Rabu, 29 Desember 2021

Awal Mula Punk

Apa yang terlintas di pikiran Anda ketika mendengar kata punk ataupun anak punk? Gembel, jorok, rusuh, sampah masyarakat, tidak berpendidikan dan sumpah serapah lainnya yang memiliki makna negatif.

Di sisi lain, generasi muda salah mengartikan apa itu punk sendiri. Pokoknya asal ditindik, ditato, memakai sepatu boot, dan berpakaian ala punk mengaku-ngaku sebagai punkers. Dengan pemahaman yang salah tersebut mereka melakukan tindakan yang meresahkan masyarakat.

Perilaku tersebut mendapatkan timbal balik yang negatif di mata masyarakat. Namun, sejatinya istilah punk sendiri bukanlah mengacu pada perilaku seperti yang di jabarkan di atas. Lalu, seperti apa sejatinya punk itu? Dan bagaimana sejarahnya? Simak ulasannya di bawah ini.

Sejarah Awal Adanya Punk

Pada tahun 1970 muncul sebuah esai karya Nick Tosches di majalah Fushion yang berjudul “The Punk Muse: The True Story Protophatic Spiff Including the Lowdown on the Trouble-Making Five-Percent of America's Youth”. Nick mengungkapkan bahwa musiknya (punk) bagai tangisan pedih menuju jurang omong kosong.

Pada waktu itu banyak bermunculan musik underground yang lahir akibat kebosanan dan kegelisahan remaja Amerika Serikat. Kebosanan tersebut timbul karena konsepsi musik pada waktu itu yang konvensional dan ingin menciptakan sesuatu yang baru.

Mereka juga gelisah karena terjadi krisis moneter yang parah di Amerika sejak awal 1970-an. Hal tersebut seiring dengan terjadinya Perang Vietnam, kemerosotan moral tokoh politik serta kegagalan kebijakan ekonomi Presiden Ronald Reagan (Reaganomic).

Adapun grup musik underground yang bermunculan di Amerika kota New York yaitu New York Dolls di Mercer Arts Center, Rocket from the Tombs di CBGG-OMFUG, The Dead Boys, Richard Hell, dan Television. Sedang di kota Detroit muncul band underground seperti The Electric Eels, Devo, dan Friction.

Sejak ulasan yang dikemukakan oleh Nick Tosches, istilah punk makin dikukuhkan untuk menyebut musik bawah tanah. Konsepsi punk pada masa itu digambarkan sebagai sesuatu yang “menarik ke sisi yang lebih gelap”.

Punk kala itu dijadikan sebagai alat perlawanan kegelisahan dan kebosanan dalam masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan poster yang bertuliskan “WATCH OUT! PUNK IS COMING!” disebarkan ke berbagai penjuru kota New York.

Berkembang Hingga ke Inggris

Pola kemunculan Punk di Inggris hampir sama dengan yang berada di negeri Paman Sam, negara yang beribukota London tersebut sedang mengalami krisis ekonomi, sehingga timbul masalah seperti pengangguran ataupun kekerasan di tempat umum.

Oleh karena itu, para pemuda Inggris menjadikan punk sebagai wadah yang mewakili suara mereka, khususnya para kelompok pekerja. Punk menjadi sebuah terobosan untuk kebebasan berbicara kaum muda kelas bawah.

Lambat laun, punk Inggris dapat mempengaruhi dunia musik yang merambah ke setiap budaya dominan hingga sekarang. Dengan eksistensi tersebut membuktikan bahwa punk bukanlah sampah.

Dalam perjalanannya pada suatu kurun waktu, punk ada karena timbul sebuah kekecewaan dari musik rock kelas bawah terhadap rock yang mapan.

Karena itulah, punk mengambil sisi lain dalam menciptakan lirik-lirik lagu yang berupa teriakan protes akan kejamnya kehidupan serta rasa frustrasi, kemarahan yang semuanya berkompromi dengan hukum jalanan, represi aparat, kerja kasar serta figur penguasa terhadap rakyat.

Punk Masuk ke Indonesia

Aliran punk diketahui masuk ke Indonesia sekitar tahun 1989/1990-1995 yang digagas oleh Band Young Offender dan band Anti Septic. Budaya punk tersebar di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta ataupun kota besar lainnya.

Pada awal terbentuknya punk di Indonesia berasal dari komunitas metal. Pencetus punk ini kemudian membentuk suatu komunitas yang fokus pada bidang musik dan fashion. Namun, seiring dengan perkembangannya yang pesat, punk di Indonesia disalahartikan ¾tidak merepresentasikan punk dari negara asalnya.

Dandanan punk Indonesia yang lusuh, kacau, aneh, dan jauh dari mapan adalah identitias mereka. Dengan dandanan seperti itu justru merusak mereka sendiri.

Mereka terperosok ke dalam pergaulan yang tidak sehat, narkoba, dan perilaku negatif lainnya. Dapat disimpulkan bahwa punk merupakan sebuah ideologi yang tidak pernah mengajarkan hal-hal yang berbau negatif. Hanya saja para penganutnya salah mengartikan apa itu punk sendiri.

 

Referensi:

[1] G, Widya. 2010. Punk: Ideologi yang Disalahpahami. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

[2] N.N. 2017. “Kemunculan Punk di Indonesia”. Diakses dari kumparan,com/potongan-nostalgia/kemunculan-punk-di-indonesia. Diakses pada 23 Juni 2021.

Kamis, 23 Desember 2021

Filter Informasi a la Socrates

Ibarat gula dan semut, milenial dan media sosial (medsos) adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Hampir setiap milenial melakukan interaksi via medsos—kalau tidak bisa dikatakan seluruhnya. Berbagai platform media sosial semacam Instagram, Facebook, Twitter, dan YouTube bukan lagi hal asing dalam kehidupan milenial. Tak dapat disangsikan bahwa media sosial kini sudah menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang.

 

Risiko di Media Sosial

Layaknya kehidupan di dunia nyata, bermedsos di dunia maya juga memiliki risiko, aturan main, dan tata krama yang mesti diperhatikan. Jika melanggar, tentu ada ‘sanksi’ media sosial yang harus diterima. Sanksi itu dari yang terendah bisa berupa unfollowdislike, atau komentar bernada menggunjing dari publik medsos—netizen—hingga yang terberat semisal penangkapan langsung karena melanggar undang-undang ITE.

 

Milenial sebagai kaum mayoritas di dunia maya mesti melek dan menyadari hal ini. Usia dan emosi yang labil sering kali membuat banyak kaum milenial bertindak gegabah yang ujung-ujungnya merugikan dirinya sendiri. Medsos yang seolah bebas sebebas-bebasnya memang menggiurkan bagi anak muda yang sedang mencari jati diri dan kebebasan berekspresi. Naas, banyak dari mereka yang sebenarnya belum siap untuk menggunakan media sosial. Kasus pornografi, bullyinghate speech, pencemaran nama baik, kekerasan, dan perilaku negatif lainnya lazim berseliweran di media sosial dan beberapa didalangi oleh milenial.

 

Dalam media sosial, kita harus menyadari adanya ketidakpastian (uncertainty) yang dapat memunculkan kemungkinan (probability) sebagai embrio dari risiko (risk). Manajemen risiko mengontrol itu semua dengan kesadaran sebagai kuncinya. Kesadaran bahwa medsos memiliki aturan dan etika, hingga kesadaran untuk tidak menelan mentah-mentah segala hal yang terdapat di dalam media sosial merupakan modal dan fondasi terdalam sebelum memutuskan bermedsos. Peran serta kontrol dari orang tua dan guru sangat vital untuk menanamkan kesadaran ini sebelum memberi izin anak-anaknya untuk berinteraksi di media sosial.

 

Risiko yang sering menjebak milenial di media sosial adalah hoax alias pemberitaan bohong. Tak hanya milenial, orang-orang dewasa pramilenial pun kerap termakan tipu daya hoax. Selain ketergesaan dalam menerima informasi tanpa merasa perlu untuk check and balance, kemasan yang apik dan penyaluran informasi yang cepat nan masif juga membuat setiap dari kita rawan tertipu oleh hoax. Tak bisa dipungkiri bahwa hoax adalah bentuk setan digital yang terkutuk.

 

Kisah Socrates

Socrates, seorang filsuf Yunani yang hidup dalam kurun waktu 469-399 sebelum Masehi punya cara jitu untuk memfilter sebuah informasi yang diterima. Metode Socrates ini kiranya sangat relevan untuk dijadikan sebagai perisai diri bagi milenial untuk melawan hoax. Kisah ini saya sadur dari buku Fahruddin Faiz berjudul Filosof Juga Manusia.

 

Syahdan, Socrates sedang berkunjung ke rumah salah seorang temannya. Memulai pembicaraan, temannya berkata kepada Socrates, “Socrates, tahukah kamu apa yang baru saja aku dengar tentang salah seorang muridmu?”

 

“Tunggu sebentar,” jawab Socrates. “Sebelum kamu bercerita, aku ingin kau menjawab tiga pertanyaan dariku. Namanya ujian tiga lapis. Pertama adalah ujian kebenaran. Sudahkah kau pastikan bahwa apa yang akan kau katakan padaku itu benar?”

 

“Tidak,” jawab temannya. “Sebenarnya aku baru saja mendengar dari seseorang…”

 

“Baiklah,” tangkis Socrates. “Jadi kau tidak benar-benar tahu apakah yang akan kau katakan itu benar atau salah. Sekarang mari menuju ujian yang kedua, yakni ujian kebaikan. Apakah yang akan kau katakan tentang muridku adalah sesuatu yang baik?”

 

“Tidak. Hm, bahkan sebaliknya.”

 

“Jadi,” kata Socrates, “kamu ingin mengatakan kepadaku sesuatu yang buruk mengenainya meskipun kamu tidak yakin apakah itu benar.”

 

Temannya mengangguk dan mulai merasa malu. Lalu Socrates melanjutkan, “Kamu mungkin masih bisa lolos, tetapi masih ada ujian yang terakhir, yakni uji kemanfaatan. Apakah yang akan kau katakan padaku tentang muridku akan memberi manfaat padaku?”

 

“Tidak. Kukira tidak.”

 

“Simpulannya, kalau apa yang akan kau katakan padaku itu tidak benar, tidak baik, dan juga tidak berguna, mengapa kau masih akan menyampaikannya juga?” pungkas Socrates.

 

Teman Socrates terdiam dan amat malu.

 

Penutup
Untuk menangkal hoax, tiga variabel yang terdapat dalam ujian tiga lapis Socrates mesti menjadi filter. Kebenaran, kebaikan, dan kegunaan. Jika salah satu dari ketiganya tidak kita jumpai dalam informasi yang kita terima dari media sosial, sudah selayaknya kita tidak mengonsumsinya, apalagi memberi like dan share kepada orang lain. Semoga kita senantiasa dijauhkan dari godaan setan-setan digital hoax yang terkutuk.