Jumat, 16 Juni 2017

Berthowaf Hamba-hamba

SETIDAKNYA tiga kali Alloh memanggil kita dengan sangat resmi. Panggilan sholat, panggilan haji, dan panggilan mati. Maka untuk bersiap menghadapi yang ketiga, mari kita sempurnakan jawaban kita untuk dua panggilan sebelumnya. Sholat ya, sang tiang agama. Dan haji?

Tak ada yang mampu melukiskan perasaannya sendiri saat pertama kali melihat Baitulloh Al-Harom. Selama ini, mendengar asmaNya disebut mungkin telah demikian menggetarkan. Tetapi memenuhi panggilanNya menjadi tamuNya, itu bukan lagi getar. Ini adalah sensasi dahsyat yang menderak-derak rasa, tubuh yang tiba-tiba terasa ringan, mata yang menitikkan linangan, nafas yang tiba-tiba menderu, dan jantung yang sesaat dheg, berhenti berdetak. Lidah pun kelu selain desir kata Labbaik. Allohumma labbaik. Betapa kecil kita di hadapan keagunganNya.

Alloh.
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqom Ibrohim; barangsiapa memasukinya (Baitulloh itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Alloh, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitulloh. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Alloh Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali ‘Imron: 97)

Saat kita telusur lorong-lorong Madinah, lorong yang pernah membangga lalunya manusia-manusia mulia. Dulu, Rosululloh, Abu Bakr, ‘Umar. Singgahlah berdoa di Roudhoh. Kunjungilah dan kenanglah Badr saat hari Furqon, hari bertemunya dua pasukan. Lalu Uhud, gunung yang mencintai kami dan kami pun mencintainya, kata Nabi. Saat kita saksikan wahai, sahabat, berjuta manusia. Ada yang tinggi dan hitam; terpaku kita mengenang Bilal, muadzin kecintaan Rosululloh. Ada pendek dan pesek, putih gagah, cantik manis, menyatu dalam rasa, menyatu dalam gerak, menyatu dalam kata. Innal hamda wa ni’mata laka wal mulk. Laa syarikalak.

Alloh.
Kita mendaki bukit cahaya, Jabal Nuur, betapa dekat rasa rindu pada saat Jibril membawa risalah untuk jagat, mendekap Muhammad. “Bacalah! Bacalah! Bacalah!” Saat melangkah ke gua Tsur membayang suasana teror dipenuhi rasa takut, lalu kalimat manusia mulia di samping kita begitu menenangkan, “Laa tahzan, innallooha ma’anaa; jangan takut, jangan sedih, Alloh bersama kita.” Antara Shofa dan Marwah, lari kecillah. Seperti Hajar kebingungan saat Isma’il kehausan. Lalu Zam! Zam! Hentakan kakinya memancarkan mata air. Cicipilah, karena ia diserahkan pada niat kita yang meminumnya. Buka lengan kanan saat thowaf, berlari-lari kecillah. Alloh suka pada hambaNya yang menunjukkan kekuatan, seperti para sahabat di hadapan Quroisy musyrikin.

Alloh.
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Alloh, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Alloh sangat cepat perhitungan-Nya. (QS. Al-Baqoroh: 200-202)

Alloh memang hanya meminta pada yang mampu untuk mengunjunginya sebagai tamu. Namun karena rindu yang mengetuk-ngetuk pintu kesempurnaan keislaman kita itu, kita menjadi manusia yang terus berusaha memampukan diri. Itulah cara kita menjawab panggilanNya, mengupayakan kemampuan kita dan memelihara rasa rindu di jiwa.


Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Mensucikan Pokok Kehidupan

ABU BAKR, rodhiyallohu ‘anhu, membuat keputusan bersejarah. Beliau mendeklarasikan perang pada kaum yang menolak membayar zakat. Ketika ‘Umar yang biasanya garang berkata dengan lembut, “Wahai Kholifah Rosulillah, mereka tetaplah bagian dari kaum muslimin.” Ia yang biasanya penuh kelembutan justru terlihat begitu tegas, “Demi Alloh, aku akan memerangi kaum yang telah memisahkan kewajiban sholat dengan kewajiban zakat! Aku akan memerangi mereka, jika mereka menolak untuk menyerahkan padaku kekang unta yang biasa mereka berikan kepada Rosululloh!”

‘Aisyah, puteri kesayangannya, dibuat takjub hingga berkata, “Demi Alloh, aku takkan melupakan suatu hari bersama Abu Bakr.”

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Taubah: 103)

Aspek pertama ayat ini adalah perintah kepada Ulil Amri dengan kata-kata “Khudz; Ambil!” Dalam bahasa Arab kata Akhodza bahkan mencerminkan paksaan. Redaksi Al-Qur’an kadang menggunakan kata ini untuk menggambarkan ‘adzab atau siksa. Subhanalloh! Tetapi betapa berimbangnya senantiasa. Sesudah itu, Ulil Amri harus mendoakan para muzakki. Ini yang sering dilupakan para ‘Amil. Padahal, shodaqolloh, doa itu benar-benar menjadi penenteram hati para muzakki. Bagaimanapun melepas harta yang rasanya telah mereka miliki sedikit atau banyak menimbulkan guncangan pada jiwa, maka doalah penenteramnya.

Empirik, di Yogyakarta sebuah Baitul Maal Masjid menjadi sangat dipercaya para muzakki untuk menyalurkan zakat bahkan dari luar wilayah kerjanya karena satu hal; doa! “Eh, kalau mau zakat, di sana saja. Didoakan lho! Setelah kita memberikan zakat kita, dicatat administrasinya terus didoakan oleh seorang Ustadz. Doanya bagus sekali!” Nah, angka kepercayaan muzakki menjadi semakin tinggi dengan marketing dari lisan ke lisan yang sangat efektif.

Mengapa zakat? Cobalah hitung mana yang lebih banyak: belanjanya orang miskin kepada orang kaya atau belanjanya orang kaya kepada orang miskin? Tetangga sebelah rumah yang punya warung kaki lima sering pergi ke mall megah. Tetapi belum pernah kita lihat pemilik mall itu datang ke warung si ibu sekedar membeli combro atau es lilin. Ya, kalau jalan Alloh memberimu rezeki adalah orang miskin, mengapa kau ingkari bahwa ada bagian mereka dalam hartamu? Zakat!

Jika harta zakat tak disisihkan, ia akan merusak ‘sesamanya’. Karena zakat adalah kesucian. Dan sesudah itu, shodaqoh adalah rumus kekayaan. Perumpamaan orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Alloh seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh runggai, pada setiap runggai ada seratus biji. Tujuh ratus. Dan Alloh melipatgandakan bagi siapapun yang Ia kehendaki. Padahal Ia, Maha Kaya, Maha Pemberi, Maha Mengaruniakan Rezeki.


Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Mengalih Bentuk Kekayaan

“Wahai ‘Amr, sebaik-baik harta yang sholih, adalah yang ada di tangan orang sholih.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

KETIKA Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani menjadi Qodhi di Mesir, beliau yang sedang berdinas dengan keretanya pernah dicegat seorang Yahudi penjual minyak dan ter dalam perjalanan. Kata si Yahudi, “Nabimu mengatakan bahwa dunia ini penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir[1], tapi kulihat dirimu hidup mewah berkecukupan sementara aku begitu nestapa dalam kepapaan. Apa ini tidak terbalik?”

Harap tahu, penjual minyak adalah pekerjaan paling menyedihkan saat itu. Identik dengan tubuh kotor, dekil, dan bau.

Ibnu Hajar tersenyum bijak mendengarnya. Jawaban agung ia lontarkan, “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin seperti kami, karena di akhirat kami akan mendapat kenikmatan agung yang jauh lebih baik dari ini, yang tiada akan putus selamanya. Sementara, dunia ini adalah surga bagi kalian karena di akhirat kalian akan mendapat kehinaan, siksa, dan kenestapaan abadi yang jauh lebih mengerikan daripada yang kau alami saat ini!”. Kata si Yahudi, “Asyhadu an laa ilaaha illalloh, wa asyhadu anna Muhammadan Rosululloh!

Ya. Siapa takut jatuh kaya?
“Malu apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Alloh. Dan ingatlah Alloh sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Saya teringat sebuah doa yang dinisbatkan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq Rodhiyallohu ‘Anhu, sahabat Rosululloh yang paling utama. Doa itu berbunyi, “Ya Alloh, jadikan dunia di tanganku, dan jadikan akhirat di hatiku.”

Penggal pertama doa ini temyata mengajari kita banyak hal. Tangan bermakna pengelolaan. Abu Bakar tidak ingin dunia masuk ke dalam hatinya. Ia ingin dunia ada dalam genggamannya, dalam kuasanya, dan dalam pengelolaannya. Ia tahu, kekayaan yang ditimbun, sebanyak apapun tak pernah memuliakan pemiliknya. Seseorang, hanya akan mulia dengan kualitas dirinya, baik di hadapan Alloh maupun di hadapan manusia lainnya.
©©©

Membandingkan dua hal kadang memudahkan kita mendapatkan pemahaman. Nah, agar lebih seru, saya akan ajak antum memasuki legenda nyata, sebuah adidaya tua di Timur Tengah: Imperium Persia. Suatu pagi, sekitar tahun 30 Hijri, terdengar suara menggelegar dari dalam kelambu sutera kemah sang Kisra.

“Celaka! Kini aku tinggal punya seribu perawat kuda, seribu dayang-dayang dan seribu juru masak! Bagaimana aku bisa hidup?”

Inilah kata-kata yang meluncur gusar dari mulut Yazdajird III, Kisra terakhir Imperium Persia dari keluarga Sassanid. Istana putih Madain telah jatuh ke tangan kaum muslimin di bawah pimpinan sahabat Nabi yang mulia, Sa’ad ibn Abi Waqqosh. Dan inilah ‘rintihan agung’ itu, rintihan manusia yang tak bisa hidup meski dilayani 3000 manusia lainnya.

Mari sejenak membanding dengan penggantinya. ‘Umar ibn Al-Khoththob, mengangkat Salman Al-Farisi sebagai Gubernur yang membawahi bekas wilayah imperium Yazdajird III itu. Ya, orang yang tepat. Salman adalah orang yang paling tahu tentang seluk beluk geografis, demografis, dan sosiologis Persia. Karena ini tanah kelahiran dan tanah petualangannya.

Jadi, seperti apa hidup Salman saat menjabat Gubernur dengan wilayah dan wewenang yang sama dengan Yazdajird III? Salman ahli menganyam. Pekerjaan yang tak pernah ia tinggalkan karena gajinya sebagai Gubernur selalu masuk Baitul Maal untuk kepentingan masyarakat. Dengan modal satu dirham ia menganyam untuk dijual seharga tiga dirham. Hasil penjualan itu dibagi tiga, satu dirham untuk kebutuhan sehari itu, satu dirham untuk modal esok hari, dan satu dirham untuk bershodaqoh. Selesai. Begitu simpel hidupnya. Dan rakyat Persia pun tercengang melihat Gubernurnya.
©©©

Alloh dan RosulNya ingin agar kita mendayagunakan setiap kekayaan dunia untuk meningkatkan kualitas diri. Tentu kata ‘diri’ menunjuk pada tiga bagian yang berkelindan dalam ‘diri’ kita: ruh, fikr, jasad. Jangan jadi hamba harta, jangan mempertuhan dunia, begitu diulang-ulang para ‘ulama. Dan satu-satunya jalan menujunya adalah memperhamba harta. Ya, memperhamba harta untuk peningkatan kualitas diri kita, secara ruhi (spiritual), fikri (intelektual), dan jasadi (fisikal).

Sejenak, mari kita jumpai Bani Isroil yang sedang dilanda frustasi massal. Penindasan berkepanjangan yang mereka alami membangkit insyaf untuk berjihad. Dan jihad menghajatkan pemimpin. Maka berduyun mereka menjumpai Nabi mereka –dalam suatu riwayat disebut nama
Danial ‘alaihis salaam- meminta ketetapan. Dan Alloh pun menurunkan keputusanNya.

“Sesungguhnya Alloh telah memilihnya (Tholut) menjadi raja kalian dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” (QS. Al-Baqoroh: 247)

Tholut, yang dipilih oleh Allaoh untuk memimpin komunitas paling rewel sepanjang sejarah umat manusia, memiliki kualifikasi yang menarik untuk disimak. Semula, orang-orang kaya lagi berpengaruh di kalangan Bani Isroil gedhe rasa akan dipilih sebagai pemimpin dengan sumberdaya kekuasaan yang mereka punya. Kami lebih layak dan lebih berhak daripada Tholut yang miskin! Mereka protes berat. Apakah Tholut memang lebih miskin daripada kandidat yang lain? Yang jelas Alloh memilih Tholut, dan inilah rahasia di balik itu:

1.    Alloh memilih Tholut. Artinya Tholut memiliki kedekatan spiritual dengan Alloh. Tholut memiliki keakraban dengan Alloh yang dibangun tak serta merta. Tholut membangunnya dengan ta’abbud (ibadah) yang memerlukan banyak harta, banyak waktu, banyak fikiran, dan banyak tenaga dalam masa yang panjang. Ketika orang lain menggunakan harta, waktu, fikiran, dan tenaganya untuk bekerja keras mengembangkan dan menikmati pembelanjaan perniagaannya, Tholut mendayagunakannya untuk membina kedekatan yang ikhlas dengan Alloh. Nah.

2.    Alloh menganugerahinya ilmu yang luas. Tentu, menjadi orang berilmu memerlukan anggaran yang besar. Di saat orang lain menggunakan hartanya sebagai modal niaga atau untuk membelanja perkakas mewah, Tholut mengalokasikannya untuk ilmu, untuk petualangan ke alam pengetahuan yang mengasyikkan.

3.    Alloh menganugerahinya fisik yang perkasa. Ini apalagi. Physical Exercise ini perlu kedisiplinan, energi, waktu, dan sumberdaya yang kadang tidak sedikit. Di saat orang lain menggunakan hartanya untuk menyediakan fasilitas mewah yang serba memudahkan, Tholut menggunakannya untuk pembinaan kesehatan dan ketangkasan. Begitulah.

Inilah Tholut, behind the fact. Nah, Alloh ingin kita seperti Tholut, mengalih bentuk kekayaan dari materi ke kualitas diri. Melalui contoh gemilang dari ucapan dan tindakan utusan terakhirNya, Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, kita belajar dengan lebih mudah.

Ketika ada yang bingung bagaimana bersikap menghadapi perkembangan teknologi yang serba memudahkan, Rosululloh telah meneladankan perihidup yang sangat menarik. Lho, Rosululloh itu hidupnya sederhana to? Betul. Tetapi tidak. Tidak untuk sebuah pengembangan kualitas diri dan pemudahan jalan ibadah kepada Alloh.

Mudahnya begini. Untuk sesuatu yang tidak begitu essensial bagi dua hal yang telah kita sebut, Rosululloh menggunakan sesuatu yang sangat sederhana. Pakaian Rosululloh, biasa-biasa saja, tidak istimewa, ‘memprihatinkan’ bahkan. Sandal beliau, begitu juga. Suatu ketika rusak atau sobek, maka beliau menjahitnya sendiri. Makanan, sederhana juga, tetapi gizinya sangat terjaga –ingat juga makanan favorit beliau meski jarang dinikmati; paha kambing-. Rumah beliau –luas memang-, juga perkakas rumah tangganya semua sederhana. Amat sangat sederhana sekali bahkan. Ini semua tidak signifikan untuk pengembangan kualitas diri dan realisasi perintah-perintah jihad dan ibadah dari Alloh kepada beliau.

Tapi coba mari periksa fasilitas yang beliau pakai untuk memudahkan da’wah dan jihadnya. Kendaraan misalnya. Al-Qoshwa, unta putih beliau adalah unta yang sangat tangkas, berkualitas tinggi, gesit, kecepatannya mengagumkan, dan sangat sehat. Duldul, keledai beliau hadiah dari Muqoiqus, sangat kuat dan kukuh jalannya. Bahkan berumur panjang hingga masa kepemimpinan Mu’awiyah rodhiyallohu ‘anhu. Kuda beliau juga adalah yang tertangkas, tergesit, dan tercepat.

Pedang komandonya: Dzul Lujjain. Jangan ragukan kualitas logamnya, ketajamannya, tempaannya, dan kehalusan pembuatannya. Bahkan ada yang menyebutkan beberapa kilogram emas diperlukan untuk membuat suatu lapisan komando. Ini adalah bagian yang sangat berkilat jika ditimpa sinar mentari untuk memberi kode dan aba-aba kepada pasukan di kejauhan. Apa ini sesuatu yang murah? Sama sekali tidak.

Ada pasti yang akan menyimpulkan. Kalau begitu soal fasilitas yang memudahkan ibadah dan jihad kita harus pilih yang terbaik. Ya. Meski tetap dalam proporsinya. Jika kebutuhan da’wah menghajatkan shilaturrohim (kapasitas phanebook yang besar umpamanya), komunikasi yang intens, dan kehandalan handset maka memilih handphone dengan semata hiburan, game, kemudahan operasional, dan fitur-fitur tidak signifikan bagi da’wah adalah kebodohan. Hmm, maaf, agaknya yang semata hiburan ini disediakan oleh vendor ponsel asal Finlandia yang ikut mendanai Zionis Internasional.

Baiklah. Jika komputer adalah hajat penting da’wah kita, memilih yang terbaik juga jadi tuntutan. Jika kecepatan mobilitas adalah hajat penting bagi da’wah dan ibadah kita, memilih kendaraan yang berkulitas tinggi adalah tuntutan. Jika rumah kita akan dijadikan tempat berda’wah yang memerlukan banyak fasilitas, maka…

Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media



[1] HR. Muslim no. 2956 dari Abu Huroiroh

Romadhon Saatnya Bicara tentang Makanan

DI TENGAH terik membakar, peluh yang menetes-netes di pori, kita meresak jiwa akan sejuknya puasa. “Ajruki ‘ala qodri nashobik; pahalamu sesuai kadar payahmu.” Adakah hari di mana sepoian lembut angin padang membelai begitu nikmat? Adakah waktu di mana syaithon dibelenggu, hingga hirupan nafas pun terasa mengandung kesholihan?

Romadhon. Malam-malam yang ditingkahi syahdu kalam Ilahi. Kecuali jika kita adalah syaithon dari golongan manusia, alangkah indahnya hari-hari itu. Saat sholat malam adalah aktivitas yang benar-benar ‘menghidupkan’. Saat kita begitu rajin, karena kokok ayam didahului dering weker. Kita menjadi Al-Mustaghfiriina bil As-haar, yang menghiba ampun di waktu sahur. Dan kita menjadi pemburu kebaikan dalam penyegeraan berbuka bersama-sama, di Masjid. Ta’jilan.

Siang itu, betapa hati-hatinya kita, karena Alloh tak membutuhkan lapar dan hausnya lisan yang terus berdusta, menggunjing, mencela, dan ke sana kemari menabur bunyi-bunyi kesiaan. Betapa hati-hatinya kita, karena ini ibadah rahasia: hanya aku dan Alloh yang tahu. Lalu adakah kalimat syukur yang terasa begitu nikmat diucap seperti saat tetes pertama air membasah kerongkongan? Laka shumtu, yaa Robbiy, wa bika amantu.

Di sela-sela panggilan Ar-Royyan yang mengetuk-ngetuk, di tengah syahdu Kalamulloh bicara tentang puasa, di saat keriut membunyi lambung, di waktu misik mewangi mulut dan lemah bertambah-tambah, para sahabat Ridhwaanulloohi ‘Alaihim Jamii’an disapa oleh kelembutanNya. Geliang tubuh mereka di ladang-ladang, peluh yang menguras daya, dan jihad yang berdarah-darah di saat shoum, disambut Alloh dengan kalimat yang begitu dekat, begitu akrab, begitu mesra:

Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqoroh: 186)

Agungnya keakraban itu tampak dalam khithob (arah pembicaraan). Memang, orang beriman akan bertanya pada Rosululloh, “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku.” Tetapi untuk menjawab pertanyaan itu, Alloh tidak berfirman, “Faqul inni qoriib; maka katakanlah (hai Muhammad) bahwa Aku adalah dekat.” Alloh mengubah khithob menjadi begitu langsung dan merasuk kepada jiwa-jiwa imani, seolah tanpa perantara, “Fainni qoriib; maka sesungguhnya Aku ini dekat.”

Inilah kedekatan. Dan Alloh memilih kedekatan yang menggambarkan siapa Dia dan siapa kita. Alloh memilih kedekatan yang menunjukkan keagungan dan kasih sayangNya, sekaligus melukiskan hajat dan harap hamba pada Robbnya. Itulah doa. Itulah istijabah (respons, pengabulan). “Aku menjawab permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu.” Di saat puasa mengeringkan bibir, memayahkan jasad, namun memperkaya jiwa, berdoalah pada Alloh. Sebab RosulNya telah menjaminkan,

“Sesungguhnya, Alloh memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka di tiap siang dan malam bulan Romadhon, dan sesungguhnya tiap muslim yang berdoa, makn akan dikabulkan baginya.” (HR. Al-Bazzar [3142], Ahmad [2/254] dari Al-A’masy dari Abu Sholih dari Jabir, dan Ibnu Majah [1643] dari jalan lain yang kesemuanya shohih)

Dalam hadits lain disebutkan mereka-mereka yang tidak ditolak doanya: pemimpin yang adil, mujahid di jalan Alloh, dan orang yang berpuasa hingga dia berbuka. Atau riwayat lain lagi: pemimpin yang adil, musafir yang melakukan perjalanan bukan dalam rangka ma’shiat, dan orang yang berpuasa. Selalu ada orang yang berpuasa pada keduanya. Tetapi apa syarat kedekatan yang menenteramkan hati-hati imani ini?

Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqoroh: 186)

Istijabah dan iman. Iman telah kita fahami meski sedikit, walhamdu lillaah. Sedang istijabah bermakna memenuhi seruan-seruan Alloah saat ia memanggil kita menuju kebaikan, keberkahan, dan sesuatu yang membuat kita hidup sebenar hayat.

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Alloh dan seruan Rosul apabila Rosul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Alloh membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepadaNya-lah kamu akan dikumpulkan. (QS. Al-Anfal: 24)

Salah satu seruan yang menghidupkan itu adalah seruan kepada jiwa-jiwa beriman tentang makanan. Ya, tentang makanan.

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Alloh, jika benar-benar kepadaNya kamu menyembah. (QS. Al-Baqoroh: 172)

Suatu hari, Kanjeng Nabi membacakan ayat ini kepada para sahabatnya. Keagungan perintah ini, kata beliau Shollalloohu ‘Alaihi wa Sallam, adalah bahwa ia menjadi seruan yang Alloh tujukan pada para RosulNya (Al-Mukminun: 51), pada orang yang beriman (Al-Baqoroh: 172), dan juga pada sekalian manusia (Al-Baqoroh: 168). Betapa ia meliput semua. Pernah suatu hari, demikian Sang Nabi berkisah, ada seorang musafir kehabisan bekal dalam perjalanannya di tengah pepasir yang membarakan terik. Wajahnya penuh debu, tenaganya tinggal sisa-sisa dalam rangkakan yang dipenuhi harap-harap terakhir. Dengan kekuatan terakhir yang dimiliki, diangkatnya kedua lengannya tengadah, “Ya Robb… Ya Robb... Ya Robb...”

Sesungguhnya orang ini memiliki aneka syarat untuk dijawab dan dikabulkan doanya. Catat ini: musafir, bertauhid (hanya berharap pada Alloh), dan mengangkat tangannya pada Alloh, padahal Alloh malu jika ada tangan terangkat berharap padaNya lalu Ia tak memberi karunia. Hal-hal yang ada dalam dirinya telah memenuhi kondisi untuk terjawabnya doa. “Tetapi”, kata Sang Nabi, “Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan, sementara makanan yang ada di perutnya dari barang haram, pakaian yang dipakainya dari barang haram?”

Ya, soal makanan adalah soal dijawab atau tidaknya doa kita. Haram atau halalnya, thoyyib atau khobitsnya. Suatu hari, seorang sahabat yang dijanjikan surga, Sa’ad ibn Abi Waqqosh mengajukan permintaan cerdas –sangat cerdas menurut saya- kepada manusia yang paling dicintainya, Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. “Ya Rosulalloh,” katanya, “Doakanlah pada Alloh agar doa-doaku ini mustajabah!” Antum tahu betapa cerdasnya permintaan ini?

Bagaimanapun, manusia mulia itu tak langsung mengiyakan. Beliau tersenyum pada orang yang pernah beliau banggakan sebagai paman. -”Ini pamanku, ayo tunjukkan padaku paman-paman kalian!”-, dan yang dalam panahnya pernah ia kumpulkan ayah dan ibunya, -”Panahlah, hai Sa’ad, ayah dan ibuku menjadi tebusanmu!”-. Beliau lalu bersabda padanya, “Wahai Sa’ad, bantulah aku dengan memperbaiki makananmu. Bantulah aku dengan memperbaiki makananmu.”

Romadhon, dalam makna yang dekat dengan perut adalah saat kita mampu menjaga makanan kita agar terjaminkan kedekatan agung dengan Alloh. Di saat puasa, kita jaga pencernaan kita dari yang halal dan thoyyib sejak terbit fajar hingga terbenamnya mentari semata karena mentaati Alloh dan mencintaNya. Maka sungguh ia menjadi cermin, bahwa di luar Romadhon, kita harus menjaganya dari yang syubhat dan yang haram. Jika dari yang halal saja kita bisa menjaga –selama Romadhon-, maka dari yang syubhat, apalagi haram, insya Alloh kita bisa. Kita bisa! Maka itulah makna puasa. Itulah produknya. Itulah takwa dalam maknanya bagi perut kita: berhati-hatilah menjaga makananmu!

Karena sekerat daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka lebih layak baginya. Karena darah yang mengalir dari saripati makanan haram, syaithon berselancar ria di pembuluh-pembuluhnya. Karena anggota tubuh yang dialirinya, mudah teresonansi oleh frekuensi kema’shiyatan. Tergetar hati kita bukan oleh asma Alloh, tetapi oleh selainnya. Berdesir jantung kita bukan oleh kalimat-kalimatNya yang suci mulia, tetapi justru oleh huruf suara, dan rerupa yang menjijikkan nista.

Jagalah makananmu, begitu Romadhon berpesan. Karena, betapa setiap tetes barang haram menjauhkan kita dari Alloh selautan. Setiap keratnya, menghalangi doa-doa dan komunikasi mesra kita denganNya sekuat benteng beton berlapis sejuta. Di generasi kita, ada heran mendengar bahwa salah satu hal yang membatalkan puasa adalah muntah yang disengaja. “Maaf, setahu saya, hampir semua muntah nggak sengaja?” Kita lupa, bahwa para sahabat begitu menjaga pencernaannya, hingga jika tahu ada keraguan dalam suapan yang baru saja tertelan, mereka akan segera berlomba memuntahkan. Dulu, muntah dengan sengaja bukan hal aneh, tapi kini ia menjadi barang langka.

Semoga pesan Romadhon pada perut kita menggema hingga ke liuk-liuk usus. Allohumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii. Di sayup tilawah tadarus malam, proklamasi langit itu menggema, “Adapun puasa itu untukKu, dan Aku sendirilah yang akan memberikan pahalanya.” Kapanpun engkau datang, hatiku rindu menyambutmu, “Marhaban, ya Syahru Romadhon.”


Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Rehat Manusia-manusia Hebat

“Yaa Bilaal, Arihnaa bish sholaah; Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan sholat!”

TERUNTUK saya yang sangat jauh dari menghayati ibadah, awal-awal kata-kata ini menjadi sangat janggal. Bagaimana tidak, sementara sholat adalah beban yang begitu berat. Tidak, tidak mungkin. Mana bisa sholat menjadi suatu istirahat? Justru sholat menumbuhkan kepenatan-kepenatan yang sangat.

Tetapi melihat aktivitas Rosululloh dan para sahabat di luar sholat, saya minimal menjadi sangat maklum jika sholat dianggap istirahat. Bagaimana tidak, sementara waktu mereka diisi sepenuh bakti untuk kerja-kerja besar yang bernilai dunia akhirat. Di sana mereka bertemu dengan aneka beban berat, halang rintang yang silih berganti, dan kesulitan yang menguras energi raga dan jiwa. Maka Alloh yang Pengasih memanggil mereka dengan kewelasan dan rohmat, memberikan istirahat dalam kesejukan perjumpaan.

“Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan Alloh dengan sabar dan sholat. Sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqoroh: 153)

Sholat, kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Qur’an, digandengkan sabar karena perpaduan ini merupakan mata air yang tak pernah kering dan bekal yang tak pernah habis. Mata air yang memperbarui tenaga, dan bekal yang membekali hati, sehingga tali kesabaran semakin panjang dan tidak mudah putus. Di samping kesabaran ditambahkan pula ridho, suka cita, tenang, percaya, dan yakin.

Sholat adalah hubungan langsung antara manusia yang fana dan kekuatan yang abadi. Ia adalah waktu yang telah dipilih untuk pertemuan setetes air yang terputus dengan sumber yang tak pemah kering. Ia adalah kunci perbendaharaan yang mencukupi, memuaskan, dan melimpah. Ia adalah pembebasan dari batas-batas realita bumi yang kecil menuju realita alam raya. Ia adalah angin, embun, dan awan di siang hari bolong nan terik. Ia adalah sentuhan yang lembut pada hati yang letih dan payah. Itulah mengapa Rosululloh bersabda: Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan sholat.

Di bawah aliran kesejukan thoharoh, kita hajatkan kesegaran dalam kesucian. Kita jujur pada diri tentang sah dan batal ibadah. Dalam roka’at-roka’at sholat kita ingin mendekat. Saat bertakbir, keagungan Alloh menundukkan kesombongan kita. Saat menyebut namaNya, bergetarlah isi dada, berpaling kita dari selainNya menghadap sebuah orientasi pasti. Saat bertahmid, kita puji Ia, atas nikmat, atas kesempurnaan ciptaan, atas rezeki yang mencukup, atas kejujuran yang masih kita jaga, atas kesucian hati yang terus kita upayakan. Ia Maha Pengasih, kasihNya tiada pilih. Ia Maha Penyayang, kasihNya tak berbilang.

Saat kita sebut Ia Penguasa Pembalasan, menitik air mata mengingat dosa, mengenangkan hari-hari yang terisi kesiaan. Bukankah malaikatNya merekam ‘amal kita sejak baligh sampai mati, lalu nanti Ia sajikan tayangannya di sana membuat kita malu hati, sampai-sampai tenggelam dalam keringat sendiri? Hanya kepadaNya sembah dan permohonan. Oh, padahal sering kita lalai, sering kita gantungkan diri pada makhlukNya yang tiada daya membantu kita. Begitulah, ayat-ayatNya melantun dari bibir membangkitkan pendar-pendar kesadaran dalam jiwa.

Ruku’lah kita. Maha Agunglah Ia dan kita memujiNya. Lalu Alloh mendengarkan orang yang memujiNya, dan menjawab derap-derap permohonan yang menggelora. Sujudlah kita. Maha tinggilah Ia. Dan kita merasakan betapa dekatnya, betapa mesranya, betapa asyiknya bicara padaNya dalam hening, mengadu, berkeluh, berkesah tentang segalanya. Dan tentu, memohon, berdoa, meminta. Begitulah hingga dalam gerak-gerak itu kita temukan makna ihsan, “Kau menyembah Alloh seakan-akan engkau melihatNya. Jika engkau tak dapat melihatNya, yakinlah, Ia yang menatapmu lekat setiap saat.”


Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Seperti Engkau Melihatnya

LELAKI tak dikenal yang sangat putih pakaiannya, sangat hitam rambutnya, dan tak menampakkan bekas perjalanan itu terus membuat heran para hadirin. Dalam posisi yang sangat dekat dengan Nabi, lutut yang saling menempel, dan tangan yang diletakkan di paha ia bertanya. Tetapi seperti seorang penguji, ia terus mengatakan, “Shodaqta, engkau benar!”, setiap kali Nabi memberikan jawaban.

Lelaki itu, belakangan ‘Umar yang mengisahkan fragmen ini tahu bahwa dialah Jibril, menanyakan salah satunya tentang Al-Ihsan. Apa itu? “An ta’budallooha ka-annaka taroohu. Fa in lam takun taroohu, fainnahuu yarooka; hendaklah engkau beribadah pada Alloh seakan-akan engkau melihatnya. Jika engkau tak bisa, maka yakinlah bahwa Alloh melihatmu.”

Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan AsmaNya kalian meminta satu sama lain dan bershilaturrohim. Sesungguhnya Alloh senantiasa mengawasi kalian. (QS. An-Nisaa’: 1)

Innallooha kaana ‘alaikum roqiibaa; sesungguhnyalah Alloh senantiasa mengawasi kalian. Saat kecil kita diperkenalkan pada Roqiib-’Atiid. Sifat dua malaikat pengawas yang duduk di kanan dan di kiri ini amat kita tenal. Roqoba-yarqubu-muroqobatan. Inilah muroqobah. Sebuah rasa bahwa kita senantiasa diawasi. Terekam setiap detik hidup kita sejak bangun sampai tidur lagi, bahkan juga saat tidur itu, sejak kita baligh hingga saat ruh diangkat.

Sewaktu kecil, lagi-lagi, bayangan kita tentang catatan amal adalah buku. Mengapa? Karena Al-Qur’an menyebutnya ‘Kitaab’. Tetapi benarkah ‘kitab’ berbentuk buku? Simpel sekali. Dan kita pastinya, mengasosiasikan buku catatan –termasuk buku catatan amal- sebagai sesuatu yang tidak lengkap, tidak bisa mencatat semua sisi, dan pasti ada yang terlewat. Lepas dari hebatnya malaikat pencatat, kita tetap akan merasa begitu. Karena –tentu saja- diri kita sendiri ini selalu keteteran kalau mencatat sesuatu, bahkan yang sederhana dan iramanya pelan sekalipun.

Tetapi sebentar. Sudah pernah dengar istilah ‘Audio Book’? Ada kan? Ada, bahkan ada Audio-Video Book. Lalu bagaimana kalau saya mengusulkan pemahaman baru bahwa buku catatan amal itu berbentuk ‘Audio-Video Book’? Sebuah gambaran tentang diri kita diambil dari –minimal- dua angle, kemudian disimpan dalam bentuk file audio-video lengkap, dan nanti di hari kiamat diperlihatkan kepada kita.

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat timbangan dzarroh-pun akan melihatnya. Dan barangsiapa mengerjakan keburukan seberat timbangan dzarroh pun akan melihatnya.” (QS. Az-Zilzal: 7-8)

Nah. Asosiasi kita tentang catatan amal jadi berubah kan? Dan saya merasa pasti, persepsi kita tentang akurasi catatan amal juga berubah. Kamera tersembunyi itu takkan keteteran men-shoot aktivitas kita. Lalu bayangkan sebuah layar superbesar di hadapan pengadilan Alloh. Di sanalah akan di-display segala rekaman perbuatan kita sejak baligh sampai mati. Lengkap, semuanya terekam dan terlihat. Saat kita sendiri maupun bersama, saat sunyi maupun riuh, saat tersembunyi maupun teramati manusia, di pojok kamar yang sempit maupun di lapangan yang luas. Semua tercatat, terekam. Lalu bertanyalah kita: rekaman itu dipenuhi maksiat atau taat?

Jangan terlalu meyakini gambaran saya tentang Kitaab ini, ya. Sungguh apa yang ada di sisi Alloh lebih dahsyat dan tak tergambarkan! Ingat, gambaran ini hanya untuk memberi sentuhan kesadaran minimal bagi kita yang terlanjur bermudah-mudah dan mengecilkan arti catatan amal. Sungguh, apa yang ada di sisi Alloh lebih dahsyat dan lebih agung!

Ketika amalan manusia diperlihatkan oleh Alloh kepadanya, begitu Rosululloh suatu ketika mensabdakan, maka mereka akan tenggelam dalam keringatnya karena merasa malu. Malu! Saking malunya karena semua yang pernah ia sembunyikan terkuak sudah, segala yang ia tutupi diungkap dengan sangat eksplisit. Persis! Di hadapannya sendiri! Allohumma!

Tenggelam dalam keringat. Ada yang semata kaki, ada yang selutut, ada yang sepinggang, ada yang sebahu, ada yang megap-megap, ada yang terbenam. Tergantung seberapa besar rasa malunya, tergantung seberapa memalukannya rekaman perbuatan itu. Allohumma!

Inilah muroqobah. Sebelum datangnya hari itu, kita diberi kesempatan untuk tahu. Bahwa ada catatan amal yang tak mungkin direkayasa, dan bahwa sesudah itu perhitungan balasan dari Alloh adalah sedetil- detilnya, seadil-adilnya.

Lihatlah kondisi mereka yang memahami hal ini dan menyikapinya dengan tepat:
Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata, “Ambillah, bacalah kitabku (ini).” Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhoi. Dalam surga yang tinggi. Buah-buahannya dekat. (Kepada mereka dikatakan), “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (QS. Al-Haqqoh: 19-24)

Dan bandingkan dengan yang tak memahaminya:
Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku daripadaku.” (Alloh berfirman): “Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.” (QS. Al-Haqqoh: 25-32)

Maka inilah muroqobah. Bolehlah engkau mengidentikkannya dengan ihsan: “Engkau ibadahi Alloh seakan-akan engkau melihatNya. Jika engkau tak melihatNya, yakinlah Ia melihatmu.”

Pernah nonton film Kiamat Sudah Dekat? Ya, ilmu ikhlas. Muroqobah adalah sisi lain dari pelajaran tentang ikhlas. Ini yang kita –saya dan antum- harus belajar lebih banyak lagi. Karena dalam perumpamaan Rosululloh, riya’ yang menghancurkan ikhlas bagaikan semut hitam di atas batu hitam di malam yang kelam. Samar sekali. Ikhlas. Betapa sempitnya kata ini, sampai-sampai tak menenggang sedikit geseran pun dalam niat. Ikhlas. Cukuplah Alloh yang melihat.

When you give with your right hand
Don’t let even your left hand
To know the good thing that you did
(SNADA: Just Giving Once!)

Tiba-tiba saya teringat kisah dari negeri para Azhari. Ustadz Hasan Al-Banna pernah menghadiri sebuah mu’tamar di Daqhaliah. Seusai mu’tamar, beliau bersama Ustadz ‘Umar At-Tilmisani beristirahat di sebuah kamar yang terdiri atas dua tempat tidur. Masing-masing pun kemudian berbaring di ranjangnya.

Beberapa menit kemudian, Ustadz Hasan Al-Banna bertanya, “Wahai ‘Umar, apakah engkau sudah tidur?”

Ustadz ‘Umar menjawab, “Belum.”

Beberapa saat kemudian, Ustadz Al-Banna mengulang pertanyaannya dan mendapat jawaban yang sama, “Belum!” Akhirnya Ustadz ‘Umar berkata dalam hati, “Jika beliau bertanya lagi, aku takkan menjawab.”

Benar, Ustadz Al-Banna bertanya lagi. Tak ada jawaban. Beliau mengira Ustadz ‘Umar telah terlelap. Kemudian beliau keluar dengan mengendap-endap, langkahnya berjingkat dan menenteng sandal di tangan kanan. Beliau pergi ke tempat wudhu’, berwudhu’, lalu menunaikan tahajjud.

“Dan pada sebagian malam bertahajjudlah engkau sebagai ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Robbmu membangkitkanmu pada tempat yang terpuji.(QS. Al Isro’: 79)

Jikala malam sunyi sepi, bani insan tenggelam dalam mimpi
Musafir yang malang ini pergi membasuh diri
Untuk menghadapMu, oh Tuhan
Lemah lututku berdiri dihadapanMu, tangisanku keharuan
hamba yang lemah serta hina
Engkau terima jua mendekati, bersimpuh di bawah duli kebesaranMu
(Hijjaz: Munajat Seorang Hamba)

Tetapi tentu saja, ibadah dan kebaikan tak selalu harus disembunyikan. Tak harus curi-curi kesempatan. Ikhlas adalah rasa tenteram ketika kita sadar dilihat Alloh. Alloh saja. Calon mertua, calon isteri, Pak Direktur, dan Pak Lurah boleh saja tahu. Tapi pada Alloh sajalah kita tujukan ibadah ini. Bukankah ikhlas juga berarti ketakpedulian kita pada pandangan manusia? Tak bertambah karena dipuji dan tak berkurang karena dicaci. Ini yang utama.

Lebih dari itu, kadang orang lain memerlukan contoh untuk ditiru, atau penyemangat, atau ‘ibroh. Ini, bisa juga diniatkan sebagai da’wah, mensunnahkan kebaikan di mana pahala orang yang mengikutinya akan masuk ke rekening kita tanpa mengurangi bagian mereka, insya Alloh.

Alangkah indah yang dicontohkan ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu dengan infaq empat dirhamnya: satu dirham untuk siang, satu dirham untuk malam, satu dirham terang-terangan, satu dirham sembunyi-sembunyi. Seiring sejalanlah dua makna keikhlasan dalam dirinya, lalu ia pun dipuji oleh ayat ini:

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. AL-Baqoroh: 274)

O ya, hampir lupa. Fudhail ibn ‘Iyadh juga mengingatkan, “Kalau kau meninggalkan ibadah karena khawatir dilihat orang, maka kau riya’. Dan kalau kau beribadah agar dilihat orang, kau berbuat syirik!” Nah.


Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Kompetisi, Registrasi

DI SUDUT-SUDUT ego yang tajam, manusia merasakan keasyikan dalam tantangan dan persaingan. Dan hidup ini memang kompetisi. Ia berjalan dalam batas antara kehidupan dan kematian. Di antara dua titik itu, berlaku sebuah fungsi waktu, untuk menguji optimalisasi potensi, siapa di antara kita yang terbaik dalam karya.

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)

Dan hidup ini memang kompetisi. Ia berjalan di seluruh penjuru bumi. Tanpa ada batas kecuali keterjangkauan. Di sana ada fungsi tangensial untuk mengelola segala sumberdaya nikmat menjadi kemanfaatan paling puncak. Lagi-lagi, untuk sebuah uji, siapa di antara kita akan terbaik dalam karya.

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Kahfi: 7)

Alangkah besar ambisi ‘Umar, untuk mengungguli Abu Bakar dalam amal dan pengorbanan. Seorang wanita tua pernah menolak jaminan kebutuhan darinya dengan mengatakan, “Sudah ada yang menjamin kebutuhanku...”. Dalam pengintaian ‘Umar di keesokan harinya, ia lihat sosok kurus Abu Bakar mengendap memikul karung berisi hajat hidup si nenek.

Dalam perang Tabuk, seruan jihad harta disambut ‘Umar dengan segera. Saat Rosululloh bertanya berapa yang ia tinggalkan untuk keluarga, ‘Umar mengatakan dengan bangga, “Sebanyak yang aku serahkan pada Alloh dan RosulNya”.
Tapi betapa ia tercenung saat pertanyaan yang sama ditujukan pada rivalnya. Dengan gemilang Abu Bakar menjawab, “Cukuplah Alloh dan RosulNya yang aku tinggalkan untuk keluargaku!”

Menjadikan Abu Bakar sebagai kompetitor amal memang harus membuat ‘Umar bergumam, “Mulai hari ini aku sadar, tampaknya aku tak akan pernah bisa mengalahkan Abu Bakar!” Tetapi kita harus tersenyum... Karena mereka telah menjadi contoh tentang urgensi sebuah kompetisi dalam amal dan pengorbanan, bahkan tentang perlunya sebuah iri hati.

“Tidak ada iri hati kecuali dalam dua perkara. (Yaitu) orang yang diberi harta oleh Alloh lalu dia belanjakan pada sasaran yang benar. Dan orang yang dikaruniai ilmu dan kebijaksanaan lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhori)

Kita yang hidup di hari ini, tak hanya akan menjalin kompetisi di antara kita sendiri. Kita punya kompetitor-kompetitor yang telah mendahului. ‘Ibroh dan teladan dari kisah pengorbanan pendahulu ummat ini menjadi tantangan penyemangat bagi seorang mukmin yang menunggu-nunggu untuk memenuhi janji syahadahnya.

“Di antara orang-orang mu’min itu ada yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Alloh. Maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tiada merubah janjinya!” (QS. Al-Ahzab: 23)

Motivasi Islami generasi belakangan selalu menyentuh semua sisi kompetisi. Adakalanya bisa memenangkan kompetisi dalam hal pahala yang mereka peroleh. Tapi generasi awal menjadi penabung pahala yang tiada henti karena keteladanan yang telah mereka bingkai. Keteladanan itu menjadi ikutan berharga bagi penerusnya di perputaran zaman.

“Sesungguhnya setelah masa kalian akan ada hari-hari kesabaran. Kesabaran waktu itu seperti orang yang menggenggam bara. Bagi orang-orang yang beramal pada hari-hari itu mendapat pahala senilai lima puluh orang yang beramal seperti amalnya dan masih ditambah lagi dengan yang lain. Seseorang bertanya, “Ya Rosululloh, pahala lima puluh orang dari mereka?” Beliau bersabda, “Bahkan pahala lima puluh orang dari kalian.” (HR. Abu Dawud)

Seagung-agung kompetisi yang pernah ada di muka bumi adalah kompetisi berkorban. Berkorbanlah untuk mendapatkan ridho Alloh, ampunanNya dan surgaNya yang begitu indah tak tergapai angan!

“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Robb kalian dan kepada surga yang luasnya adalah langit dan bumi, disediakan bagi orang yang bertakwa. Orang-orang yang berinfaq baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang menahan marahnya, dan yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Alloh menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imron: 133-134)

Waktu menghabiskan sebuah kurma yang sudah ada di mulut terasa begitu lama bagi ‘Umair ibn Al-Hammam untuk menyambut seruan kompetisi. Inilah perasaan seorang pemenang. Ia memuntahkan kurma itu dan mengatakan, “Aku mencium wanginya surga dari balik bukit ini.” Medan Badar dan Uhud menjadi saksi betapa banyak kompetisi agung ini terjadi. Bahkan di antara ayah yang pincang dan anak yang terlalu belia, sampai salah satunya berkata, “Kalau saja bukan surga tujuan kita, tentu aku akan mengalah pada Ayah...”

“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar. Mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang. Dapat kau ketahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan, Mereka diberi minum dari khomr murni yang dilak tempatnya, laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthoffifiin: 22-26)

Kompetisi itu, begitu menarik. Tetapi mengapa masih saja ada yang belum mendaftar? Bayangkanlah engkau, wahai Tuan, suatu ketika menjadi panitia suatu lomba lari. Peserta telah terdaftar dan masing-masing telah bernomor punggung dan bertanda dada. Start! Dan semua berlari. Lalu di sana ada seorang berpakaian rapi. Ia ikut berlari. Dari start hingga finish. Tanpa mendaftar. Tak ada nomor punggung. Tak ada tanda peserta di dada. Dan ia menang! Benar, ia menang! Lalu meminta hadiah. Adakah engkau, wahai Tuan, akan memberi?

Ya. Terserah engkau. Tetapi mereka yang mendaftar menjadi sulit menerima keputusanmu. Tetapi terserah engkau. Sebagaimana dalam kompetisi kehidupan yang berjalan di alur waktu dan terpentas di atas bumi, terserah Sang Penguasa, yang dalam firmanNya telah berkata:

“Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tapi bila didatanginya, tak ada yang ia temukan.” (QS. An-Nur: 39)

Hidup ini kompetisi. Dan syahadat itulah yang telah menegaskan karunia hidayah bagi kita, adalah tanda keikutsertaan yang diberikan Sang Penguasa. Maka ada manusia bodoh yang harus kita tunjukkan jalan, karena mereka bersemangat berlomba tanpa mendaftar, tanpa tanda syahadat di dadanya. Dan kita pun kadang menjadi manusia bodoh lain yang harus ditegur, karena meski sudah mendaftat terkadang lebih suka duduk-duduk di garis start, merasa cukup dengan status keislaman itu. Islam, adalah iman dan amal sholih. Islam adalah mendaftar dan berlari dengan kekuatan penuh!

Jika engkau telah mendaftar dengan ikrar syahadatmu, berlarilah menuju Alloh, saudaraku. Hingga seperti Musa dalam larinya, kita akan terengah berkata, “Itulah mereka sedang menyusuli aku. Dan aku bersegera kepadaMu, ya Robbi, agar Engkau ridho kepadaku.” (QS. Thoha: 84)


Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tiga Pilar

SAAT itu, dihadirkanlah Profesor Loebby Lukman sebagai saksi atas dakwaan makar terhadap Abu Bakar Ba’asyir. Setelah saksi memberikan keterangan, majelis hakim memberi kesempatan kepada terdakwa untuk mengajukan pertanyaan. Maka dengan ekspresi tenang, tanpa berkonsultasi dahulu pada penasehat hukumnya Ustadz bicara. Kira-kira, inilah dialog itu:

“Profesor Loebby, berdasar UUD 1945 pasal 29 ayat 2, bukankah negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agama untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya?”

“Ya, benar!”

“Apakah dalam UUD 1945 ataupun penjelasannya terdapat definisi kata ‘ibadah’?”

“Emm… setahu saya tidak ada.”

“Kalau begitu, bukankah seharusnya makna ibadah dikembalikan kepada darimana ia diambil?"

“..Ya.”

“Nah. Sesungguhnya kata ‘ibadah’ berasal dari bahasa Arab, dan tentu berasal dari apa yang diperintahkan Alloh di dalam Al-Qur’an. Maka, definisinya harus dikembalikan kepada Al-Qur’an. Menurut Al-Qur’an, ibadah adalah segala aktivitas yang ditujukan untuk mencari keridhoan Alloh dan dilaksanakan sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Rosululloh. Dan, ibadah yang tertinggi menurut Islam adalah menegakkan syari’at Alloh di muka bumi. Dengan demikian, apakah yang saya lakukan selama ini, -mengupayakan tegaknya syari’at Islam di Indonesia- bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan penduduk untuk menjalankan ibadah?”

“Kalau logikanya begitu, tidak.”

“Baik. Pertanyaan terakhir. Jika negara melanggar UUD 1945 –dengan merampas kemerdekaan beribadah- apakah negara bisa dituntut?”

Subhanalloh…

Ya. Seperti kata Ustadz Abu, ibadah adalah segala sesuatu yang ditujukan untuk mencari ridho Alloh. Maka, ibadah adalah lapangan aktivitas yang melingkupi luasan tak terperi. Luas sekali. Dan memang, Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa mengawasi kita, menginginkan agar kita memakna ibadah sebagaimana kita memaknai interaksi kita denganNya. Dan makna-makna interaksi kita dengan Alloh, -sebutlah ia pilar-pilar ‘ubudiyah-, ada tiga: takut, harap, cinta.

Takut, harap, dan cinta adalah pilar-pilar ‘ubudiyah yang saling menyangga, kait mengait, tak bisa ditinggalkan salah satunya. Ia bukan jenjangan yang bertingkat-tingkat, bukanlah satu pilar ditempuh dengan meninggalkan pilar sebelumnya. Bukan hirearki, tapi kesatuan makna yang indah. Sebentar. Tunggu sebentar. Mungkin antum pernah mendengar syair ini:

Alloh… jika aku sembah Engkau karena takut pada nerakaMu
Masukkan saja aku ke dalamnya
Jika aku sembah Engkau karena berharap surgaMu
Jauhkan saja aku darinya
Tetapi jika
Aku menyembahMu karena cinta
Maka cintaMulah yang kuharapkan

Penisbatan syair ibadah cinta ini kepada Robi’ah Al-’Adawiyah tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ya. Tidak ada bukti kesejarahan yang bisa mendukungnya. Filologi, ilmu tentang sanad, tak bisa melacaknya. Jadi, bukan berarti takut pada Alloh itu semata mental budak yang rendah. Bukan berarti mengharap surga itu semata mental pedagang yang culas. Dan bukan pula, orang yang hanya punya cinta selalu lebih mulia. Tentang hal ini, dengan mengejutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
Barangsiapa menyembah Alloh dengan cinta saja maka sungguh ia Zindiq.
Barangsiapa menyembah Alloh dengan harap saja maka ia adalah Murji’.
Barangsiapa menyembah Alloh dengan takut saja maka ia Haruri.
Mukmin bertauhid menyembah Alloh dengan ketiganya; takut, harap, dan cinta.

Zindiq adalah sebutan bagi tiap orang yang tertipu oleh perasaan dan angan kosongnya. Coba analisis kalimat yang muncul dari seorang yang baru bergabung dalam thoriqot sufi berikut ini, “Dalam dzikirku aku mengucap Alloh… Alloh… Alloh... lalu aku tenggelam dalam nikmat munajat. Rasanya seperti memasuki sebuah alam tanpa dimensi... hanya cahaya... kuat... dahsyat... begitu agung... begitu kudus... sebuah ekstase suci… sampai tanpa sadar aku hanya mengucap Love… Love... Love... Ya. Tuhan telah mewahyukan padaku, bahwa DiriNya adalah Cinta... Cinta... selain itu sungguh tak berarti.”

Kira-kira bagaimana? Bisikan Alloh atau bisikan syaithon?

Murji’ adalah orang yang menganggap iman cukup dengan pembenaran lisan sehingga memudah-mudahkan. Kalau sudah syahadat, ya sudah. Mukmin. Pasti masuk surga. Jadi, begini boleh, begitupun boleh. Nggak masalah. Kalau sudah mengatakan beriman, pasti masuk surga.

Sedang Haruri adalah sebutan lain Khowarij, kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar karena berlebihan dalam rasa takut. Sebuah ilustrasi menarik tentang Khowarij diberikan oleh Rosululloh. Para sahabat, kata beliau akan menganggap kecil dan remeh ibadah mereka sendiri kalau melihat kesungguhan Khowarij dalam ibadah. Sholat mereka, puasa mereka... Tetapi, kata beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, mereka –orang-orang Khowarij- keluar dari agama seperti anak panah meluncur dari busurnya. Mengapa? Mereka berlebihan merentang busur itu. Terlalu kuat, terlalu ketat. Dan terjadilah pada masa lalu, mereka mengkafirkan semua orang yang bertahkim di Daumatul Jandal mengkafirkan sahabat-sahabat Rosululloh: ‘Ali, Mu’awiyah, ‘Amr ibn Al-’Ash dan orang-orang yang bersama mereka.
Na’udzubillah...

Seorang mukmin bertauhid, menjadikan takut, harap dan cinta sebagai energi jiwa. Ketiganya. Galian yang tak habis-habis untuk menyalahidupkan tanggungjawab ‘ubudiyahnya. Di sinilah ia dapati interaksi yang indah dengan Alloh.
Kami takut, kami harap kepadaMu
Suburkanlah cinta kami kepadaMu
Kamilah hamba yang mengharap belas dariMu
(Raihan & M. Yassin Sulaiman: I’tirof)

Takut
“Sesungguhnya aku takut, jika aku mendurhakai Robbku, akan adzab di hari yang agung.” (QS. Al-An’aam: 75)

Ketakutan adalah energi jiwa, untuk membentengi diri dan perbuatan yang mengundang murka Ilahi. Rasa takut akan kengerian yang lebih besar, kengerian neraka, kengerian zaqqum, kengerian makan nanah dan darah, kengerian malaikat Zabaniyah, kengerian malaikat yang ghilladhun syidaad, panas, perih, ngilu, kehausan abadi, minuman yang membakar... Kengerian-kengerian ini membuat sambitan Abu Jahal, timpukan ‘Uqbah ibn Abi Mu’ith, cambukan ‘Umayyah ibn Kholaf ejekan dan lemparan kotoran Abu Lahab... semuanya hanya bagaikan gelitikan yang membuat para ahli iman tertawa. Bahkan ketika kita saksikan mereka menitiskan air mata, yakinlah bahwa itu air mata karena menahan tawa.

Alloh…

Mungkin makna lain yang indah dari takut adalah ‘pengawasan’. Dalam pengawasan Alloh, kita berusaha hidup dalam kesholihan. Karena kita lebih patut untuk malu dan takut kepada Alloh yang selalu membersamai.

“Dan sesungguhnya, kami telah menciptakan manusia, dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qoof: 16)

Ketakutan kita pada Alloh bukanlah gigil kengerian. Ia adalah kesadaran. Ia adalah kehati-hatian. Ia pun justru ketenteraman. Setenteram sejuknya ayat ini menghidupkan hati:

“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Robbnya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40-41)

Harap
“Ibrohim berkata, “Tiada yang berputus asa dari rohmat Robbnya kecuali orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr: 56)

Di padang pasir yang tandus, terik mentarinya yang membakar, dan tanahnya yang kerontang, para ahli iman menanam pohon harapannya. Menghijau ia menghampar, dengan siraman air mata dan darah. Daun-daunnya lebat, tumbuh menjulang tegak di atas akar keimanan yang kukuh, menyentuh langit-langit kemuliaan. Ia membawa sang penanam meninggi, meninggalkan alam hina jahiliyah yang tak henti menggali kubangan lumpur.

“Tidakkah kalian perhatikan bagaimana Alloh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) di langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Robbnya... “ (QS. Ibrohim: 24-25)

Betapa buah itu telah dinikmati para penanamnya. Siapa peduli musim apa ini. Pokoknya Bilal sedang berbaring di tengah kebun surganya, di sisi sungai-sungainya yang mengalir, di atas dipan, berpakaian sutera, di bawah naungan pohon rindang yang buahnya mudah dipetik. Bilal sedang bercanda dengan para bidadari, Bilal sedang menatap para bujang hilir mudik, Bilal sedang menikmati minuman yang lebih manis dari madu, lebih lembut dari susu, dan lebih sejuk dari krim beku.

Inilah pandangan iman yang penuh harapan, tak usah pedulikan Umayyah bin Kholaf yang sedang terkekeh menatap budaknya tersengat pasir panas, terbelenggu rantai, tertindih batu, berbilur darah penuh luka cambukan. Tak usah pedulikan dia. Kita sedang menatap Bilal bertelekan di atas dipan kencananya.

Kita menatap dengan mata harapan akan sebuah pemandangan yang digambarkan detail oleh Alloh dalam wahyu di hari-hari permulaan risalah. Imajinasi itu dihadirkan begitu nyata, seolah surga menjadi ekosistem gaib yang melingkupi ke mana pun seorang mukmin beranjak.

Kalau penelitian di Amerika hari-hari ini mengatakan bahwa orang-orang yang tinggal di lingkungan hijau memiliki angka harapan hidup di atas rata-rata, jelaslah bagi kita bahwa para ahli iman yang mampu menghadirkan kehijauan surga dalam desah nafasnya, memiliki energi daya hidup yang abadi. Bahkan, Masya Alloh, bahkan Alloh tak pernah mengaruniakan kematian kepada mukmin yang terbunuh syahid memenuhi janji.

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Alloh itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Robb mereka dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Alloh yang Ia berikan kepada mereka.” (QS. Ali ‘Imron: 169-170)

Dan mungkin, makna indah yang lain dari harap adalah kebersamaan. Kebersamaan dengan Alloh. Gerak nafas bertauhid adalah sebuah tuntutan keimanan, sebuah sumbu hidup yang menyala dan padam karena Alloh semata. Ada kenikmatan tiada tara, ketenteraman tak terkira, ketika merasai kebersamaan Alloh, dalam sholat, dalam ‘ibadah, dalam hidup, dan ketika meneguk gelas kematian.

“...Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Alloh bersama kita...” (QS. At-Taubah: 40)

Cinta
Cinta,
ruh yang mengalir lembut, menyenangkan, bersinar, jernih, dan ceria…
Cinta,
luh yang mengalir lembut, menyesakkan, berderai, jerih, dan badai...

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang mengambil tandingan-tandingan untuk Alloh. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh, padahal orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Alloh.” (QS. Al-Baqoroh: 165)

Jangan ada tandingan untukNya dalam cinta! Apa jadinya bila Ia cemburu? Bukankah cemburuNya jauh lebih dahsyat dari Sa’d ibn ‘Ubadah, pencemburu terberat di seantero Madinah?

Cinta adalah energi, yang membuat sang pencinta memiliki tatapan pinta kepada Robbnya. Pandangan kasihnya jatuh jua ke retina cinta, takkan berpaling selamanya. Lalu senyumnya pun merekah, mekar dari kuncup cinta. Bahkan di kala tangis, ia menimba luhnya dari mata air cinta.

Fragmen menyejarah seorang Arab gunung yang bertanya tentang kiamat kembali hadir dalam memori kita. “Bilakah datangnya kiamat, yaa Rosulalloh?”, tanyanya. “Apa yang sudah kau siapkan untuk menyambutnya?”, Sang Rosul balik bertanya. “Cinta kepada Alloh dan RosulNya...,” jawabnya sepolos fitrah. “Engkau akan bersama dengan yang kau cintai.” Ah betapa melegakan.

Energi cinta, energi yang meredakan segala resah dan gelisah dengan mengingat Sang Kekasih. Ketenangan di segala suasana, keteduhan di setiap terik, cinta ini berbuah dzikir naturi yang menenteramkan.

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Alloh. Ingatlah, hanya dengan mengingati Alloh-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ro’d: 28)

Bergetarnya hati di saat namaNya disebut, bertambahnya yakin saat ayatNya dilantunkan, menjadi indikator-indikator cinta yang tak bisa dibantah apalagi dipalsukan. Ada kenikmatan tersendiri ketika mereka pasrah, bertawakkal, menggantungkan segala urusan kepada Robbnya saja.

“Sesungguhnya, orang yang beriman itu adalah orang-orang yang ketika disebut asma Alloh bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya atas mereka bertambahlah iman mereka karenanya. Dan kepada Robbnya mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal: 2)

Dan, cinta yang hanya di hati belum membuktikan apa-apa. Amal sholih, kata Sayyid Quthb, adalah buah alami dari keimanan, dan gerak yang bermula pada detik di mana hakikat keimanan itu menghunjam di dalam hati. Maka keimanan dan cinta padaNya adalah hakikat yang aktif dan energik. Begitu hakikat keimanan menghunjam dalam nurani, maka pada saat itu pula ia bergerak mengekspresikan dirinya di luar dalam bentuk amal sholih.

Itulah iman Islami! Itulah cinta pada Alloh! Tidak mungkin tinggal diam tanpa gerak, atau tersembunyi tanpa menampakkan diri dalam bentuk yang dinamis di luar diri sang mu’min. Jika tidak bisa melahirkan gerakan yang alami tersebut, maka keimanan dan cinta itu adalah palsu atau mati. Sama seperti bunga yang tidak bisa menahan semerbak wewangiannya. Ia pasti muncul secara alami. Jika tidak, bisa dipastikan tidak ada!

Katakanlah: “Jika kalian mencintai Alloh, ikutilah aku. Niscaya Alloh mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imron: 37)

Gerak dan gerak. ‘Amal dan ‘amal. Lalu di sanalah cinta menjadi permata, mengkilap oleh air mata, menyala oleh darah, dan hidup dengan pengorbanan.

Take me up with Your Love
Towards Your Highness
And give me Your Pleasant
And Paradise…
(Raihan & Mohammed El Husayyan: ‘Aroftuka)


Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media