Jumat, 13 Januari 2017

Tjokroaminoto, Raja Jawa Tanpa Mahkota


“SEMURNI-murni Tauhid, Setinggi-tinggi ilmu, Sepandai-pandai siasat.”

Lerena mangan sadurunge wareg – berhentilah makan sebelum kenyang”

Ungkapan-ungkapan di atas dicetuskan oleh Tjokroaminoto. Seorang yang lahir dari keluarga priayi dan mencoba keluar dari pakem “kepriayiannya” dan beralih kepada Islam. Di zamannya, ia adalah sebuah fenomena. Boleh dibilang porsi keberadaannya dalam sejarah nasional cukup besar, apalagi kalau ditilik soal “Kebangkitan Nasional”.

Nama lengkapnya adalah: Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto. Ayahnya, Raden Mas Tjokroaminoto, adalah seorang Wedana di Kawedanan Kletjo (Madiun). Ia dilahirkan di desa Bakur pada tanggal 16 Agustus 1882. Ia juga merupakan cucu dari Kyai Kasan Besari (Hasan Basri), Ulama yang mendirikan pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo yang beristrikan putri Susuhunan II, kesultanan Surakarta.

Tjokroaminoto memang lahir dari keluarga priayi dan sempat dari tahun 1902-1905 bekerja sebagai Juru tulis Patih di Ngawi, sebuah pekerjaan yang lumrah bagi para priayi. Tapi ia memutuskan berhenti secara terhormat dari pekerjaannya. Ia lebih senang memilih “bunuh diri kelas” dengan menempuh jalan yang berbeda dengan ayah dan kakeknya. Ia muak melihat praktik-praktik tradisi yang berbau feodalisme. Namanya sendiri dipotong menjadi Oemar Said Tjokroaminoto, yang nantinya setelah menunaikan ibadah haji menjadi: Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau disingkat HOS. Tjokroaminoto.

Adanya colour lines (garis warna) dalam pemerintahan Belanda sangat dirasakan oleh Tjokro. Menurutnya, garis warna menyebabkan terjadinya sub-ordinasi politik dan ekonomi, serta terbatasnya jaminan sosial. Hal yang berlaku adalah hubungan “Tuan-Hamba”, seorang hamba-rakyat jelata berkewajiban melayani segala kebutuhan Tuannya-penjajah kolonial. Terjadilah diskriminasi di semua bidang kehidupan rakyat bangsa Indonesia kala itu.

Tjokro memilih untuk singgah di Semarang dan Surabaya guna mencari pekerjaan di dua kota tersebut. Selama tahun 1905-1907 ia bekerja sebagai kuli pelabuhan di Semarang. Selain menjadi kuli, tahun 1905-1910 juga ia bekerja di sebuah firma (advokat) Kooy & Co di Surabaya. Di Surabaya pula ia sempat menjadi leerling machinist (pembantu bagian mesin) di Pabrik gula dan terakhir menjadi bagian chemiker (bagian kimia).

Secara formal Tjokroaminoto menempuh pendidikannya di OSVIA (Opleidingsschool voor Inlandsch Ambtenaren) di Magelang dan tamat tahun 1902. Kemudian melanjutkan sekolahnya di Pamong Praja, sekolah untuk menjadi pegawai pemerintahan di zaman Belanda. Tahun 1905-1910, ia menempuh sekolah Sipil malam, Burgerlijke Avondschool (BAS) di Surabaya.

Pendidikan Islam didapatnya dari rumahnya sendiri dan dari orang-orang sekitar daerah Madiun hingga Magelang. Setelah dewasa, dengan kemampuannya di bidang sastra Jawa dan bahasa asing (Belanda dan Inggris), ia kemudian mempelajari Islam secara otodidak. Selain itu, ia juga mengasah kemampuan jurnalistiknya dengan menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti: Bintang Soerabaya, Utusan Hindia, dan direktur-redaktur Fajar Asia.

Pada tahun 1912, ia kedatangan tiga orang, termasuk Samanhudi di dalamnya, yang berasal dari Sarekat Islam. Akhirnya setelah diskusi panjang, Tjokroaminoto kemudian dibai'at sebagaimana lazimnya berlaku untuk anggota SI yang baru masuk. Sejak saat itu resmilah Tjokro menjadi anggota SI.

Tahun 1912 juga menjadi titik terang dalam perjalanan hidup Tjokro. Ia berubah dari menghidupkan mesin-mesin pabrik kepada menghidupkan mesin “kekuatan Islam” dalam jiwa bangsa, Umat Islam. Ruh mereka hampir mati akibat penjajahan. Dari seorang chemiker-ahli mengolah bahan kimia, menjadi seorang ahli yang dapat mengolah semangat pribumi yang lemah, menjadi kekuatan pendobrak massal yang menakutkan bagi penjajahan.

Sejak tahun 1912 hingga akhir hayatnya Tjokroaminoto adalah ketua SI, sekalipun nama organisasi berubah-ubah (SI, PSI, PSIHT, PSII). Tidak ada orang yang mampu menandinginya kala itu. Ia dikenal sebagai: organisator ulung, ideolog, konseptor, dan orator penggerak massa. Tapi lebih dari itu, ia adalah seorang penemu (founder) yang menemukan jawaban tepat untuk permasalahan yang dihadapi rakyat terhadap penjajahan. Ia jugalah yang pertama kali mencetuskan ide revolusioner, “Indonesia Merdeka”.

Bagi Tjokroaminoto, yang mampu menjadi solusi permasalahan bangsanya adalah: ISLAM; yaitu Islam yang “hidup‟. Islam yang datang dari Yang-Maha-Hidup. Islam yang telah menghidupkan orang-orang Badui penghuni padang pasir menjadi orang-orang berbudaya yang menyumbangkan berbagai pemikiran dan budaya ke peradaban dunia. Islam yang menjadi penyelamat manusia dari dunia hingga akhirat. Ia mengatakan, “Kita menghendaki ISLAM sebagai yang diajarkan dan diamalkan pada zaman permulaannya: ISLAM tidak dengan tambahan barang baru, tetapi ISLAM dalam kesuciannya semula.”

Islam yang dimaksudkan adalah yang meliputi pengertian agama, politik, undang-undang, dan para penganutnya. Islam yang mengikuti jejak contoh yang telah dipraktikkan Nabi Muhammad saw. Ketegasan beliau dalam memegang prinsip Islam dapat kita lihat dalam politik yang dikenal sebagai “Politik non-kooperasi”. Di kalangan partai SI disebut sebagai Sikap-Hijrah.

Setelah menyodorkan wasiat tertulis yang disahkan pada Kongres PSII ke-20 pada bulan Maret 1934 sebagai Regliment (aturan) Pedoman Umat Islam, keadaan Tjokroaminoto semakin memburuk. Beberapa kali ia jatuh sakit dan harus menjalani perawatan. Di bulan Ramadhan 1353 H, Tjokro menderita sakit yang amat parah di Yogyakarta.

Konon -menurut cerita yang tersebar- selama dalam kondisi sakit sekonyong-konyong Tjokro terlihat bangkit dan duduk secara tiba-tiba, dan dari mulutnya terucap, “Aku bertemu Rasulullah”. Kemudian ia tidur kembali. Kadangkala terdengar lantunan suara al-Qur'an yang begitu fasih dan merdu disertai cahaya terang yang berpendar keluar ruangan kamarnya. Peristiwa-peristiwa itu terjadi berulang-ulang hingga akhirnya pada tanggal 17 Desember ia benar-benar berpulang ke rahmatullah.

Bagi bangsa Indonesia, Tjokroaminoto adalah legenda. Dari tangannyalah lahir para konseptor, pemimpin-pemimpin besar bangsa dengan ideologi dan pandangan yang berlain-lainan. Murid-muridnya yang utama antara lain: Semaoen, Soekarno, dan Kartosoewirjo.

Selama membangun Sarekat Islam, Tjokro sering dielu-elukan masyarakat kecil. Mereka berebut menyalaminya, bahkan berlomba-lomba meraih kain Tjokro yang menjuntai ke tanah sekadar untuk ngalap berkah. Tjokro, dalam pandangan masyarakat kecil, tak ubahnya Mesias alias Ratu Adil. Ditambah kumisnya yang khas dan suara bariton yang lembut, berat, dan berkharisma, ia dapat memukau ribuan hadirin dengan orasinya. Dengan kemampuan dan karismanya, tak salah jika ia disebut sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota oleh pejabat kolonial yang sempat bertemu dengannya.

Begitulah seorang guru bangsa yang mencita-citakan pekik kemerdekaan dan kebangkitan nasional yang hakiki. Beliaulah salah satu pendahulu yang telah mencetak kader-kader pemimpin bangsa. Sekalipun pada akhirnya terjadi pertikaian dan tragedi di antara murid-muridnya, ia tetaplah dipandang sebagai sosok yang membangkitkan bangsa ini dari cengkeraman penjajah. 

*dicuplik dari buku “Manhaj Bernegara dalam Haji: Kajian Sirah Nabawi di Indonesia” karya: Muhammad Rasuli Jamil

KH. Samanhudi; Pedagang Sekaligus Politikus

Tahun 1900-an, perdagangan di Indonesia dimonopoli oleh para pedagang Cina karena banyak mendapatkan bantuan dari pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya, pedagang pribumi banyak mendapat tekanan. Karena ketidakadilan itu, pedagang Indonesia tidak dapat mengembangkan usahanya. Perlakuan yang tidak adil dan cenderung merendahkan kaum pribumi itu membuat seorang pedagang batik, KH. Samanhudi, tergerak untuk membela kaumnya, para pedagang batik pribumi.

Samanhudi yang juga dikenal dengan nama Wiryowikoro dan atau Sudarno Nadi dilahirkan di Solo pada tahun 1868. Terbatasnya kesempatan untuk sekolah, membuatnya hanya sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat. Itu pun tidak tamat. Sesudah itu, ia memutuskan untuk belajar agama di Surabaya sambil berdagang batik.

Usahanya dalam memperjuangkan nasib pedagang pribumi dilakukannya dengan menyusun kekuatan di bidang perdagangan dan agama. Ia merasa bahwa oedagang batik pribumi perlu memiliki organisasi tersendiri untuk membela kepentingan mereka. Maka pada tahun 1911, ia mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo.

Adapun alasan mendasar yang melatarbelakangi pendirian organisasi tersebut, yakni pertama, persaingan yang meningkat dalam bidang perdagangan batik terutama dari orang-orang Cina yang memiliki sifat superior terhadap orang pribumi. Kedua, adanya tekanan yang datang dari kaum bangsawan.

Keberadaan SDI mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Terbukti dengan menjamurnya cabang-cabang SDI dalam waktu yang terbilang singkat di luar kota Solo. Kenyataan tersebut membuat pemerintah Belanda khawatir. Atas dorongan beberapa pengurus dan anggota, SDI pun berubah menjadi sebuah partai politik yang ditandai dengan perubahan nama dari SDI menjadi SI (Sarekat Islam) pada tanggal 10 September 1912.

Anggota SI setiap tahun bertambah terus. Menjelang kongres pertamanya pada tanggal 25-26 Januari 1913 di Surabaya, anggota SI sekitar 80.000 orang. Lalu meningkat menjadi 360.000 orang, tiga tahun kemudian. Pada tahun 1918, jumlah anggotanya semakin bertambah lagi menjadi 450.000 orang. Sementara itu, penyusunan Anggaran Dasar (AD), mencari pimpinan, dan mengatur hubungan antara organisasi pusat dan daerah diselesaikan pada periode tahun 1916-1921.

Tujuan organisasi SI sendiri dirumuskan sebagai berikut: “Akan berikhtiar supaya anggota-anggotanya satu sama lain bergaul seperti saudara, dan supaya timbullah kerukunan dan tolong menolong satu sama lain antara sekalian kaum muslimin, dan lagi dengan segala daya upaya yang halal dan tidak menyalahi wet-wet (undang-undang, hukum-pent.) negeri (Surakarta) dan wet-wet Gouvernemen, …berikhtiar mengangkat derajat, agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebesaran negeri.”

Melihat perkembangan partai SI yang pesat ke daerah-daerah di jawa dan setelah kegiatan-kegiatan para anggotanya di Solo meningkat tanpa dapat diawasi oleh penguasa kolonial, Residen Surakarta membekukan SI. Pembekuan itu menimbulkan berbagai kerusuhan dan pergolakan rakyat. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Belanda akhirnya mencabutnya pada tanggal 26 Agustus 1912 dengan beberapa catatan bahwa wilayah organisasi SI hanya terbatas di Surakarta.

Samanhudi menyadari bahwa untuk membenahi organisasi dan menghadapi pemerintah kolonial Belanda diperlukan seorang pemimpin yang handal. Haji OemarSaid Tjokroaminoto yang bergabung dengan SI pada Mei 1912 kemudian ditugaskan untuk menyusun Anggaran Dasar. Tanpa menghiraukan persyaratan Residen Surakarta, Tjokroaminoto pun kemudian menyusun Anggaran dasar baru untuk SI di seluruh Indonesia sekaligus meminta pengakuan pemerintah untuk menghindari “pengawasan preventif dan represif secara administratif”.

Dalam pertemuan SI di Yogyakarta pada tanggal 18 Februari 1914 diputuskan untuk membentuk pengurus pusat yang terdiri dari Haji Samanhudi sebagai Ketua Kehormatan, Tjokroaminoto sebagai Ketua, dan Gunawan sebagai Wakil Ketua. Pengurus Central (Pusat-pent.) Sarekat Islam itu diakui pemerintah Belanda pada tanggal 18 Maret 1916. Pilihannya tak salah. SI pun semakin mengalami kemajuan pesat dan menjadi partai massa di bawah kepemimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. SI tidak hanya memperjuangkan kepentingan dagang saja, tetapi juga politik bangsanya.
Baca juga: Peran Pahlawan Muslim dalam Kemerdekaan Indonesia
Berhubung kesehatannya mulai terganggu, maka terhitung sejak tahun 1920, Haji Samanhudi tidak aktif lagi dalam kepengurusan partai. Usaha dagang batiknya pun mengalami kemerosotan. Namun, hal tersebut tak dapat memadamkan kepeduliannya terhadap pergerakan nasional. Sesudah kemerdekaan berhasil direngkuh republik ini, ia kembali melibatkan diri dalam misi mempertahankan kedaulatan negara. Ia mendirikan Barisan Pemberontak Indonesia Cabang Solo dan Gerakan Persatuan Pancasila untuk membela RI yang sedang menghadapi ancaman serangan Belanda. Ketika terjadi Agresi Militer II yang dilancarkan Belanda, ia membentuk laskar Gerakan Kesatuan Alap-alap yang bertugas menyediakan perlengkapan, khususnya bahan makanan untuk para prajurit yang tengah berjuang.

KH. Samanhudi  tutup usia pada tanggal 28 Desember 1956 di Klaten dan dikebumikan di Desa Banaran, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Ia adalah seorang perintis dan pemimpin yang baik. Organisasi yang dirintusnya memberikan sumbangan yang besar bagi perjuangan bangsa Indonesia. Satu hal yang menarik dalam diri tokoh SI ini adalah ketika dia memilih Tjokroaminoto sebagai penggantinya memimpin SI. Ia bersikap rendah hati dengan mengakui bahwa organisasi yang dibentuknya memerlukan orang yang terpelajar. Dan pilihannya memang tepat. Kebesaran seorang pemimpin memang dapat dilihat dari cara mempersiapkan pengganti yang meneruskan cita-cita dan perjuangannya.

Atas jasa-jasanya pada negara, KH. Samanhudi dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 590 tahun 1961, tanggal 9 November 1961.

Kamis, 12 Januari 2017

Ayo Posting Positif

Kami perhatikan, lebih banyak kalangan yang mengumbar opini negatif saat perhelatan pemilu dan pilkada ketimbang opini positif. Ada yang berbentuk kampanye negatif, ada juga yang kampanye hitam. Ada yang dilakukan oleh akun asli, ada juga yang digerakkan oleh akun klonengan atau palsu. Opini negatif yang kami maksud juga bukan sekedar mengumbar track record kandidat, tapi juga segala macam postingan yang menampakkan aura pesimisme. Seolah mereka tidak berpolitik, terlihat dalam posisi netral dan menempatkan diri untuk berdiri di tengah. Padahal, itu juga bagian dari ekspresi politik yang bisa menguntungkan atau merugikan salah satu kontestan, meski secara tidak langsung.

Ada banyak hal yang bisa diulas secara mendalam, karena pada prinsipnya "Kullu Bani Aadam, Khoththoo-un". Dan itu berlaku bukan hanya kepada kandidat petahana saja, tapi semua kandidat yang pernah berkiprah di lapangan. Objeknya bisa karakter personal, raport selama menjabat, kebijakan yang diambil hingga perilaku keluarganya sekalipun. Mendiskusikan hal itu memang menarik dan mengasyikkan, terlebih jika kita punya data, mengetahui informasi A1, paham perilaku birokrasi dan lihai bersilat lidah. Bisa berjam-jam kita terpaku di depan HP dan tablet. Hanya saja, kita perlu merenungi manfaat yang bisa kita ambil dari postingan negatif dan perdebatan turunannya itu? Manfaat tentu ada, tapi mudhorotnya pasti jauh lebih besar.

Di kalangan ahli hadits, dikenal ilmu "Jarh wa Ta'dil" yang berkonsentrasi untuk menilai kualitas perowi. Disini, seorang ahli hadits akan meneliti hingga detil tentang apa, siapa, dan bagaimana kapasitas orang yang menjadi perowi hadits. Hal yang cukup menarik adalah, para ahli hadits ternyata cukup hemat dalam berkomentar. Mereka hanya akan bilang, misalnya "tarokuuhu, fihii nazhor" atau "sakatuu 'anhu". Mereka hanya mau berbagi informasi detil tentang perawi yang dianggap bermasalah kepada sesama ahli ilmu dan menolak untuk membicarakannya kepada orang awam. Meskipun pembicaraan tentang para perowi termasuk kategori ghibah yang diperbolehkan, tapi mereka memilih untuk berhati-hati dan menjauhkannya dari pembicaraan kalangan awam.

Mungkin kita bisa mengikuti semangat mereka dalam konteks pemilu dan pilkada. Mendiskusikan "sisi gelap" dari kontestan mungkin menjadi bagian dari proses membangun kesadaran berpolitik. Tapi ambil porsi secukupnya saja, jangan terlalu banyak. Diskusikan dengan mereka yang paham, bukan dengan mereka yang awam. Berkacalah dari para ulama ahli hadits, dimana mereka tetap bisa menjadi manusia sholih dan santun meski mengetahui aib banyak orang. Betapa indah ungkapan dari shahabat Abu Darda ra "Laa khoira fil hayaati illa li-ahadi rojulaini: munshitin waa'in au mutakallimin 'aalim". Yakni "Tidak ada kebaikan didalam kehidupan ini kecuali untuk dua orang: orang pendiam yang paham atau pembicara yang berilmu."

Apa yang akan terjadi dengan kita pasca perhelatan pilkada? Kalau masalah materi, jabatan, dan hal-hal keduniaan lainnya, itu sangat relatif. Mungkin ada bonus, mungkin ada jabatan, atau mungkin malah jadi pelengkap penderita. Bahkan bisa juga terjadi calon kita menang tapi kita tidak dapat apa-apa. Tapi dalam pola hubungan sosial, jawabannya bisa banyak. Bisa jadi kita tambah musuh karena lidah kita yang tajam. Boleh jadi kita tambah teman karena sikap kita yang simpatik. Mungkin kita akan tambah guru, karena merasa mendapatkan arahan dan bimbingan. Atau, bisa jadi kita tambah murid karena banyak likers dan jempolers.

Bagaimana nasib kita di akhirat, bergantung dari amal kita di dunia. Bagaimana nasib kita pasca pemilu dan pilkada, bergantung dari bagaimana interaksi kita menjelang pilkada. Secara pribadi, kami mendoakan agar pasca pilkada kita bisa tambah teman dan saudara. Karena 1000 teman itu masih kurang, sedang 1 musuh sudah terlalu banyak. Dari 1000 teman yang kita miliki, belum tentu ada yang mau menjadi sandaran saat kita dilanda kesulitan. Tapi dari 1 orang musuh saja, semua rahasia dan aib yang kita tutup rapat bisa terbongkar. Ayo kita perbanyak postingan positif, ayo kita tebarkan aura opmitisme. Wallohu a'lam.

Eko Junianto, ST

Selasa, 10 Januari 2017

Gerakan Literasi Sekolah

Kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Namun, Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003).

Deklarasi UNESCO itu juga menyebutkan bahwa literasi informasi terkait pula dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi berbagai persoalan. Kemampuan-kemampuan itu perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan itu bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.

Gerakan Literasi Sekolah merupakan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, Komite Sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dll.), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Gerakan Literasi Sekolah adalah gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca (guru membacakan buku dan warga sekolah membaca dalam hati, yang disesuaikan dengan konteks atau target sekolah). Ketika pembiasaan membaca terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengembangan, dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum 2013). Variasi kegiatan dapat berupa perpaduan pengembangan keterampilan reseptif maupun produktif.

Dalam pelaksanaannya, pada periode tertentu yang terjadwal, dilakukan asesmen agar dampak keberadaan Gerakan Literasi Sekolah dapat diketahui dan terus-menerus dikembangkan. Gerakan Literasi Sekolah diharapkan mampu menggerakkan warga sekolah, pemangku kepentingan, dan masyarakat untuk bersama-sama memiliki, melaksanakan, dan menjadikan gerakan ini sebagai bagian penting dalam kehidupan.

Literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Di abad 21 ini, kemampuan ini disebut sebagai literasi informasi.

Clay (2001) dan Ferguson (www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf) menjabarkan bahwa komponen literasi informasi terdiri atas literasi dini, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Dalam konteks Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap selanjutnya. Komponen literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Literasi Dini [Early Literacy (Clay, 2001)], yaitu kemampuan untuk menyimak, memahami bahasa lisan, dan berkomunikasi melalui gambar dan lisan yang dibentuk oleh pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan sosialnya di rumah. Pengalaman peserta didik dalam berkomunikasi dengan bahasa ibu menjadi fondasi perkembangan literasi dasar.

2. Literasi Dasar (Basic Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan (calculating), mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi (drawing) berdasarkan pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.

3. Literasi Perpustakaan (Library Literacy), antara lain, memberikan pemahaman cara membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal, memahami Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan dalam menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.

4. Literasi Media (Media Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda, seperti media cetak, media elektronik (media radio, media televisi), media digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya.

5. Literasi Teknologi (Technology Literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Berikutnya, kemampuan dalam memahami teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet. Dalam praktiknya, juga pemahaman menggunakan komputer (Computer Literacy) yang di dalamnya mencakup menghidupkan dan mematikan komputer, menyimpan dan mengelola data, serta mengoperasikan program perangkat lunak. Sejalan dengan membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini, diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang dibutuhkan masyarakat.

6. Literasi Visual (Visual Literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audiovisual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap materi visual yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak, auditori, maupun digital (perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu dikelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan yang benarbenar perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan.

Menurut Beers (2009), praktik-praktik yang baik dalam gerakan literasi sekolah menekankan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang dapat diprediksi. Tahap perkembangan anak dalam belajar membaca dan menulis saling beririsan antartahap perkembangan. Memahami tahap perkembangan literasi peserta didik dapat membantu sekolah untuk memilih strategi pembiasaan dan pembelajaran literasi yang tepat sesuai kebutuhan perkembangan mereka.

b. Program literasi yang baik bersifat berimbang Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang menyadari bahwa tiap peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu, strategi membaca dan jenis teks yang dibaca perlu divariasikan dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Program literasi yang bermakna dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan bacaan kaya ragam teks, seperti karya sastra untuk anak dan remaja.

c. Program literasi terintegrasi dengan kurikulum Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah adalah tanggung jawab semua guru di semua mata pelajaran sebab pembelajaran mata pelajaran apapun membutuhkan bahasa, terutama membaca dan menulis. Dengan demikian, pengembangan profesional guru dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru semua mata pelajaran.

d. Kegiatan membaca dan menulis dilakukan kapanpun Misalnya, ‘menulis surat kepada presiden’ atau ‘membaca untuk ibu’ merupakan contoh-contoh kegiatan literasi yang bermakna.

e. Kegiatan literasi mengembangkan budaya lisan Kelas berbasis literasi yang kuat diharapkan memunculkan berbagai kegiatan lisan berupa diskusi tentang buku selama pembelajaran di kelas. Kegiatan diskusi ini juga perlu membuka kemungkinan untuk perbedaan pendapat agar kemampuan berpikir kritis dapat diasah. Peserta didik perlu belajar untuk menyampaikan perasaan dan pendapatnya, saling mendengarkan, dan menghormati perbedaan pandangan.

f. Kegiatan literasi perlu mengembangkan kesadaran terhadap keberagaman Warga sekolah perlu menghargai perbedaan melalui kegiatan literasi di sekolah. Bahan bacaan untuk peserta didik perlu merefleksikan kekayaan budaya Indonesia agar mereka dapat terpajan pada pengalaman multikultural.


Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam pengembangan budaya literasi, Beers, dkk. (2009) dalam buku A Principal’s Guide to Literacy Instruction, menyampaikan beberapa strategi untuk menciptakan budaya literasi yang positif di sekolah.
a. Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk pembelajaran. Sekolah yang mendukung pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang karya peserta didik dipajang di seluruh area sekolah, termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru. Selain itu, karyakarya peserta didik diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua peserta didik. Selain itu, peserta didik dapat mengakses buku dan bahan bacaan lain di Sudut Baca di semua kelas, kantor, dan area lain di sekolah. Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta didik akan memberikan kesan positif tentang komitmen sekolah terhadap pengembangan budaya literasi.

b. Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai model komunikasi dan interaksi yang literat Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi dan interaksi seluruh komponen sekolah. Hal itu dapat dikembangkan dengan pengakuan atas capaian peserta didik sepanjang tahun. Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat upacara bendera setiap minggu untuk menghargai kemajuan peserta didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai bukan hanya akademik, tetapi juga sikap dan upaya peserta didik. Dengan demikian, setiap peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperoleh penghargaan sekolah. Selain itu, literasi diharapkan dapat mewarnai semua perayaan penting di sepanjang tahun pelajaran. Ini bisa direalisasikan dalam bentuk festival buku, lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya. Pimpinan sekolah selayaknya berperan aktif dalam menggerakkan literasi, antara lain dengan membangun budaya kolaboratif antarguru dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap orang dapat terlibat sesuai kepakaran masing-masing. Peran orang tua sebagai relawan gerakan literasi akan semakin memperkuat komitmen sekolah dalam pengembangan budaya literasi.

c. Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik yang literat Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan membaca dalam hati dan guru membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang kemampuan guru dan staf, mereka perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti program pelatihan tenaga kependidikan untuk peningkatan pemahaman tentang program literasi, pelaksanaan, dan keterlaksanaannya.

Program Gerakan Literasi Sekolah dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan sekolah di seluruh Indonesia. Kesiapan ini mencakup kesiapan kapasitas sekolah (ketersediaan fasilitas, bahan bacaan, sarana, prasarana literasi), kesiapan warga sekolah, dan kesiapan sistem pendukung lainnya (partisipasi publik, dukungan kelembagaan, dan perangkat kebijakan yang relevan).

Berikut ini tahapan Gerakan Literasi Sekolah
1. Tahap ke-1: Pembiasaan kegiatan membaca yang menyenangkan di ekosistem sekolah Pembiasaan ini bertujuan untuk menumbuhkan minat terhadap bacaan dan terhadap kegiatan membaca dalam diri warga sekolah. Penumbuhan minat baca merupakan hal fundamental bagi pengembangan kemampuan literasi peserta didik.

2. Tahap ke-2: Pengembangan minat baca untuk meningkatkan kemampuan literasi Kegiatan literasi pada tahap ini bertujuan mengembangkan kemampuan memahami bacaan dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui kegiatan menanggapi bacaan pengayaan (Anderson & Krathwol, 2001).

3. Tahap ke-3: Pelaksanaan pembelajaran berbasis literasi Kegiatan literasi pada tahap pembelajaran bertujuan mengembangkan kemampuan memahami teks dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui kegiatan menanggapi teks buku bacaan pengayaan dan buku pelajaran (cf. Anderson & Krathwol, 2001). Dalam tahap ini ada tagihan yang sifatnya akademis (terkait dengan mata pelajaran). Kegiatan membaca pada tahap ini untuk mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 yang mensyaratkan peserta didik membaca buku nonteks pelajaran yang dapat berupa buku tentang pengetahuan umum, kegemaran, minat khusus, atau teks multimodal, dan juga dapat dikaitkan dengan mata pelajaran tertentu sebanyak 6 buku bagi siswa SD, 12 buku bagi siswa SMP, dan 18 buku bagi siswa SMA/SMK. Buku laporan kegiatan membaca pada tahap pembelajaran ini disediakan oleh wali kelas.


Sumber buku: Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sabtu, 07 Januari 2017

Ragam Nama Nabi 'Isa

Seseorang atau sebuah peristiwa kadang memiliki banyak nama. Selain sebagai panggilan dan identitas, nama-nama tersebut juga sebagai penjelas dan pelengkap keterangan. Ambil contoh, hari kiamat itu punya banyak nama, seperti Al Qori'ah, Al Waqi'ah, As Sa'ah, Yaumul Qiyamah, Yaumud Diin dll. Nabi Muhammad saw, juga memiliki nama-nama lain seperti Ahmad, Al Mahi, Al Hasyir, Al 'Aqib dll. Di Indonesia, kita mengenal Soekarno sebagai Proklamator, Sang Putra Fajar, Penyambung Lidah Rakyat, dan Pemimpin Besar Revolusi.

Nabi 'Isa adalah Nabi yang terkemuka dan memiliki sejumlah keutamaan baik di dunia maupun akhirat. Beliau adalah seorang Rosul 'ulul azmi, diberi kitab suci serta menjadi salah satu tanda dekatnya hari kiamat. Nabi 'Isa ternyata juga memiliki banyak nama yang termaktub didalam Al Qur'an, yakni:

'Isa Putra Maryam
Di banyak tempat, Al Qur'an menamainya sebagai 'Isabnu Maryam atau 'Isa Putra Maryam. Nasabnya dinisbatkan kepada ibunya, karena memang tidak memiliki ayah. Sebenarnya, ada nabi lain yang nasabnya dinisbatkan kepada ibunya, yakni Yunus bin Matta'. Hanya saja, tidak ada riwayat yang sampai kepada kita tentang apa penyebabnya. Pada kasus anak yang tak ber-ayah atau jika usia kehamilannya lebih panjang ketimbang usia pernikahannya, maka status anak juga dinisbatkan kepada ibunya, bukan kepada ayahnya.

Sebagian kalangan ada yang menghembuskan kedustaan bahwa ayah dari 'Isa putra Maryam adalah Alloh. Hal ini tentu tidak benar, karena didalam Islam konsepnya teologinya sangat jelas, yakni "Lam Yalid Walam Yuulad". Sedangkan pada agama-agama lain, Tuhan sesembahannya memang berkeluarga. Mulai dari dewa-dewa Yunani hingga dewa-dewa India. Jadi, mitologi tentang adanya manusia yang menjadi keturunan dewa memang bukan barang baru. Dari Herkules hingga Krisna.

Dalam Al Qur'an juga disebutkan bahwa yang datang meniupkan ruh adalah malaikat yang menjelma sebagai manusia, bukan Tuhan. Proses seperti ini sebenarnya juga berlaku pada manusia secara umum, yakni ada malaikat datang meniupkan ruh sekaligus mencatat taqdirnya. Bedanya, pada manusia biasa ruh ditiup pada usia kehamilan 40 hari yang ketiga, sedangkan pada kasus Maryam ruh ditiupkan saat belum hamil. Satu-satunya manusia yang raganya dibentuk langsung oleh Alloh dan ruhnya ditiup langsung oleh Alloh adalah Nabi Adam. Tapi, tidak ada satupun diantara kita yang menganggapnya sebagai Adam Putra Alloh.

Al Masih
Di banyak tempat, Al Qur'an menyebutnya sebagai Al Masih. Al Qurthubi mengartikan Al Masih sebagai Ash Shiddiq, sedang Prof. Dr. Quraisy Syihab menjelaskan Al Masih sebagai orang yang diurapi. Tetapi sebutan Al Masih memang secara nyata ditujukan hanya kepada Nabi 'Isa saja, tidak kepada Nabi-nabi yang lainnya. Apa makna dibalik kata Al Masih? Mungkin situasinya akan semakin jelas jika kita bandingkan dengan sosok Al Masih yang palsu, yakni Al Masih Ad Dajjal.

Dajjal adalah fitnah terbesar yang diciptakan Alloh semenjak diciptakannya langit bumi seisinya. Dan tidak ada Nabi diutus kepada kaumnya, melainkan mereka akan memperingatkan tentang bahaya Al Masih Ad Dajjal. Ternyata, baik Al Masih yang asli (Nabi 'Isa) maupun Al Masih yang palsu (Ad Dajjal) memiliki kemampuan yang mirip, seperti menghidupkan orang mati, menyembuhkan penyakit, membuat patung bisa hidup dll. Jelang kiamat kelak, Al Masih yang asli (Nabi 'Isa) akan turun ke dunia untuk membunuh Al Masih yang palsu (Ad Dajjal).

'Abdulloh
Inilah nama ketiga yang termaktub dalam Al Qur'an. Pada surat Maryam di dalam Al Qur'an, dikisahkan bahwa saat kaumnya "menghujat" Maryam tentang perkara munkar yang dibawanya, maka bayi dalam buaiannya berkata "Inni 'Abdulloh, Aataniyal kitaaba waja'alanii nabiyya". Kita memang bisa memaknai 'Abdulloh dalam konteks yang umum, karena para Nabi dan orang sholih juga berstatus sebagai Hamba Alloh. Nabi Ya'qub memiliki nama lain, yakni Isroil yang artinya adalah Hamba Alloh. Nabi Muhammad saw juga sering disebut sebagai hamba, baik dalam penjelasan kisah Isro' Mi'roj maupun hadits "'abduhu wa rosuuluh".

Namun kita juga bisa memaknai 'Abdulloh dalam makna yang sebenarnya, yakni namanya memang 'Abdulloh. Jadi, tidak perlu diartikan atau diterjemahkan lagi. Sebagaimana saat kita berkenalan, tentu nama asli akan kita sebutkan secara terang dan itulah nama kita yang sebenarnya. Kita juga pasti kurang nyaman jika dipanggil dengan arti dari nama kita, bukan dengan nama terang kita.

Perkenalan Nabi 'Isa dalam buaian bunda dengan nama 'Abdulloh juga menegaskan posisinya sebagai hamba, bukan sebagai Tuhan. Jika sebagai Tuhan, tentu Nabi 'Isa akan berkenalan sebagaimana Alloh mengenalkan diri kepada Musa di lembah Thuwa "Innanii Anallooh, Laa ilaaha illa Ana, Fa'budni Wa Aqimish Sholaata Lidzikrii". Dan dalam fokus perdebatan Ahmad Deedat maupun Zakir Naik, inilah salah satu bukti yang sangat kuat untuk dibuktikan. Yakni, adakah ada didalam Injil satu ayat saja, dimana 'Isa mengenalkan diri sebagai Tuhan. Karena didalam Al Qur'an pun Nabi 'Isa mengenalkan diri sebagai Hamba Alloh. Wallohu A'lam.

Eko Junianto, ST

Kamis, 05 Januari 2017

Agus Salim; Hikmah dari Tugas Menginteli Aktivis Syarikat Islam

Mengikuti riwayat Agus Salim, kita akan semakin memahami bahwa hidup itu bisa saja “berkelok”. Bahwa, seseorang bisa berkelok dari “jauh” ke “dekat” dalam hal pemahaman dan praktik keagamaan. Seseorang dapat “berkelok” dari “warga biasa” ke “aktivis pergerakan Islam”.

Berkah Penugasan
Agus Salim lahir pada 8 Oktober 1884 di Kotagadang, Bukittinggi, Sumatera Barat. Dia berasal dari keluarga priyayi. Ayahnya, Sutan Muhammad Salim, seorang Jaksa Tinggi di Pengadilan Tinggi Riau. Jabatan si ayah tergolong prestisius bagi pribumi di ketika itu. Maka, atas dasar status sosial ini Agus Salim diterima di “SD Belanda”, sesuatu yang mestinya hanya diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa.

Sejak di SD dia menunjukkan kecerdasan di atas rara-rata, baik untuk pelajaran berhitung maupun sejarah dan bahasa. Setelah lulus SD pada 1897, dia ke Jakarta untuk belajar di HBS, suatu sekolah yang mestinya juga untuk anak-anak keturunan Eropa.

Ketika di SMP -pada 1903- dia menjadi juara umum ringkat HBS se-Hindia Belanda. Ketika itu di seluruh Hindia Belanda hanya terdapat tiga buah HBS, masing-masing di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. (Catatan: HBS singkatan dari Hogere Burger School, sekolah menengah orang Belanda, Eropa, dan elit pribumi. HBS itu gabungan SMP+SMA dengan masa belajar 5 tahun).

Ada cataran “menarik” semasa di HBS. Kala itu, Agus Salim kos di rumah orang Belanda. Di saat-saat itulah Agus Salim terpengaruh dengan gaya hidup si Tuan Rumah. Bisa dibilang, ketika itu dia jauh dari Islam.

Setelah lulus HBS dia ingin meneruskan ke Perguruan Tinggi di Belanda untuk jurusan kedokteran. Tapi, dia sadar bahwa biaya untuk itu terlalu tinggi. Sementara, si ayah tak cukup mampu. Sebagai jalan keluar, dia mengajukan permohonan untuk mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Belanda. Namun, permohonan itu ditolak karena adanya diskriminasi, bahwa tak ada beasiswa untuk keturunan pribumi.

Setelah itu, pada Oktober 1906 -di usia 22 tahun- Agus Salim menerima tawaran untuk menjadi pegawai Konsulat Belanda di Jeddah Saudi Arabia. Keberangkatannya ke Jeddah sebagai pegawai Konsulat Belanda sesungguhnya lebih didasarkan kepada pertimbangan menuruti usulan keluarga. Dia sendiri sebenarnya berkeberatan. Sikap itu ditunjukkannya karena di samping kecewa terhadap cita-citanya (menjadi dokter) yang terjegal, juga karena dalam dirinya telah tumbuh benih sikap anti-Belanda.

Sementara, keluarga Agus Salim mempunyai pertimbangan lain. Bagi mereka, menerima tawaran kerja sebagai pegawai Konsulat Belanda di Jeddah punya prestise yang cukup tinggi. Kecuali itu, ada alasan lain yaitu amaliyah keagamaan Agus Salim dinilai kendur. Hal itu mulai terjadi saat dia belajar di HBS. Maka, dengan bekerja di Saudi Arabia, diharapkan Agus Salim dapat menambah pelajaran agamanya kepada Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mukim di Mekkah. Di sana, Ahmad Khatib al-Minangkabawi -yang masih kerabat dekat Agus Salim- menduduki jabatan sebagai Imam dan Guru besar di Masjid Al-Haram.

Selama bekerja di Konsulat Belanda, 1906-1911, Agus Salim selain banyak membantu Jamaah Haji Indonesia, juga bisa memperdalam agama terutama kepada Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Kecerdasan yang telah diperlihatkannya sejak kecil sangat membantunya dalam memahami pengetahuan agama. Akibatnya, dalam waktu relatif singkat, tidak hanya pengetahuan agamanya saja yang mulai mendalam, tetapi juga penghayatannya.

Pada Desember 1911, tugasnya di Jeddah berakhir dan dia lalu kembali ke Tanah Air. Pada 1915 Agus Salim mukim di Jakarta. Dia bekerja pada pemerintah Hindia Belanda sebagai penyelidik. Agus Salim pun ditugasi untuk menyelidiki apakah Syarikat Islam (SI) yang dipimpin HOS Tjokroaminoto -yang kala itu mengadakan muktamar- akan melakukan pemberontakan kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Saat itu, memang hanya Syarikat lslam-lah yang potensial untuk melakukan pemberontakan. Maka, Salim pun dikirim untuk memata-matai. Tapi, setelah dia bertemu HOS Tjokroaminoto dan mendalami apa itu Syarikat Islam, Agus Salim malah terpikat hatinya kepada organisasi itu.

Agus Salim mengirim pemberitahuan resmi kepada atasannya, bahwa dia mengundurkan diri dari jabatannya. Dengar terus terang dia katakan bahwa hatinya terpikat dengan visi dan misi Syarikat Islam.

Sejak itu, 1915, Agus Salim mulai masuk ke dunia pergerakan nasional melalui Syarikat Islam. Di lembaga ini, dia bersama HOS Tjokroaminoto dan kawan-kawan memperjuangkan nasib bangsa yang mayoritas beragama Islam. Melalui Syarikat Islam pula dia memulai “karier” di bidang politik, intelektual, dan keagamaan.

Pasca-kemerdekaan, Agus Salim masuk Partai Masyumi. Sejumlah jabatan pernah diamanahkan kepadanya, seperti Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir II dan III, 1946-1947. Lalu, Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Amir Syarifuddin,1947. Kemudian, Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta I dan II, 1948 dan 1949. Sementara, dalam bidang intelektual dan keagamaan, pada Januari-Juni 1953 dia menjadi dosen tamu di Cornell University di AS untuk kajian tentang Pergerakan dan Cita Islam Indonesia”.

Bagaimana keluarga Agus Salim? Pada 12 Agustus 1912 dia menikah. Putranya sepuluh, tiga di antaranya meninggal. Sisanya, dia didik sendiri tanpa disekolahkan secara formal. Hal itu menunjukkan sebuah sikap anti-Belanda yang kuat melekat pada diri Agus Salim sejak mengerti arti diskriminasi yang dipraktikkan Belanda.

Untuk itu, dia tak mau melihat anak-anaknya yang sebagai keturunan pribumi diperlakukan diskriminatif di sekolah-sekolah Belanda. Cukup dia saja yang menelan kepahitan seperti itu. Di kemudian hari, ternyata, kemampuan anak-anak Agus Salim sama sekali tak tertinggal jika dibandingkan dengan meereka yang belajar di sekolah.

Agus Salim, founding father Indonesia yang diterima semua kalangan
Akan Terkenang
Agus Salim wafat pada 4 November 1954. Rasanya, masih banyak orang yang akan sering mengenangnya. Bahwa, Agus Salim itu hidup secara sangat sederhana. Bahwa, dia menguasai tujuh bahasa (bahkan ada yang menyebut sembilan bahasa). Bahwa, rumahnya tak pernah sepi dari tamu-tamu yang berasal dari kalangan aktivis pergerakan Islam. Sekadar menyebut contoh, M. Natsir, Muhammad Roem, dan Kasman Singodimedjo adalah sebagian tamunya yang berasal dari kalangan aktivis muda Islam. []


Kredit: 50 Pendakwah Pengubah Sejarah; M. Anwar Djaelani; Pro-U Media

Rahmah El-Yunusiyah; Pendidik dan Syaikhah Pertama dari Al-Azhar

Rahmah El-Yunusiyah seorang mujahidah. Dia aktif di pergerakan nasional, sebelum dan setelah kemerdekaan. Mulai di zaman penjajahan, dia aktif memajukan pendidikan terutama untuk meningkatkan derajat kaum wanita yang sesuai dengan tuntunan Islam. Muridnya banyak yang sukses dan model sekolahnya diadopsi Al-Azhar Mesir.

Tak Pernah Diam
Rahmah El-Yunusiyah lahir pada 20 Desember 1900 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Dia berasal dari keluarga terpelajar dan religius. Ayah Rahmah, Muhammad Yunus bin Imanuddin, adalah seorang hakim agama dan ahli Ilmu Falak. Kakeknya adalah seorang ulama.

Rahmah belajar formal tak lama, hanya tiga tahun. Saat berusia 15 tahun dia belajar bahasa Arab dan pelajaran lainnya di Diniyyah School dan dari kedua kakaknya, Zaenuddin Labai dan Muhammad Rasyid.

Di usia remaja itu, di sore hari dia rutin mengaji kepada Haji Abdul Karim Amrullah (ayah HAMKA) di surau Jembatan Besi, Padang Panjang. Dia belajar berbagai hal seperti bahasa Arab, fikih, ushul fikih, dan kedudukan wanita.

Dia pun belajar ke sejumlah ulama terkemuka lainnya seperti Tuanku Muda Abdul Hamid Hakim (pimpinan Sekolah Thawalib Padang Panjang), Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Syaikh Abdul Latif Rasjidi, dan Syaikh Daud Rasjidi.

Tak hanya ilmu agama, Rahmah juga mempelajari sejumlah ilmu atau keterampilan. Dia pernah belajar kebidanan, olahraga (termasuk senam), cara bertenun tradisional, dan jahit-menjahit.

Seluruh ilmu dan pengalaman Rahmah turut memengaruhi metode pendidikan di Diniyyah Puteri School, sekolah yang didirikannya pada 1 November 1923. Sekolah khusus perempuan itu berdiri antara lain berkat dukungan Zaenuddin Labai -sang kakak- dan teman-teman perempuannya di Persatuan Murid-murid Diniyyah School (PMDS).

Rahmah mendirikan Diniyyah Puteri School karena gelisah melihat perempuan di daerahnya belum mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Bagi Rahmah, pendidikan untuk perempuan harus bisa menjadi media agar mereka bisa berperan dengan baik di keluarga maupun di tengah-tengah masyarakat.

Di saat awal, muridnya berjumlah 71 orang dan terdiri dari ibu-ibu muda. Pelajaran yang disampaikan adalah ilmu agama dan tata bahasa Arab. Belakangan, sekolah itu menerapkan penggabungan pendidikan agama, pelajaran umum, dan keterampilan. Misal, bertenun dan jahit-menjahit ada juga di kurikulumnya.

Diniyyah Puteri School,
berdiri sejak 1923, eksis hingga sekarang
Diniyyah Puteri School ini selalu akan mengikhtiarkan penerangan agama dan meluaskan kemajuannya kepada perempuan-perempuan yang selama ini susah mendapatkan penerangan agama Islam dengan secukupnya dibanding kaum lelaki... Inilah yang menyebabkan terjauhnya perempuan Islam dari penerangan agamanya sehingga menjadikan kaum perempuan itu rendam karam ke dalam kejahilan,” kata Rahmah (Mantovani, thisisgender.com: diakses 05/02/2015).

Tampaknya, pendirian Diniyyah Puteri School sesuai dengan cita-cita Rahmah. Bahwa, wanita Indonesia harus memiliki kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodratnya sehingga bisa diamalkan sehari-hari. Maka, tujuan pendidikan yang dirumuskan Rahmah adalah agar wanita sanggup menjadi ibu dan pendidik yang cakap, aktif, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa.

Rahmah adalah pelopor bagi pendidikan Muslimah di Indonesia (dan bukan tak mungkin di dunia). Langkahnya sangat maju karena tak hanya memberikan pelajaran agama maupun umum, tetapi juga mengajarkan berbagai keterampilan yang diperlukan oleh Muslimah sebagai ibu yang mandiri.

Pada 1926, gempa hebat melanda Sumatera Barat. Sekolah yang baru dirintis Rahmah hancur. Tapi, Rahmah tegar dan langsung bangkit. Dengan bahan bambu, tegak lagi bangunan dua lantai berukuran 12x7 m2.

Usaha di atas dirasa belum cukup. Maka, bersama pamannya dia jelajahi Sumatera ULara, Aceh, dan menyeberangi Selat Malaka menuju Malaysia untuk mengumpulkan dana. Upaya itu berbuah, terkumpul sekitar 1569 gulden.

Sekolah Rahmah terus berkembang. Pada 1955, Rektor Universitas Al-Azhar Kairo, Syaikh Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyyah Puteri School. Dia tertarik dengan sistem pembelajaran khusus yang ada di sekolah tersebut. Tak lama setelah itu, Al-Azhar lalu membuka pendidikan khusus perempuan bernama Kulliyyat al-Banat yang memang belum dimilikinya.

Mengapresiasi perjuangan Rahmah, pada 1957 Al-Azhar menganugerahinya gelar Syaikhah (Guru Besar Wanita). Gelar ini istimewa karena hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu dan menguasai khazanah ilmu-ilmu keislaman.

Sekadar menyebut contoh, dua di antara banyak anak didiknya yang berhasil adalah Aisyah Aminy dan Aisyah Gani. Aisyah Aminy adalah politikus dari salah satu partai Islam di Indonesia dan sangat terkenal di zamannya. Sementara, Aisyah Gani pernah menjabat sebagai Menteri Kebajikan Masyarakat di Malaysia.

Rahmah tak hanya berkonsentrasi di aspek pendidikan. Di kancah politik (baca: pergerakan nasional), dia aktif menentang penjajah Belanda atau Jepang. Dia dan teman-temannya pernah menentang pengerahan perempuan Indonesia, terutama di Sumatera Tengah, yang diperlakukan sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur) tentara Jepang.

Pada 12 Oktober 1945, Rahmah mempelopori berdirinya TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Dapur asrama dan harta miliknya direlakan untuk pembinaan TKR yang rata-rata anggotanya berasal dari Laskar Rakyat dan berusia muda. Rahmah juga mengayomi barisan pejuang lainnya seperti Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah.

Rahmah pernah dipenjarakan Belanda dan baru dibebaskan pada 1949 setelah pengakuan kedaulatan Indonesia. Pada 1952-1954, Rahmah menjadi anggota Pimpinan Pusat Masyumi dan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara untuk periode tahun 1955-1958. Dia pernah menentang Soekarno saat Sang Presiden dekat dengan Komunis.

Menanti “Rahmah”
Rahmah telah berjuang di bidang pendidikan. Rahmah telah berperan dalam usaha merebut dan mengisi kemerdekaan. Setelah Rahmah El-Yunusiyah wafat pada 26 Februari 1969, maka kehadiran “Rahmah”-”Rahmah” berikutnya sangat ditunggu umat.[]


Kredit: 50 Pendakwah Pengubah Sejarah; M. Anwar Djaelani; Pro-U Media