Jumat, 23 November 2018

Resensi: Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba


Kurun waktu dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba menyimpan masa di mana Nabi Isa as (termasuk Kristus) dilahirkan.

Buku ini berusaha memotret situasi politik, sosial, budaya, dan agama yang berlaku pada zaman itu. Dan faktor ekonomi tak jarang memengaruhi perjalanan sejarahnya.

Dan memang magnet bagi para kekuatan adidaya untuk menguasai Baitul Maqdis adalah keberadaan Masjidil Aqsho itu sendiri. Pusat dari keberkahan.

Untuk merekonstruksi sejarah Israel, ia menggunakan beberapa sumber:
1. Kitab Perjanjian Lama;
2. Kitab-kitab Aprokif (kitab tersembunyi/rahasia versi Kristen) dan Kitab-kitab Pseudepigraf (kitab tersembunyi/rahasia versi Protestan);
3. Filo (filsuf) dari Aleksandria;
4. Flavius Yosefus (sejarawan Yahudi dari Galilea);
5. Pengarang-pengarang Yunani dan Latin (Polibius, Diodorus Siculus, Strabo, Livius, Plutarchus, Tacitus, Suetonius, Appianus, dan Cassius Dio);
6. Manuskrip apokrif dari Qumron (sekitar Dead Sea);
7. Perjanjian Baru;
8. Kepustakaan para Rabi (kitab Misyna, kitab Tosefta, kitab-kitab Talmud, kitab-kitab Midrasy, dan kitab Targum);
9. Data arkeologi (papirus dari Wadi ed-Daliyeh Samaria, Zinon Papiri, penemuan di Masada, dan surat-surat dari Bar Kokhba).

Prof. Abd al-Fattah al-Awaisi menyebutkan bahwa setiap bangsa yang ingin menguasai dunia, pasti akan memasukkan Baitul Maqdis dalam daftar wilayah taklukkannya.

Note: buku ini mengupas “Israel”, bukan “Palestina”.

Judul: Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba; Sejarah Israel dari +- 330 SM - 135 M
Penulis: Prof. Dr. H. Jagersma
Penerjemah:
Tebal:
Ukuran:
ISBN:
Cetakan:
Penerbit:
Resentator: Harmasto Hendro Kusworo

Resensi: Attila Raja Barbar Momok Romawi


Selama tahun 434-454, dua puluh tahun yang penting awal abad ke-5, nasib Kekaisaran Romawi dan masa depan negeri-negeri Eropa bergantung pada sepak terjang seorang lelaki barbar. Dialah Attila, Raja bangsa Hun. Kekuasaannya membentang dari Sungai Rhine hingga Laut Hitam, dari Baltik hingga Balkan. Ditopang kekuatan barbar yang sangat hebat, kekaisarannya segera menandingi Romawi.

Sejumlah serangan besar melawan Romawi melambungkan reputasi Attila sebagai sosok penghancur. Namanya menjadi pemeo bagi barbarisme. Namun yang melekat padanya bukanlah barbarisme belaka. Dia menggenggam kekuasaan juga berkat karakternya yang mengagumkan serta kecerdasannya memikat jutaan pengikut setianya. Bangsa Hun menganggapnya setengah dewa, dan suku Gothic serta kelompok nomadik lainnya memujanya. Attila juga seorang politisi cerdik. Dia mengerti bagaimana memanfaatkan kelemahan kawan dan lawannya. Dengan perpaduan karakter unik ini, dia hampir saja menentukan masa depan Eropa.

Pengetahuan perihal sosok yang dianggap raja agung oleh sebagian sejarawan Barat ini sungguh minim: kehidupan dan perannya dalam sejarah nyaris tak terdengar. Dan, dalam narasi sejarah yang memesona ini, John Man menampilkan sosok nyata Attila. Dari jantung tradisi nomaden bangsa Asia Tengah, John mengangkat Attila dari kubangan mitos yang menyelimuti pengetahuan kita perihal dirinya.

Kelemahan:
- Ketidakmampuan penulis untuk fokus pada satu topik;
- Pembahasan Attila secara spesifik yang amat sedikit (mungkin 20% dari buku).

Keunggulan:
- Pemikiran kritis penulis (pembandingan ‘legenda’ dengan fakta sosial-kultural saat itu dan keadaan geografis) yang dapat mengeliminasi referensi-referensi sejarah palsu atau berlebihan;
- Informasi seputar kaum nomaden dan hal lainnya yang terkadang cukup menarik perhatian.

Judul: Attila Raja Barbar Momok Romawi
Penulis: John Man
Penerjemah: Soemarni
Tebal: 448 halaman
Ukuran: 13 x 20 cm
ISBN: 978-602-9193-24-4
Cetakan: I, Desember 2012
Penerbit: Gading Publishing, Yogyakarta
Resentator: Harmasto Hendro Kusworo

Resensi: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942)


Buku ini ditulis dalam rangka proyek penelitian tentang prasangka yang saat itu dianggap penting dan banyak menarik perhatian di Belanda, dan Eropa pada umumnya.

Prasangka umum dimiliki satu kelompok dalam masyarakat terhadap kelompok lain dan sering menimbulkan dan memperkuat rasa benci dan akhirnya menimbulkan konflik.

Buku ini mencoba menelusuri akar-akar sejarah dari prasangka orang Belanda terhadap Islam di Indonesia. Bahkan sudah lazim di Belanda –dan Eropa pada umumnya– memiliki anggapan-anggapan yang salah dan penuh prasangka terhadap Islam. Prasangka buruk terhadap Islam itu tidaklah menimbulkan pertentangan yang berarti ketika saling menguntungkan. Tetapi ketika hubungan tersebut menyentuh ranah politik, maka hubungan itu bisa menjelma menjadi permusuhan hingga tindak kekerasan.

Daftar Isi
Bab 1 – Titik Tolak dan Eksplorasi
Bab 2 – Pertemuan Pertama: Muslimin sebagai Orang Sesat yang Dihormati
Bab 3 – Teologi di Latar Belakang: Muslimin sebagai Orang Sesat yang Tidak Disenangi
Bab 4 – “Permusuhan Alamiah” Para Direktur VOC dengan Umat Islam
Bab 5 – Holle, Hurgronje, dan Hazeu: Tutor bagi “Para Penganut Agama Terbelakang”
Bab 6 – Abad Misi (1850-1940): Antara Antisipasi dan Akomodasi
Bab 7 – Reaksi Indonesia atas Kedatangan Orang Kristen
Bab 8 – Muslim dan Kristen di Indonesia dan Belanda dalam Periode 1945-2015: Jalur Terpisah atau Titik Temu?

Kelebihan dari buku ini adalah referensinya dari zaman klasik untuk mencuplik pernyataan atau prasangka tokoh-tokoh masa lalu tentang Islam. Mengumpulkannya dalam bab-bab bahasan.

Kelemahan dari isi buku ini adalah –selain tata tulis– kualitas penerjemahan yang bahasanya kurang greget versi Indonesia. Barangkali karena ingin menerjemahkan seluruh kata yang ada, sehingga kurang berani untuk memangkas kalimat yang relatif bertele-tele.

Penerjemah: Prof. Dr. Suryan A. Jamrah, MA
Tebal: liv+298 hal.
ISBN: 978-602-0809-36-6
Cetakan: I, Mei 2017
Penerbit: Gading Publishing, Yogyakarta
Resentator: Harmasto Hendro Kusworo

Resensi: Napaktilas Jejak Islam Lampung


Memiliki buku ini, bukan hanya ingin mengoleksi saja. Tetapi karena memang ibu telah menumpahkan darah (melahirkan) saya di tanah transmigrasi di pelosok Kotabumi. Tempat yang padanya disematkan jargon “Sang Bumi Ruwai Jurai” yang mengandung makna rumah tangga dari dua garis keturunan; pribumi dan pendatang.

Membaca pada Pengantar dari buku ini, dapat diketahui bahwa buku ini disusun dengan banyak referensi tertulis, bukan didasarkan bukti-bukti penelitian di lapangan.

Menurut penyusun, Islam masuk ke bumi Lampung melalui 3 (tiga) pintu, yakni:
1. Jalur Barat (Minangkabau)
2. Jalur Utara (Palembang)
3. Jalur Selatan (Banten)

Penyusun tidak menyebutkan angka tahun pada tiap jalur masuknya Islam ke Lampung. Tetapi secara garis besar, terjadi pada abad ke-15 M. (hal. 9)

Sedangkan proses Islamisasi di Lampung, tak beda dengan umumnya di tempat lain, yakni melalui budaya, perkawinan, dan perdagangan. Dengan tokoh yang tak asing, salah satunya adalah Sunan Gunung Jati yang memang mempunyai pengaruh sangat signifikan.

Sebagai bahan masukan, bahwa akan lebih berbobot jika dilengkapi dengan dokumentasi pada jejak-jejak peninggalan yang masih dapat ditemui. Sehingga, karya literasi ini bukan hanya diawali-digarap-diselesaikan ‘hanya’ di ruang kamar.

Judul: Napaktilas Jejak Islam Lampung
Penyusun: Muhammad Candra Syahputra
Tebal: xxvi+176 hal.
Dimensi:
Cetakan: II, Oktober 2017
ISBN: 978-602-61890-2-8
Penerbit: CV. Global Press; Bantul
Resentator: Harmasto Hendro Kusworo

Resensi: Tjokroaminoto; Guru Para Pendiri Bangsa


Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, kita mengenal tokoh-tokoh besar seperti Soekarno yang kemudian menjadi “founding father” Republik Indonesia dengan pemahaman nasionalismenya yang sangat kental. Kartosoewirjo yang terkenal dengan pemberontakan DI/TII-nya dengan pemahaman Islam yang sangat fanatik. Semaoen, Moesso, dan Alimin yang menjadi tokoh-tokoh sentral dalam PKI (Partai Komunis Indonesia) dan merupakan murid HOS Tjokroaminoto yang awalnya sangat dekat dengannya, namun kemudian justru melakukan perlawanan terhadap Sarekat Islam yang diketuai oleh Tjokro sendiri. Mereka bertiga berhasil memprovokasi Sarekat Islam Banten untuk mengganti kedudukan Tjokro di tahun 1923. Kita juga kenal pula HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), seorang tokoh besar Islam sekaligus sastrawan dan pernah menjadi ketua MUI. Hamka bisa dikatakan murid terbungsu dari Tjokro.

Ya, tokoh-tokoh besar itu dulunya belajar pada HOS Tjokroaminoto. Seorang ulama, sekaligus cendekiawan, orator ulung, berkharisma, dan memahami wawasan dan pemahaman yang luas akan negara. Mereka belajar pada Tjokroaminoto selama mereka sedang menempuh masa pendidikan tingginya di Surabaya. Mereka menyewa kamar kos di Peneleh, Surabaya, tempat tinggal keluarga Tjokroaminoto.

Tjokro dikenal sebagai bapak bangsa yang melahirkan tokoh besar dengan beragam warna seperti yang dijelaskan di awal.

Kemampuan, kecerdasan, sifat, dan kepribadian dari Tjokro banyak diajarkan dan diserap oleh murid-muridnya. Soekarno berlatih pidato hingga menjadi mengagumkan karena seringnya mengikuti dan melihat Tjokro ketika berorasi di depan rakyat, di daerah-daerah.

Hamka bahkan pernah mengungkapkan hubungannya dengan Tjokro dengan mengatakan, “Saya tidak dapat melupakan almarhum HOS Tjokroaminoto yang telah menunjukkan pandangan Islam dari segi ilmu pengetahuan barat, ketika beliau mengajarkan kepada saya tentang Islam dan Sosialisme saat saya datang ke Yogya tahun 1924.”

Buku biografi Resensi Buku Tjokroaminoto yang dibuat oleh Tempo ini lebih banyak membahas tentang kehidupan berorganisasi dan pergerakan Tjokro dalam melawan penindasan yang dilakukan Belanda lewat berbagai organisasi mulai dari Boedi Oetomo, Perkumpulan Ronda, hingga masuk dalam Sarekat Dagang Islam karena memang pada dasarnya Tjokro sendiri juga bergerak pada bidang perdagangan. Tjokrolah yang kemudian menyelamatkan Sarekat Dagang Islam hingga menjadikannya menjadi Sarekat Islam dan menjadikannya organisasi yang sangat besar kala itu dengan tujuan menyelamatkan masyarakat dan bangsa Indonesia dari ketertindasan.

Selain itu, buku ini mengisahkan bagaimana Tjokro mendidik para tokoh bangsa seperti Soekarno, Moesso, Alimin, Semaoen, dan Kartosoewirjo di bab “Sekolah Politik di Gang Peneleh”.

Pergerakan Tjokro banyak terlihat dari mimbar-mimbar umum yang terisi oleh pidato-pidatonya yang menggelegar seperti dijelaskan dalam bab “Hanoman Jagoan Pidato”. Gaya orasinya yang menggelegar dan mampu menyihir ribuan orang itu kemudian ditiru oleh Soekarno.

Selain di mimbar, pergerakan Tjokro juga dia tuangkan pada tulisan-tulisan di surat kabar Oetoesan Hindia; surat kabar Sarekat Islam yang merupakan corong bagi pergerakan organisasi tersebut. Ini dikisahkan dalam bab “Bergerak Lewat Oetoesan Hindia”.

Lalu pada bab “Mesiah dari Tanah Jawa”, menceritakan tentang betapa gencarnya Tjokro dalam pergerakan hingga dikenal memiliki banyak pengikut setia, ambisius, dan bertangan besi dalam menyingkirkan lawan politiknya, Tjokro dianggap sebagai jelmaan Ratu Adil.

Buku ini juga menggambarkan bagaimana dinamika hubungan Tjokro dengan murid-muridnya yang kos di belakang rumahnya. Tjokro memahami pentingnya rapat umum dan keberanian bicara menggalang massa. Di meja makan rumah gang Peneleh, ilmu pergerakan modern itu ditularkan pada Alimin, Moesso, Soekarno, dan Kartosoewirjo.

Pada bab “Soekarno Muridku, Menantuku”, menceritakan tentang pernikahan Siti Oetari, anak Tjokro dengan Soekarno sekaligus ada bagian kecil yang mengisahkan tentang meninggalnya Soeharsikin; Istri Tjokro. Tjokro juga pernah bertemu Tan Malaka dalam perhelatan Central Sarekat Islam, dan Tan Malaka mengakui bahwa Sarekat Islam adalah satu-satunya organisasi yang bisa disebut partai massa. Ini diceritakan pada salah satu bab, yaitu “Perjumpaan Tan”.

Secara umum, buku ini terbagi dalam 5 bagian. Bagian 1–Induk Semang Para Pejuang; berisi sekilas tentang perjuangan Tjokro dan interaksi dengan tokoh-tokoh besar.

Bagian 2–Revolusi dari Laweyan; merupakan bagian tentang perjalanan keorganisasiannya hingga menjadi pemimpin Sarekat Islam.

Bagian 3–Jejak Langkah Sang Guru; yang berisi sepak terjang Tjokro dalam pergerakannya melawan feodalisme dan Belanda serta membesarkan organisasi Sarekat Islam dengan berbagai tantangannya terutama saat disusupi oleh PKI.

Bagian 4–Penghuni Belakang Rumah; menceritakan tentang Tjokro dan murid-muridnya hingga metamorfosa murid-muridnya dengan berbagai warna ideologinya.

Bagian 5–Kolom-kolom; yang berisi ulasan-ulasan opini yang diulas secara akademis juga oleh sejarawan dalam dan luar negeri seperti Anhar Gonggong, Bonnie Triyana, dan Takashi Shiraishi.

Buku ini memiliki kelebihan pada sistematika pembahasan yang runtut dan berfokus pada perjalanan sentral dari seorang Tjokro. Alurnya mudah dipahami. Bahasanya ringan dan relatif tidak ditemukan kosakata yang sulit dipahami. Jenis kertas kuning yang digunakan, font, dan spasi yang jelas membuat buku ini nyaman dibaca. Adanya gambar-gambar penunjang seperti dokumentasi artikel-artikel yang pernah ditulis Tjokro, foto-foto Tjokro dengan pengurus Sarekat Islam menjadikan nuansa buku biografi ini semakin terlihat historisnya. Sumber-sumber yang digunakan juga valid karena mengundang langsung keturunan Tjokro untuk berdiskusi antara lain Haryono Sigit, anak kedua Tjokro.

Redaksi Tempo juga memberikan daftar buku yang bisa dijadikan rujukan untuk mendalami tentang Tjokro sehingga akan memberi panduan bagi pembaca bila ingin mendalami.

Adanya indeks di belakang buku memudahkan untuk pencarian cepat.

Kekurangan buku ini –menurut saya– terletak pada pembahasan masa kecil-remaja Tjokro yang justru tidak dibahas. Sebagai buku biografi, rasanya akan kurang jika belum membahas masa kecil-remaja dari tokoh tersebut. Bagi pembaca yang suka membaca biografi yang detail dan lengkap, buku ini rasa-rasanya kurang memuaskan keingintahuan pembaca karena setiap babnya dibahas singkat antara 3-5 lembar saja. Bisa dibilang buku ini merupakan biografi singkat dan mengambil tema tertentu saja dari Tjokro, yaitu pergerakannya dan bagaimana dia menjadi guru untuk para tokoh.

Judul: Tjokroaminoto; Guru Para Pendiri Bangsa
Penyusun: Tim Tempo
Tebal: xvi+162 hal.
Dimensi: 11x16 cm
Cetakan: II, Juni 2018
ISBN-13: 978-602-424-402-6
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Resentator: Harmasto Hendro Kusworo

Resensi: 10 Musuh Cita-cita


Akhir era ‘90-an, saya dihadiahi sebuah buku berjudul “10 Musuh Cita-cita” oleh seorang teman. Sampai tahun 2017, saya tak pernah sekali pun membuka buku tersebut yang saya simpan dalam rak buku di Solo. Saat Idul Fitri 2017, salah satu niat saya adalah mengambil buku tersebut di Solo. Ternyata tak ada lagi di tempatnya. Hingga beberapa pekan lalu, sengaja berburu lagi di lapak daring. Alhamdulillah masih berjodoh.

Well, dari judulnya, sudah dapat ditebak akan secadas apa kandungannya –ini pula yang menyebabkan saya tak membuka buku ini sedari awal dihadiahi (1999). Baru pada bulan November 2018 ini ‘sempat’ dibaca.

Buku ini terbagi menjadi 3 (tiga) pokok bahasan, di mana tiap pokok bahasan memiliki breakdown masing-masing.

Pokok bahasan pertama: Prolog; mendudukkan masalah sesuai dengan pengertian yang sebenarnya, seperti “Islam yang mana dan versi siapa?”

Pokok bahasan kedua: Iman dan Cita-cita Menumbuhkan Optimisme; yakni menyatukan pikiran, menyamakan persepsi, dan menyeragamkan tujuan dengan membahas fenomena dan konsekuensi keimanan:
» Gaya hidup manusia mu’min;
» Realisasi keimanan;
» Ujian keimanan.

Pokok bahasan ketiga: Sepuluh Musuh Cita-cita dan Benteng Untuk Mempertahankannya; adalah pokok dari judul buku ini.
1. Kekuatan Tirani;
2. Hilangnya Harapan dan Putus Asa;
3. Munculnya Keruwetan Hidup dan Kesulitan Ekonomi;
4. Dorongan Sikap Individualisme dan Egoisme;
5. Tunduk pada Rutinitas dan Menyerah pada Kenyataan;
6. Melempar Tanggung Jawab Perjuangan;
7. Konspirasi Musuh Kafir dan Munafik;
8. Santai dan Nyaman dalam Kehidupan Mapan;
9. Terlampau Lama Beristirahat;
10. Merasa Aman dari Rintangan.

Ternyata, kandungan buku ini tak seseram yang saya bayangkan dari awal (menyerang prinsip-prinsip dan aparatur negara). Poin-poin dalam buku ini lebih banyak menggugah kesadaran pribadi akan tanggung jawab sosialnya. Hingga saya pun menyepakati apa yang disampaikan salah seorang kyai pesantren di Madura, “Selama ini saya tidak bisa mengerti mengapa umat Islam tidak bisa bersatu. Setelah membaca buku ini, barulah saya paham jawabannya.” (hal. xiii)
Ada beberapa pengertian yang harus dipahami dari awal sebelum masuk pada Bab 1, yakni memahami pengertian dari Muharrib dan Muzayyif.

Pengertian Muharrib adalah orang-orang yang menghancurkan prinsip-prinsip baku ajaran Islam kemudian menggantinya dengan yang lain. Sedangkan pengertian Muzayyif adalah orang-orang yang suka menyimpangkan pengertian yang benar dengan jalan takwil atau logika sehingga mengubah makna sebenarnya.

Penulis memberikan bahasan ini dengan menuliskan “Munculnya Ulama Muharrib dan Cendekiawan Muzayyif”.

Sampai di sini, semoga kita mulai dapat menempatkan alur pemahaman kita membaca kerut wajah Indonesia.

Penulis buku ini –Irfan S. Awwas– adalah salah satu eks Narapidana Politik (Napol) era Orde Baru. Di mana gagasan awal menulis buku ini berawal dari seba’da membaca buku berjudul “Di Bawah Pohon Cahaya” karya Syaikh Badi’uz Zaman Sa’id Nursi; seorang ulama mujahid yang pernah dipenjara 8 tahun oleh Musthafa Kemal Ataturk. Kandungan buku ini adalah cuplikan dari Risalah An-Nur karya Syaikh Nursi dengan tebal 6000 halaman.

Judul: 10 Musuh Cita-cita Menuju Indonesia Baru Berlandaskan Islam
Penulis: Irfan S. Awwas
Cetakan: II, Maret 1999
Tebal: xvi+163 hal.
Dimensi: 14,5x20,5 cm
Penerbit: Wihdah Press, Yogyakarta

Resensi: Bung Tomo


Baiklah.
Kali ini, saya angkat resensi buku biografi tentang Bung Tomo; tokoh simbol perlawanan Surabaya terhadap Sekutu.

Buku ini merupakan kumpulan karangan dari keluarga Bung Tomo yang sempat diterbitkan oleh Penerbit Balapan –milik keluarga Bung Tomo– sebanyak tujuh karangan, dan satu karangan berjudul “Kini Terserah pada Bung Karno” untuk diterbitkan oleh PT Gramedia. Hingga pada akhirnya, kedelapan karangan tersebut dikumpulkan oleh Gramedia dan diterbitkan dalam satu buku ini.

Kedelapan karangan tersebut dikelompokkan sesuai semangat yang terkandung dalam isinya, yakni:
Bagian pertama: Perjuangan dalam Revolusi Fisik yang memuat 3 (tiga) karangan:
1. 10 Nopember 1945; yang berkisah tentang detik-detik Proklamasi, kisah cerita heroiknya menjadikan bendera triwarna menjadi dwiwarna, hingga drama tewasnya Mallaby.
2. Kenangan Bahagia; berkisah tentang kenaikan pangkat kemiliteran Bung Tomo menjadi Jenderal Mayor di bawah kepemimpinan Jenderal Sudirman, meninggalnya Jenderal Sudirman dan Letnan Jenderal Urip Sumoharjo, hingga terjadinya agresi Belanda yang pertama.
3. Ke mana Bekas Pejuang Bersenjata? Pada bab ini, begitu ironi nasib mereka-mereka yang pernah berjuang demi negeri.

Bagian kedua: Dalam Pergolakan Demokrasi yang memuat 3 (tiga) karangan:
4. Koordinasi dalam Republik Indonesia; mengisahkan kondisi di lapangan yang timpang. Di mana di garis depan pertahanan kekurangan asupan makanan, tetapi di dapur umum malah makanan terbuang sebab berlimpah.
5. Bung Tomo Menggugat Kabinet Kerja, yang Dipimpin oleh Ir. Dr. Sukarno; kisah ini sangat unik dan baru pertama kali terjadi di Indonesia di mana warga negara menggugat pemerintah dan gugatan tersebut diucapkan di muka sidang pengadilan.
6. Kini Terserah pada Bung Karno. “Apakah generasi yang akan datang harus menghadapi lagi kebiadaban dan keganasan suatu partai yang sudah dua kali mengkhianati negara?”

Bagian ketiga: Pada Awal Orde Baru memuat 2 (dua) karangan:
7. Sesudah “Madiun” dan “Gestapu” Lantas Apa?; ada pesan kuat dalam bab ini, yakni senjata ampuh apa untuk menghadapi PKI.
8. Surat Terbuka kepada Mao Che Ting dan Chiang Kai Shek; ini adalah surat terbuka yang menggemparkan –terutama bagi WNI keturunan Cina, yakni pemulangan 2 juta WNI keturunan Cina ke Tiongkok.

Kelebihan buku ini adalah paparannya yang rinci tentang jengkal demi jengkal peristiwa yang jarang diungkap dalam buku sejarah.

Ada pesan yang menarik pada Bab 7:
“...Karena itulah saya terpaksa mengumpulkan senjata sebanyak mungkin untuk mempertahankan diri; dan senjata yang terbaik untuk menghadapi PKI adalah pengetahuan tentang PKI itu sendiri.”

Saya tak bisa menemukan kekurangan dalam buku ini, sebab ia adalah kumpulan karangan kisah.

Secara umum, buku ini mengisahkan begitu heroik dan massifnya perjuangan rakyat Indonesia –khususnya Surabaya– memerdekakan Indonesia tanpa hitung-hitung siapa manusia terbaik yang berhak memimpin negara. Tetapi hasil perjuangan itu seolah ‘dikhianati’ oleh pemerintah.

Saran saya: buku ini saya recommend untuk dibaca bagi sesiapa yang mengharapkan Indonesia lebih mandiri di masa depan; bukan pada tokohnya, tetapi muatan pesan yang akan menjadi serum bagi virus bangsa.

Judul: Bung Tomo; dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru
Penyunting: Frans M. Parera
Tebal: xx+448 halaman
Dimensi: 14x20,5 cm
Cetakan: tahun 1982
Penerbit: Gramedia 82.121, Jakarta
Resentator: Harmasto Hendro Kusworo

Resensi: Perang Konvoi

Jika kita menyaksikan cuplikan film dokumenter di youtube, di sana disematkan judul “The Battle of Bojongkokosan”. Tetapi Kolonel Doulton dalam “The Fighting Cock” menyebut peristiwa ini dengan “The Java War”. Ini artinya, Perang Konvoi adalah pengalaman tempur yang dahsyat dan berkesan bagi pihak militer Inggris. Bahkan Jenderal (Purn) A.H. Nasution mengatakan bahwa Perang Konvoi sempat menggegerkan parlemen Inggris. Ya. Mereka tak percaya bahwa tentara mereka yang baru saja menang dalam Perang Dunia II dapat di kalahkan oleh taktik militer kesatuan tentara sebuah negara yang baru lahir.

Keinginan Sekutu memulangkan tentara Jepang dari Indonesia tak sepenuhnya berjalan damai. Sebab, aroma kelicikan dan kebohongan santer ditimbulkan dari pasukan Sekutu. Tanpa sepengetahuan pemerintah Indonesia, Sekutu menandatangani kesepakatan dengan Belanda untuk membantu mengembalikan wilayah yang pernah diduduki di India Belanda.

Konvoi kendaraan Sekutu yang membawa perbekalan tahanan perang sengaja mengambil rute Bogor-Sukabumi-Cianjur untuk kemudian bermarkas di Bandung.

Pasukan TKR pun menyiapkan “neraka” bagi Sekutu sepanjang jalan Cigombong (Bogor) sampai Ciranjang (Cianjur).

Bencana bagi Sekutu –yang dikawal tentara Jats dan Gurkha– dirasai pertama kali di Bojongkokosan. Konvoi tank, panser, Bren Carrier, dan 150 truk sepanjang 12 kilometer itu kocar-kacir oleh taktik hit and run-nya Letkol Eddie Soekardi. Meski porak-poranda, mereka masih bisa melanjutkan misi sampai kota Sukabumi. Tetapi sesampainya di kota, pasukan Jats dan Gurkha tak berani melanjutkan misi ke Bandung.

Dan memang setiap hal tak pernah kenal kata sempurna. Penyerangan oleh pos Cigombong pada 9 Desember 1945 itu tak seperti yang diharapkan Letnan Kolonel Eddie Soekardi. Instruksi yang disampaikan adalah hit and run; tetapi tampaknya, semangat menyerang sedang ingin dilampiaskan. Akibatnya, beberapa TKR tertawan dan di jebloskan dalam penjara di Bogor. Dan pada masa kekuatan TKR diperhitungkan oleh pihak Sekutu, Letnan Kolonel Eddie Soekardi dapat membebaskan tawanan melalui jalan diplomasi.

Sebelum pasukan Patiala –yang anti-bacok– dari Bandung merapat ke kota Sukabumi, Letkol Eddie Soekardi menghujani pasukan yang terperangkap di kota Sukabumi tersebut dengan taktik kirikumi.

Konten Bahasan di dalamnya:
1. NICA di Belakang Sekutu;
2. Sekutu di Jawa Barat;
3. Sukabumi di Ambang Perang;
4. Perang Konvoi I;
5. Mencari Jalan Damai;
6. Konsolidasi di Masa Damai yang Rentan;
7. Perang Konvoi II, 10-14 Maret 1946;
8. Kirikumi;
9. Mimpi Buruk Wingrove;
10. Mengepung Sukabumi.

Masukan: masih pada peningkatan kualitas kerja editornya.

Judul: Perang Konvoi Sukabumi-Cianjur 1945-1946
Penyusun: Drs. Yoseph Iskandar; Drs. Dedi Kusnadi; Drs. Jajang Suryani
Tebal: xvi+202 hal.
Dimensi: 14x21 cm
Cetakan: I, 2016
ISBN: 
978-602-1634-17-2
Penerbit: MataPadi Pressindo, Yogyakarta

Resentator: Harmasto Hendro Kusworo