua Dewan Banteng; Achmad Husein; mengultimatum pemerintah: Djuanda agar mengundurkan diri. Pemerintah justru memecat Husein, Simbolon, dan beberapa perwira AD lainnya. Tak lama kemudian, Kolonel Acmad Husein mengumumkan berdirinya PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dengan M. Natsir sebagai Perdana Menteri.

Setelah peristiwa Cikini, Natsir memang tidak hanya diisolasi, tapi juga terus diganggu bersama koleganya yang lain; Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap. Akhirnya mereka hengkang ke Sumatera Barat. Ketika operasi Angkatan Darat terhadap PRRI pada 25 September 1961, Natsir ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan ikut terlibat PRRI. Sejak 1962 sampai 1966 ia ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Keagungan Jakarta.

Di awal rezim Orde Baru, Natsir dibebaskan, tapi ia tetap dilarang berpolitik. Walau demikian, aktifitasnya tidak terhenti. Sejak 1967 sampai dengan masa tuanya, ia dipercaya menjadi ketua DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia). Di mana dia berkiprah sampai akhir hayatnya membangun masyarakat di kota-kota dan pedalaman terpencil.

Dalam percaturan dunia Islam −khususnya di negara-negara Arab, Natsir sangat dikenal, dihormati, dan disegani. Beliau ikut serta dan terlibat pada beberapa organisasi Islam tingkat internasional. Tahun 1967, diamanahkan menjabat Wakil Presiden World Muslim Congress (Muktamar Alam Islami) di Karachi (Pakistan), tahun 1969 menjadi anggota World Muslim League di Mekah (Saudi Arabia), tahun 1972 menjadi anggota Majlis A’la al-Alam lil Masajid di Mekah (Saudi Arabia), tahun 1980 menerima “Faisal Award” atas pengabdiannya kepada Islam dari King Faisal (Saudi Arabia), tahun 1985 menjadi anggota Dewan Pendiri The International Islamic Charitable Foundation di Kuwait, tahun 1986 menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre for Islamic Studies di London (Inggris), dan anggota Majelis Ulama’ International Islamic Univesity di Islamabad (Pakistan).

Pada Februari 1989, redaktur majalah “Al-Wa’yul Islami” Kuwait; Muhammad Yasir Al-Qadhami; pernah bershilaturrahim ke rumahnya dan bertanya tentang tokoh-tokoh yang berpengaruh pada dirinya dan mempengaruhi perjuangannya. Natsir menjawab, “Haji Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna, dan Imam Hasan Al-Hudhaibi. Sedang tokoh-tokoh Indonesia adalah Syekh Agus Salim dan Syekh Ahmad Surkati.”

Bukan bermaksud melebih-lebihkan, Natsir adalah manusia multi dimensi. Ia tak hanya sekadar tokoh politik Islam dan seorang ulama. Namun dalam dirinya melekat beragam dimensi lainnya. Ia adalah seorang intelektual Muslim par excellent yang menguasai khazanah ilmu-ilmu keislaman dengan amat luas. Ia memahami tafsir, hadis, fikih, sejarah, dan syariah. Ia paham bahasa Arab, Belanda, Prancis, Latin pada usia 21 tahun.

Kemampuannya ini menjadikan Natsir bisa memahami agama secara lebih holistik dan komprehensif. Agama tak hanya dipahami sebagai persoalan keakhiratan. Namun juga bagaimana mengatur dunia sehingga menjadi lebih baik dan memberikan kemaslahatan.

Beliau tumbuh dari bawah, mandiri, berkarakter, punya sikap, berprinsip, punya loyalitas, dan berintegritas; bukan oportunis alias penjilat. Hidupnya sederhana, terus terang, setia, kritis, penuh tanggung jawab, dan tidak memanfaatkan jabatan. Senantiasa berbicara sejuk dan menentramkan umat. Jauh dari kalimat-kalimat yang menghasut, provokatif. Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menghujat sekalipun dihadapi dengan senyuman, dengan wajah yang penuh makna. Tidak pernah membesar-besarkan perbedaan. Karena membesar-besarkan perbedaan hanya akan mengakibatkan perpecahan.

Mohammad Natsir ketika menjabat perdana Menteri pada 1950-1951, tidak alergi melibatkan IJ Kasimo, FS Hariyadi dari Partai Katholik, J.Leimena dan ATM Tambunan dari Parkindo dan tokoh-tokoh sosialis menjadi menteri dalam kabinetnya. Bagi Natsir, bangsa ini harus diurus bersama walau dalam perbedaan politik yang tajam kala itu antara Masyumi, partai Kristen, Katholik, Nasionalis, dan Komunis. Namun hal tersebut tidak membuat tali shilaturrohim tokoh-tokohnya putus. Karena menurut beliau, yang bertengkar itu pikiran-pikirannya, bukan personal-personalnya.

Lebih dari itu, Natsir juga akrab dengan produk-produk kebudayaan Barat dan Islam. Mungkin sedikit sekali yang tahu, Natsir ternyata juga amat menggemari dan memiliki apresiasi yang baik tentang musik. Saat bersekolah di AMS Bandung, ia pernah memimpin orkestra. Natsir cukup piawai dalam memainkan beragam alat musik. Natsir juga amat menyukai karya-karya komponis asal Austria seperti Wolfgang Amadeus Mozart, komponis Jerman Ludwig van Bethoven, dan konon Natsir juga amat menikmati lagu-lagu Ummi Kaltsum; legenda musik asal Mesir.

Natsir adalah tipe manusia pembelajar yang haus akan banyak ilmu dan pengetahuan. Semuanya ia pelajari dengan sungguh-sungguh baik melalui pendidikan formal maupun yang ia dapatkan secara otodidak. Ia adalah manusia yang identik dengan buku dan khazanah ilmu. Kemampuannya ini menjadikan Natsir sebagai penulis banyak menghasilkan buku dan karya tulis lainnya.

Kalau Sayyid Quthb menghasilkan Fii Zhilalil Qur`an. Ibnu Taimiyah menghasilkan Majmu’ul Fatawa, Hassan Al Banna menghasilkan Majmu’atul Rosa-il, HAMKA menghasilkan Tafsir Al-Azhar, maka Mohammad Natsir menghasilkan Capita Selecta yang terdiri dari dua jilid yang amat tebal. Inilah sebuah buku yang merupakan kumpulan tulisan mulai dari fikh, kebudayaan, politik kebangsaan, ideologi, hubungan antaragama, kebudayaan, peradaban dan banyak pikiran pentingnya lainnya.

Natsir tak hanya paham tentang segala sesuatu yang besar-besar, tapi ia juga mengerti hal-hal yang kecil dan detail. Natsir tak meremehkan hal-hal kecil dan sepele, tapi ia juga tak menganggap berat hal-hal yang besar. Natsir sering menyampaikan, masalah-masalah kecil kalau dibiarkan, suatu saat akan menjadi besar. Tapi masalah-masalah besar kalau segera dikerjakan, suatu saat akan menjadi kecil.

Natsir adalah sosok pemimpin yang sederhana namun berkharisma. Sebagaimana banyak tokoh-tokoh bangsa pada periode sejarah sebelumnya, penampilan, keseharian dan gaya hidup Natsir jauh dari aroma kemewahan. Yang dipikirkan Natsir bukanlah dirinya, tetapi selalu umat dan bangsanya. Bagaimana kediaman Natsir?. Kursi yang diduduki adalah kursi tua. Ruang tamu Mohammad Natsir dihiasi sebuah lampu baca di pojok ruangan. Ruang tamu sedemikian kusamnya tidak memperlihatkan cita rasa interior modern seperti yang ditunjukan oleh ruang tamu tokoh masyarakat lainnya yang bagaikan istana.

Dari keseluruhan diri Natsir, banyak hal yang telah dia wariskan. Natsir merupakan warisan ilmu dan teladan kepemimpinan, pribadi yang memiliki integritas. Pengabdiannya kepada umat telah meninggalkan goresan yang indah dalam sejarah Islam, sejarah bangsa Indonesia. Sebahagian perjalanan hidupnya telah banyak dihabiskan untuk dunia politik, terutama modernisme Islam, kenegaraan, dan demokrasi.

 

Mohammad Natsir melihat kemajuan dan kemunduran umat tergantung pada bagaimana pemahaman dan penghayatan umat akan doktrin tauhid serta bagaimana pula mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sistem tauhid menurutnya terletak pada kesadaran batin yang menjelma menjadi etika pribadi dan melahirkan kesatuan yang universal berdasarkan persamaan, keadilan, kasih sayang, toleransi dan kesabaran.

Kemuliaan hatinya adalah kemuliaan seorang pemimpin betapa ia dapat mengalahkan bahkan melampaui kepentingan pribadi sebagai nilai ketokohan instrinsiknya. Ketokohan atau kenegarawanan seorang Mohammad Natsir sebagai sudah jadi pahlawan sebelum kemudian kita menyebutnya sebagai pahlawan. Karena perannya amat menentukan kelanjutan dan keberlangsungan tanah tumpah darah warisan ibu pertiwi ini.

Buya, sungguh jika hilangmu tanpa pusara

...jika pusaramu tanpa nama

...jika namamu tanpa bunga

...maka biarkan kami mengucap namamu di dalam doa.

Yaa ayyatuhan nafsul muthma’innah ‘irji’i ilaa robbiki roodhiyatam-mardhiyyah, fad khulii fi ‘ibaadi wadkhulii jannati.

 


Senin, 16 November 2020

Gatholoco dan Darmogandhul; Serat Pelecehan terhadap Islam

Dallikal, yen turu nyengkal wadine nyengkal. Tegesipun kitabulla, natap mlebu ala wadi. Tegese rahabapi, rahaba kang gawe sampur. Hudan lil muttakina, yen wis wuda jalu estri, den mutena jroning ala-jroning ala.”

(Dzalikal: jika tidur kemaluannya nyengkal (bangkit). Kitabulla, kemaluan lelaki masuk di kemaluan perempuan dengan tergesa-gesa. Raiba fihi: perempuan yang pakai kain. Hudan: telanjang (wuda), lil muttaqien: sesudah telanjang, kemaluan lelaki termuat dalam kemaluan wanita). Diterjemahkan oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi dalam “Islam dan Kebatinan”, hal. 17

 

Kalimat di atas adalah penggalan isi Serat Darmogandhul. Menjadikan Islam sebagai bahan olok-olokan adalah ciri utama dalam Serat Darmogandhul tersebut. Sebuah sastra anonim yang ditulis abad Misi; sebuah masa dimana politik asosiasi atau yang lebih tepat westernisasi dan politik Kristenisasi berjalan sangat intens. Istilah-istilah kunci dalam agama Islam diputarbalikkan maknanya oleh Darmogandhul dengan metode othak-athik gathuk (mengait-ngaitkan) seperti istilah “sadat sarengat” (syahadat dan syari’at) diartikan dengan “yen sare wadine njengat; kalau tidur kemaluannya berdiri”, “tarekat iku taren kang estri; mengajak istri bersetubuh”, sedangkan lafal Muhammad diartikan sebagai makam, kuburan segala rasa, yang berarti memuja diri sendiri, bukan memuji Muhammad yang lahir di tanah Arab.

Selain Darmogandhul, juga ada serat Gatholoco. Dimana dalam serat yang juga anonim ini, istilah-istilah inti dalam Islam diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat cabul. Seperti kata Allah diartikan “ala; yang rupanya jelek” (yang dimaksud adalah wujud kemaluan laki-laki), sedangkan naik haji ke Makkah diartikan sebagai proses persetubuhan di mana posisi istri saat bersetubuh mekakah (Rasjidi, 1967: hal. 9-39).

Merebaknya sastra anonim di kalangan elit Jawa, tidak terlepas dari kekalahan Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa 1825 – 1830. Meskipun Belanda memenangkan perang besar ini, namun biaya yang ditanggung sangat besar. Kondisi keuangan Kerajaan Belanda hampir bangkrut karenanya. Untuk menutupi kerugian tersebut, pemerintah Belanda menerapkan kebijakan politik tanam paksa (Cultuur Stelsel). Sistem tanam paksa mengharuskan para pemilik lahan menanami seperlima lahan yang dimiliki dengan tanaman komersial yang sudah ditentukan pemerintah Belanda. Untuk menjalankan politik tanam paksa ini, pemerintah kolonial Belanda menaikkan derajat para bupati menjadi ningrat. Dengan syarat, para bupati harus melaksanakan kehendak residen Belanda. Sedangkan penduduk pribumi dituntut kepatuhan mutlak sebagai budak (Kahin, 2013: 12). Belanda menangguk untung yang besar dengan politik tanam paksa ini. Utang VOC sebesar 35.500.000 gulden berhasil dilunasi, bahkan kas negeri Belanda bertambah sebesar 664.500.000 gulden.

Proses penganakemasan kalangan bupati dan para ningrat yang lazim disebut priyayi ini, akhirnya menjadikan para priyayi sebagai kelas tersendiri dalam masyarakat Jawa. Bukan hanya kelas sosial, tetapi juga orientasi spiritualnya. Berkaca dari kekalahan Pangeran Diponegoro, bagi para priyayi tersebut, menandakan takluknya seluruh Jawa kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sehingga ketaatan bukan lagi tertuju pada kewibawaan Islam, melainkan kepada apa yang disebut kewibawaan Kristen (Akkeren, 1995: 56).

Benih-benih sentimen anti Islam pun mulai bermunculan. Para priyayi tersebut beranggapan bahwa peralihan keyakinan masyarakat Jawa ke agama Islam adalah sebuah kesalahan peradaban. Dan bahwa kunci kepada modernitas yang sesungguhnya terletak pada penggabungan pengetahuan modern ala Eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu Jawa. Apa yang menjadi pandangan kaum priyayi Jawa tersebut berasal dari Snouck Hurgronje. Di mana menurut Snouck, dengan penetrasi pendidikan model Baratlah pengaruh Islam di Indonesia bisa disingkirkan atau sedikitnya dikurangi. Pendidikan juga akan menghilangkan jarak kultural orang Belanda dengan para bangsawan dan kaum aristokrat Indonesia. Selain itu, posisi mereka yang relatif “bersih” dari pengaruh Islam, para priyayi tersebut merupakan kelompok sosial yang paling cocok untuk ditarik masuk ke dalam orbit kebudayaan Barat dan dijadikan sebagai rekanan (Shihab, 1998: 86)

Islam dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kebudayaan tersebut; Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1870-an, para penulis dari Kediri meramu gagasan-gagasan semacam ini di dalam tiga karya sastra yang mengagumkan; Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco, dan Serat Darmogandhul, yang merendahkan dan mengolok-olok Islam. Karya yang disebut terakhir ini meramalkan bahwa penolakan terhadap Islam akan terjadi empat abad setelah kejatuhan Majapahit –ini mungkin ditulis untuk memperingati sebuah sekolah milik pemerintah bagi kaum elite di Probolinggo pada tahun 1878, atau 400 tahun setelah runtuhnya Majapahit sebagaimana secara tradisional diyakini dan bahkan orang Jawa akan menjadi pemeluk Kristen. (Ricklefs, 2012: 53-54).

Pemilihan Kejawen bukannya Kristen sebagai jalan spiritual oleh para priyayi tersebut disebabkan dalam pandangan masyarakat Jawa pada umumnya; kekristenan identik dengan penjajahan yang menyengsarakan rakyat banyak. Orang-orang Kristen Jawa sering dicemooh dengan ungkapan “londo wurung, jowo tanggung; belum berhasil menjadi Belanda dan tanggung/tidak sepenuhnya menjadi orang Jawa”, “lali jawane; orang Jawa yang lupa akan kejawaannya”, dan sebagainya. Mereka juga sering dijuluki “toewan gendjah; tuan yang belum matang” (Aritonang, 2006: 99). Agar tidak berhadapan dengan masyarakat pada umumnya, para priyayi tersebut menolak untuk dikristenkan, seperti yang digambarkan Ricklefs;

“Sekitar tahun 1870, seorang Bupati menegaskan komitmennya untuk tetap memeluk Islam dalam pengertian yang lebih instrumentalis daripada spiritual. Dia telah menunjukkan antusiasismenya terhadap segala sesuatu yang berbau Belanda. Karenanya seorang kenalan Belanda bertanya kepadanya, “Bilakah ini berarti bahwa dia akan beralih menjadi Kristen?” Bupati tersebut menjawab, “Ah, sejujurnya, saya lebih senang memiliki empat orang istri dan satu Tuhan daripada satu istri dan tiga Tuhan.” (Ricklefs, 2012: 52)

Sistem tanam paksa dijalankan pada era Gubernur Jendral Van den Bosch. Selain sebagai gubernur, ia juga merupakan ketua di Nederland Bijbelgenootschap. Pada tanggal 27 Februari 1932, Van den Bosch mendirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa). Selain untuk mempelajari bahasa dan seluk beluk Jawa, lembaga ini diharapkan berfungsi sebagai institusi pendamping penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa. (Simbolon, 2007: 127). Lembaga ini merupakan tempat berkumpul para ahli-ahli Jawa berkebangsaan Belanda. Para javanolog Belanda ini lebih jauh menggali kesusastraan, bahasa, dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa. Para Javanolog Belanda mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta.  Javanolog Belanda-lah yang “menemukan”, “mengembalikan”, dan “memberikan makna terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda (Shiraishi, 1997: 7-9).

Apa yang dilakukan oleh para Javanolog Belanda dalam mengolah sastra Jawa tersebut mirip dengan kisah pertemuan Flaubert dengan Kuchuk Hanum; pelacur Mesir yang dikisahkan oleh Edward Said dalam magnum opusnya; Orientalisme.

Sastra Jawa sekedar menjadi boneka timur para Javanolog, dan semuanya dibuat tanpa ada kesepakatan bersama. Kuchuk Hanum; si pelacur; tidak pernah berbicara tentang dirinya, tidak pernah mengungkapkan perasaannya, kehadirannya, atau riwayat hidupnya kepada Flaubert. Akan tetapi, kondisi Kuchuk Hanum yang lemah dan miskin secara material tidak berdaya, menjadikan Falubertlah yang justru berbicara atas nama dan mewakili dirinya (Said, 2010: 8). Kartini memandang resah fenomena ini, sebagaimana tertuang dalam salah satu suratnya kepada temannya di Eropa.

“Ada banyak, ya banyak, pejabat (Belanda) yang membiarkan para pemimpin pribumi mencium kaki dan dengkul mereka. Dalam banyak cara yang halus, mereka menjadikan kami merasa bahwa kami berbeda dari mereka. Seakan-akan mereka berkata “Saya orang Eropa, kamu orang Jawa,” atau “Saya tuan, kamu hamba.” Dan bahkan banyak orang Belanda yang tidak begitu suka berbicara kepada kami dalam bahasa mereka. Bahasa Belanda terlalu indah untuk diucapkan oleh mulut berwarna coklat” (Alwi Shihab, 1998: 96).

Dan arah dari sastra anonim seperti Darmogandhul ini, oleh Susiyanto, dosen IAIN Surakarta yang meneliti serat Darmogandhul menunjukkan beberapa paragraf yang secara eksplisit mencita-citakan kekristenan orang-orang Jawa.

“Serat ‘Arab djaman wektu niki, sampun mboten kanggo. Resah sija adil lan kukume. Ingkang kangge mutusi prakawis, Serate Djeng Nabi Isa Rahu’llahu; Serat Arab zaman sekarang sudah tidak terpakai. Hukumnya meresahkan dan tidak adil. Yang digunakan untuk memutusi perkara, Serat Kanjeng Nabi Isa Rahullah.” (Anonim, 1955: 6)

”Wong Djawa ganti agama. Akeh tinggal agama Islam bendjing,  aganti agama kawruh; Orang Jawa ganti agama. Besok banyak yang meninggalkan Islam, berganti (menganut) agama kawruh (agama budi, Nasrani).” (Anonim, 1955: 93)

Kecenderungan menjadikan Islam sebagai bahan hinaan dalam karya sastra, memang ciri khas orientalis yang pada abad XVII – XIX didominasi kalangan teolog Kristen. Di Eropa misalnya, kita bisa mengambil contoh karya Dante, The Divine Comedy. Maometto –Muhammad– oleh Dante ditempatkan pada lapisan kesembilan dan sepuluh lapisan Bogias of Maleboge; gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu setan di neraka. Dalam pandangan Dante, Muhammad dikategorikan penyebar skandal dan perpecahan dengan hukuman tubuhnya terus-menerus di belah dua dari dagu hingga ke anus, bagaikan, kata Dante, sepotong kayu yang papan-papannya dirobek-robek (Said, 2010: 101-102).

Meskipun sebagai sastra anonim yang tentu saja tidak bisa dipertanggungjawabkan, akan tetapi sampai hari ini, baik Darmogandhul maupun Gatholoco masih terus di reproduksi. Bukan hanya bukunya yang terus mengalami cetak ulang, namun tasfir atas kedua serat tersebut juga ditulis oleh banyak pihak.

Perbenturan antara Jawa dengan Islam dalam kedua serat tersebut menjadi patokan dalam karya-karya para misionaris seperti Hendrik Kreamer, Schuurman, Van Lith, dan Ten Berge di masa kolonial, dan beberapa nama penting di masa sekarang seperti Jan Bakker, Frans Magnis Suseno, J.B. Banawiratmaja, SJ, dan Harun Hadiwiyono. Hal ini menurut Azyumardi Azra merupakan strategi misionaris Kristen untuk menghadapi Islam di Indonesia. Dengan menggali unsur pra Islam dalam kebudayaan lokal untuk kemudian memisahkannya secara oposisional, seperti Syari’at dengan kebatinan, etika Islam dengan etika Jawa. Mengikuti argumen William Roff; guru besar Emiritus Columbia University; bukan hanya untuk menjadikan Islam menjadi kabur (obscure), tapi juga memberi peluang lebih besar bagi keberhasilan misionaris (Steenbrink, 1995: xxii).

Namun sayangnya, bidang sastra dan kebudayaan menjadi anak tiri dalam wacana dakwah Islam. Umat Islam, baik awam maupun para cendekiawannya, tidak mempunyai skema relasi Islam dengan kebudayaan lokal ataupun strategi Islamisasi kebudayaan sebagaimana para pendahulunya. Dari hari ke hari, kebudayaan Jawa makin menjauh dari kaum muslimin. Sehingga dari hari ke hari, kebudayaan makin menjadi milik kaum Kejawen dan Kristen. Proses kreatif Islamisasi budaya Jawa seperti mandeg. Kemandegan ini akan merugikan dakwah Islam di tanah Jawa. Karena itu, dakwah di bidang kebudayaan harus menjadi agenda serius mulai sekarang, bila umat Islam tetap ingin sebagai tuan rumah di tanah Jawa.


Arif Wibowo

Penulis adalah peneliti pada Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo