Senin, 28 Maret 2016

Mendidik yang Bermartabat

Perhatikanlah murid-murid kita! Ya, mereka anak-anak peradaban. Anak-anak didik kita. Tubuh-tubuh yang mulai tumbuh itu ketika mereka berlarian, bercanda riang, tertawa renyah, menjerit pecah, kadang berantem, kadang akrab, kadang berselisih, kadang berkelakar.. dstnya. Mereka sangat ahli membuat asrama, rumah mereka di sekolah seperti kapal pecah, membuang sampah seenaknya, mengacak-acak tempat tidur, menarik sprei dan sarung bantal, menjadikan bantalnya untuk perang-perangan, saling lempar, saling gebuk, menjungkirbalikan kursi, menarik taplak meja di kelas, menempelkan upilnya di dinding, meja & kursi sekolah, sehingga merangkai mozaik yang "keren", kreatif dll.

Mungkin tidak ada properti yang awet dan tahan lama di sekolah kita, tidak ada inventaris yang bertahan lama, tidak ada dinding yang luput dari coretan kreatifnya, tidak ada perlengkapan kebersihan yang tidak patah, lecet, dan penyok akibat ulahnya, tidak ada benda yang diam, semua barang-barang senantiasa berpindah tempat dan susah dicari dstnya. Tidak ada isi lemari yang bisa tersusun rapih, semua di "aduk-aduk" tanpa kecuali.

Anak-anak kita yang luar biasa memusingkan dan kadang menyebalkan itu, sesungguhnya adalah calon khalifah (pemimpin) di muka bumi, yang dititipkan kepada kita, hanya bentuk dan ukurannya yang masih kecil saja. Biarkan mereka tumbuh alamiah, jujur apa adanya di hadapan kita. Merekalah tamu peradaban termulia di rumah kita dan sekolah kita.

Jangan terburu ingin melihat status sholeh anak-anak kita dengan melihatnya duduk manis, patuh, diam di tempat dengan kondisi kelas, asrama atau kamar yang kinclong bersih. Mereka yang baru belajar arti memiliki tanggungjawab, jangan diperlakukan seperti orang dewasa. Setelah usia mereka cukup matang, mereka perlahan akan memahami nilai-nilai kebenaran sebagai bagian dari fitrah keimanannya. Sabaaar, sabaaar, dan rileks. Jangan terburu-buru emosi..

Jangan khawatir, mereka tidak pernah berniat merusak ‘sarang-nya’ sendiri kok untuk bermetamorfosa, sama halnya tak mungkinnya mereka menghancurkan rumah kedua orangtuanya sendiri, mereka cuma sedang ber-eksperimen sebagai pertanda fitrah belajarnya tumbuh sehat. Pada saatnya, calon khalifah ini juga akan tahu nilai-nilai, karena sudah Allah tanamkan di dada mereka. Kita cuma perlu rileks dan ridha, syukur dan sabar. Tidak akan lama. Rumah peradaban kita akan sepi dan beku sepeninggal tamu zaman termulia ini manakala ia tumbuh dewasa.

Karena sesungguhnya para khalifah kecil yang suka kita pelototi, marahi mungkin cubiti, atau tanpa sengaja mereka mengamati teriakan-teriakan stres kita akibat ketidaksabaran kita, ketergesaan kita dstnya, adalah ciptaan-Nya yang disetting sebagai makhluk paling mulia di muka bumi.

Khalifah yang masih berukuran mini ini akan menjadi besar kelak, lalu seperti apa khalifah yang lahir dari rumah peradaban kita? Khalifah yang menumpahkan darah dan berbuat kerusakan? Atau Khalifah yang menebar rahmat dan perbaikan?

Semua tergantung lisan, mata, telinga, hati dan tangan serta kaki kita, orangtuanya, gurunya, pembinanya atau mentornya sebagai orangtua biologis atau ideologisnya. Fitrah mereka sudah Islam, sudah lurus hanya perlu dirawat dan dikembangkan saja. Jangan coba-coba merubah fitrahnya, maka mereka akan menyimpang dari takdir perannya, dari panggilan hidupnya.

Sungguh tersimpan dalam renyah tawa dan rengekan tak jelas itu, peran-peran peradaban yang sudah ditakdirkan Allah padanya. Tidak ada peran buruk yang Allah takdirkan bagi manusia, kecuali manusia merubahnya. Maka sentuhlah dengan lembut, belailah dengan sholawat, haluskan akhlak kita di hadapan mereka, jangan lukai jiwanya karena akan membuat luka peran peradabannyanya kelak.

Jiwa-jiwa yang berperan memuliakan manusia dan alam berangkat dari fitrah dan karakter yang dimuliakan tumbuhnya. Sungguh BERHASIL mereka yang memahaminya.

Kita-kita yang diberi amanah merawat fitrah anak-anak kita, tidak perlu dilebihi dan jangan dikurangi sedikitpun. Jangan ceroboh, ingat bahwa mereka, adalah khalifah di muka bumi, hanya bentuknya dan ukurannya masih kecil saja. 

Maka rawatlah fitrahnya, karena fitrahnya seperti benih yang perlu disirami dengan kasih sayang, penuh dekapan cinta, konsistensi yang berangkat dari kesyukuran, kesabaran dan optimisme sehingga benih itu akan tumbuh besar sebagai pohon yang kokoh (syajarotun thoyyibah), dimana dahan yang menaungi serta buah yang lezat dari pohon itu adalah peran guru peradabannya.

Sederhana merawatnya karena semuanya sudah ter-install, namun jika nafsu dan obsesi kita dominan maka urusannya bisa kacau dan bahaya. Kalau sudah paham maka hati-hatilah, pastikan kita selalu mengawalnya sampai menjelang usia balighnya. 

Ingatlah selalu bahwa Allah tidak akan memanggil mereka yang mampu, tetapi Allah akan memampukan mereka yang terpanggil. Maka, temanilah dan doronglah anak-anak kita untuk memenuhi panggilan Tuhannya, yaitu peran sebagai pengisi peradaban yang akan datang sesuai fitrahnya, maka Allah akan memampukan mereka. Penuhilah juga panggilan Allah kepada kita untuk mendidik mereka, maka yakinlah Allah akan memampukan kita.

#Salam sukses dari ayah ideologis anak-anak peradaban.

M. Ibrohim - Alkausar Head Dormitory Sukabumi

Minggu, 27 Maret 2016

Keajaiban Hadits Lalat dan Penelitian Joan Clark

Sewaktu muda, Syaikh Abdel Daem Al Kaheel pernah tak mampu menjawab pertanyaan orang atheis yang menghina salah satu hadits Nabi. “Bagaimana mungkin Nabi kalian menyuruh menenggelamkan lalat yang hinggap di minuman sembari menjelaskan di salah satu sayapnya ada obat. Lalu kalian mau meminum minuman seperti itu?” tanyanya nyinyir.

Al Kaheel paham bahwa yang dimaksud orang atheis tersebut adalah sabda Rosululloh:

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ، ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ ، فَإِنَّ فِى إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالأُخْرَى شِفَاءً

“Jika ada seekor lalat yang terjatuh pada minuman kalian maka tenggelamkan, kemudian angkatlah (lalat itu dari minuman tersebut), karena pada satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap lainnya terdapat obat.” (HR. Al Bukhori)

Tentu sebagai mukmin ia yakin dengan kebenaran hadits ini. Tetapi, bagaimana menjelaskan kepada orang atheis yang tidak mempercayai apapun kecuali materi?

Beberapa tahun kemudian, ketika menulis buku Asror As-Sunnah An-Nabawiyah (Rahasia Sunnah Nabi), Syaikh Abdel Daem Al Kaheel menjelaskan kebenaran hadits ini dalam satu bab tersendiri dengan didukung oleh sejumlah penelitian, terutama penelitian Joan Clark.

Dokter dari Australia itu melakukan penelitian tentang lalat dan menemukan bahwa permukaan luar tubuh lalat mengandung antibiotik yang dapat mengobati banyak penyakit. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa obat pada sayap itulah yang membuat lalat tidak terkena penyakit yang dibawanya sendiri.

Hasil penelitian Joan Clark ini cukup mengejutkan sekaligus memancing banyak ilmuwan lain untuk melakukan penelitian berikutnya. Hasilnya menunjukkan fakta lebih rinci bahwa cara terbaik mengeluarkan zat antibiotik pada lalat adalah dengan cara mencelupkannya ke dalam air. Sebab, zat antibiotik tersebut terutama terdapat pada permukaan luar tubuh dan sayapnya.

Setelah penelitian tersebut, seorang dokter dari Rusia kemudian mengembangkan pengobatan baru dengan lalat. Sedangkan Profesor Juan Alvarez Bravo dari Universitas Tokyo mengisyaratkan pengembangan pemanfaatan ekstrak lalat untuk pengobatan.

Dalam Fatawa Mu’ashiroh, Syaikh Dr Yusur Qordhowi ketika menerangkan hadits lalat ini juga menguatkannya dengan hasil penelitian yang menunjukkan kebenaran sabda Rosululloh bahwa dalam sayap lalat terdapat obat untuk menetralisir penyakit yang terdapat pada sayapnya yang lain.

Masya Alloh… fakta-fakta ilmiah ini baru terungkap mulai abad ke-20. Sedangkan Rosululloh telah mensabdakannya 13 abad sebelumnya. Lalu siapa yang mengajari Rosululloh kalau bukan Alloh Subhanahu wa Ta’ala? Hal ini juga menjadi salah satu bukti kebenaran Islam yang seharusnya membuat iman dan rasa syukur kita kian meningkat. Wallohu a’lam bish showab.

Credit: www.bersamadakwah.net

Salim: Muslim Memang Lebih Baik

Salim: Muslim Memang Lebih Baik

Salim: Perintah Khitan dalam Taurot, Injil, dan Al Qur'an

Salim: Perintah Khitan dalam Taurot, Injil, dan Al Qur'an

Salim: Perburuan Buku

Salim: Perburuan Buku

Abbas ibn Firnas; Penemu Konsep Pesawat Udara dan Gelas

Bicara soal dunia penerbangan, tak pernah lepas dari tokoh-tokoh semacam Sir George Cayley, Otto Lilienthal, Santos-Dumont, dan Wright Bersaudara. Merekalah yang dikenal berjasa merintis dunia penerbangan hingga menjelma menjadi industri modern seperti sekarang ini. Tapi apakah Anda tahu bahwa peletak dasar konsep pesawat terbang pertama adalah seorang ilmuwan Muslim dari Spanyol, Abbas Ibnu Firnas? Dialah orang pertama dalam sejarah yang melakukan pendekatan sains dalam mempelajari proses terbang. Ibnu Firnas pun layak disebut sebagai manusia pertama yang terbang, ribuan tahun sebelum Wright Bersaudara berhasil melakukannya.

Abbas Ibnu Firnas

Abbas Qasim Ibnu Firnas (di Barat dikenal dengan nama Armen Firman) dilahirkan pada tahun 810 Masehi di Izn-Rand Onda, Al-Andalus (kini Ronda, Spanyol). Dia dikenal ahli dalam berbagai disiplin ilmu, selain seorang ahli kimia, ia juga seorang humanis, penemu, musisi, ahli ilmu alam, penulis puisi, dan seorang penggiat teknologi. Pria keturunan Maroko ini hidup pada saat pemerintahan Khalifah Umayyah di Andalusia (Spanyol).

Pada tahun 852, di bawah pemerintahan Khalifah Abdul Rahman II, Ibnu Firnas memutuskan untuk melakukan ujicoba ‘terbang’ dari menara Masjid Mezquita di Cordoba dengan menggunakan semacam sayap dari jubah yang disangga kayu. Sayap buatan itu ternyata membuatnya melayang sebentar di udara dan memperlambat jatuhnya, ia pun berhasil mendarat walau dengan cedera ringan. Alat yang digunakan Ibnu Firnas inilah yang kemudian dikenal sebagai parasut pertama di dunia.

Keberhasilannya itu tak lantas membuatnya berpuas diri. Dia kembali melakukan serangkaian penelitian dan pengembangan konsep serta teori yang ia adopsi dari gejala-gejala alam yang kerap diperhatikannya.

Pada tahun 875, saat usianya menginjak 65 tahun, Ibnu Firnas merancang dan membuat sebuah mesin terbang yang mampu membawa manusia. Setelah versi finalnya berhasil dibuat, ia sengaja mengundang orang-orang Cordoba untuk turut menyaksikan penerbangan bersejarahnya di Jabal Al-‘Arus (Mount of the Bride) di kawasan Rusafa, dekat Cordoba.

Penerbangan yang disaksikan secara luas oleh masyarakat itu terbilang sangat sukses. Sayangnya, karena cara meluncur yang kurang baik, Ibnu Firnas terhempas ke tanah bersama pesawat layang buatannya. Dia pun mengalami cedera punggung yang sangat parah. Cederanya inilah yang membuat Ibnu Firnas tak berdaya untuk melakukan ujicoba berikutnya.

Kecelakaan itu terjadi karena Ibnu Firnas lalai memperhatikan bagaimana burung menggunakan ekor mereka untuk mendarat. Dia pun lupa untuk menambahkan ekor pada model pesawat layang buatannya. Kelalaiannya inilah yang mengakibatkan dia gagal mendaratkan pesawat ciptaannya dengan sempurna.

Cedera punggung yang tak kunjung sembuh mengantarkan Ibnu Firnas pada proyek-proyek penelitian di laboratorium. Seperti biasanya, ia meneliti gejala-gejala alam di antaranya mempelajari mekanisme terjadinya halilintar dan kilat, menentukan tabel-tabel astronomis, dan merancang jam air yang disebut Al-Maqata. Ibnu Firnas pun berhasil mengembangkan formula untuk membuat gelas dari pasir. Juga mengembangkan peraga rantai cincin yang digunakan untuk memperlihatkan pergerakan planet-planet dan bintang-bintang.

Prototype pesawat udara yang menginspirasi pemikir-pemikir berikutnya. Ibnu Firnas pun menemukan planetarium ruang angkasa, 600 tahun sebelum Leonardo da Vinci

Yang tak kalah menarik, Ibnu Firnas berhasil mengembangkan proses pemotongan batu kristal yang pada saat itu hanya dimampui oleh orang-orang Mesir. Berkat penemuan ini, Spanyol tidak perlu ekspor Quartz lagi ke Mesir karena bisa diselesaikan sendiri di dalam negeri. Salah satu penemuannya yang terbilang amat penting, yaitu pembuatan kaca silika serta kaca murni transparan. Ibnu Firnas juga dikenal sebagai penemu pembuatan kaca dari bahan pasir dan batu-batuan. Kejernihan kaca atau gelas hasil penemuannya mengundang decak kagum penyair Arab, al-Buhturi (820-897 M).

Ibnu Firnas wafat pada tahun 888, dalam keadaan berjuang menyembuhkan cedera punggung yang diderita akibat kegagalan melakukan ujicoba pesawat layang buatannya.

Walaupun percobaan terbang menggunakan sepasang sayap dari bulu dan rangka kayu tidak berhasil dengan sempurna, namun gagasan inovatif Ibnu Firnas kemudian dipelajari Roger Bacon 500 tahun setelah Firnas meletakkan teori-teori dasar pesawat terbangnya. Kemudian sekitar 200 tahun setelah Bacon (700 tahun pascaujicoba Ibnu Firnas), barulah konsep dan teori pesawat terbang dikembangkan.

Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa gegap gempitanya industri pesawat terbang modern seperti saat ini, tidak lepas dari perjuangan seorang Ibnu Firnas yang rela babak belur untuk sekadar melayang sebentar layaknya burung terbang.

Sosok Abbas Ibnu Firnas, kini hanya bisa kita temui tercetak di atas sebuah prangko buatan Libia, menjelma pada sosok patung dan nama lapangan terbang di Baghdad, dan abadi di salah satu kawah permukaan Bulan.

Jumat, 25 Maret 2016

Istri yang Menyejukkan Mata

Ada do’a sederhana yang ringan diucapkan, tetapi berat terasa ketika merenunginya. Inilah do’a memohon kepada Allah Ta’ala karunia istri (pun suami) dan keturunan yang menjadi penyejuk mata di dunia dan akhirat. Cerita tentang anak beserta keturunan berikutnya yang menyejukkan mata hati senantiasa membangkitkan kerinduan terhadapnya, bahkan bagi yang sudah memiliki banyak anak. Sesungguhnya sejuknya hati memandang anak keturunan, bertingkat-tingkat keadaannya. Karenanya, kita senantiasa berharap agar anak keturunan kita semakin baik, semakin baik lagi dan semakin menyejukkan mata hati kita. Tetapi sebelum anak-anak beserta keturunan kita berikutnya, ada yang terlebih dulu kita harap menyejukkan mata hati ini, yakni istri (suami) kita. Inilah yang merisaukan, terutama ketika bertanya pada diri sendiri, adakah diri ini menyejukkan mata baginya?

Marilah kita renungi sejenak tatkala Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74).

Inilah satu di antara do’a-do’a terbaik yang Allah Ta’ala sukai; do’a terbaik yang kita pun sangat patut memohonkannya kepada Allah Ta’ala dan merindui dikabulkannya bagi kita. Inilah do’a yang kita pun seharusnya mencita-citakan terwujud di dalam keluarga kita; anak-anak yang menjadi imam, yakni manusia utama, manusia pilihan yang sangat baik dan penuh manfaat bagi manusia lainnya.

Apa yang diperlukan agar di antara mereka menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa? Berat kumenuturkan disebabkan masih buruknya diriku, tetapi inilah yang kupahami sehingga tidak ada pilihan selain menyampaikan sesuai yang kuilmui. Berat disebabkan masih jauh dari keshalihan, sementara jalan untuk menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa itu adalah mengantarkan mereka menjadi penyejuk mata (qurrata a’yun). Siapakah qurrata a’yun itu? Mereka yang padanya melekat ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan bersamanya terpancar akhlak yang mulia. Ingat bahwa imam itu terkait dengan keutamaan seseorang, lebih dekat maknanya dengan ra’i yang berarti penggembala. Seorang penggembala mengenali yang digembalakannya, mengurusi dan membesarkannya.

Jadi, yang paling menonjol dari sosok yang qurrata a’yun adalah ketaatannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian darinya terpancar akhlak mulia, mengayomi dan memperhatikan orang lain. Dan inilah yang perlu kita tanamkan kepada anak-anak kita. Sejuknya pandangan mata itu bukan terutama ketika anak-anak kita kecil, masa ketika mereka masih tampak lucu menggemaskan, melainkan justru yang paling pokok adalah saat kita sudah tua hingga terkhusus lagi ketika kita sudah tiada; ketika kita semua sudah berada di kampung akhirat.

Ketika menafsirkan frasa وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا (sedangkan ayahnya adalah seorang yang shalih) di dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 82, Ibnu Katsir menerangkan bahwa dalam ayat tersebut terdapat dalil yang menunjukkan keshalihan seseorang akan membawa dampak bagi terjaganya anak keturunannya. Penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah tersebut menunjukkan bahwa dampak kebaikannya bukan pada anak saja, melainkan hingga keturunan berikutnya. Bahkan Ibnu Katsir menunjukkan sebagaimana dituturkan oleh Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa yang dimaksud dengan ayah pada frasa وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا (sedangkan ayahnya adalah seorang yang shalih) adalah kakek ketujuh dari kedua anak pada ayat tersebut. Dari sini kita dapat memahami, adakalanya seseorang yang biasa-biasa saja memiliki keturunan yang sangat baik agama disebabkan oleh baiknya kakek-kakek mereka hingga beberapa tingkat di atasnya. Karena itulah, amat patut kita berdo’a kepada Allah Ta’ala, memohon dengan permohonan yang Allah ‘Azza wa Jalla sukai tersebut seraya berusaha agar menjadi sarana kebaikan bagi istri kita atau suami kita.

Memahami ini semua, merinding rasanya saya karena melihat masih sangat buruknya diri ini. Banyak hal yang saya tidak menuliskannya, bukan karena menyembunyikan ilmu, tetapi karena masih sangat berat saya menyampaikan. Tulisan sederhana ini pun harus tertunda berkali-kali dan perlu waktu lama untuk merampungkannya.

Inilah jalan membaguskan keturunan --bukan hanya pada tingkat anak-- yang tidak memerlukan bekal seminar parenting alias tarbiyatul aulad. Inilah cara memuliakan keturunan, meskipun kita tampaknya awam ilmu pengasuhan.

Ada do’a lain yang juga meminta dibaguskannya keturunan, diperbaiki dari keadaan mereka agar semakin baik jika mereka baik, dan diluruskan jika mereka bengkok. Kita memohon sepenuh pinta sekaligus membenahi diri kita.

Mari kita renungi sejenak do’a yang Allah Ta’ala abadikan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahqaaf ayat 15:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Tuhanku, berikanlah aku petunjuk untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai (وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ); berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Do’a dari QS. Al-Ahqaf, 46: 15).

Ada do’a dan ada pelajaran berharga di dalamnya sebelum kita memohon kepada Allah Ta’ala agar membaguskan keturunan kita. Pertama, kita sangat menghajatkan petunjuk dengan memohon sepenuh harapan, beriring dengan upaya mengilmui, agar dapat mensyukuri nikmat-nikmat Allah Ta’ala. Kita perlu untuk dapat mensyukuri, perlu pula petunjuk agar dapat bersyukur dengan benar sesuai tuntunan. Semoga dengan itu, rasa syukur kita menjadikan Allah Ta’ala berkenan menambah dan menambahkan lagi nikmat-Nya serta barakah atas nikmat tersebut. Kedua, kita berusaha bersyukur atas segala nikmat yang dapat kita rasakan maupun yang tidak sanggup kita rasakan. Sesungguhnya memiliki ilmu agama dengan lurus merupakan rezeki, mengenali kebenaran merupakan rezeki, mampu menjauhi keburukan juga rezeki. Ringkasnya segala yang mendekatkan kepada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan adalah rezeki. Kita perlu mensyukuri semua itu, baik atas nikmat yang dikaruniakan kepada kita maupun nikmat yang Allah Ta’ala limpahkan bagi kedua orangtua kita. Ketiga, memperbaiki hubungan kita dengan kedua orangtua, membaguskan bakti kita kepada mereka, membahagiakan mereka dan berusaha agar mereka ridha kepada kita. Jika orangtua sudah tiada, kita mendo’akan dan melakukan amal shalih atas nama mereka. Sesungguhnya, hal terpenting dari rangkaian do’a ini adalah memohonkan kebaikan bagi orangtua dan memperbaiki bakti kita kepada keduanya.

Selanjutnya, pinta kita yang keempat adalah memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar Ia mampukan kita mengerjakan amal shalih yang Allah Ta’ala ridhai (وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ). Ini sekaligus mengisyaratkan kepada kita betapa pentingnya ilmu agar dapat beramal shalih yang benar-benar Allah Ta’ala ridhai. Dan merupakan jalan yang perlu kita upayakan bagi baiknya keturunan sepeninggal kita. Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengharap dengan sangat, memohon dengan segala kehinaan kita pinta yang kelima, yakni dibaguskannya anak keturunan kita.

Di ujung senja aku termangu, menatap diriku sendiri. Usiaku sudah lebih dari 40. Do’a tersebut adalah do’a mereka yang telah memasuki usia 40 tahun. Aku dapati diriku belum memiliki cukup bekal untuk pulang ke kampung akhirat, belum pula memiliki bekal yang mencukupi untuk bagusnya keturunan sepeninggalku. Bahkan walaupun itu adalah pinta kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

O Allah... ampuni diriku, istriku, keluargaku dan anak keturunanku. Kasih-sayangilah kedua orangtua kami. Baguskanlah keturunan kami dan jadikan kami penolong agama-Mu.

Yogyakarta, 14-25 Maret 2016

8 Racun dalam Kehidupan Kita

Hilary Bergsieker profesor ilmu perilaku sosial dari Psychology Department amazing people yakni pribadi yang menarik, disukai, memiliki hubungan win-win, dan bermanfaat bagi orang lain. Sebaliknya, perilaku yang rusak dan beracun atau toxic behavior, akan menimbulkan gesekan, persinggungan, pertengkaran, dan rasa tidak nyaman kepada orang lain.
Universitas Waterloo, Canada, mengatakan kerusakan dalam berpikir dan bersikap dikarenakan “racun” dan energi negatif dalam pikiran kita. Pribadi yang sehat adalah

Hilary Bergsieker menggarisbawahi perilaku buruk dan beracun atau toxic behavior yang terjadi dalam hubungan antar manusia yang sering menyebabkan perilaku seseorang membuat pihak lain menderita dan terbebani. Perilaku dan sikap buruk diterjemahkan penulis sebagai 8 “racun” dalam kehidupan kita yang dapat mengancam relasi hubungan dan pergaulan antar individu maupun kelompok dalam ruang lingkup organisasi, perusahaan, teman, rumah tangga, relasi, dan lain-lain.

1. Arrogance = Kesombongan
Kalau kita bertindak sombong terhadap orang lain maka adrenalin negatif akan menumpuk dalam pikiran dan hati kita. Badan kita akan menghasilkan energi negatif yang cenderung kuat menolak hal-hal yang baik, sekalipun datang dari orang yang kita anggap benar. Kesombongan adalah racun terbesar yang menutup daya pikir, akal sehat, dan nalar kita terhadap hal positif dan menolak pembangunan hubungan antar manusia atas dasar keseimbangan, harmonisasi, dan manfaat bagi semua orang.

Kesombongan bisa terjadi karena sikap keakuan yang kuat dan memandang dirinya lebih superior dan sukses dibanding orang lain. Orang yang bersikap seperti ini karena kurang memiliki sikap empati terhadap pemahaman bahwa pada dasarnya setiap orang adalah subjek dan bukan objek dalam ruang lingkup kehidupan.

Contoh: ketika kita sukses maka kita menganggap bahwa prestasi tersebut adalah semata-mata karena kerja keras diri sendiri, dan bukan karena bantuan dan peranan dari teman, bawahan atau anggota keluarga dan lain-lain yang sebenarnya turut memiliki andil.

2. Ignorance = Ketidakpedulian
Ignorance terjadi karena tidak peka dan ketidakpedulian terhadap apa yang terjadi di sekeliling kita.

Contoh: kalau ada orang sedang kesusahan, kelaparan, berduka atau menderita, maka empati atau rasa kasihan tidak akan muncul dari diri kita.

Ketidakpedulian melahirkan kekacauan dalam relasi antar manusia. Ignorance muncul karena kita takut berbagi perhatian dan kepedulian, dan menilai orang lain yang menderita semata-mata karena faktor nasib. Bukan karena faktor situasi yang mungkin bisa dirubah karena bantuan dan perhatian kita.

Hati nurani bisa timbul karena persepsi yang benar dalam pikiran kita dan membawa hati dan perasaan kita dalam bentuk simpati dan empati. Ketidakpedulian melahirkan penyakit dan racun sosial dalam pikiran dan hati kita.

3. Denial = Penyangkalan
Seberapa sering kita menyangkal terhadap apa yang telah kita perbuat dan merugikan pihak lain? Penyangkalan disebabkan karena kita tidak memiliki “jiwa dalam pikiran kita”. Kita kehilangan kesadaran untuk berani mempertanggungjawabkan atas apa yang kita lakukan.

Penyangkalan kerap membuat kita buta terhadap realitas yang sebenarnya. Ketika kebanyakan orang lain mengatakan warna putih adalah putih, maka kita tetap mengatakan hitam. Penyangkalan terjadi karena kita tidak peduli dengan perasaan orang lain.

Contoh: jika tim kerja kita mengalami kemerosotan kinerja, maka kita melepas tanggung jawab dan kenyataan sebenarnya, dan menyangkal dengan memberikan argumentasi dan pembelaan diri bahwa semuanya tetap berjalan baik.

4. Tinkering = Mengerjakan sesuatu tanpa keahlian
Banyak kisah nyata sukses yang terjadi di masyarakat yang dimulai dengan tindakan dan cara berpikir hal-hal kecil dan sederhana. Dari situ kita dapat memupuk, melatih dan mengasah secara bertahap dan menjadikannya suatu keahlian yang kita kuasai. Untuk menjalankan suatu pekerjaan apa pun kita dituntut memiliki kemampuan dan keahlian baik secara praktik, teori dan pengetahuan yang cukup dan seimbang.

Tinkering bisa terjadi karena kita tidak mau belajar dan melatih diri agar menjadi lebih cakap. Akibatnya, sering menjadi hambatan bagi orang lain. Kalaupun kita telah merasa pandai dan tidak mau terus belajar, maka kualitas keahlian akan menurun. Maka kemampuan kita bukan menjadi obat, tetapi dapat menjadi racun bagi orang lain.

Untuk mengubah keadaan, kita hendaknya berani memberikan pengorbanan melalui tenaga, pikiran, waktu, bahkan biaya, agar kita semakin berilmu dan tidak menjadi beban pihak lain.

Contoh tinkering: seorang penjual tidak mau belajar dari penjual yang sukses, membaca buku-buku penjualan atau mempraktikkan secara konsisten, disiplin, dan teratur. Akibatnya prestasi penjualan tidak pernah dicapai dan merugikan perusahaan serta dirinya sendiri.

5. Losing focus = Kehilangan fokus
Fokus adalah sebuah kata motivasi untuk melakukan sesuatu pekerjaan mulai dari perencanaan, penyusunan, tindakan, evaluasi hasil, dan dampak dari tujuan yang akan kita capai. Ketidakmampuan kita untuk fokus sering disebabkan karena memikirkan dan bertindak pada hal-hal yang sepele dan kurang bermanfaat. Bahkan cenderung menjalankan sesuatu pekerjaan yang seharusnya prioritas menjadi kabur, kehilangan arah, dan pegangan.

Pribadi yang kehilangan fokus dalam hidup dan pekerjaan adalah pribadi yang kehilangan arah dan disorientasi dalam berpikir. Seperti unsur-unsur kimia yang tidak lagi selaras pada susunan molekul dan atom dalam tubuh dan pikiran kita. Fokus memerlukan latihan yang teratur, konsistensi dalam cara berpikir dan tegas dalam menentukan sikap kita. Kehilangan fokus sering menjadi beban besar pada diri sendiri dan orang lain yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas kita sehari-hari.

Contoh: Pada saat kita harus menyelesaikan suatu tugas penting, maka kita lupa pada target waktu, ukuran, dan standar pencapaian hasil kerja dan perhatian terhadap anggota tim kerja yang terlibat didalamnya.

6. Permissive = Toleransi negatif
Konsistensi sangat dibutuhkan agar kita bisa mengikuti dan menjalankan standar pekerjaan dengan benar. Membuat setiap orang yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas kita memiliki daya ungkit dalam memberikan kinerja terbaiknya dan mendapatkan manfaat luas. Lawan dari konsistensi adalah permisif yakni toleransi yang negatif. Permisif sering menciptakan keadaan yang kacau dan tidak beraturan atau inkonsistensi dalam berpikir, berucap maupun bertindak.

Dalam sebuah survei tentang tingkah laku, cara berpikir dan berucap kepada sekelompok karyawan beberapa perusahaan, diambil sebuah kesimpulan ternyata semua orang sepakat baik lisan dan tertulis bahwa korupsi, manipulasi, dan indisipliner tidak diterima oleh akal sehat dan norma yang berlaku. Ada jembatan keseimbangan persepsi perilaku yang benar dan salah. Toleransi negatif adalah racun dalam tindakan dan merugikan kebanyakan orang atau perusahaan secara psikologi dan materi.

Contoh: peraturan setiap orang dilarang terlambat masuk kerja, maka ketika kita membiarkan segelintir orang melanggar karena “unsur suka dan pilih kasih”, maka akan merusak tatanan, standar, dan aturan yang berlaku.

7. Egoism = Keakuan egoisme
Sering dalam pergumulan hidup kita bertanya: saya yang lebih penting atau orang lain yang harus saya seimbangkan dalam hubungan sosial. Kita sering menempatkan diri kita lebih berharga dan berarti dibanding yang lain. Kesalahan terbesar dalam menempatkan diri kita “sebagai yang paling berarti” menyebabkan kehilangan sikap dalam berbagi dan berempati kepada orang lain.

Egoisme atau keakuan muncul karena kita takut menghadapi realitas bahwa hidup dan hasil yang baik harus diperjuangkan dan diperebutkan dengan cara yang elegan dan benar. Efek dari racun pikiran dan hati membuat tindakan kita tidak merefleksikan kepentingan bersama. Tindakan kita akan lebih didominasi oleh imajinasi dalam pikiran kita yang keliru dan buruk karena mementingkan diri sendiri. Maka egoisme adalah bahaya besar yang membuat kita bersikap apatis terhadap kebutuhan yang seimbang dalam hubungan dengan orang lain.

Contoh: ketika kita membuang sampah sembarangan, maka kita hanya mementingkan diri sendiri dan tidak peduli terhadap kesehatan, keselamatan, dan kebersihan lingkungan dan orang lain.

8. Conflict = Pertikaian
Mengapa konflik sering muncul di sekitar kita? Akumulasi dari racun persoalan hidup kita di atas akan menyebabkan timbulnya pertikaian dengan orang lain. Dalam hubungan pribadi, rumah tangga, pekerjaan, bisnis, dan relasi dengan pihak mana pun sering timbul kecenderungan terjadinya pertikaian, debat, permusuhan, saling menyalahkan, dan menghindarkan tanggung jawab kita. Konflik akan melahirkan luka perasaan dan dendam pada semua pihak yang terlibat. Dan pertikaian akan menimbulkan suasana tegang pada semua pihak. Karena itu, pertikaian adalah racun dari emosi kita yang tidak terkendali.

Konflik atau pertikaian timbul karena tidak mampu mengelola emosi dan egoisme yang menguasai diri kita. Konflik bisa terjadi secara mental, psikologis, dan fisik yang tentunya akan merugikan semua pihak.

Meredakan dan mengurangi “racun-racun” dalam kehidupan kita akan berdampak positif kepada cara berpikir, berucap, dan bertingkah laku. Merefleksikan diri bahwa pada hakekatnya setiap pikiran dan tubuh manusia memiliki unsur-unsur positif yang lebih dominan daripada unsur-unsur negatif. Tantangan terbesar bagi kita adalah mengelola dan mengembangkan kemampuan dalam mengikis secara bertahap semua unsur-unsur “racun” yang ada dalam diri kita, agar mampu menempatkan diri kita berguna dan bernilai dalam pergaulan dan hubungan dengan orang lain.

There is an island of opportunity in the middle of every difficulties."

Kamis, 24 Maret 2016

Belajar Memaafkan

“MAAF” begitu sederhana diucapkan namun berat lagi memberatkan. Begitu mudahnya dibayangkan namun sangatlah sulit dilakukan, terlebih kepada para sukma yang telah terinfeksi baksil-baksil dendam. Betapa kita tahu keberagaman hati manusia berkaitan dengan aktivitas maaf-memaafkan ini, apakah kita termasuk dari orang yang tulus memberi maaf tanpa harus menunggu penyesalan dan permintaan maaf dari seseorang yang berbuat salah itu? Atau hati kita baru akan luluh setelah seseorang itu mengajukan sebuah kalimat “Maukah kamu memaafkan kesalahanku?” atau barangkali sampai seseorang itu menangis-nangis darah pun hati kita mengeras tidak akan sedikitpun memaafkan?

Tetapi barangsiapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.” (QS. Asy-Syuro [42]: 43)

Hakikatnya memaafkan itu memanglah sulit, terlebih kepada orang yang telah menyakiti, berbuat tidak adil, melecehkan, merobohkan kepercayaan, berbuat kekerasan, dan pelbagai perlakuan keji lain yang menyebabkan meranggasnya luka di sekujur jiwa dan raga kita. Apalagi jikalau kesalahan itu dilakukan kepada kita secara sengaja dalam jangka waktu yang lama sampai berdampak buruk terhadap perkembangan mental, jiwa, dan masa depan kita. Namun ketahuilah, rupanya malah jauh menyulitkan bila kita termasuk orang-orang yang pelit memberi maaf, jauh menyakitkan bila kita lebih memilih menghabiskan sisa hidup dengan terus-terusan meratapi perlakuan orang lain terhadap kita itu, tanpa sedikitpun berusaha untuk ikhlas, melupakan semuanya dan memulai untuk membuka lembaran baru, walaupun harus penulis sendiri akui bahwa mudah atau sulitnya memaafkan itu tergantung dari besar atau kecilnya kesalahan yang telah seseorang itu perbuat sendiri kepada kita.

Namun resapilah, saudaraku, betapa merugi orang-orang yang gemar memelihara dendam, mereka umumnya justru menuai dampaknya sendiri, betapa tidak? Bukankan balas dendam hanya akan meneruskan rantai-rantai permusuhan? Balas dendam bisa jadi malah membuat kita menuai balas dendam darinya kembali, balas dendam lagi juga menuai balas dendam darinya lagi, begitu seterusnya. Dendam itu tidak akan berakhir tidak terkecuali salah satu dari kedua belah pihaknya sudi mengakhirinya dengan mengalah dan ikhlas memaafkan. Alangkah lebih baiknya bila kita serahkan semuanya pada sang Ar-Rohman, bukankah kita masih mempunyai Mahakasih? Bukankah selama kita masih memilikiNya sepatutnya kita harus tenang? La Takhof La Tahzan Innalloha Ma’ana; kita serahkan semua beban ini padaNya, jikalau Alloh SWT mau dan sudi, pastilah suatu saat nanti Ia tak segan memberi ganjaran, atau lebih patutnya ganjaran yang membuat seseorang itu memperoleh hidayah dan segera menyesali perbuatannya. Perbanyak istighfar dan tak letih komat-kamit berdoa menjadi salah satu jalan terapi bagi orang-orang yang terjangkit penyakit dendam.

Alloh swt berfirman, “Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Alloh Maha Pemaaf lagi Mahakuasa.” QS. An-Nisaa’ [4]: 149

Belajar dari Hamka dan Mandela
Kita dapat menilik betapa kebesaran hati sang Hamka yang patut kita jadikan teladan. Dua tahun empat bulan lamanya rezim Soekarno mendekamkannya di penjara atas tuduhan yang sangat mustahil bagi Hamka untuk dilakukan yaitu terkait pelanggaran Undang-Undang Anti Subversif Pempres No. 11 tepatnya tuduhan perencanaan pembunuhan terhadap Presiden RI pertama Soekarno. Hal ini membuat keluarga Hamka terkatung, buku-buku karangan Hamka dilarang beredar hingga membuat pemasukan rumah tangganya mogok. Istri Hamka kemudian tertatih banting tulang demi menghidupi anak-anaknya. Semua perhiasan yang tersisa habis di jual untuk menjajakan seonggok beras. Hamka baru bebas dari belenggu jeruji besi pasca jatuhnya rezim Soekarno. Namun hal itu tidak sedikitpun menyulutkan api dendam di hati Hamka. Kebesaran hati dan sikap pemaaf beliau membuatnya dengan senang hati dan tulus memenuhi amanat Soekarno sebelum meninggal untuk mengimami sholat jenazahnya.

Tatkala itu, rekan sejawatnya mempertanyakan sikap yang ditunjukkan Hamka, “mengapa beliau mau mengimami sholat jenazah untuk Soekarno”, padahal karenanya beliau beberapa tahun silam harus menikmati udara pengap penjara selama beberapa tahun lamanya. Terlebih mengenai adanya asumsi sejumlah orang bahwa Soekarno itu komunis dan jenazahnya tidak perlu disholatkan, namun Hamka tetap lurus dan kokoh mengemban amanat itu. Apalagi di mata Hamka, Soekarno adalah seorang muslim sejati. Hamka malah justru berterima kasih kepada rezim yang telah menjebloskannya ke penjara. Berkatnya selama di penjara beliau dapat merampungkan sebuah karya besar berupa kitab yang kemudian menjadi sangat legendaris sampai ke negeri jiran, yaitu Tafsir Al-Azhar.

Lain lagi dengan kisah kebesaran hati Mandela, sang presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan. Dunia memujinya dengan deretan pertanyaan “Terbuat dari apakah hati sang Mandela?”

Pada awal abad 21, bangsa kulit hitam Afrika Selatan yang tidak kuasa lagi menerima segala bentuk perlakuan deskriminatif dan rasialisme dari bangsa kulit putih mulai berani menentang keras sistem apartheid. Mereka mengadakan pemberontakan, demonstrasi secara besar-besaran hingga boikot mogok kerja. Rupanya dalam peristiwa yang mengguncang Afrika Selatan beberapa tahun silam ini, Mandela muncul sebagai tokoh utamanya. Mandela yang kala itu menjadi aktifis utama penentang sistem apartheid lantang menyerukan kemanusiaan dan menuntut perlakuan yang sama adilnya antara bangsa kulit hitam dan bangsa kulit putih. Hal ini berakhir dengan rentetan tragedi yang menelan korban jiwa. Beberapa oknum di tangkap dan dijatuhi hukuman seumur hidup, tidak terkecuali di antaranya Mandela.

Selama di tahanan, tepatnya di Robben Island Afrika selama 27 tahun lamanya Mandela diperlakukan secara keji dan tak manusiawi oleh sipir penjara. Mandela acapkali dilecehkan, digantung dengan posisi kepala di bawah kemudian dikencingi kepalanya, bahkan Mandela disuruh meminum air seninya. Namun beruntungnya siksaan yang melelahkan jiwa dan raga Mandela itu berakhir. Hal ini juga tak lepas dari peran seluruh dunia. Seiring berjalannya sistem apartheid yang menindas kaum bangsa hitam umumnya, Afrika Selatan semakin terisolasi dari pergaulan dan hubungan internasional. Hal inilah kemudian yang melatarbelakangi berakhirnya masa apartheid di Afrika Selatan. Mandela akhirnya lepas dari penjara dan turut dalam pemilihan presiden pertama yang digelar secara adil dan bebas. Mandela berhasil terpilih sebagai presiden Afrika Selatan pertama yang berkulit hitam pada tahun 1994. Tak hanya itu, Mandela berbesar hati merangkul semua lawan politiknya. Beliau mengajak seluruh warga Afrika Selatan untuk “Forgive but not to forget” atau istilahnya memaafkan dengan tidak melupakan segalanya yang telah berlalu. Mandela bahkan menyesal ketika meninggalkan penjara tidak dahulu berpamitan kepada sipir yang menyiksanya sepanjang beliau mendekam di sel.

Hal inilah yang membuat Mandela mengundang sang sipir pada saat pelantikan dirinya sebagai presiden. Mandela menyambutnya layaknya tamu yang terhormat dan menyalaminya dengan santun sembari berkata, “Terima kasih perlakuan Anda beberapa tahun silam telah menguatkan saya untuk memenangkan perjuangan ini”. Duhai, berasal dari manakah hati Mandela? Rupanya Mandela menjadikan itu semua sebagai ibroh bagi dirinya supaya lebih kuat, kokoh, dan tak mudah roboh. Semua yang dialaminya benar-benar telah mencambuk keras mentalnya, dan memukul keras hatinya sehingga Mandela sadar, kesakitan yang beliau alami memang begitu sakitnya, perihnya, menyiksanya lahir batin, hingga darinya ia sadar seseorang tidak boleh merasakan hal yang sama seperti dirinya, akan tetapi cukup dirinya saja. Inilah mengapa Mandela memilih merangkuli mereka yang pernah zholim, mengapa Mandela mengajak untuk memaafkan walaupun saat itu bangsa kulit hitam sudah memiliki derajat yang sama tingginya seperti bangsa kulit putih.

“Tidaklah sedekah itu akan mengurangi harta dan tidaklah seseorang yang memaafkan kezholiman orang lain kecuali Alloh akan menambahkan baginya kemuliaan dan ia tidak akan di rugikan.” (HR. Ahmad No-6908)

Begitulah, sikap kebesaran hati dan memaafkan yang dapat membopong kita pada kemenangan dan cukup sebagai pelajaran, segala perlakuan yang pernah seseorang lakukan kepada kita, supaya kita tahu rasanya sakit sehingga membuat kita lebih tahu-menahu dan menyadari betapa jangan sampai orang lain mengalami hal yang sama menyakitkannya seperti kita.

“Namun kita mudah memaafkan jika kita sadar bahwa memaafkan jauh memberikan manfaat daripada dendam. Ketenangan diraih bukan dengan balas dendam tetapi memaafkan.” -Rahmat Mr. Power.

Semoga kita dapat mengambil banyak ibroh dari kisah di atas.

Selasa, 22 Maret 2016

Perilaku Racun dan Perilaku Madu

Ada sebuah kisah yang menarik tentang bagaimana seseorang bisa "tumbuh" secara emosional lewat perantara orang lain. Tersebutlah seorang Manajer yang memiliki staf luar biasa menjengkelkan. Perilaku stafnya ini hampir selalu menebar aura negatif ke semua orang. Akibatnya, Sang Manajer didesak untuk segera memecatnya. Sang Manajer pun bimbang, tidak tahu harus melakukan apa untuk mengubah perilaku stafnya.

Suatu saat, Manajer ini mendapatkan "pencerahan" di dalam program ekstensi yang diikutinya selama akhir pekan. Salah satu pengajar di program tersebut memperkenalkan dua jenis perilaku karyawan di dalam perusahaan: "perilaku racun" dan "perilaku madu", ini sebagai istilah saja.

"Perilaku racun" adalah perbuatan-perbuatan yang menyebabkan orang lain merasa: tidak dihargai, marah, frustasi, dan kehilangan motivasi.

Sedangkan "perilaku madu" memiliki efek sebaliknya: menjadikan orang-orang di sekitar merasa dicintai, dihargai, dan diapresiasi.

Orang-orang dengan perilaku semacam ini menjadi magnet yang dapat menarik orang lain untuk mendekat. Di akhir sesi, Sang Pengajar membagikan kuisioner untuk diisi. Melalui kuisioner ini, setiap peserta bisa mengevaluasi kelebihan dan kekurangannya, proporsi "racun" dan "madu" di dalam perilakunya.

Sekembalinya ke kantor, Sang Manajer memanggil stafnya yang bermasalah tadi ke ruangannya. Setelah staf itu duduk, Sang Manajer pun berkata, "Aku baru saja mengikuti pelatihan manajemen, dan pengajarnya memberikan kuisioner ini. Kukira isinya menarik. Silakan kamu baca."

Selanjutnya, Sang Manajer hanya diam memperhatikan stafnya membaca kuisioner tersebut kata demi kata. Saat matanya sudah sampai di bagian paling bawah, staf itu mengangkat muka dan perlahan berkata, "Ini aku, kan? Di bagian 'perilaku racun' ini adalah hal-hal yang selama ini aku lakukan. Aku tidak pernah menyadari efeknya seburuk ini."

"Barangkali itu bisa menjadi bahan renunganmu," demikian komentar Sang Manajer singkat.

Dan, apa yang terjadi selanjutnya? Perilaku staf tadi langsung berubah drastis! Sang Manajer sendiri sampai dibuat takjub. "Aku belum pernah melihat orang berubah secepat ini selama hidupku," demikian komentarnya terheran-heran. Dari seorang yang sangat menjengkelkan, staf tadi langsung berubah menjadi ringan tangan dan murah senyum.

Dari pengalaman tersebut, Sang Manajer berkesimpulan bahwa, hal kecil yang jarang disadari oleh manusia adalah karena seiring tidak sadar dengan dampak yang dilakukannya. Kurangnya kesadaran Sang Manajer membuat stafnya bertahan dengan sikap "racun" selama bertahun-tahun, sementara stafnya juga tidak sadar dampak yang diakibatkan oleh sikapnya terhadap teman-teman sekantornya. Orang-orang semacam ini membutuhkan bantuan agar bisa memahami dirinya dari kacamata orang lain di sekitarnya. Ini pun berlaku untuk kita.

Seabad, Lembaran Al Qur'an Ini Terabaikan

Dari tumpukan manuskrip buku dan dokumen Timur Tengah di perpustakaan Universitas Birmingham ditemukan lembaran berisi teks ayat Al Qur'an yang diduga kuat berasal dari masa awal Islam.

Dilansir BBC hari Rabu (22/7/2015), berdasarkan pemeriksaan radiokarbon manuskrip berisi ayat-ayat Al Qur'an tersebut setidaknya berusia 1.370 tahun. Sehingga menjadikannya sebagai salah satu manuskrip Al Qur'an tertua yang pernah ditemukan.

Manuskrip itu terabaikan, tidak dikenali asal-usulnya, di perpustakaan universitas tersebut hampir seratus tahun (satu abad) lamanya.

Ketika Alba Fadeli, seorang mahasiswa PhD yang sedang melakukan riset, melihat lebih dekat lembaran-lembaran manuskrip itu dia memutuskan untuk melakukan uji radiokarbon, yang hasilnya “sangat mencengangkan”.

Direktur untuk koleksi-koleksi khusus di Universitas Birmingham, Susan Worrall, mengatakan para peneliti tidak menyangka sama sekali bahwa manuskrip itu akan berusia sangat tua.

Uji radiokarbon yang dilakukan oleh Oxford University Radiocarbon Accelerator Unit menunjukkan bahwa potongan manuskrip yang ditulis di atas kulit domba atau kambing itu merupakan salah satu teks Al Qur'an tertua yang pernah ditemukan selama ini.

Hasil tes memberikan kemungkinan lebih dari 95% manuskrip Al Qur'an itu berasal dari antara tahun 568 dan 645 Masehi.

Berdasarkan hitungan penanggalan Masehi, masa Nabi Muhammad menerima wahyu, sejak diangkat sebagai rosul dan mendakwahkan Islam hingga ajalnya, adalah antara tahun 610 dan 632.

David Thomas, profesor bidang kajian Kristen dan Islam di Universitas Birmingham, mengatakan bahwa ada kemungkinan orang yang menuliskan teks Al Qur'an itu hidup di zaman Nabi Muhammad masih ada.

“Orang yang menulisnya bisa jadi mengenal baik Nabi Muhammad. Dia mungkin telah bertemu dengannya, dia mungkin mendengarkannya berdakwah. Dia mungkin mengenalinya secara pribadi –dan ini sungguh sesuatu yang sangat tidak terduga,” kata Thomas.

“Bagian dari Qur'an yang dituliskan dalam lembaran ini bisa jadi, kemungkinan kuat, berasal dari masa kurang dari dua puluh tahun setelah Muhammad wafat,” imbuh Thomas.

Manuskrip Al Qur'an itu, meskipun usianya sudah seribuan tahun lebih, masih dapat dilihat dan dibaca dengan jelas. Teks al Qur'an tersebut ditulis dengan gaya Hijazi.

Pakar manuskrip semacam itu di British Library, Dr. Muhammad Isa Waley, mengatakan temuan itu akan membuat umat Islam “sangat bersuka-cita”.

“Dua lembaran ini, yang ditulis dengan indah dan hasil tulisan tangan gaya Hijazi yang sungguh mencengangkan karena masih terbaca, hampir dipastikan berasal dari masa tiga kholifah pertama,” kata Waley.

Tiga kholifah pertama sepeninggalan Nabi Muhammad memimpin umat Islam sekitar tahun 632 hingga 656 Masehi.

Dr. Waley mengatakan bahwa dimasa kepemimpinan kholifah ketiga, 'Utsman bin Affan, teks Al Qur'an yang dibukukan disebarkan.

“Masyarakat Muslim ketika itu tidak cukup kaya untuk menimbun kulit hewan selama puluhan tahun dan menghasilkan sebuah mushaf Al Qur'an yang lengkap, yang membutuhkan kulit dalam jumlah sangat banyak,” kata Waley.

Manuskrip yang hampir seabad terabaikan di Universitas Birmingham itu merupakan bagian dari Mingana Collection, yang terdiri dari lebih 3.000 dokumen asal Timur Tengah yang dikumpulkan pada tahun 1920-an oleh Alphonse Mingana, seorang pendeta Khaldean yang dilahirkan di dekat Mosul di Iraq sekarang.

Pendeta Mingana melakukan perjalanan ke berbagai wilayah Timur Tengah untuk mengumpulkan manuskrip-manuskrip lawas dengan dukungan dana dari Edward Cadbury, anggota keluarga dinasti pengusaha kaya bidang industri panganan coklat.

Pihak universitas mengatakan bahwa pada bulan Oktober mendatang manuskrip Al Qur'an itu akan dipamerkan di Barber Institute di Birmingham.

Prof. Thomas mengatakan pameran itu akan menunjukkan kepada warga Birmingham bahwa mereka “memiliki sebuah harta kekayaan yang tidak ada duanya.”

“Ketika saya melihat lembaran-lembaran ini hati saya sangat tersentuh. Ada air mata kegembiraan dan emosi di mata saya. Dan saya yakin orang-orang dari seluruh Inggris akan datang ke Birmingham untuk melihat lembaran-lembaran ini,” kata Muhammad Afzal, ketua dari Birmingham Central Mosque.

Senin, 21 Maret 2016

Cicak di Dinding dan Keyakinan Utuh

Barangsiapa memperbagus hal-hal tersembunyi, niscaya Alloh jelitakan apa yang tampak dari dirinya.
Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Alloh, niscaya Alloh baikkan hubungannya dengan sesama.
Barangsiapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Alloh yang kan mencukupinya dalam perkara dunia.
('Umar ibn 'Abdil 'Aziz)

Seandainya kita adalah seekor cicak, mungkin sudah sejak dulu kita berteriak, "Ya Alloh, Kau salah rancang dan keliru cetak!"

Sebab cicak adalah binatang dengan kemampuan terbatas. Dia hanya bisa merayap meniti dinding. Langkahnya cermat. Jalannya hati-hati. Sedangkan semua yang ditakdirkan sebagai makanannya, memiliki sayap dan mampu terbang ke mana-mana. Andai dia berpikir sebagai manusia, betapa nelangsanya. "Ya Alloh," mungkin begitu dia mengadu, "bagaimana hamba dapat hidup jika begini caranya? Lamban saya bergerak dengan tetap harus memijak, sedang nyamuk yang lezat itu melayang di atas, cepat melintas, dan ke mana pun bebas." Betapa sedih dan sesak menjadi seekor cicak.

Namun, mari ingat sejenak bahwa ketika kecil dulu, orangtua dan guru-guru mengajak kita mendendang lagu tentang hakikat rezeki. Lagu itu berjudul, Cicak-cicak di Dinding.

Bahwa tugas cicak memang hanya berikhtiar sejauh kemampuan. Karena soal rezeki, Alloh-lah yang memberi jaminan. Maka kewajiban cicak hanya diam-diam merayap. Bukan cicak yang harus datang menerjang. Bukan cicak yang harus mencari dengan garang. Bukan cicak yang harus mengejar dengan terbang.

"Datang seekor nyamuk."

Alloh yang Maha Mencipta, tiada cacat dalam penciptaan-Nya. Alloh yang Maha Kaya, atas-Nya tanggungan hidup untuk semua yang telah dijadikan-Nya. Alloh yang Maha Memberi rezeki, sungguh lenyapnya seisi langit dan bumi tak mengurangi kekayaan-Nya sama sekali. Alloh yang Maha Adil, tak kan mungkin Dia bebani hamba-Nya melampaui kesanggupannya. Alloh Maha Pemurah, maka Dia jadikan jalan karunia bagi makhluk-Nya amatlah mudah.

"Datang seekor nyamuk."

Alloh yang mendatangkan rezeki itu. Betapa dibanding ikhtiyar cicak yang diam-diam merayap, perjalanan nyamuk untuk mendatangi sang cicak sungguh lebih jauh, lebih berliku, dan lebih dahsyat. Jarak dan waktu memisahkan keduanya, dan Alloh dekatkan sedekat-dekatnya. Bebas si nyamuk terbang ke mana jua, tapi Alloh bimbing ia supaya menuju pada sang cicak yang melangkah bersahaja. Ia tertakdur dengan bahagia, menjadi rezeki bagi sesama makhluk-Nya, sesudah juga menikmati rezeki sekama waktu yang ditentukan oleh-Nya.

Dan tiada dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan Alloh-lah rezekinya. Dia Maha Mengetahui tempat berdiam dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab Lauhul Mahfuzh yang nyata." (QS. Huud [11]: 6)

"Daabbah," demikian menurut sebagian mufassir, "adalah kata untuk mewakili binatang-binatang yang hina bersebab rendahnya sifat mereka, terbelakang cara bergeraknya, kotor keadaannya, liar hidupnya, dan bahkan bahaya dapat ditimbulkannya." Alloh menyebut daabbah di ayat ini, seakan-akan untuk menegaskan; jika binatang-binatang rendahan, terbelakang, kotor, liar, dan berbahaya saja Dia jamin rezekinya, apatah lagi manusia.

***
"Sesungguhnya rezeki memburu manusia," demikian sabda Rosululloh saw sebagaimana dicatat oleh Imam Ath-Thobroni dan Ibn Hibban, "lebih banyak dari kejaran ajal terhadapnya."

***
Betapa jarang kita mentafakuri rezeki. Seakan semua yang kita terima setiap hari adalah hak diri yang tak boleh dikurangi. Seakan semua yang kita nikmati setiap hari adalah jatah rutin yang murni dan tak boleh berhenti. Seakan semua yang kita asup setiap hari adalah memang begitulah adanya lagi tak boleh diganggu gugat.

Padahal, hatta sebutir garam pun adalah rezeki Alloh yang menuntut disyukuri.

Hatta sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan, untuk menemui pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang makan. Betapa kecil upaya kita, dibandingkan cara Alloh mengirimkan rezeki-Nya. Kita baru merenungkan sebutir garam, bagaimanakah bebijian, sayur, ikan, dan buahnya? Bagaimanakah katun, wol, dan sutranya? Bagaimanakah batu, kayu, pasir, dan gentingnya? Bagaimanakah besi, kaca, dan karet rodanya?

Maka seorang Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya yang amat bersahaja, "Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari Gaza, dan air Sungai Yordan. Betapa hamba hanya makhluk-Mu yang paling kaya, wahai Robbana!"

Dia mengingatkan kita pada sabda Rosululloh. "Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya bebarang harta," demikian yang direkam Imam Al Bukhori dan Imam Muslim, "kekayaan sesungguhnya adalah kayanya jiwa."

Akhirnya, mari kita dengarkan Sang Hujjatul Islam. "Boleh jadi kau tak tahu di mana rezekimu," demikian Imam Al Ghozali berpesan, "tetapi rezekimu tahu di mana dirimu. Jika ia ada di langit, Alloh akan memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Alloh akan menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Alloh akan menitahkannya timbul untuk menemuimu."

Di lapis-lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan, bahwa Alloh yang Menciptakan, Menjamin rezeki bagi ciptaan-Nya.

Credit: Salim A. Fillah; "Lapis-lapis Keberkahan"; Pro-U Media.2014

Pulang ke Kota Kita

"Susah menebak hati orang Yogya," kata seorang teman dari Sumatera. "Semua hal ditanggapi dengan senyum. Tapi arti senyumnya banyak sekali."

Tentu kawan ini melakukan penggebyahan. Tak semua orang Yogyakarta tersenyum sebanyak yang beliau gambarkan itu. Tapi baiklah saya akan bercerita tentang seorang yang perjuangannya akan diperingati sebagai berdirinya kota ini; Pangeran Mangkubumi. Dan beliau memang banyak tersenyum dalam berbagai keadaan.

Pun bahkan ketika menerima penghinaan yang kasar dari Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff dan Patih Pringgalaya di balairung kakaknya, Raja Mataram Sunan Pakubuwana II pada 1746, beliau juga tersenyum. Tapi malam itu setelah pamit dan memohon restu Kakandanya, beliau akan memimpin salah satu perang terdahsyat yang dihadapi VOC sepanjang sejarahnya.

Pada 1755, perang yang menguras kas penjajah dan menimbulkan kerugian besar itu harus diakhiri. Seorang Arab yang mendarat di Semarang bernama Syarif Akbar Syaikh Ibrohim dibujuk oleh Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Hartingh untuk menyama-nyama utusan Sultan Turki 'Utsmani dan membujuk sang Pangeran untuk menghentikan peperangan dan menerima pembagian Negara Mataram menjadi dua, berbagi dengan keponakannya Pakubuwana III yang bertakhta di Surakarta. Kompensasinya, gelar Sultan resmi dari Daulah 'Utsmaniyah akan ditahbiskan bagi dirinya.

Merasa bahwa rakyat pun turut menderita karena perang yang menewaskan panglima pasukan VOC Kolonel De Clerck dan membuat Gubernur Jenderal Van Imhoff terluka parah pada 1750 di Benteng Ungaran itu, perjanjian pun ditandatangani di Giyanti. Beliau menerima Kesultanan barunya yang beribukota Yogyakarta sebagai Sultan Hamengkubuwana I.

Tapi jika kita belum bisa mengalahkan musuh, setidaknya buatlah agar hatinya selalu rusuh.

Jan Greeve, Gubernur VOC untuk Nord Oost Kust yang menjabat 1787-1791 mencatat kenangan tak terlupakan seperti direkam M.C. Ricklefs dalam "Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi" tentang betapa merepotkannya si senyam-senyum ini bahkanpun di masa damai.

Bagian dari Perjanjian Giyanti adalah VOC diizinkan mendirikan benteng pengawas di ibukota kedua negeri; Surakarta dan Yogyakarta. Berbeda dengan di Surakarta yang Fort Rostenburg selesai dibangun hanya dalam waktu singkat, Fort Vredeburg harus menanti belasan tahun kemudian dengan berbagai kendala yang agaknya disengaja Sultan dari soal letak, pengadaan tanah, 'banjirnya' lokasi, bahan bangunan yang lambat disediakan, pengiriman material yang 'dibegal', 'amblesnya' pondasi, kerusakan bata dan kapur, pergantian berulangkali pejabat yang diserahi tanggungjawab, dan tenaga kerja serta tukang yang 'malas dan asal-asalan'.

Jan Greeve geleng-geleng kepala karena di seberang selatan sana, pembangunan Benteng Baluwarti Keraton Yogyakarta yang berukuran puluhan kali lebih besar berjalan lancar di bawah pimpinan putra mahkota Bendara Raden Mas Sundoro.

Ketika diberlakukan aturan agar para raja Nusantara mengucapkan selamat tiap kali ada pengangkatan Gubernur Jenderal VOC yang baru; Sultan meminta agar Patihnya beserta para nayaka difasilitasi untuk berangkat ke Batavia. Sementara raja-raja lain mengirim beberapa orang saja, rombongan duta Yogyakarta berjumlah 3000 personil sehingga kedatangan mereka ke Batavia, selain menghabiskan anggaran, lebih seperti parade pameran kekuatan Sultan Mangkubumi daripada mengucapkan selamat.

Berjalan dua kali untuk pengangkatan Van Riemsdijk pada 1775 dan Reinier de Klerck pada 1777, Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting akhirnya meminta Sultan cukup mengucapkan selamat di Semarang saja diwakili Gubernur Nord Oost Kust. Tapi Sultan menolak. Martabatnya, kata beliau hanya sejajar dengan Batavia. Adalah penghinaan baginya kalau ucapan itu diberikan di Semarang.

Jan Greeve yang datang ke Yogyakarta untuk merundingkan beberapa hal termasuk perkara ini harus menghadapi 'teror' serta 'horor' lanjutan.

Setelah mengunjungi Surakarta, dia menuju Yogyakarta melalui Jalan Raya Prambanan. Di sepanjang jalan masuk ke Keraton, prajurit Yogyakarta berbaris dan hendak menyambut dengan salvo kehormatan. Anehnya seluruh senapan diarahkan ke kereta Jan Greeve, bahkan juga beberapa meriam. Dan begitu aba-aba diberikan, "Jlegar!", mereka menembak serentak ke arah Gubernur VOC itu. Jan Greeve sudah memejamkan mata dan menutup telinga, siap mati. Tapi ternyata semua berpeluru kosong. Dengan gemetar dia keluar dari kereta dan Sultan Mangkubumi menyambut serta memeluknya dengan senyum manis penuh arti.

Butuh beberapa hari sampai Jan Greeve pulih dari shock-nya.

Ketika dia menyatakan siap untuk berunding, Sultan justru mengajaknya menonton rampogan macan di alun-alun. Tanding harimau dengan kerbau ini selalu dimulai dengan agresifnya sang raja hutan, tapi lalu ia menjadi cepat lelah dibanding kerbau yang lamban namun tabah dan akhirnya keluar jadi pemenang. Sultan hendak menyimbolkan Belanda sebagai sang harimau dan Jawa sebagai kerbau. Maka Sultan tersenyum lagi saat Jan Greeve mengusulkan dimasukkan satu harimau lagi. Harimau kedua itu ternyata bukan membantu kawannya, tapi malah bergelut saling melemahkan dan kerbau pun kian berjaya.

Malamnya, Sultan Mangkubumi menjamu Jan Greeve sembari berperahu di sekitar Pulo Kenongo kompleks pemandian Taman Sarinya yang indah lagi penuh labirin. Ketika sampan bersepuh emas itu dihentikan di tengah kolam luas, tiba-tiba Sultan pamit meloncat ke sampan lain di dekatnya dengan membawa semua dayung dan meninggalkan sang Gubernur VOC. Tak berapa lama, semua lampu Taman Sari dimatikan dan Jan Greeve menggigil di tengah sepi. Tetiba terdengar suara salak senapan bersahut-sahutan yang membuat Jan Greeve bertiarap dengan keringat dingin mengucur deras.

Drama berakhir ketika Sultan tiba-tiba kembali muncul bersamaan hidupnya lampu dan beliau mengulurkan tangan sambil tersenyum dan meminta maaf karena adanya sedikit 'kekacauan' dan beliau harus turun tangan menyelesaikannya.

Sultan membawa tamunya kembali ke Keraton dengan menunjukkan vitalitas luar biasa di usianya, mendaki berbagai anak tangga naik turun dari Pulo Kenongo. Sesekali sembari menunggu Jan Greeve yang terengah-engah beliau memeragakan tarian beksan gagah yang digubahnya.

Ah, mengenang perjuangan beliau juga perjuangan cicitnya, Diponegoro, dengan memakai 'pakaian taqwa' yang dicintainya ini, saya kok terfikir usul agar Bandara baru Yogyakarta yang dibangun di Kulon Progo nantinya dinamai "Pangeran Mangkubumi". Syabas, rohimahulloohu Sultan penuh senyum.

Salim A. Fillah

Minggu, 20 Maret 2016

Lepas Landas Mi'roj

Buroq namanya. Maka ia serupa barq, kilat yang melesat dengan kecepatan cahaya. Malam itu diiring Jibril, dibawanya seorang Rosul mulia ke Masjidil Aqsho. Khodijah, isteri setia, lambang cinta penuh pengorbanan itu telah tiada. Demikian juga Abu Tholib, sang pelindung yang penuh kasih meski tetap enggan beriman. Ia sudah meninggal. Rosul itu berduka. Ia merasa sebatang kara. Ia merasa sendiri menghadapi gelombang pendustaan, penyiksaan, dan penentangan terhadap seruan sucinya yang kian meningkat seiring bergantinya hari. Ia merasa sepi. Maka Alloh hendak menguatkannya. Alloh memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda kuasaNya.

Buroq namanya. Ia diikat di pintu Masjid Al Aqsho ketika seluruh Nabi dan Rosul berhimpun di sana. Mereka sholat.

Dan penumpangnya itu kini mengimami mereka semua. Tetapi dari sini Sang Nabi berangkat untuk perjalanan yang menyejarah. Disertai Jibril ia naik ke langit, memasuki lapis demi lapis. Bertemu Adam, Yahya serta ’Isa, Yusuf, Idris, Harun, Musa, dan Ibrohim. Lalu terus ke Sidrotul Muntaha, Baitul Ma’mur, dan naik lagi menghadap Alloh hingga jaraknya kurang dari dua ujung busur.

Di hadapan Alloh, salam baginya, "Assalaamu 'alaika ayyuhan Nabiyyu, warohmatulloohi wa barokaatuh."

Dan beliau dengan kerendahan hati menjawab salam itu tanpa melupakan hamba-hamba Alloh yang sholih, yang semoga kita termasuk di dalamnya, "Assalaamu 'alainaa wa 'alaa 'ibaadillaahish shoolihiin."

"Beliau bermi'roj dari Masjidil Aqsho ke hadapan Alloh tanpa melupakan kita ummatnya; maka bagaimana kita akan lupa pada titik lepas landas mi'roj dan kiblat pertama yang kini terjajah? Apa yang kita jihadkan? Di sinilah tawaran perniagaan.

Sholahuddin Al Ayyubi; Tegas terhadap Syi’ah

Sultan Sholahuddin Al Ayyubi (1137-1193) atau Saladin (versi Barat), namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang Muslim yang memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan tentara salib yang merupakan gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa.

Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan Islam yang saat itu telah tidur nyenyak dan telah lupa akan tongkat estafet yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw, maka Sholahuddinlah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan pantang menyerah yang ditunjukkan melalui “Sirotun Nabawiyah”. Hingga kini peringatan itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.

Tegas terhadap Syi’ah
Sholahuddin Al Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.

Buntut dari pengepungan Kairo yang dilakukan oleh orang-orang Kristen, Asaduddin Syirkuh -paman Sholahuddin- beserta enam ribu pasukan dikirim ke Mesir dan Sholahuddin Al Ayyubi juga termasuk dari pasukan tersebut. Dengan datangnya Sholahuddin, orang-orang Kristen angkat kaki dari Mesir dan demikianlah bagaimana proses kedatangan orang-orang Ayyub di Mesir.

Asaduddin Syirkuh wafat setelah dua bulan kedatangannya di Mesir dan Sholahuddin Al Ayyubi mengambil alih posisinya sebagai panglima dan gubernur Mesir. Konsekuensi pengalihan kekuasaan ini membuat pengaruh dan kekuasaan kholifah Bani Fathimiyah yang bermazhab Syi’ah Isma’iliyah semakin berkurang dan yang tersisa hanyalah namanya saja sebagai penguasa. Hingga beberapa tahun setelahnya, Sholahuddin pada khutbah-khutbahnya menggantikan nama kholifah Abbasiyah sebagai ganti nama kholifah Fathimiyah dan demikianlah pemerintahan Syi’ah Bani Fathimiyah di Mesir menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintahan Ayyubi.

Syi’ah Isma’iliyah adalah sekte Syi’ah yang meyakini bahwa Isma’il bin Ja’far adalah imam ketujuh. Adapun mayoritas Syi’ah (Syi’ah Itsna Asyariyah) meyakini bahwa Musah bin Ja’far-lah imam ketujuh setelah Ja’far ash-Shodiq. Perbedaan dalam permasalahan pokok ini kemudian berkembang ke berbagai prinsip ajaran yang lain yang semakin membedakan ajaran Syi’ah Isma’iliyah dengan Syi’ah arus utama, Syi’ah Itsna Asyariyah, sehingga ajaran ini menjadi sekte tersendiri.

Isma’iliyah memiliki keyakinan yang menyimpang jauh dari ajaran dan akidah Islam. Sebagaimana
sekte Syi’ah lainnya, Syi’ah Isma’iliyah juga meyakini bahwa para imam terjaga dari perbuatan dosa, mereka adalah sosok yang sempurna dan tidak ada celah sama sekali. Para imam juga dianggap memiliki kemampuan-kemampuan rubbubiyah. Pendek kata, para imam merupakan perwujudan Tuhan di muka bumi.

Sholahuddin sangat menentang orang-orang Syi’ah Mesir dengan menghancurkan simbol-simbol dan syiar-syiar Syi’ah. Ia berusaha memberangus Syi’ah hingga ke akar-akarnya. Ia terkadang bersikap toleran dengan orang-orang Kristen namun bersikap tegas dan keras dalam menghadapi orang-orang Syi’ah. Sholahuddin berusaha keras menyebarkan fikih Syafi’i dan menyebarluaskan mazhab Syafi’i sebagai ganti mazhab Syi’ah Isma’iliyyah.

Pada 1171 M, Sholahuddin meruntuhkan Daulah Fathimiyah dan menurunkan kholifahnya yang terakhir dari tahtanya. Diantara peninggalan Daulah Fathimiyah yang paling berharga adalah Universitas Al Azhar yang semula mencetak sarjana-sarjana Syi’ah kemudian diganti oleh Sholahuddin menjadi universitas yang mencetak tokoh-tokoh Sunni hingga hari ini.

Sholahuddin tentulah seorang Sunni fanatik dan bermazhab Syafi’i. Tatkala berhasil merebut kekuasaan di Mesir, Sholahuddin berusaha keras untuk menyebarkan mazhab ini dan menjadikanya sebagai mazhab resmi menggantikan mazhab Syi’ah.

Berperang melawan ajaran-ajaran dan simbol-simbol mazhab Syi’ah
Sholahuddin mengisolir ulama Syi’ah dan merusak sekolah-sekolah mereka atau merubahnya menjadi sekolah-sekolah Sunni. Ia juga memerintahkan untuk membakar perpustakaan besar Bani Fathimiyyah. Dan yang paling penting adalah syiar-syiar Syi’ah harus dihentikan. Di antara syiar tersebut adalah Asyuro. Sholahuddin mengumumkan hari Asyuro sebagai hari gembira dan berpesta nasional. Tindakannya ini telah menjadi penghalang besar pelaksanaan acara Asyuro di Mesir bagi orang-orang Syi’ah. (Wadhiyyat-e Syi’ahyân Meshr dar ‘Ashr Sholâhuddin Ayyûbi, hal. 155.)

Demikian juga, ungkapan “Hayya ‘ala Khoir al-‘Amal” yang merupakan salah satu syiar mazhab Syi’ah dihapus dari azan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah 565. Ia menginstruksikan supaya nama-nama para kholifah rosyidun yang merupakan simbol Ahlisunnah disebutkan pada setiap khutbah. Pergantian para hakim Syi’ah adalah salah satu tindakan Sholahuddin dalam melenyapkan Syi’ah.

Dengan menempatkan hakim Syafi’i sebagai ganti hakim Syi’ah berusaha supaya fikih Syi’ah dihapuskan dan fikih Syafi’i dijalankan di tengah masyarakat Mesir sehingga masyarakat akrab dengan jenis fikih ini. Pada sebagian waktu berujung pada adanya pemberontakan-pemberontakan Syi’ah di beberapa daerah namun Sholahuddin lebih memilih melakukan kegiatan-kegiatan kultural dan ideologikal, namun ia tetap saja melakukan perlawanan militer melawan Syi’ah. Menjatuhkan dan mengejar orang-orang Syi’ah merupakan salah satu pekerjaan serius para menteri di bawah pemerintahan Sholahuddin. Pada masa Sholahuddin menjadi Syi’ah adalah sebuah tindak pidana dan orang-orang Syi’ah akan ditindak secara hukum dan diseret ke hadapan pengadilan yang hakimnya dipilih oleh Sholahuddin hanya karena mereka Syi’ah.

Mengatur urusan ekonomi dengan melibatkan pihak pemerintah secara aktif
Pada akhir-akhir pemerintahan Bani Fathimiyyah, kondisi ekonomi masyarakat sangat susah dan dua ratus ribu Dinar yang harus dibayar oleh rakyat setiap tahunnnya. Namun pada masa Sholahuddin, ia memberikan kelonggaran kepada rakyat untuk membayar sekali saja pajak mereka.

Hal ini dilakukan supaya rakyat akan senantiasa bergantung kepada pemerintahan Sholahuddin dan melupakan pemerintahan Syi’ah dan pemikiran Syi’ah.

Mendirikan Sekolah-sekolah Syafi’i
Sholahuddin yang berusaha menyebarkan mazhab Syafi’i mendirikan sekolah Syafi’i di Mesir dan melalui madrasah ini kebanyakan alim dan pendakwah Syafi’i akan memasuki kehidupan masyarakat sehingga dapat membantu penyebaran mazhab Syafi’i di Mesir. (Wadhiyyat-e Syi’ahyân Meshr dar ‘Ashr Sholâhuddin Ayyûbi)

Wallohu A’lam

Credit: NUgarislurus

Muslim Memang Lebih Baik

Bahkan ketika diadu dengan sesosok jin yang dikenal cerdik, seorang yang punya interaksi sangat baik dengan firman Alloh swt masih lebih baik. Seperti yang pernah terjadi di zaman Nabi Sulaiman a.s.

Menyambut kedatangan Ratu Balqis yang didampingi sekira 12.000 tentaranya, Nabi Sulaiman a.s. mengadakan “sayembara” kepada para pejabat di lingkungan kerajaan. Siapa di antara mereka yang sanggup menghadirkan singgasana Ratu Balqis di Saba’ yang terletak kurang lebih 2.022 km jauhnya dari kerajaan Sulaiman a.s. di Yerussalem.

Kejadian itu terekam dalam Al-Qur’an surat An-Naml ayat 38 sebagai berikut: “Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.””

Lantas sesosok makhluk dari bangsa Jin yang dijuluki Ifrit menyanggupi. “Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.”” (QS. An-Naml: 39)

Seorang ulama dari generasi tabi’in, Mujahid bin Jabir memberi keterangan bahwa makhluk tersebut adalah jin pembangkang. Ia memberi garansi mendatangkan singgasana Balqis lebih cepat dari proses Nabi Sulaiman a.s. bangkit dari duduknya.

Tapi kiranya tawaran catatan waktu itu belum memuaskan Nabi Sulaiman a.s. Ia ingin yang lebih cepat lagi. Sayembara dilanjutkan, barangkali ada yang bisa lebih baik dari Jin Ifrit tadi.

Kemudian Ashif bin Barkhiya tampil. Untuk melakukan seperti yang diminta Sulaiman a.s., ia memerlukan waktu lebih cepat dari kejapan mata. Catatan waktu yang dijanjikan oleh lelaki yang dideskripsikan oleh Al-Qur’an sebagai “seorang yang mempunyai ilmu dari Alkitab” itu memuaskan Nabi Sulaiman. Dan ialah yang kemudian ditunjuk untuk mentransfer singgsana Ratu Balqis ke tengah istana Nabi Sulaiman.

Al-Qur’an dalam surat An-Naml 40 menceritakannya seperti berikut:
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.”” (QS. An-Naml: 40)

Dan ayat itu telah menyuratkan bahwa muslim lebih baik.

Kita mungkin tercengang dengan kemampuan jin yang bisa memindahkan singgasana yang besar dan tak terbayangkan beratnya sejauh ribuan kilometer dalam waktu sekejap. Tercengang, tapi tidak heran karena kita tahu bahwa bangsa jin memang punya kekuatan lebih dari golongan manusia. Namun rupanya manusia yang beriman kepada Alloh mampu mengungguli kehebatan jin tadi.

Muslim Lebih Baik
Ya, Al-Qur’an menyebut Ashif bin Barkhiya sebagai seorang yang memahami kitab suci. Di zaman itu beredar kitab Taurat dan Zabur, yang berlaku khusus hanya untuk Bani Isroil, dan belum mengalami distorsi oleh tangan manusia.

Kini Al-Qur’an lah yang berlaku untuk seluruh umat manusia. Kitab yang masih terjaga ini pun terkandung ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan anak Adam. Kalau Ashif bin Barkhiya yang membaca kitab Zabur saja bisa berkemampuan hebat, bagaimana lagi kita yang membaca Al-Qur’an?

Memang, kemampuan Ashif bin Barkhiya tadi tak kan turun kepada generasi selanjutnya karena mentok oleh doa Nabi Sulaiman a.s. yang meminta kekuasaan yang tak dimiliki oleh pihak lain. “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi.” (QS. Ash-Shood: 35). Dari jin hingga angin tunduk kepada Nabi Sulaiman a.s. (QS. Ash-Shood 36-38). Teknologi yang berlaku di kerajaannya tak kan bisa ditiru oleh kerajaan atau umat lain. Begitu juga kemampuan seperti memindahkan singgasana Ratu Balqis.

Namun hikmah dari kisah sayembara Nabi Sulaiman a.s. tadi adalah bahwa muslim yang berinteraksi dengan firman Alloh swt akan dikaruniai kemampuan yang lebih baik dari manusia lain di zamannya.

Islam mengajarkan manusia untuk memburu ilmu di sepanjang hayatnya. Dari buaian hingga liang lahat (Alhadits). Visi implementasi ilmu dalam Al-Qur’an adalah menembus angkasa dan menerobos kedalaman bumi (QS. Ar-Rohman: 33). Visi itulah yang memotivasi muslim untuk menjadi digdaya.

Selain menumbuhkan semangat penguasaan ilmu pengetahuan, Islam juga menyiapkan mental pemeluknya untuk menaklukkan dunia. Lalu bergaunglah perkataan hikmah: “Letakkan dunia di tanganmu, dan akhirat di hatimu.” Mental seorang muslim terbentuk untuk tidak akan diperbudak oleh dunia, tapi justru ia yang mengendalikan dunia.

Rujuk saja dalam sejarah! Bangsa yang tergila-gila dengan syair pada 15 abad yang lalu tadinya tak diperhitungkan dalam peradaban dunia. Mereka tinggal di tanah yang tandus di kelilingi padang pasir. Namun beberapa tahun setelah Rosululloh diutus membawa Al-Qur’an, Persia yang saat itu merupakan negara super power bisa ditaklukkan mereka. Bahkan wilayah Syam yang meliputi Palestina yang tadinya dikuasai negara super power lain, Romawi, juga bisa direbut. Hingga kekuasaan Islam mencapai 1/3 dunia.

Di abad pertengahan, saat Eropa masih menjadi wilayah yang gelap, di jantung pemerintahan Abbasiyah di Baghdad umat muslim bermalam hari dengan kerlap lampu cahaya kota. Saat itu orang-orang Eropa harus berguru kepada umat muslim untuk mendapatkan ilmu yang tak kan beredar di Eropa.

Hingga akhirnya berlaku ketetapan Alloh swt. bahwa masa kejayaan itu dipergilirkan. “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)” (QS. Ali Imron: 140). Kini kejayaan Islam hanya menjadi cerita. Seiring dengan melemahnya kesadaran kolektif umat Islam untuk mendalami kitab sucinya.

Pemimpin Muslim Lebih Baik
Di era sekarang, menjadi keterpurukan yang bertubi-tubi tatkala umat Islam lemah karena kesadaran Islam yang buruk, ditambah lagi penyakit inferiority complex yang dideritanya. Rasa percaya diri umat muslim dalam posisi yang amat rendah saat mereka tak yakin ada saudaranya yang mampu memimpin. Mereka terpesona pada non muslim yang sebenarnya kinerjanya sendiri biasa saja namun terbantu eksagregasi pemberitaan media.

Menjadi mayoritas di negeri ini, tentu tak sulit mendapatkan sesosok orang yang kompeten dan muslim yang baik untuk dijadikan pemimpin. Sayangnya dihembuskan ungkapan “Lebih baik pemimpin kafir yang jujur daripada pemimpin muslim yang korup.” Kalimat itu seolah menegaskan tak adanya pemimpin muslim yang jujur sehingga pilihannya hanya kafir yang jujur atau muslim yang korup. Kalimat tadi juga mengandung pembodohan dan penipuan.

Kalau benar muslim, maka seseorang tidak akan menjadi pendusta. Pernah Rosululloh saw ditanya, “Apakah seorang mukmin bisa menjadi penakut?” Beliau menjawab: “Ya.” Kemudian ditanya lagi; “Apakah seorang mukmin bisa menjadi bakhil?” Beliau menjawab: “Ya.” Lalu ditanyakan lagi; “Apakah seorang mukmin bisa menjadi pembohong?” Beliau menjawab: “Tidak.” (HR. Imam Malik No. 1571) Karena itu, saat disebut “pemimpin muslim”, maka kategorinya adalah pemimpin yang tidak akan mengkhianati rakyatnya.

Dengan ajaran yang memerintahkan berlaku jujur, memotivasi untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menerapkannya, serta mengenyahkan nafsu dunia, apa yang kurang dari seorang muslim untuk menjadi pemimpin? Sebaik-baiknya seorang non muslim yang memimpin, akan lebih baik kepemimpinan muslim yang benar-benar menjalankan agamanya. Harusnya setiap umat Islam meyakini itu tanpa ada rasa rendah diri berlebihan.

Saya yakin, sosok seperti Ashif bin Barkhiya masih banyak. Mereka harus diberi kesempatan untuk memimpin agar bisa “mentransfer singgasana peradaban-peradaban maju” ke tengah umat Islam.