Kamis, 26 Oktober 2017

Keadaan Sebelum Percobaan Perebutan Kekuasaan oleh PKI

Percaturan politik di Indonesia sejak 1959 hingga saat percobaan kup oleh “Gerakan 30 September/PKI”, seluruhnya dikuasai oleh Presiden Soekarno. Bukan hanya garis-garis besar kebijaksanaan, namun masalah-masalah sepele dalam kehidupan sehari-hari pun dia yang menentukannya. Tidak heran, kalau orang mulai mengangan-angankan masa apabila “Bung Tua” itu sudah tidak ada lagi. Apalagi gerangan yang akan terjadi, seandainya ke-maha-hadirannya mendadak diputuskan, misalnya karena sakit yang melumpuhkan atau mematikannya? Kemungkinan ketiga, yakni karena ditumbangkan, adalah hal yang mustahil pada waktu itu!

Bagi golongan-golongan politik yang bernasib baik di bawah Presiden Soekarno, persoalannya ialah keberlangsungan hidup, setidak-tidaknya kelangsungan hidup politik. Bagi orang-orang yang menderita di bawah kekuasaannya, hal itu berarti kesempatan untuk memperbaiki nasib. Sudah barang tentu, kedua belah pihak mulai menghitung untung-rugi nasib mereka di masa pasca-Soekarno. Yang menjadi aspek penting dalam persoalan ini ialah, apakah turunnya Presiden dari kekuasaannya itu akan melalui proses bertahap-tahap, sehingga memberi cukup waktu kepada orang-orang yang berkepentingan untuk bersiap-siap menghadapi saat yang kritis itu. Apakah kejadian tersebut akan datang dengan mendadak, atau bahkan sebelum waktunya. Proses perubahan politik yang dipercepat, dapat mengakibatkan komplikasi tambahan yang serius.

Tiba-tiba ketegangan datang mencekam, meliputi seluruh bangsa, terutama ibukotanya, Jakarta. Pada tanggal 5 Agustus 1965, Presiden jatuh rebah, setelah menghadiri suatu upacar umum. Dalam suasana demikian itu, tidaklah mengherankan apabila persoalan politik di masa pasca-Soekarno menjadi suatu topik yang panas. Setiap golongan politik berusaha memperbaiki posisinya guna menghadapi periode setelah berpulangnya Pemimpin Besar. Paling tidak, mereka ingin mempertahankan posisi mereka yang terhormat. PKI, begitu juga golongan politik lainnya, menghadapi masalah untuk mempercepat persiapan mereka dalam menyongsong masa pasca-Soekarno. Ketegangan pun meningkat luar biasa.

Dalam suasana demikian itu, D.N. Aidit yang tengah berada di luar negeri, dipanggil kembali oleh Sekretariat Negara atas perintah Presiden. Ia diberitahu tentang keadaan Soekarno yang sedang gawat, dan ditugaskan membawa tim dokter dari Republik Rakyat Cina ke Indonesia, yang dulu pernah mengobati Presiden. Presiden akhirnya sembuh kembali, akan tetapi para dokter Cina menyampaikan kepada Aidit, bahwa kesehatan Soekarno mungkin akan lumpuh atau mati. Bahkan, mengingat cara dan gaya hidupnya selama ini, sukar diharapkan penyembuhan yang sempurna.


Sumber: Nugroho Notosusanto

Tugas Inti Pimpinan PKI

Pada tahun-tahun sebelum peristiwa 1 Oktober 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) tampak berkembang pesat. Dari sebuah partai kecil dengan latar-belakang yang diragukan iktikad baiknya karena berperanan dalam Pemberontakan Madiun pada tahun 1948, ia tumbuh menjadi sebuah partai massa yang hebat. Pengaruhnya dapat dirasakan di setiap lapangan kehidupan sosial politik. Wakil-wakil partai itu duduk di Kabinet, dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Di samping ke dalam bidang politik, jalur partai pun merembes ke bidang ekonomi, pendidikan, kesenian, dan kesusasteraan.

Semua itu dicapai berkat pimpinan licik dari D.N. Aidit, yang menjadi ketua partai pada tahun 1951. Bukan melalui cara bersekongkol, sembunyi-sembunyi, atau bergerak di bawah tanah, melainkan jalan parlemenlah yang dipilih Aidit untuk meraih kekuasaan. Faktor tunggal terpenting yang menyebabkan Aidit mencapai sukses, adalah persahabatannya dengan Presiden Soekarno, yang diperkokoh selama masa Demokrasi Terpimpin. Dengan pengaruh karismatiknya yang luar biasa terhadap seluruh bangsa, Presiden Soekarno memberikan perlindungan kepada PKI dalam menghadapi musuh-musuhnya.[1]

Siapakah gerangan musuh-musuh PKI itu? Berdasarkan alasan ideologi yang nyata, maka golongan-golongan agama dianggap lawan PKI yang utama. Namun PKI memandang Angkatan Darat sebagai musuhnya yang terpenting, bukan hanya karena Angkatan Darat merupakan ancaman fisik bagi partai, akan tetapi juga disebabkan alasan-alasan ideologi. Pendapat yang hidup dalam tubuh Angkatan Darat menganggap paham komunisme bertentangan dengan ideologi negara, yaitu Pancasila. Komunisme melambangkan pertentangan kelas dan penumbangan setiap tata-hidup yang non-komunis. Pancasila melambangkan kegotongroyongan serta toleransi. Dan salah satu dari lima sila Pancasila, adalah: Ketuhanan yang Maha Esa, sedangkan Komunisme melambangkan atheisme.

Pikiran yang selalu menghantui PKI di bawah pimpinan Aidit, adalah bagaimana menghindari tindakan penumpasan oleh musuh-musuh mereka yang bersenjata. Mereka merasa, bahwa mereka belum cukup jauh menyusup ke dalam kalangan-kalangan teratas dari Angkatan Darat. Di bawah payung perlindungan Presiden Soekarno, mereka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan tersebut. Sudah barang tentu mereka menginginkan, agar perlindungan Presiden itu dapat berlangsung selama mungkin, supaya mereka mendapat waktu cukup untuk membenahi kekuatan bersenjata mereka. Walaupun demikian, mereka tahu bahwa pada suatu ketika, akan datang saatnya kehilangan perlindungan Presiden Soekarno. Oleh karena itu, mereka harus bersiap-siap menghadapi masa Pasca-Soekarno. Tugas-pokok pimpinan PKI di masa pra-G-30S, sebagai nama yang dikenal orang selanjutnya untuk menyebut percobaan kup (coupt), terdiri dari suatu usaha dengan tiga tujuan:

1.  Memperbaiki pengaruh dan kekuasaan mereka di Angkatan Bersenjata;
2.  Bersiap-siap menghadapi saat-saat Presiden Soekarno tidak berkuasa lagi;
3.  Meneruskan usaha menyebarkan pengaruh mereka di semua sektor masyarakat Indonesia.

Mengenai tugas yang pertama, pihak PKI sudah cukup puas dengan hanya melakukan kasak-kusuknya di Angakatan Udara, karena Menteri/Panglima Angkatan Udara Omar Dhani cenderung bersimpati kepada PKI. Di mata PKI, Angkatan Laut[2] tidak dianggap sebagai suatu kesatuan yang penting, sedangkan Kepolisian mengalami perpecahan dalam tubuhnya sendiri. Dan karena itu, tidak dapat diharapkan berfungsi efektif pada saat-saat darurat. Alhasil, hanya Angkatan Darat saja yang betul-betul memusingkan pimpinan PKI.

Dari hasil pemilihan umum tahun 1955, ketika para anggota Angkatan Bersenjata memberikan suara berdasarkan hak pemilihan tersendiri, PKI mendapat kesimpulan, bahwa pengaruh mereka di jajaran berpangkat rendah cukup besar. Namun korps perwira yang sebenarnya menjadi sasaran mereka, tidak bersikap simpatik pada partai tersebut. Oleh karena itu, PKI tentu berpikir, bahwa mereka harus berusaha sekuat tenaga untuk mengganti pimpinan Angkatan Darat dengan tokoh-tokoh yang lebih memperlihatkan simpati terhadap mereka. Tentu tidak masuk akal, untuk mengharap agar seorang simpatisan PKI akan menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat, jika Presiden Soekarno sudah tidak berkuasa lagi. Akan tetapi seorang Soekarnois[3] kiranya cukup memenuhi harapan Partai. Yang diperlukan PKI ketika itu, ialah waktu untuk mengembangkan kekuatannya secara pelan-pelan sesuai dengan siasat Aidit.

Tugas kedua dari pimpinan PKI berkaitan erat dengan tugasnya yang pertama. Bersiap-siap menghadapi situasi, pada saat Presiden Soekarno sudah tiada lagi, berarti berjaga-jaga untuk mencegah kemungkinan Partai ditaklukkan oleh kekuatan musuh, dalam hal ini adalah Angkatan darat. Kalau dapat dipastikan, bahwa politik NASAKOM Soekarno tidak akan dijalankan terus sesudah Presiden tidak berkuasa lagi, PKI tidak akan lagi melanjutkan cara damai guna meraih kekuasaan dan terpaksa mengubah strateginya.
________________________________________

[1]  Ada berbagai artikel dan buku tentang PKI selama masa 1959-1965. Dapat disebutkan beberapa diantara karangan yang paling penting:
− Arnold C. Brackman, Indonesian Communism: A History, New York 1963; lihat bab 23 dan 24 dan Epiloque, hal. 257-306;
− Donald Hindley, “President Sukarno and the Communists: The Politics of Domestication”, American Political Science Review, December 1962;
− Donald Hindley, The Communist Party of Indonesia: 1951-1963, Berkeley and Los Angeles, 1964; lihat bab XXII, hal. 275-304.
− Justus M. van der Kroef, The Communist Party of Indonesia, Vancouver-Canada, 1965; lihat bagian III, hal. 227-304.
− Guy J. Pauker, “Current Communist Tactics in Indonesia”, Asian Survey, May 1961, 26-34;
− Guy J. Pauker, Communist Prospects in Indonesia, RAND Memorandum, November 1964; juga dalam:
− Robert A. Scalapino (ed), The Communits Revolution in Asia: Tactic, Goals, and Achievements, New York, 1965.

[2]  Angkatan Laut adalah sebuah kesatuan kecil, jika dibandingkan dengan Angkatan Darat atau Kepolisian; AL ketika itu baru saja mengalami pergolakan serius yang dilakukan para perwira muda. Dan sebagai suatu kesatuan fungsional, AL tidak pernah memainkan peran politik yang penting.


[3]  Yang dimaksud dengan “Soekarnois” adalah pengikut setia ajaran Presiden Soekarno tentang Nasakom, yaitu kerjasama di lingkungan pemerintah antara unsur-unsur Nasionalis, Agama, dan Komunis.

Sumber: Nugroho Notosusanto

Selasa, 10 Oktober 2017

30 Tahun Perjuangan Melawan Larangan Jilbab

SETELAH hampir lebih 30 tahun kasus peraturan jilbab di sekolah menjadi momok para siswi beragama Islam, kini, kasus serupa masih juga terjadi.

Belum lama ini para siswi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Grogol, Kabupaten Kediri dikabarkan tertekan terkait ketentuan  pengambilan foto untuk ijazah yang harus melepaskan jilbab yang diterapkan pihak sekolah.

Masukan, Plt Kepala Sekolah SMKN 1 Grogol, Kediri, Jawa Timur, saat ditanya ihwal perbuatan memaksa para siswi agar melepaskan jilbab dalam sesi pemotretan foto ijazah mengatakan, “Tidak jarang, banyak perusahaan mensyaratkan jika bekerja di tempat mereka, foto siswi harus terlihat telinganya. Karena itu, jika suatu saat nanti perusahaan menginginkan pasfoto yang tidak mengenakan jilbab, pihak sekolah tidak disalahkan.”

Sungguh mengherankan sikap Masukan. Ia tak tampak seperti kepala sekolah, tapi bagaikan kepala “robot” perusahaan.

Larangan jilbab ini sesungguhnya adalah barang bekas yang didaur ulang. Dulu di zaman orde baru, lebih parah lagi. Siswi-siswi  yang memakai jilbab ditentang keras oleh pemerintah, khususnya pejabat dinas pendidikan dan militer.

Militer, dalam hal ini angkatan darat, muncul sebagai kekuatan yang sangat dominan dalam panggung politik orde baru.  Militer mendominasi posisi-posisi strategis baik eksekutif, legislatif, maupun birokrasi. Pada tahun 1972, 22 dari 26 gubernur adalah bekas perwira militer, demikian juga 67 % dari bupati dan camat serta 40% dari kepala desa. Selama dua dekade pemerintahan orde baru, terhitung 71,4 % posisi-posisi strategis dalam birokrasi pusat yang tertinggi diduduki militer. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sendiri untuk tahun 1982 terdiri dari 44 % militer. (Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Revolusi Jilbab Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri se-Jabodetabek, 1982-1991, Al-I’TISHOM:Jakarta, 2001)

Sejarawan Alwi Alatas menilai salah satu tujuan utama dominasi militer ini adalah untuk mengawal tercapainya tujuan orde baru. Pemerintah orde baru mencita-citakan suksesnya program pembangunan yang mereka canangkan dan untuk itu dibutuhkan kestabilan politik dan ekonomi yang ditopang kuat oleh kestabilan pertahanan dan keamanan. (Ibid)

Hal senada juga diungkapkan oleh sejarawan Tiar Anwar Bachtiar. Menurutnya,  dalam membangun stabilitas politik dan keamanan serta pemulihan ekonomi negara, Soeharto dikelilingi tentara dan teknokrat. Tentara digunakan sebagai kekuatan untuk pemulihan keamanan nasional, sedangkan teknokrat dimanfaatkan untuk mewujudkan target ekonomi pemerintah orde baru (Tiar Anwar Bachtiar, Lajur-lajur Pemikiran Islam Kilasan Pergulatan Intelektual Islam Indonesia, Komunitas NuuN:Depok, 2011).

Dominasi  militer ini sangat dirasakan oleh para ulama. Ruang gerak mereka untuk menyiarkan nilai-nilai agama sering kali harus berbenturan dengan pihak militer yang kerap dirasakan sebagai anti Islam. Sifat birokrasi militer yang kaku telah membuat kalangan Islam menemui kesulitan untuk memperjuangkan aspirasinya agar diterima oleh pemerintah, termasuk dalam masalah jilbab di kalangan siswi.

Salah satu hal yang menggelitik  untuk dikaji lebih jauh adalah masuknya watak militerisme dalam kebijakan-kebijakan Depdikbud. Kebijakan wajibnya seragam sekolah dalam SK Dirjen Dikdasmen No.052 tahun 1982 tampaknya mengindikasikan hal itu.

Di dalam SK itu, sebenarnya tidak dilarang penggunaan jilbab oleh siswi-siswi di SMA-SMA Negeri, hanya saja, bila mereka ingin memakai jilbab di sekolah, maka harus secara keseluruhan siswi  di sekolah memakai jilbab.

Dengan kata lain hanya ada satu paket seragam saja di sekolah. Dan pilihan untuk siswi-siswi: pakai jilbab seluruhnya atau tidak sama sekali? Tentu tidak aneh bila hal ini menimbulkan tanda tanya, terutama di kalangan yang mendukung  jilbab. Apakah ini sebuah bentuk penerapan budaya militer di sekolah-sekolah menengah negeri atau hanya sekadar keinginan mengenakan jilbab menjadi mustahil bagi kebanyakan siswi?

Upaya yang dilakukan pemerintah lewat pihak sekolah dalam menyelesaikan masalah larangan jilbab juga memperlihatkan pendekatan militer di dalamnya. Contohnya, ketika Ratu, salah seorang siswi  yang berusaha memakai jilbab maka hal ini menjadi bermasalah dengan pihak sekolah. Muttaqien, salah seorang anggota keluarga Ratu menganggap bahwa pemerintah pada saat itu menghadapi munculnya jilbab di SMA-SMA Negeri dengan security approach (pendekatan keamanan).

Ketika datang ke SMAN 68 Jakarta untuk membicarakan masalah adiknya, ia menemui Kepala Sekolah, Subandio. Namun pada saat itu Subandio didampingi oleh seorang Kolonel Ass. Intel Kodam Jaya. Ketika itu ia diancam akan ditangkap kalau “macam-macam.” SMAN 68 sendiri pada saat ia datang, dijaga oleh mobil militer. Tetapi Muttaqien mengakui juga bahwa keadaan itu terjadi karena anak buahnya di PII -di luar pengetahuannya- telah menteror Subandio, bahkan dengan ancaman “Bapak besok akan mati!”

Selain itu, rumah para siswi berjilbab atau orang-orang yang dianggap memengaruhi siswi-siswi berjilbab, didatangi oleh intelijen. Ketua RT mereka ditanyai dan diberi peringatan untuk berhati-hati terhadap mereka. Pihak keluarga didatangi dan diberi ancaman.

Awal tahun 1980-an memang merupakan periode konflik antara Islam dan Pemerintah. Kedua pihak saling berlawanan dan  kerap bersitegang. Politik Pemerintah Orde Baru yang represif terhadap umat Islam turut memperkeruh persoalan ini.

Pada kasus jilbab ini, Depdikbud rupanya tidak bisa menutupi sikap curiganya terhadap siswi berjilbab. Sebagaimana pada kasus Tri Wulandari di Jember. Pihak Kodim 0824 Jember sempat memanggilnya karena dicurigai sebagai anggota Jamaah Imron. Jilbab pada saat itu dianggap sebagai perwujudan gerakan politik yang mengancam pihak pemerintah.

Maret 1984, pihak Depdikbud mengeluarkan penjelasan tentang pakaian seragam sekolah (bagi keperluan intern jajaran Depdikbud). Di dalamnya secara jelas menguraikan sudut pandang Depdikbud terhadap bermunculannya jilbab di sekolah-sekolah negeri serta protes-protes sekelompok masyarakat terhadap SK 052.

Sikap sekelompok masyarakat tersebut dimanfaatkan oleh golongan tertentu untuk menentang pemerintah, antara lain memperalat siswi di beberapa sekolah pada beberapa kota besar  untuk mengenakan sejenis pakaian  yang menyimpang/tidak sesuai dengan ketentuan pakaian seragam sekolah. Terutama sekali perlu ditegaskan, bahwa pakaian seragam sekolah tidak menentang ajaran Islam. Dan sebaliknya bahwa “aksi jilbab” yang dilancarkan oknum-oknum tertentu, bukan suatu gerakan agama, melainkan merupakan gerakan politik.

Cara pandang seperti ini tampaknya menurun pada sebagian guru, sehingga sikap mereka tidak ramah atau bahkan membenci siswi-siswi yang memakai jilbab. Seorang guru SMAN 31 Jakarta pernah menuding siswi berjilbab di sekolah itu bahwa cara berpakaian mereka “mewakili gerakan tertentu.” Namun ketika ditanya gerakan apa yang dimaksud, sang guru diam, tidak bisa menjawab.

Salah satu siswi berjilbab di SMAN 68 Jakarta, di dalam catatan hariannya, menuliskan perkataan salah seorang guru agamanya;

“Kalau kalian berjilbab karena Allah, maka Bapak tidak dapat melarang kalian, tapi kalau kalian berjilbab karena ada unsur-unsur politik dan sebagainya, maka hal ini kami serahkan pada pihak sekolah.”

Berangkat dari kenyataan-kenyataan itu, maka tidak mengherankan bila SK ini segera memakan korban. Siswi-siswi berjilbab sampai ada yang dikeluarkan dan dipindahkan dari sekolah, diskors, dicap seperti gerakan laten PKI, diinterogasi di ruang BP, dikejar-kejar kepala “robot” sekolah yang selalu berlindung di balik kalimat, “Saya hanya melaksanakan perintah atasan.”, kemudian dimaki-maki, diusir, dimasukkan ke kandang ayam, dan dibotaki oleh orang tua sendiri, serta difitnah menyebar racun.

Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi, bila pihak Depdikbud konsisten dengan apa yang dinyatakannya. Di dalam SK 052, tertulis adanya masa peralihan dua tahun untuk menerapkan aturan seragam sekolah nasional secara penuh. Jadi baru pada tahun ajaran 1984/1985 pakaian seragam ini baru digunakan secara penuh. Sementara dalam Wartasiswa yang dikeluarkan Depdikbud sendiri, dengan jelas menyatakan,

“Keputusan yang mengatur ketentuan Pakaian seragam sekolah secara nasional ini adalah suatu “Pedoman”, bukan instruksi atau surat perintah, sehingga tidak memuat sanksi atau bersifat paksaan. Jadi sanksi hukum tidak ada, namun besar kemungkinan yang akan terjadi adalah sanksi sosial yang datang dari sekolah lain yang telah menerapkan atau dari tim penilai sekolah teladan yang memasukkan kategori yang belum dapat memenuhi kriteria.”

Pada kenyataannya, bukan seperti itu yang terjadi. Sanksi umumnya datang dari pihak Kepala sekolah dan guru-guru dalam bentuk sindiran-sindiran, tekanan, larangan belajar, hingga pengembalian pada orang tua. Walaupun tidak ada pernyataan yang jelas-jelas  melarang   jilbab atau jilbab, SK 052 segera menjadi landasan bagi pihak sekolah untuk ‘mengharamkan’ pemakaian jilbab oleh siswi-siswi di sekolah tersebut.

Tanggapan beberapa ormas Islam serta masyarakat mulai bermunculan. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengirimkan suratnya pada pengurus MUI pada tanggal 8 Desember 1982. Dalam surat setebal empat halaman itu, DDII mengungkapkan keprihatinannya atas masalah-masalah jilbab yang sedang terjadi. DDII juga mengusulkan diadakannya “Musyawarah Ukhuwah Islamiyah” yang melibatkan pemimpin ormas-ormas di bidang pendidikan Islam untuk membicarakan masalah tersebut. DDII terus berkorespondensi dengan MUI. Pada akhir Desember mereka mengirimkan informasi tambahan pada MUI tentang masalah yang sama, dan sebulan berikutnya kembali mengirimkan informasi tambahan yang mereka kumpulkan.

Pengurus PII Wilayah Jakarta mengirimkan surat pernyataan, (pada tanggal 8 Januari 1983) kepada semua pihak yang berwenang dan terlibat, antara lain ditujukan kepada Ketua MPR-DPR, Menteri-menteri, dan MUI, untuk ikut menuntaskan masalah jilbab. Pada tanggal 17 Januari 1983, Pimpinan Pusat Badan Pembela Masjidil Aqsho (BPMA) menyampaikan, “Teriakan hati kepada semua pihak yang menangani pendidikan.” Mereka menyatakan bahwa memakai jilbab merupakan kewajiban bagi kaum mukminah, pemakainya dijamin oleh konstitusi, dan pelarangannya  akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Pengurus Pusat Wanita Muslim juga memberi perhatian terhadap masalah ini dengan mengirim surat pada tanggal 21 Januari 1983 yang ditujukan kepada Menteri P dan K. Dalam surat ini, Mendikbud diminta untuk “mengambil kebijaksanaan dengan memberi kelonggaran kepada mereka yang ingin berbusana sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya dan untuk tetap dapat mengikuti pelajaran.”

Media massa Serial Media Dakwah dan Harian Pelita turut membantu perjuangan jilbab. Mereka banyak meliput pihak yang merasa dirugikan oleh permasalahan jilbab ini.

Pemberitaan Tempo pada tanggal 11 Desember 1982, yang berjudul “Larangan Buat Si Kudung” walaupun hanya sekali memberi dukungan tersendiri bagi siswi-siswi berjilbab.

Para siswi pun bergerak menentang. Pada tanggal 15 Januari 1983, siswi-siswi yang berjilbab dari SMA, SMEA, dan SGA Tangerang, Bekasi, dan Jakarta juga mengajukan protes ke DPRD DKI Jakarta menuntut agar dibolehkan mengikuti pelajaran dengan tetap mengenakan pakaian muslimah.

Pada masa-masa berikutnya, terjadi komunikasi yang semakin intensif antara umat Islam yang diwakili MUI dengan pemerintah (Depdikbud). Meskipun dialog tak kunjung hasil dan pelarangan jilbab terus terjadi, tapi tidak membuat MUI menyerah memperjuangkan jilbab. Tekanan dari masyarakat, media massa, dan MUI justru semakin kuat. Depdikbud dibawah menteri dan Dirjen Dikdasmennya, Fuad Hasan dan Hasan Walinono, mau tidak mau mempertimbangkan kembali peraturan seragam yang ada.

Sementara di tingkat nasional, berdirinya ICMI, telah merubah haluan pemerintah menjadi lebih akomodatif terhadap Islam. Fuad Hasan, pada awalnya terlihat enggan untuk mengubah peraturan seragam, boleh jadi karena sikap pemerintah Orde Baru yang selama ini cenderung anti Islam. Namun, bandul telah bergeser, dan Depdikbud pun mau tidak mau harus mengikuti bandul itu.

Akhir 1989 atau awal 1990, MUI mengadakan Munas dan menghasilkan keputusan perlunya meninjau kembali peraturan tentang seragam sekolah.

Menindaklanjuti hasil Munas tersebut, MUI beberapa kali menemui Depdikbud, terutama dengan Hasan Walinono, Dirjen Dikdasmen. Pada pertemuan di sebuah restoran di kawasan Monas,   bulan Desember 1990, kedua belah pihak sepakat untuk menyempurnakan peraturan seragam sekolah. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Pada tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru resmi ditandatangani, setelah melalui proses konsultasi dengan banyak pihak, termasuk Kejaksaan Agung, MENPAN, Pimpinan Komisi XI, DPR RI, dan BAKIN.

Dalam SK yang baru itu, SK No. 100/C/Kep/D/1991, tidak disebutkan kata jilbab, tetapi yang digunakan adalah istilah “seragam khas.” Dalam peraturan tersebut, dinyatakan, ”Siswi (SMP dan SMA) yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan rancangan sesuai lampiran III dan IV.” Pada lampirannya bisa dilihat bentuk seragam khas yang dimaksud, yang tidak lain adalah busana muslimah dengan jilbab.

Setelah keluarnya SK 100 tahun 1991, rupanya masih menyisakan masalah. SK ini belum sepenuhnya tuntas mengakomodasi kepentingan siswi-siswi yang berjilbab. Mereka diharuskan berfoto tanpa jilbab atau setidaknya harus terlihat telinganya, untuk keperluan ijazah.

Sebenarnya tidak ada peraturan yang jelas mengenai masalah ini (harus terlihat telinga pada foto). Masalah ini jadi sering membingungkan mereka, karena mereka diancam tidak bisa ke luar ijazahnya, atau tidak sah dan akan mendapatkan kesulitan untuk masuk perguruan tinggi. Ancaman-ancaman ini cukup ampuh dan sering membuat mereka akhirnya mengalah dan mau difoto tanpa jilbab. Meskipun begitu, tidak sedikit juga yang berani melanggarnya dan tidak terjadi apa-apa atas mereka.(Alwi Alatas dan dan Fifrida Desliyanti, Ibid)

Perjuangan pemakaian jilbab selama bertahun-tahun, yang diwarnai sikap represif aparat, pendidik dan pejabat akhirnya membuahkan hasil. Keringat, derita, stigma dan air mata demi menjaga kemuliaan wanita itu mampu menjadi pembuka jalan bagi diterimanya jilbab di  dunia pendidikan Indonesia. Tekad baja para muslimah muda dalam memperjuangkan jilbab di masa orde baru akhirnya mendobrak halangan berjilbab. Maka larangan jilbab saat ini sama saja melecehkan perjuangan para pendahulu dan mewarisi kebijakan intoleransi rezim orde baru.

Wahai para siswi, resapi, hargai, dan teruskan perjuangan pendahulumu! Kelak sejarah akan mencatatmu dengan tinta emas sebagai pejuang-pejuang jilbab.

Oleh: Muhammad Cheng Ho
Penulis  adalah Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Kamis, 05 Oktober 2017

PKI dan Polisi

Sekedar Pengantar

Pada tahun-tahun akhir-akhir ini Menteri/Wakil Ketua MPRS/Ketua CC PKI D. N. Aidit telah mengadakan ceramah-ceramah di depan petugas-petugas alat-alat negara antara lain di depan petugas-petugas Kepolisian. Sejak Mei 1962 D. N. Aidit telah memberikan ceramah empat kali, yaitu pada tanggal 24 Mei 1962 di hadapan para Komandan Korps Polisi Security Kepolisian Komisariat Seluruh Indonesia, pada tanggal 18 September 1962 di depan para pengikut Kursus Persamaan Komisaris Polisi (Kursus B), pada tanggal 22 Februari 1962 di hadapan para mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan pada tanggal 6 Maret 1963 di depan Sekolah Kepolisian Sukabumi. Tiap ceramah berlangsung lebih kurang 3 jam, dan pada tiap ceramah diadakan tanya jawab.

Dengan seizin Menteri/Wakil Ketua MPRS/Ketua CC PKI D. N. Aidit, maka tiga ceramah yang terakhir kami bukukan dengan judul “PKI dan Polisi”, sedangkan ceramah pertama karena pokok-pokoknya diambilkan dari buku Sosialisme Indonesia dan syarat-syarat pelaksanaannya tidak kami sertakan dalam kumpulan ceramah ini. Mudah-mudahan usaha menerbitkan kumpulan ceramah ini akan dapat memberikan sumbangan untuk menimbulkan saling mengerti di antara golongan-golongan di dalam masyarakat umumnya dan diantara kaum komunis dengan pihak kepolisian khususnya, sehingga dapat lebih memperkokoh persatuan “alle revolutionaire krachten” guna melaksanakan Pantja Program Front nasional.
Penerbit
Mei 1963.


FUNGSI PARTAI DALAM PENYELESAIAN REVOLUSI INDONESIA

RETULING DI BIDANG KEPARTAIAN ADALAH CONTOH UNTUK BIDANG-BIDANG LAIN

J. M. Menteri/ Kepala Staf Angkatan Kepolisian Sdr. R. Soekarno Djojonagoro meminta saya untuk mengadakan ceramah tentang Fungsi Partai Dalam Penyelesaian Revolusi Indonesia di hadapan Kursus Persamaan Komisaris Polisi (Kursus B). dengan segala senang hati dan dengan rasa terimakasih saya penuhi permintaan ini. Saya berterimakasih karena dengan ini saling-mengerti yang sudah ada antara pihak kepolisian dengan pihak kaum komunis akan dipertinggi.

Ini bukanlah untuk pertama kali saya berceramah di hadapan polisi. Pada tanggal 24 Mei tahun ini saya juga telah memberikan ceramah para Komandan Korps Polisi Security Kepolisian Komisaris Seluruh Indonesia. Pada waktu itu temanya Sosialisme Indonesia dan Pancasila.

Ini bukanlah untuk pertamakali saya berceramah di depan polisi. Pada tanggal 24 Mei tahun ini saya juga telah memberikan ceramah di hadapan para Komandan korps Polisi Security Kepolisian Komisariat Seluruh Indonesia. Pada waktu itu temanya Sosialisme Indonesia dan Pancasila.

Di zaman kolonial dulu kaum kolonialis berusaha keras agar alat-alat negaranya, yang umumnya terdiri dari orang-orang Indonesia, tidak berpolitik atau buta politik, dan malahan supaya politik-phobi. Tujuan ini mereka usahakan mencapainya dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan mengadakan ancaman-ancaman hukuman, suapan-suapan atau dengan meninabobokkan. Hal ini dapat dimengerti, karena semuanya ini adalah untuk mempertahankan kedudukan dan kekuasaan kolonial. Mereka kuatir kalau alat-alat negara berpolitik bisa politiknya bertentangan dengan kepentingan kolonial. Kekuatiran ini beralasan, karena alat-alat negara kolonial yang pada umumnya terdiri dari orang-orang Indonesia, mudah bangkit rasa kebangsaannya karena penindasan kolonial. Usaha subyektif kaum kolonialis itu ternyata tidak berhasil karena hukum obyektif daripada kemajuan lebih kuat daripada keinginan subyektif kaum kolonialis. Gerakan revolusioner telah menarik berjuta-juta rakyat Indonesia ke dalam kancah politik, diantaranya terdapat juga tidak sedikit orang-orang dari kalangan alat-alat negara kolonial.

Adalah satu kenyataan, bahwa sekarang masih ada orang yang menganjurkan supaya alat-alat negara Republik kita buta politik, malahan mendorong supaya politik-phobi atau partai-phobi. Padahal, berkat perjuangan politik dan perjuangan partai-partailah maka lahir negara Republik Indonesia, dengan segenap alat-alatnya. Tanpa rakyat Indonesia berpolitik dan berpartai-partai politik di masa kolonial dulu tidak mungkin ada proklamasi 17 Agustus 1945 yang melahirkan Republik Indonesia. Masih adanya sekarang orang yang hidup dalam tawanan “Politik-phobi” atau “Partai-phobi” adalah sangat menyedihkan dan menunjukkan masih adanya keterbelakangan fikiran di kalangan bangsa kita.

Sejak 17 Agustus 1945, dan lebih-lebih lagi sesudah ada Manipol, “Politik-phobi “ dan “Partai phobi” adalah kejahatan. Manifesto Politik (Manipol) itu sendiri sudah mengharuskan tiap warganegara berpolitik, dan Manipol menjamin adanya partai-partai politik. Dalam Manipol jelas dikatakan bahwa : “…….. tiap partai, organisasi dan perseorangan boleh mempunyai keyakinan politiknya sendiri, boleh mempunyai keyakinan politiknya sedniri, boleh mempunyai programnya sendiri, tetapi apa yang sudah ditetapkan sebagai Program Revolusi harus juga menjadi programnya dan harus ambil bagian dalam melaksanakan program tersebut.” Perundang-undangan kita menjamin hak hidup daripada partai (lihat Penpres 7/1959 dan Perpres 13/1960). Lebih daripada itu, dalam pidato “Jarek” dikatakan bahwa partai-partai yang sudah sah tidak hanya diberi hak hidup, tetapi juga “Diberi hak bergerak, diberi hak perwakilan” (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, hal 213).

Tidak dapat disangkal, bahwa retuling dalam alam kepartaian sudah berjalan sebagaimana mestinya seperti yang dikatakan dalam “Jarek” (TBPI, hal. 213). Sayang sekali, bahwa di dalam berbagai lembaga kenegaraan dan alat-alat negara retuling belum berjalan sebaik di bidang kepartaian. Pada tempatnya dan sudah waktunya diserukan kepada yang belum mengadakan retuling sebagaimana mestinya, sebaiknya melaksanakan retuling dengan sungguh-sungguh daripada mengobar-ngobarkan “Partai phobi”. Retuling di bidang kepartaian telah berlangsung dengan radikal, telah berakibat lebih kurang 45 partai menajdi 10 partai, telah berakibat pembubaran Masyumi-PSI. Hendaknya retuling di bidang lain juga harus radikal seperti itu, berani mengadakan pergeseran-pergeseran besar, pemecatan-pemecatan, perombakan-perombakan, penyingkiran-penyingkiran, terhadap semua yang tidak becus dan tidak Manipolis. Retuling di bidang kepartaian adalah contoh untuk bidang-bidang lain.

Apakah partai itu? Partai atau partai politik adalah alat perjuangan daripada golongan-golongan atau kelas-kelas di dalam masyarakat untuk mencapai cita-cita atau tujuan politik kenegaraan. Sebab itu partai politik menghimpun atau mengorganisasi orang-orang yang paling sadar-politik dari golongan atau kelas yang diwakili atau diperjuangkan cita-cita politiknya oleh partai yang bersangkutan. Oleh karena itu pula watak dari sesuatu partai politik adalah sesuai dengan watak daripada golongan atau kelas dalam masyarakat yang diwakilinya.

Di Indonesia, partai-partai politik sangat jelas menjadi alat perjuangan dari berbagai golongan dan kelas dalam masyarakat untuk mencapai kemerdekaan nasional. Perbedaan watak dari partai-partai ini, yang menyebabkan perbedaan dalam cara-cara perjuangannnya adalah sesuai dengan watak daripada golongan atau kelas yang diwakili oleh partai masing-masing.

Menurut Bung Karno, di Indonesia yang menjadi rohnya Pergerakan Rakyat, yang menjadi rohnya partai-partai politik pada pokoknya terdiri dari tiga azas, yaitu Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (dalam tulisan “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” –Tahun 1926 – dalam “Di bawah Bendera Revolusi”).

Sedikit contoh tentang proses lahir dan perkembangan partai-partai politik dari ketiga aliran itu:
NASIONALISME: Di mulai dengan Budi Utomo 1908, kemudian studiklub-studiklub kaum intelektuil, Nationaal Indische Partij, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Indonesia (Partindo).
ISLAMISME: dimulai dengan Serikat Dagang Islam (SDI-1991), kemudian Sarekat Islam, Partai Sarekat Islam (PSI) dan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dll.
MARXISME (KOMUNISME): di mulai dengan Serikat buruh-serikat buruh (SS-Bond-1905, VSTP-1908) Vaksentral-vaksentral, Indische Sociaal Demokratische Vereniging (ISDV-1914) dan Partai Komunis Indonesia (PKI-1920).

Jadi jelaslah bahwa gagasan Nasakom sudah mempunyai akar sejarah 36 tahun (sejak tulisan Bung Karno “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” tahun 1926). Hanya orang yang anti kepada gerakan kemerdekaan rakyat, atau orang yang tidak mengerti dan tidak mau mengerti keadaan sosial-politis Indonesia yang menolak gagasan Nasakom atau yang meragu-ragukan akan kebenaran ilmiahnya.

Fungsi partai dalam gerakan revolusioner, dan dengan partai di sini dimaksudkan partai revolusioner, antara lain adalah: pendidik dan pembimbing kesadaran politik massa Rakyat, penanam kesadaran berorganisasi dan berdisiplin di kalangan rakyat. Semuanya ini sangat penting, karena untuk pekerjaan-pekerjaan besar, seperti mengatur negara yang merdeka, tidak mungkin dilaksanakan tanpa tingkat tertentu dalam kesadaran politik, dalam kemampuan berorganisasi dan dalam disiplin daripada rakyat. Tidak kalah pentingnya, ialah peranan partai-partai dalam nation-building, terutama dalam mengorganisasi Rakyat dalam organisasi yang bersifat nasional sehingga dengan demikian mendobrak batas-batas kesukuan.
Apa fungsi partai dalam penyelesaian Revolusi Indonesia? Tentu saja, yang dimaksudkan di sini ialah fungsi partai revolusioner dalam penyelesaian revolusi Indonesia. Fungsinya di masa lampau harus dilanjutkan, yaitu: pendidik dan pembimbing kesadaran politik massa rakyat, penanam kesadaran berorganisasi dan berdisiplin di kalangan rakyat, dan pembina nasion (nation building).

Tetapi tugas daripada partai-partai revolusioner sekarang sudah lebih luas daripada dulu. Dulu berjuang untuk kemerdekaan, sekarang mengkonsolidasi kemerdekaan yang sudah dicapai. Secara terperinci tugas-tugas partai sudah dimuat dalam Manipol serta pedoman-pedoman pelaksanaannya (Jarek, Resopim, Membangun Dunia Kembali, Amanat Pembangunan Presiden, Tahun Kemenangan). Atau, dengan singkat dicantumkan dalam tujuan Front Nasional, yaitu: 1) Menyelesaikan revolusi nasional Indonesia; 2) Membangun semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur: 3) Mengembaliakn Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan republik Indonesia.

Walaupun soal Irian Barat sudah mendekati penyelesaian, tetapi demi pelaksanaan tujuan menyelesaikan Revolusi Nasional dan pembangunan semesta, ujung tombak Revolusi Indonesia tetap pada sasarannya, yaitu kolonialisme dan imperialisme serta kaki-tangannya.
Singkatnya, fungsi partai dalam penyelesaian revolusi Indonesia antara lain ialah:
1.        Berdiri di barisan depan dalam pekerjaan mengindoktrinasikan gagasan-gagasan revolusioner seperti yang tercantum dalam Manifesto Politik serta pedoman-pedoman pelaksanaannya untuk menciptakan kesatuan pikiran Rakyat mengenai tugas-tugas revolusinya.
2.        Mengorganisasi massa Rakyat untuk memperkuat front nasional dan memperkuat disiplinnya.
3.        Mengorganisasi dan memimpin massa Rakyat untuk memperbaiki keadaan tingkat hidup dan tingkat kebudayaannya.

Untuk semuanya ini diperlukan kebebasan-kebebasan demokratis yang luas.
(Ringkasan pidato di hadapan para pengikut Kursus Persamaan Komisaris Polisi (Kursus B),
(Sukabumi tanggal 18 September 1962).

-----

DALAM ALAM MANIPOL KEPOLISIAN HARUS REVOLUSIONER

Pertama-tama saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Profesor Jokosutono S. H. yang telah meminta saya mengadakan ceramah malam ini, dan juga banyak terimakasih kepada saudara-saudara mahasiswa PTIK yang malam ini sudah siap sedia untuk mendengarkan ceramah yang akan saya berikan.

Ini adalah pertamakali saya memberikan ceramah di hadapan Mahasiswa-mahasiswa PTIK, tetapi bukan untuk pertama kalinya memberikan ceramah kader-kader kepolisian. Dalam bulan Mei tahun yang lalu saya telah memberikan ceramah di hadapan para Komandan Korps Polisi Security Kepolisian Komisariat Seluruh Indonesia di Sukabumi dengan tema Sosialisme Indonesia dan Pancasila. Dalam bulan September tahun yang lalu saya juga telah memberikan ceramah di hadapan para pengikut Kursus Persamaan Komisaris Polisi (Kursus B), juga di Sukabumi dengan tema Fungsi Partai dalam Penyelesaian Revolusi Indonesia.

ADA DUA ASPEK DALAM KEKUASAAN POLITIK SEKARANG

Ada orang yang bingung mendengar bahwa Ketua Partai Komunis Indonesia memberi ceramah kepada kader-kader kepolisian. Mereka bingung karena mereka masih hidup dalam alam fikiran kolonial, alam pikiran bahwa komunis dengan alat negara, khususnya kepolisian, harus bermusuhan. Mereka sudah hidup dalam alam Indonesia merdeka, tetapi pikiran mereka masih belum merdeka, masih kolonial. Atau seperti yang sering dikatakan oleh Bung Karno, mereka adalah, “Orang-orang yang dan hatinya telah berdaki-karat tak dapat menyesuaikan diri dengan Manipol-Usdek”. (Tubapi, halaman 211). Mereka adalah kaum Komunisto-phobi atau Nasakom-phobi yang oleh Bung Karno dalam pidatonya tanggal 13 Februari jbl., yaitu pidato dalam rapat pembukaan Sidang Bersama Pengurus Besar Front Nasional dan Pengurus Daerah Front Nasional, harus diganyang.

Saya tidak tahu apakah ceramah-ceramah saya para kader kepolisian mendapat sambutan baik atau tidak. Tentu saja penting bagi saya untuk mengetahui ini agar dapat memperbaiki ceramah-ceramah saya, tetapi yang lebih penting lagi ialah fakta bahwa pemimpin Komunis diberi kesempatan memberikan ceramah kepada kader-kader kepolisian. Fakta ini mengungkapkan hal-hal penting, misalnya tentang watak kekuasaan politik di negeri kita sekarang tidak hanya ada kaum komprador, kapitalis birokrat dan tuan tanah, tetapi juga ada orang-orang yang pro-Rakyat yang disokong oleh kaum buruh, kaum tani, inteligensia revolusioner dan elemen-elemen demokratis lainnya. Jadi, kekuasaan politik di negeri kita mempunyai dua aspek (segi), yaitu aspek pro-Rakyat dan aspek anti-Rakyat. Hal ini diperkuat lagi oleh fakta, bahwa Bung Karno sebagai Presiden/ Panglima Tertinggi? Perdana Menteri menyerukan supaya Rakyat membantu Bung Karno mengganyang mereka yang anti-Nasakom. Jadi, masih ada yang harus diganyang, dan mereka yang harus diganyang ini adalah elemen-elemen anti-Rakyat yang masih berperanan dalam kekuasaan politik sehingga sampai sekarang belum juga terbentuk Kabinet Gotong Royong yang berporos Nasakom.

Sikap pihak Kepolisian Negara yang tidak Nasakom-phobi dan tidak Komunisto-phobi sangat membantu kami kaum komunis untuk mengubah pandangan Rakyat terhadap pihak kepolisian, dan saya kira juga untuk mengubah pandangan seluruh barisan kepolisian terhadap gerakan revolusioner Rakyat, khususnya terhadap kaum komunis. Mengubah mental seseorang adalah tidak mudah. Begitulah tidak mudah mengubah sikap rakyat terhadap polisi maupun sikap polisi terhadap rakyat. Tetapi bukan tidak mungkin. Malahan dapat dikatakan mungkin sekali jika keduabelah pihak, Rakyat dan kepolisian, dengan sadar bersama-sama memperkuat aspek Rakyat daripada kekuasaan politik sekarang dan melawan aspek yang anti-Rakyat, yang anti-Nasakom, yang komunisto-phobi, yang kolonial. Dalam perjuangan bersama inilah, Rakyat dan kepolisian yang dulu dipertentangkan, akan menjadi kawan seperjuangan yang akrab.

Pengertian tentang adanya dua aspek daripada kekuasaan politik di Indonesia sekarang ini adalah sangat penting untuk dapat memahami kejadian-kejadian yang berlangsung di Indonesia. Mereka yang tidak mengerti atau tidak mau tahu tentang adanya dua aspek dalam kekuasaan politik di Indonesia, yaitu aspek Rakyat dan aspek anti-Rakyat memang mudah menjadi bingung melihat berbagai peristiwa. Umpamanya di satu pihak pemimpin-pemimpin dan kader-kader penting PKI mendapat tempat terhormat di lembaga-lembaga negara di tingkat pusat maupun di daerah, tetapi di pihak lain harian yang membawa suara PKI, yaitu Harian Rakyat, sering dibreidel dan bahkan pernah anggota-anggota Politbiro CC PKI dipertebal. Di satu pihak secara resmi diakui bahwa kaum buruh dan kaum tani adalah kekuatan-kekuatan pokok revolusi Indonesia, pemimpin-pemimpin buruh dan tani mendapat tempat terhormat di lembaga-lembaga negara di tingkat pusat dan daerah, tetapi di pihak lain kaum buruh dan kaum tani sering dibikin susah oleh alat-alat negara.

WATAK KEKUASAAN YANG BERBEDA MEMBAWA PERBEDAAN DALAM WATAK KEPOLISIAN

Judul terjemahan ceramah malam ini, yaitu Tempat dan Peranan Polisi dalam Alam Manipol adalah sangat tepat, sangat berguna untuk dibahas. Mengapa? Karena dalam judul ini pada pokoknya tersirat 2 hal yaitu: pertama, apa dan siapa polisi itu dan kedua, apa dan bagaimana tugas dan perannya dalam masyarakat saat ini. Dengan perkataan lain dapat dikatakan, bahwa dengan memberikan jawaban atas problem-problem ini, maka akan jelaslah polisi sebagai subyek dan sekaligus sebagai obyek di tengah-tengah Rakyat Indonesia yang sedang berjaung menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agsutus 1945.

Lebih jauh, judul ini mengungkapkan bahwa pihak Kepolisian secara sadar menyatakan bahwa polisi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari revolusi dan berkewajiban mutlak bersama semua golongan revolusioner menjadi partisipan dalam menyelesaikan tuntutan-tuntutan revolusi.

Saya berpendapat, bahwa banyak hal berkesudahan dengan kegagalan karena tidak tahu dari mana harus memulai, dan karenanya pula tidak tahu bagaimana mengakhirinya. Lain halnya dengan para saudara, dengan mengemukakan judul tersebut jelas saudara-saudara bertolak dari pangkalan yang benar kita akan dapat menentukan arah serta memperhitungkan segala rintangan yang akan muncul dan dengan itu dapat pulalah mempersiapkan tindakan-tindakan yang akan mengatasi segala rintangan untuk dapat sampai ke tujuan yang telah ditentukan.

Dalam setiap metode sejarah setelah ada negara, kita mengenal adanya polisi, sebagai alat daripada kekuasaan yang ada periode sejarah tertentu itu. Demikianlah di tanah air kita ini, kita mengenal polisi pada zaman kekuasaan fasisme Jepang dan kemudian kita mengenal pula polisi Republik Indonesia. Dengan ini saya tidak bermaksud mengatakan bahwa polisi itu dari dulu hingga sekarang sama saja. Tidak, watak kekuasaan yang berada membawa perbedaan dalam watak kepolisiannya. Sebagai alat untuk melaksanakan kekuasaan, dalam hal inilah persamaannya. Dalam persamaan ini, terdapat pula perbedaan antara satu dengan lainnya. Mengenai ini Presiden Sukarno telah mengatakan secara tepat: “Kita ini bekerja untuk apa, kataku. Dan opgave kita sekarang ini memang lain daripada yang dahulu. Dahulu, waktu zaman Belanda, sebagian daripada kiat terang-terangan saja bekerja untuk ‘de in stand houding van de koloniale maatschappij’. Dan sesudah dat is het verleden’, kemudian kita masuk kedalam alam Indonesia merdeka tahun 1945, dan sejak daripada tahun 1945 itu sebagian daripada kita bisa mengadakan mentale herorientatie, reorientation daripada mentality kia”. (Pidato Presiden Sukarno di depan para petugas aparatur Negara, tanggal 27 Januari 1961, penerbitan khusus No. 104 Departemen Penerangan RI halaman 8). Dari penjelasan Presiden Sukarno ini, kita mendapat jawaban bahwa tempat dan peranan polisi adalah sesuai dengan keadaan riil kekuasaan politik yang ada pada suatu masa. Bagaimana dalam keadaan sekarang? Presiden Sukarno dalam pidatonya tersebut memberikan jawaban yang tegas: “Yah, saudara adalah pekerja-pekerja untuk Polisi, pekerja-pekerja untuk kehakiman, pekerja-pekerja untuk kejaksaan, pekerja-pekerja untuk bea dan cukai, pekerja-pekerja untuk imigrasi, tetapi dibalik, di belakang semua hal itu adalah satu pertanyaan: Pada hakekatnya pekerja untuk apa? Dan sebagai saya ulangkan beberapa kali, kita sekarang ini, semuanya, sejak daripada rakyat jelata sampai kepada saudara-saudara, sampai kepada saya sendiri, adalah pekerja-pekerja untuk membangun masyarakat adil dan makmur, membangun satu negara Indonesia yang kaut dan terhormat dipandang dunia”. (sda hal. 6).

Belajar dari sejarah perjuangan rakyat dan bangsa kita sendiri, dapat ditarik pelajaran yang sangat berguna bagi kelanjutan dan kesempurnaan kita semua, didalamnya termasuk polisi dan semua alat-alat kekuasaan negara lainnya. Saya mengerti apa yang pernah dikatakan oleh saudara Menteri/ Kepala Kepolisan Negara R. Soekarno Joyonegoro, bahwa “Dalam perjuangan kita senantiasa terbantu pada pandangan-pandangan serta keinginan-keinginan yang bertentangan dengan cita-ciat korps kita sendiri, pandangan-pandangan mana sering terjalin dengan kekuatan-kekuatan yang riil. (Pidato Hari Kepolisian; 1 Juli 1961). Di satu pihak memang ada kesimpangsiuran pengaturan Polisi dalam stelsel ketatanegaraan kita, sedangkan di pihak lain, dan ini yang terpenting, adanya pengawasan-pengawasan yang dikehendaki masyarakat, dikehendaki perjuangan rakyat yang menuntut suatu orde baru, di mana semua alat-alat kekuasaan negara dituntut supaya menyesuaikan diri secara harmonis. Oleh karena itu, selama masih demikian keadaannya, selama masih belum harmonis, pertentangan-pertentangan tidak mungkin lenyap. Pertentangan itu sendiri adalah sesuatu yang kongkrit ada, sebagai akibat pertentangan antara keinginan subyektif dari atas dengan kenyataan obyektif dalam masyarakat.

Kedudukan Kepolisian sebagai aparat dalam struktur ketatanegaraan oleh para sarjana banyak dipersoalakn dari bermacam-macam dasar teori. Dalam ketatanegaraan kita juga terjadi silih-ganti dalam menempatkan kedudukan polisi. Hal ini dapat terlihat dari peraturan-peraturan dan undang-undang yang dikeluarkan sejak 1 Oktober 1945 hingga yang terakhir pada saat ini dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 13/ 1961, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara pada tanggal 19 Juni 1961.

Dengan tidak meremehkan arti pengorganisasian Kepolisian dalam sistem ketatanegaraan, saya ingin meninjau tempat dan peranan Polsii secara hakiki dalam keseluruhan masyarakat bangsa dan Rakyat Indonesia.

Pada judul kuliah umum ini sebenarnya kita telah memasuki langsung pada persoalannya, yaitu tempat dan peranan polisi dalam alam Manipol. Bahwa polisi mempunyai tempat dan peranan dalam alam Manipol, pasti! Yang akan kita jawab adalah di mana dan apa yang harus dikerjakannya.

Pertama-tama yang harus saya tegaskan, pengertian “Dalam alam Manipol”. Menurut pengertian saya, “Dalam alam Manipol” berarti dalam alam revolusioner, karena Manipol adalah konsepsi bersama untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya. Oleh karena itu yang harus saya kuliahkan berdasarkan permintaan PTIK adalah “Tempat dan peranan Polisi dalam alam revolusioner” atau ”Tempat dan peranan polisi sebagai potensi penting dalam menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945”.

POLISI DAN RAKYAT HARUS EBRSAMA-SAMA MEMAHAMI SOAL-SOAL POKOK REVOLUSI INDONESIA

Berdasarkan pengertian ini saya berkewajiban untuk lebih dahulu memberikan penjelasan tentang Revolusi Agustus 1945 dan konsepsi untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945, yaitu manifesto Politik. Dalam penjelasan ini akan kita temukan secara tepat di mana tempat dan apa peranan Polisi didalamnya.

Sebelum menerangkan soal-soal pokok revolusi Indonesia menurut Manipol, untuk mencegah kekacauan dalam pikiran dan dalam menggunakan semboyan-semboyan perlu sekali dipahami dengan sejelas-jelasnya tentang adanya dua tahap revolusi Indonesia. Tentang ini pidato Jarek mengatakan: “Ada dua tujuan dan dua tahap revolusi Indonesia: Pertama, tahap mencapai Indonesia yang merdeka penuh, bersih dari imperialisme – dan yang demokratis – bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap ini masih harus diselesaikan dan disempurnakan …. Kedua, tahap mencapai Indonesia bersosialisme Indonesia, bersih dari kapitalisme dan dari ‘lexploitation de ‘l homme par ‘l homme. Tahap ini hanya bisa diselesaikan dengan sempurna seluruhnya”. Tegasnya tugas kita sekarang adalah untuk menyelesaikan tahap pertama dari revolusi Indonesia, yaitu tahap revolusi nasional-demokratis, dengan jalan melaksanakan Manipol secara konsekuen.

Berbeda dengan revolusi borjuis Perancis tahun 1789. Revolusi Indonesia sekarang berhari depan sosialisme, sedangkan Revolusi Perancis tersebut tidak mempunyai tujuan lain kecuali menaikkan kaum kapitalis Perancis tersebut tidak mempunyai tujuan lain kecuali menaikkan kaum kapitalis Perancis ke singgasana kekuasaan. Berbeda dengan Revolusi Oktober 1917 di Rusia yang mempunyai watak (sifat) proletar-sosialis. Revolusi Indonesia sekarang berwatak nasional-demokratis. Mengenai adanya perbedaan-perbedaan antara revolusi-revolusi ini juga disebut dalam Manipol. Tidak mengerti perbedaan-perbedaan ini, khususnya tidak mengerti tentang adanya dua tahap Revolusi Indonesia, sama halnya dengan tidak mengerti apa-apa tentang Revolusi Indonesia.

Untuk lebih jelasnya persoalan-persoalan Revolusi Indonesia, tiap-tiap orang revolusioner harus mengetahui benar-benar tentang soal-soal pokok revolusi Indonesia seperti yang dengan jelas dimuat di dalam Manipol.

Dalam Manipol tegas dikatakan, bahwa tugas-tugas Revolusi Indonesia “bukanlah untuk bukanlah untuk mendirikan Negara Federal, kekuasaan diktatur atau Republik Kapitalis. Kewajiban-kewajiban Revolusi Indonesia ialah untuk membentuk satu Republik Kesatuan yang demokratis dimana Irian Barat juga termasuk di dalamnya, dimana kedaulatan ada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR (UUD 45, fasal 1 ayat 2), dimana hak-hak azasi dan hak-hak warganegara dijunjung tinggi, dan membentuk masyarakat adil dan makmur, cinta-damai dan bersahabat dengan semua negara di dunia guna membentuk satu Dunia Baru”. (Tubapi, hal. 81-82).

Tentang Kekuatan-kekuatan Sosial Revolusi Indonesia, Manipol tegas mengatakan: “Seluruh Rakyat Indonesia dengan kaum buruh dan kaum tani sebagai kekuatan pokoknya tanpa melupakan peranan penting dari golongan-golongan lain adalah sangat besar dan meyakinkan akan menangnya Revolusi Indonesia”. (Tubapi, hal. 84).

Tentang sifat (watak) Revolusi Indonesia dalam Manipol dikatakan: “Mengingat sifat revolusi Indonesia yang nasional dan demokratis, maka Revolusi Indonesia adalah revolusi bersama dari semua kelas dan golongan yang menentang imperialisme-kolonialisme. Pendeknya, revolusi Indonesia harus mendirikan kekuasaan gotong-royong, kekuasaan demokratis yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, yang menjamin terkonsentrasinya seluruh kekuatan nasional, seluruh kekuatan Rakyat” (Tubapi, hal 85).

Tentang hari depan Revolusi Indonesia, menurut Manipol ialah: “Sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan alam Indonesia, dengan rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, dengan psikologi dan kebudayaan Rakyat Indonesia” (Tubapi. Hal 85).

Tentang musuh-musuh Revolusi Indonesia dalam manipol dikatakan: “Kaum imperialis Belanda dan kaum imperialis lainnya yang bersikap bermusuhan terhadap Republik serta pembantu-pembantu imperialis”. (Tubapi, hal 87).

Demikian beberapa patah kata tentang soal-soal pokok Revolusi Indonesia.

Dari soal-soal pokok Revolusi Indonesia seperti diuraikan dalam Manipol, jelaslah apa yang harus dikerjakan oleh Rakyat Indonesia dan oleh aparat-aparat negara yang memihak Rakyat Indonesia.

Kita lihat secara khusus tentang Kepolisian, untuk menguji kebenaran yang dikemukakan di atas. Sebagai bahan resmi saya ingin menelaah Undang-undang No. 13 tahun 1961, tentang ketentuan-ketentuan pokok Kepolisian Negara. Saya kutip dari penjelasan Undang-undang ini, pada bagian umum: “Seperti juga halnya dengan alat-alat kekuasaan negara lainnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat revolusi dalam rangka Pembangunan Nasional Semesta bersenjata untuk menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur bersama berdasarkan Pancasila atau masyarakat Sosialisme Indonesia guna memenuhi Amanat Penderitaan Rakyat”.

Selanjutnya mengenai tugas pokok Kepolisian, disebutkan: “Sebagai tugas pokok Kepolisian Negara dapat disebutkan memelihara keamanan dalam negeri. Penyidikan tindak pidana termasuk pula tugas pokok Kepolisian Negara dalam bidang peradilan. Penyidikan terutama ditujukan terhadap tindak pidana yang merintangi tujuan revolusi mencapai masyarakat adil dan makmur”.

Menurut pendapat saya, inilah jawaban yang cekak-aos, terhadap masalah yang dikemukakan terhadap judul ceramah ini. Kepolisian Negara sebagai alat yang revolusioner, bersama seluruh rakyat harus berjuang tak kenal henti untuk melaksanakan semua program revolusi yang tercantum dalam Manipol, mengalahkan semua musuh-musuh revolusi (penghalang-penghalang revolusi), menciptakan suatu kekuasaan semua untuk semua, yang akan melahirkan masyarakat adil dan makmur.

SEBAGAI PERSEORANGAN POLISI ADALAH RAKYAT, SEBAGAI CORPS ADALAH ALAT NEGARA YANG REVOLUSIONER

Di atas semua ketentuan formil (peraturan-peraturan dan undang-undang), ketentuan-ketentuan revolusi seperti yang tercantum dalam Manipol dan pedoman-pedoman pelaksanaannya haruslah dijadikan pegangan atau obor penyuluh bagi pihak kepolisian dalam menjalankan tugas-tugas pokoknya. Tetapi kenyataan sekarang ini menunjukkan bahwa kepolisian kita belum bisa sepenuhnya melakukan peranan sebagai alat revolusioner. Saya kemukakan Bab I tentang ketentuan-ketentuan umum, pasal 1 menyebut:
1.        Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara, ialah alat Negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri.
2.        Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak azasi rakyat dalam hukum negara.

Rumusan-rumusan pasal tersebut merupakan sesuatu yang baik. Sikap rakyat adalah realitas, yaitu menyokong semua peraturan yang baik dan menuntut pelaksanaannya. Tanpa pelaksanaan yang sesuai dengan perumusan yang baik, benarlah ucapan yang mengatakan bahwa undang-undang atau peraturan-peraturan hanyalah huruf mati yang tertera pada kertas yang membisu.

Kita coba memasuki masalahnya secara kongkrit. Dinyatakan dalam pasal tersebut. : Polisi adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri. Dan selanjutnya menjunjung tinggi hak-hak azasi Rakyat dan Hukum Negara. Dari sini dapat kita nyatakan bahwa dasar tugas Kepolisian Negara adalah : menjunjung tinggi (1) hak azasi Rakyat dan (2) hukum Negara.

Bila kita pelajari Undang-undang Dasar 1945 dan Manipol, maka akan ditemukanlah apa yang dirumuskan dalam Amanat Penderitaan Rakyat. Di dalam Ampera ini kita menemukan apa yang telah diperjuangkan Rakyat untuk mencapai sesuatu yang terbaik, yaitu masyarakat Indonesia yang Sosialis, dimana tidak ada penghisapan manusia oleh manusia. Oleh karena itu logika yang paling masuk akal, segala hukum, undang-undang, peraturan dan apa saja yang diselenggarakan oleh Negara melalui alat-alatnya secara mutlak harus mengabdi kepada Ampera. Amanat Penderitaan Rakyat itu menuntut adanya jaminan hukum yang adil bagi Rakyat, jaminan kebebasan demokratis, bebas dari kesewenang-wenangan hukum dan praktek kesewenang-wenangan penguasa. Inilah hak azasi Rakyat yang harus dijunjung setinggi-tingginya, dan dimana hukum Negara menyesuaikan diri dengan ini.

Sebagai alat negara, kepolisian juga harus dibebaskan dari kekangan-kekangan yang dapat menjuruskannya menjadi hanya sebagai, “Alat mati”. Kepolisian harus juga bisa kiprah, harus bisa dengan, semangat dan jiwa revolusioner menegakkan hukum, memelihara keamanan dalam negeri, ikut mempersatukan segenap unsur-unsur pendukung revolusi dan dengan tanpa ragu-ragu mengganyang musuh-musuh revolusi, musuh-musuh Rakyat.

Polisi, sebagai perseorangan adalah Rakyat dan sebagai suatu kesatuan (corps) aparatur negara, haruslah merupakan alat negara yang revolusioner. Tidak ada jalan lain selain berada bersama Rakyat dan untuk Rakyat berjuang melawan musuh-musuh Rakyat, musuh-musuh revolusi, untuk mengalahkannya sama sekali. Kemudian bersama Rakyat pula menegakkan suatu kekuasaan yang mampu selanjutnya melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat, melahirkan masyarakat adil dan makmur.

PANCA PROGRAM FN HARUS MENJIWAI DAN MEMIMPIN KEGIATAN KEPOLISIAN NEGARA

Hanya dengan adanya kekuasaan politik yang sepenuhnya memihak Rakyat, kekuasaan politik yang Gotong Royong serta bersih dari orang-orang Nasakom-phobi yang harus diganyang itu, Rakyat dan Polisi bisa kiprah dan tjanjut-taliwondo bersama-sama melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat. Untuk menciptakan keharmonisan ini, maka seluruh Rakyat termasuk Kepolisian yang memihak Rakyat harus menjiwai dan mendarah-dagingi diri dengan 9 Wejangan Presiden. Mengenai 9 Wejangan yang maha penting ini, Presiden Sukarno antara lain berkata dalam pidato Takem sebagai berikut:
“Sejak tahun 1959 itu, maka boleh dikatakan tiap pidato 17 Agustus, dari halaman pertama sampai ke halaman terakhir, mengandung wejangan. Wejangan mengenai revolusi; wejangan mengenai Panca Sila dan progresivisme; wejangan tentang kepribadian Indonesia yang berpusat kepada gotong royong, musyawarah dan mufakat; wejangan tentang persatuan Nasional revolusioner; wejangan memberantas komunisto-phobi; wejangan mutlak perlunya poros Nasakom; wejangan mengenai jahatnya liberalisme: wejangan mengenai perlunya Satu Pemimpin Nasional; wejangan mengenai sosialisme, sosialisme, sosialisme dan sekali lagi sosialisme. Hanya jika landasan-landasan ini menjadi milik-bersama daripada Rakyat, milik-bersama daripada para pemimpin, milik bersama pun daripada seluruh Angkatan Bersenjata, maka dapatlah dicapai hasil-hasil gemilang dalam Revolusi Indonesia, hasil gemilang pula dalam pelaksanaan Triprogram”.

PKI dengan sadar mendukung landasan-landasan ini, karena sepenuhnya sesuai dengan pemaduan kebenaran umum Marxisme-Leninisme dengan praktek kongkret revolusi Indonesia, dengan keharusan kami, “Meng-Indonesiakan Marxisme-Leninisme”, dalam arti mentrapkan kebenaran universil Marxisme-Leninisme dengan bertitik tolak dari kenyataan obyektif masyarakat Indonesia serta kepentingan-kepentingan revolusi dan Rakyat Indonesia.
Sebagaimana sudah diketahui, 9 Wejangan Presiden juga termasuk dalam Panca Program Front Nasional yang baru-baru ini dikomandokan oleh Presiden Sukarno untuk dilaksanakan. Lengkapnya Panca Program tersebut adalah sebagai berikut.
1.        Mengkonsolidasi kemenangan yang sudah dicapai, yaitu di bidang perjuangan Irian Barat, keamanan dan bidang-bidang lain.
2.        Menanggulangi kesulitan ekonomi dengan mengutamakan kenaikan produksi.
3.        Meneruskan perjuangan anti imperialisme dan neo-kolonialisme dengan memperkuat kegotong-royongan nasional revolusioner berporoskan NASAKOM.
4.        Meratakan dan mengamalkan indoktrinasi 7 bahan pokok indoktrinasi dilengkapi Resopim dan Takem yang memuat, “9 Wejangan” Presiden.
5.        Melaksanakan rituling aparatur negara termasuk bidang pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.

Karena Panca Program FN ini sudah dikomandokan untuk dilaksanakan oleh Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Tertinggi Front Nasional, maka segenap aparat negara dan seluruh rakyat Indonesia harus menjiwai dan memimpin kegiatan-kegiatan rakyat Indonesia, termasuk Kepolisian Negara dan aparat-aparat Negara lainnya, dalam rangka melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat.
(Pokok-pokok ceramah di hadapan para mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 22 Februari 1963 malam).

------

PARTAI-PARTAI REVOLUSIONER ADALAH ALAT REVOLUSI SEJAK SEBELUM REVOLUSI

Partai-partai politik revolusioner adalah juga alat revolusi. Tapi ada bedanya dengan alat-alat revolusi lainnya. Partai-partai sudah menjadi alat revolusi sejak sebelum revolusi nasional kita pecah dalam bulan Agustus 1945. Alata-alat revolusi yang kita miliki seakrang misalnya Angkatan Bersenjata, badan-badan eksekutif, lembaga-lembaga legislatif, dan lain-lain, lahir sesudah revolusi.

Partai-partai revolusioner sejak zaman jajahan sudah menjadi pendidik dan pembimbing kesadaran politik Rakyat, penanam kesdaran berorganisasi dan kesadaran berdisiplin di kalangan Rakyat, dan penanam kesadaran tentang kesatuan bangsa. Semuanya ini merupakan persiapan untuk mendirikan satu negara nasional yang merdeka. Sampai sekarang tugas-tugas ini masih harus dikerjakan, dan dikerjakan dengan baik, oleh partai-partai revolusioner, sudah tentu dengan tujuan yang lebih luas seperti yang dimuat dalam Manipol. Dengan sendirinya, PKI juga harus melaksanakan tugas-tugas ini.

Ada orang yang tidak mengerti, mengapa sulit betul membubarkan partai-partai revolusioner di Indonesia. Saya berpendapat, bahwa partai-partai revolusioner tidak dapat dibubarkan, atau mereka yang membubarkannya harus berhadapan dengan Rakyat banyak. Partai-partai revolusioner sangat erat hubungannya dengan massa Rakyat.

Selanjutnya perlu saya nyatakan, bahwa rituling yang sudah dilakukan terhadap partai-partai, adalah model untuk rituling di bidang-bidang lain. Tidak ada bidang lain yang sudah di ritul begitu radikal seperti bidang kepartaian. Saya serukan, supaya mereka yang partai-phobi lebih banyak memikirkan dan ebrbuat sesuatu dengan mengadakan rituling dibidangnya masing-masing, daripada merong-rong kehidupan kepartaian.

MALAYSIA ADALAH KONSPIRASI KONTRA-REVOLUSIONER INTERNASIONAL, PENERUS PRRI-PERMESTA

Diantara pertanyaan yang saudara-saudara ajukan ada yang mengenai Malaysia. Mengenai ini, kita jangan hanya melihat Tengku Abdul Rohman, yang tidak lebih dari play-boy itu, Malaysia tidak lain adalah konspirasi kontra-revolusioner internasional, penerus PRRI-Permesta. Pendukung-pendukung Malaysia adalah sama dengan pendukung-pendukung pemberontakan PRRI-Permesta, yaitu terutama kaum imperialis Inggris dan Amerika Serikat. Oleh karena itu pulalah, sudah sejak semula Rakyat Indonesia bangkit serentak menentang Malaysia, karena mereka melihat musuh--musuh mereka yang yang lama kembali naik panggung. Bedanya, dulu di wilayah Indonesia sekarang di luar. Persamaannya, juga Malaysia akan mengalami nasib seperti kaum pemberontak PRRI-Permesta.

OMONG KOSONG PENGHIDUPAN RAKYAT MALAYA LEBIH BAIK DARI RAKYAT INDONESIA

Ada orang, yang percaya pada bualan Tengku dan mengira bahwa rakyat Malaya penghidupannya lebih baik dari rakyat Indonesia. Padahal tidak lain daripada sarjana Malaya sendiri yang membantah bualan Tengku itu. Sarjana tersebut ialah Profesor Azis yang kabarnya sekarang dimusuhi oleh Tengku.

Kaum buruh dan petani Indonesia penghidupannya sekarang memang masih susah, tetapi kaum buruh dan petani Malaya lebih susah lagi. Bedanya di Malaya belum luas gerakan menuntut perbaikan taraf hidup, rakyat pekerja di sana sangat tertekan, jadi tidak begitu kedengaran oleh orang luar tentang keluh-kesah kaum buruh dan petani Malaya, seperti halnya ketika Indonesia masih dijajah Belanda dulu. Perbedaan lain lagi ialah, bahwa Rakyat Indonesia yang sudah pernah mengalami revolsui mengenal betul-betul akan harga dirinya dan oleh karena itu mempunyai tuntutan-tuntutan hidup yang sudah agak tinggi. "National Income" perkapita tidak dapat dijadikan ukuran tentang penghidupan rakyat, karena dalam kenyataaannya bagian yang besar dari, "national income" dimiliki oleh sebagian kecil kaum penghisap, sedangkan bagian yang sangat besar dari rakyat hidup dari sebagian kecil dari "national income".

(Petikan ceramah di sekolah Kepolisian Sukabumi, 6 Maret, 1963. Judul ceramah: Fungsi Partai dalam penyelesaian revolusi).