Kamis, 28 Mei 2015

Percayailah yang Terbaik

mempercayai yang terbaik dalam diri seseorang
akan menarik keluar yang terbaik dari mereka

berbagi senyum kecil dan pujian sederhana mungkin saja mengalirkan ruh baru pada jiwa yang nyaris putus asa

atau membuat sekeping hati kembali percaya
bahwa dia berhak dan layak untuk berbuat baik


INI salah satu adegan yang paling saya suka dalam Red Cliff, garapan sutradara John Woo.

Ketika itu, Zhuge Liang, sang ahli strategi legendaris, didampingi Lu Su, penasehat militer kerajaan Wu, sedang mengunjungi Zhou Yu di pusat pelatihan prajurit Wu di Karang Merah. Latihan terhenti karena kumandang bunyi seruling di puncak karang. Dengan begitu gesit dan nyaris tak terindera, Zhou Yu menghampiri si bocah yang ternyata bersama kakeknya. Zhou Yu meminta seruling bambu itu, meraut sedikit bagian lubang udara utamanya dan mengulurkannya kembali.

Suara seruling itu makin merdu. Lagunya menghanyutkan semua yang hadir dalam suasana keindahan alam daratan Cina selatan.

Tapi urusan utama kedua rakyat jelata itu bukan soal seruling. Si kakek dan cucunya ini rupanya kehilangan kerbau air di sawah mereka. Mereka hendak mengadu. “Beberapa saksi melihat bahwa…,” kata sang kakek sambil menjura penuh hormat. Zhou Yu mengangguk sebelum si kakek menyelesaikan kalimatnya. Dia mengerti.

Pasukan yang dikomandani oleh Jenderal Gan Xing segera diperintahkan berhimpun dalam barisan. Zhou Yu memulai kata-katanya dengan pujian. “Aku terkesan oleh penampilan dan kerja keras semua orang hari ini!” serunya disambut gemuruh pekik para prajurit.

“Tapi kakek tua ini kehilangan kerbau milik keluarganya di dekat barak kita,” Zhou Yu berjalan berkeliling sambil menyeksamai wajah para prajurit itu. Sesekali diamatinya kaki mereka. “Apakah ini dilakukan oleh salah seorang saudara kita?”

Suasana mendadak hening.

“Ayo. Dia yang berbuat, maju ke depan dan mengakulah!” salah seorang komandan rendahan tiba-tiba berteriak. Anggota pasukan yang lain kemudian menimpali bersahut-sahutan. “Benar! Ayo mengaku! Tunggu apa lagi? Jadilah ksatria!” Keadaan menjadi begitu riuh dan kacau. “Seret saja mereka keluar! Sungguh perbuatan yang memalukan!” seru yang lain.

“Lu Su,” panggil Zhou Yu yang membuat suasana kembali sunyi, “Apa hukumannya menurut undang-undang Kerajaan Wu?”

“Hukumannya,” jawab Lu Su dengan berat hati, “Adalah mati!”

“Ayo keluar kalian! Tunjukkan diri!” teriak para prajurit bergemuruh. Suasana kembali ribut dan kacau balau. “Dan,” sambung Lu Su, “Untuk mengetahui pelakunya, mudah saja. Kerbau itu baru hilang pagi ini di sebuah sawah. Pasti masih ada banyak lumpur mengotori sepatu para malingnya. Apakah aku benar?”

“Ya, benar! Ayo, siapa pelakunya, tunjukkan diri!”

Zhou Yu sudah mengetahuinya sejak tadi. Dan dia sudah melihat tiga orang prajurit dengan sepatu berlumur tanah becek berdiri dengan gelisah dan takut. Mendengar kata-kata Lu Su dan seruan kawan-kawannya, mereka makin kalut dan ciut nyali.

“Semua prajurit Gan Xing, dengarkan perintah ini!” Zhou Yu berteriak. “Kuminta kalian semua berlari mengelilingi arena latihan. Berputarlah di bawah pohon sebelah sana itu kemudian kembali ke tempat ini! Semuanya, laksanakan! Cepat!”

“Siap!”

Seluruh prajurit segera bergerak dengan formasi baris yang rapi dan berlari ke arah yang ditunjuk oleh Zhou Yu. Untuk sampai ke pohon yang dimaksud, mereka harus menyeberangi kolam latihan yang becek dan berlumpur. Dan mereka semua menerabasnya. Masih terus berlari, kini semua sepatu jadi basah dan berlumpur. Ketiga orang yang sepatunya berlumpur, kini dibersamai oleh seluruh kawan-kawan sekesatuannya. Lalu dalam irama yang menghentak, mereka semua kembali ke hadapan Zhou Yu.

“Hari ini,” kata Zhou Yu, “Aku tidak menyeret para pelakunya keluar, karena aku ingin memberi mereka kesempatan kedua untuk menjadi lebih baik. Prajurit Wu sama sekali tidak bisa menenggang penjarah! Tak ada tempat bagi pencuri! Tapi yang kita perlukan hari ini adalah kesatuan, terikat dalam persaudaraan!”

“Benar!”

Jenderal Gan Xing terlihat muncul dengan menuntun seekor kerbau. Dia sendiri yang mengganti kerbau milik kakek tua yang hilang itu. Di hadapan si kakek, dia berlutut. “Kumohon, terimalah hormat dan permohonan ampunku. Aku gagal melatih pasukanku!”

“Hamba tak berani! Hamba tak berani!” si kakek ikut berlutut. Dan dengan sangat mengharukan, seluruh prajurit kini berlutut dan menjura hormat pada sang kakek.

Keputusan Zhou Yu untuk tak menghukum para pelaku pencurian saat itu, terbukti tepat. Kelak, ketiga orang yang mencuri kerbau itu menjadi pasukan perintis yang gagah berani dan rela mengorbankan jiwa saat menghadapi serbuan pasukan Perdana Menteri Cao Cao di seberang Karang Merah. Mereka menjadi patriot negeri Wu. Zhou Yu sangat terharu menyaksikan kepahlawanan mereka.

YYY

Sejarah di Khulafaur Rosyidin mencatat nama seorang shohabat Rosululloh yang masyhur, Abu Minjan ats-Tsaqofi. Sungguh, sebenarnya dia adalah seorang perwira nan pemberani yang sulit dicari tandingannya. Sayang, orang-orang mengenalnya sebagai peminum khomr. Itu kebiasaan jahiliah yang belum juga berhasil ditaklukkannya. Satu saat, Kholifah ‘Umar ibn al-Khoththob menderanya di muka umum sebagai ta’zir.

Beberapa waktu kemudian, dia mengikuti pasukan besar yang dikirim ‘Umar untuk menaklukkan Persia. Barisan besar mujahidin ini dipimpin oleh singa yang menyembunyikan kukunya, Sa’d ibn Abi Waqqosh.

Cerita menarik ini terjadi ketika kecamuk perang terjadi di wilayah Qodisiyah. Lagi-lagi, Abu Mihjan kedapatan meminum khomr sehingga Sa’d ibn Abi Waqqosh menghukum dengan mengikat dan menyekapnya di dalam kemah utama. Ketika Abu Mihjan mendengar derap kuda di sekitar kemah utama, dia melantunkan kekesalannya dalam bait-bait syair.

lengkap sudah kesedihan dan sesalku kini
kutukar kegagahan di atas derap kuda
dengan minuman hina, hingga terikat bahu dan kaki
jika berdiri tubuhku sakit tertahan besi
pintu pun tertutup, membuat teriakanku tak berarti

Pertempuran hari itu berlangsung sangat dahsyat. Orang-orang Persia menyerang penuh murka dengan gajah-gajah dan kereta perang mereka. Pasukan panahnya yang termahsyur terus menghujani barisan depan kaum Muslimin hingga mengakibatkan banyak jatuh korban. Sayang sekali, panglima agung Sa’d ibn Abi Waqqosh dilanda bisul di sekujur tubuhnya. Dia tak bisa memimpin langsung pertempuran di garis depan. Dengan berbaring di atas sebuah ranjang miring yang diletakkan di panggung tinggi, dia terus memberi perintah, menerima laporan, dan mengatur siasat.

Gajah-gajah itu yang menjadi masalah terbesar! Kuda-kuda kaum Muslimin tak terbiasa menghadapinya. Hewan-hewan yang biasanya tangkas itu panik, lalu menjadi liar dan tak terkendali. Formasi penyerbuan bubar dan kacau, sementara para gajah dengan belalai yang dipersenjatai gelang baja berpisau mengibas ke kanan dan ke kiri menceraiberaikan pasukan. Para pejuang Muslim yang mencoba mendekat pun banyak yang celaka karena amukannya.

Antara yakin dan tidak, dari atas ranjangnya, Sa’d ibn Abi Waqqosh melihat sosok yang mirip Abu Mihjan ats-Tsaqofi di atas seekor kuda yang ditutupi matanya menghambur ke arah barisan gajah Persia. Dengan sebilah tombak, diserangnya gajah terbesar yang seolah menjadi pimpinan kawanannya. Dengan sebuah gerakan lincah, orang itu melonjak dan menusukkan tombaknya tepat di mata sang gajah. Gajah itu kini menjadi tak terkendali dan barisan hewan-hewan raksasa itu pun kacau. Para prajurit Muslim yang lain segera mengikuti langkah orang itu, menutup penglihatan kudanya dan menyerbu mata para gajah dengan tombak mereka.

Sa’d ibn Abi Waqqosh sampai tertegak dari pembaringannya menyaksikan kegagahan sosok yang mirip Abu Mihjan itu. Dengan pedang teracung, lelaki pemberani itu mendekat ke arah gajah-gajah dan melumpuhkannya dengan tebasan di kaki depan. Para prajurit Persia yang mengeroyoknya kewalahan. Sayang, orang itu menutup muka dengan ujung sorban. Wajahnya tak terlihat. Tapi hei, Sa’d ibn Abi Waqqosh mulai mengenali kuda yang dipakai orang itu. Itu adalah kuda miliknya! Kuda milik Sa’d ibn Abi Waqqosh sendiri. Jangan-jangan benar, itu adalah Abu Mihjan? Tapi bukankah dia terikat erat disekap di kemah utama?

Ketika malam menjelang dan pertempuran agak mereda, Sa’d ibn Abi Waqqosh dengan tertatih memeriksa kemah utama. Abu Mihjan ats-Tsaqofi masih di sana, terbelenggu tangan dan kakinya. Wajahnya ditundukkan, mungkin merasa malu dan tak berguna. Dia beralih ke sudut lain. Kudanya juga ada terikat, tapi tampak begitu lelah dan kepayahan. “Demi Alloh, ada apa dengan kuda ini?” seru Sa’d.

Istri Sa’d ibn Abi Waqqosh yang kemudian menjelaskan, bahwa dialah yang melepaskan Abu Mihjan untuk ikut bertempur. Abu Mihjan bahkan memohon supaya bisa menggunakan kuda Sa’d ibn Abi Waqqosh. “Aku melihatnya sebagai seorang yang baik. Dia bersumpah pada Alloh!” ujar wanita itu, “Untuk kembali dan mengikat dirinya jika sore tiba. Dan Alhamdulillah dia menepati janjinya.”

“Kalau begitu,” ujar Sa’d, “Seharusnya dia tak lagi di belenggu. Dia seorang yang mencintai Alloh dan berjihad untuk meninggikan kalimat-Nya. Bergembiralah, wahai Abu Mihjan. Semoga Alloh mengampunimu. Sungguh hari ini engkau telah memenuhi haq kuda ini, saat tuannya sedang sakit dan tak bisa membawanya berjihad. Sibukkan dirimu dengan perang memenangkan agama Alloh, dan jangan sampai syaithon menipumu lagi untuk mendekati khomr!”

YYY

“Dia yang tak mampu memaafkan kesalahan orang lain,” demikian yang dikatakan oleh George Herbert, “Telah menghancurkan jembatan yang seharusnya dia lalui sendiri.” Ya. Kita selalu hidup dengan bersama orang lain. Tak peduli seberapa berprestasinya sesosok insan, tiap orang pasti memerlukan dukungan. Sebuah timbal balik yang setara takkan terjadi tanpa ada yang memulai. Zhou Yu, juga Sa’d ibn Abi Waqqosh dan istrinya sangat memahami itu. Dalam dekapan ukhuwah, kita memilih untuk memulainya dengan berbaik sangka.

Mempercayai yang terbaik dalam diri seseorang, akan mengeluarkan yang terbaik dari mereka. Dalam dekapan ukhuwah, mari kita percayai asas itu. Dan mari kita perlakukan saudara-saudara tercinta kita dengan asas yang sama. Johann Wolfgang von Goethe, pemikir Jerman yang sangat mengagumi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam itu punya ungkapan yang menarik. “Perlakukan seseorang dia tampak saat ini,” tulisnya dalam Faust, “Dan kau akan menjadikannya lebih buruk. Namun jika kau memperlakukannya seolah dia telah menggapai potensinya dan mewujudkan citanya, kau akan menjadikannya sebagaimana dia yang seharusnya.”

Sungguh, setiap orang ingin hidupnya berarti. Semua orang ingin merasa dirinya penting dan punya makna. Kita pun demikian. Sebab itulah, dalam dekapan ukhuwah, ini berlaku untuk setiap orang, bahkan mereka yang tidak mempertunjukkannya. Mungkin saja, mereka sedang menunggu rangsangan kecil dari kita untuk menjadi seseorang yang hebat. Mari bukakan kesempatan itu dengan mempercayai adanya kebaikan yang tersembunyi. Seperti sebuah kisah masyhur yang terjadi di masa Bani Isroil.

YYY

Lelaki itu menyipitkan mata di terjang terik. Kakinya tersaruk seok dalam sengatan pasir. Dia datang dari jauh memikul beban hati yang memayahkan. Perjalanannya melelahkan. Tapi biara yang ditujunya tak jauh lagi. Jalan agak mendaki kini, tapi sekuncup harap telah bersemi di hati.

Di pintu biara, Rahib ahli badah itu menyambutnya dengan wajah datar. Lisannya terus berkomat-kamit. Rahib itu masuk sebentar dan keluar dengan dua gelas logam di tangannya. Dia letakkan salah satu di hadapan si lelaki, dan gelas lain dia genggam dengan dua tangan. Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguar bersama asap.

“Rahib yang suci,” kata si lelaki. Dia diam sejenak lalu mengunjal nafasnya panjang-panjang. “Mungkinkah dosaku diampuni?”

Rahib itu tersenyum setengah menyeringai. “Memangnya apa khilafmu?”

Agak tercekat dia menjawab. “Aku telah membunuh,” katanya, “Sebanyak sembilanpuluh sembilan jiwa.”

Hampir saja gelas di tangan sang rahib jatuh. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga.

“Mungkinkah dosaku diampuni?” lanjut si lelaki sambil menatap harap-harap. Tangannya cemas menggaruki permukaan gelas logam. Dia lalu menunduk menanti sabda.

Tetapi Rahib itu memalingkan muka. Rautnya tampak tak suka. Lelaki itu menangkap mimik jijik di garis-garis wajah sang Rahib. Sayup dia menggumamkan sebuah ayat dalam Taurot, “Membunuh satu jiwa sama artinya membinasakan seluruh jiwa, memusnahkan segala kehidupan. Sembilanpuluh sembilan… Sungguh dosa yang tak terperikan. Tak terampunkan.”

Entah mengapa si lelaki pembunuh tiba-tiba disergap benci yang bergulung-gulung pada si Rahib. Batinnya yang luka dan tersiksa oleh dosa serasa disiram cuka yang memedihkan mendengar gumam itu. Cara Rahib itu memperlakukannya, bersikap, berkata-kata, dan menjawab tanya seolah mereka dibatasi dinding tak tertembus. Si Rahib suci. Tanpa dosa. Dan dia adalah lelaki hina, najis, tak terampuni.

Sekuncup harap yang tadi bersemi, kini gugur disengat api.

Maka sekali lagi syaithon mengalahkannya. Dalam detikan saja, pedangnya telah memenggal si Rahib, membelahnya menjadi dua. Dan dia disergap sesal yang jauh lebih menyakitkan. Genap sudah seratus nyawa. Darah sang Rahib yang mengalir merah terlihat bagai neraka menyala, siap membakarnya. Dia tergidik. Dia beringsut mundur. Nafasnya tersengal, jangganya terasa tercekik hebat, keringat dinginnya merembesi baju. Dengan tenaga yang dihimpun sepicak-sepicak, dia berlari. Terus berlari.

Untuk beberapa waktu, dia bersembunyi. Tapi dia tahu, yang dia takuti bukan apa yang ada di luar sana. Yang paling menakutkannya ada di dalam dada. Tak tampak. Tak pernah membiarkannya nyenyak. Tak pernah mengizinkannya hening.

Satu hari dia tak tahan lagi. Diberanikannya menemui orang yang dianggapnya mampu memberi jawab gelisah hatinya. Kali ini bukan Rahib yang dipilihnya. Kali ini seorang ‘alim yang didatanginya. Dan lelaki berilmu itu menerimanya dengan senyum tulus.

“Alloh itu Maha Pengampun, Saudaraku,” ujar sang ‘alim ramah. “Taubatmu pasti diterima. Hanya saja, selain menyesali segala yang telah berlalu dan menebusnya dengan kebaikan-kebaikan, engkau juga harus meninggalkan negeri yang selama ini kau tinggali. Pergilah ke negeri lain untuk memulai hidupmu yang baru. Engkau harus berhijrah.”

Lelaki pembunuh itu, kita tahu, benar-benar berhijrah. Tapi dia mati di perjalanan. Dan malaikat rohmat pun memenangi perdebatannya dengan malaikat adzab. Sebab ketika diukur jaraknya, lelaki itu sejengkal lebih dekat ke arah negeri pertaubatannya. Dia benar-benar telah meninggalkan kejahatan, meski baru sejengkal. Maka Alloh memerintahkan agar dia dibawa ke surga.

YYY

Kebaikan itu hanya menyembul sedikit, mengintip di balik terbunuhnya seratus nyawa. Seorang Rahib memang ahli ibadah. Tetapi dia bukan ahli ilmu. Dia tak kuasa mengenali kebaikan yang tersembunyi. Begitulah kita hari-hari ini, banyak terpesona dan dengan mudah menyebut seseorang sebagai “Ustadz!” Padahal boleh jadi dia bukan ahli ilmu. Dia bisa saja ‘Abid, ahli ibadah. Atau juga Khothib, seorang yang fasih bicara. Atau bisa juga Katib, seorang yang pandai menulis.

Adapun ulama, adalah mereka yang benar-benar mengenal Alloh dan takut pada-Nya.

Seperti ‘alim yang menuntun sang pembunuh untuk bertaubat. Dia lelaki jernih yang penuh prasangka baik. Jika si Rahib lebih tertekan oleh kata “membunuh”, sang ahli ilmu lebih terkesan oleh kata “taubat”. Kebaikan itu memang belum wujud, tapi dia memperlakukan sang pembunuh dengan penuh cinta, mempercayai yang terbaik dalam dirinya, dan menjadikan lelaki itu mampu menyongsong jalan surga.

Itulah ulama. Dalam dekapan ukhuwah kita belajar dari mereka untuk takut kepada Alloh dan tak mudah-mudah memvonis pada sesama hamba. Dalam dekapan ukhuwah kita belajar untuk mengenali kebaikan yang mengintip, mempercayainya, dan memberinya kesempatan untuk tampil mengemuka.


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Sebab Baik Sangka adalah Cermin Hasilnya

hidup tidak dihitung dari jumlah nafas yang kita hirup
hidup, ternilai dari berapa kali nafas terhenti karena takjub dan anehnya
keajaiban justru hanya memberi kejutan, pada mereka yang percaya


IKLAN sebuah perusahaan pembiayaan di Amerika Serikat itu menarik.

Tergambar seorang bapak muda, berkulit hitam, pulang dari kerja di suatu petang sambil menenteng belanjaan. Ada banyak bahan untuk memasak yang dibawanya karena dia memang ingin memberi kejutan istimewa untuk keluarganya. Untuk makan malam nanti, dia akan menyiapkan sebuah masakan khas Italia yang baru saja dia tahu resepnya dari seorang kawan.

Sambil bersiul dan bernyanyi riang, dia mulai beraksi. Dipakainya celemek putih kesayangannya. Diraihnya pisau. Baru saja hendak mengambil asparagus dan jamur untuk diiris, tiba-tiba seekor kucing berbulu putih bersih datang, mengaum kecil dan menyenggol sebuah mangkuk. Ah, itu mangkuk berisi pasta tomat! Mangkuk itu meluncur jatuh ke tepi meja, berdebam di lantai, dan menghamburkan pasta berwarna merah darah ke segala arah. Lantai, celemek putih, dan wajah si bapak kini belepotan pasta. Si kucing pun terciprat di beberapa bagian tubuhnya.

Dengan sigap ditangkapnya kucing itu dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya masih memegang pisau. Tepat pada saat itulah seorang wanita, mungkin sang istri, membuka pintu dapur dan melihat ke arahnya. Si perempuan terpekik ketakutan. Yang dilihatnya tentu adalah darah yang berceceran di mana-mana, sementara si pria memegang pisau sembari mencengkeram leher seekor kucing, siap menjagalnya!

Pesan iklan itu bagus sekali. “Jangan terlalu cepat menilai!” ujar sang narator. “Kami tidak kok.”

YYY

Dalam perbincangan sebelum ini, kita telah belajar berprasangka baik kepada Alloh dan meyakini bahwa Dia menyertai prasangka hamba-Nya. Mari kita kuatkan lagi cara pandang itu sembari melatih baik sangka pada orang-orang yang ada di sekitar kita. Kadang, kita merasa mereka menyakiti. Tapi seringkali, sebenarnya mereka justru ingin membantu kita. Dengan prasangka baik, bantuan itulah yang akan kita rasa. Bukan rasa sakitnya.

Satu waktu, mungkin mereka memang malah menaburkan tanah ketika kita jatuh dan perlu uluran tangan. Bisa kacau memang. Tapi ya, begitulah. Dengan prasangka baik bisa saja guyuran tanah itu benar-benar menolong kita tanpa melukai dan menyakiti. Semuanya kembali ke soal cara pandang berdasar prasangka yang kita bangun. Seperti kisah tentang seekor keledai tua, milik seorang petani tua, yang pada suatu sore terperosok ke dalam sebuah sumur tua.

Petani itu begitu menyayangi keledainya, sahabat perjuangan selama belasan tahun menyambung hidup. Si keledai adalah andalannya untuk membajak ladang, menjerai benih, dan mengangkut panen. Kini, keledai itu meringkik-ringkik di dalam kegelapan sumur di bawah sana. Mungkin ia kesakitan, mungkin ketakutan, mungkin kebingungan. Maka dicobanya segala cara untuk menolong sang keledai agar bisa keluar.

Dia berpikir keras. Mula-mula disambarnya segulung tali. Diulurkannya ke bawah. Diteriakinya sang keledai agar menggigit tali itu. Ditariknya kuat-kuat, tapi dia justru terpelanting menarik utasan tali itu. Cara ini tak berhasil. Dilemparnya lagi ke bawah. “Ambil tali itu,” serunya, “Ikatkan ke tubuhmu! Akan kutarik kau ke atas!” Ini pun tidak bisa.

Lalu diikatnya tali itu membentuk laso. Diulurkannya ke bawah lagi. Diserunya sang keledai masuk ke simpulan laso. Ditariknya perlahan. Berat. Berat sekali. Dan sang keledai berseru-seru serak. Sepertinya dia kesakitan dan tersiksa. Oh itu, hanya bagian lehernya yang terjerat. Gagal lagi. Dicobanya segala cara dengan tali. Dan hasilnya masih nihil. Dia mulai merasa sia-sia dan tak berguna.

Menerawang sejenak, dilihatnya ada rumpun bambu di dekat situ.

Dengan golok, dipapasnya sebatang sedang yang tampak kuat. Lalu dia mencoba mengulurkannya ke dalam sumur. “Jepit bambu itu dengan kaki-kakimu!” teriaknya, ”Akan kuungkit kau naik!” Berulang-ulang dia mencoba mengungkit dan mengungkil. Dan selalu gagal. Segala cara dia kerahkan dengan bambu. Segala upaya dia coba. Sesekali dia padukan tali dengan bambu. Tapi semuanya nihil hasil. Dicobanya pula balok-balok kayu. Dengan segala rekadaya. Dan ia makin lelah. Dan harapnya makin menguap. Merembes keluar dari jiwa bersama keringat yang mengkuyupi pakaiannya.

Matahari makin rendah di barat sana, hari kian senja. Dan sang petani telah mengambil keputusan bersama keputusasaannya. Dia akan menimbun sang keledai. Biarlah si keledai tua beristirahat di sana. Rehat yang damai setelah belasan tahun pengabdian. Biarlah. “Keledaiku tersayang… Terima kasih atas persahabatan kita. Kini saatnya engkau beristirahat. Rehatlah dengan tenang.”

Matanya basah. Dadanya sesak. Tangannya tertahan. Tapi dia mulai mengayunkan cangkul. Setimbun demi setimbun tanah meluncur ke dasar sumur.

Si keledai marah ketika segenggam tanah pertama mengenai punggungnya. Ketika datang yang kedua meluncur berdebam, dia menghindar. Tapi kian lama, dia makin tahu apa yang harus dilakukannya. Dia mengangkat kakinya, naik ke atas tiap timbun tanah yang jatuh ke dasar. Kadangkala ia harus bergerak ke kanan atau kiri, menghindari bongkahan tanah yang meluncur bertubi-tubi. Atau menggoyang tubuhnya hebat-hebat, agar guyuran tanah yang menimpa punggungnya gugur ke bawah. Dan dia terus naik.

Tiap kali ada tanah mengguyur turun, dia naik ke atasnya. Tiap kali ada bongkahan meluncur jatuh, dia naik, dan terus naik.

Hingga senja tamat menjadi malam. Sang petani yang bersedih mengira bahwa dia telah sempurna menguburkan keledai kesayangannya. Dalam lelah, dalam payah, dalam duka yang menyembilu hati dia berbaring di samping sumur. Sejenak memejamkan mata, menghayati gemuruh dalam dadanya. Diam-diam, hatinya menggumamkan do’a. dan saat itulah, sang keledai meloncati tubuhnya dengan ringkikan bahagia, keluar dari sumur tanpa kurang suatu apa.

Itu keajaiban baik sangka.

Tugas kita adalah berbaik sangka. Bahwa yang seringkali kita anggap sebagai musibah, mungkin saja bukanlah musibah itu sendiri. Bahwa yang seringkali kita anggap sebagai penderitaan, bisa jadi adalah pertolongan Alloh dari jalan yang tak kita sangka-sangka. Bahwa sesama yang zhohirnya akan menyakiti, bisa jadi punya niat mulia di dalam hatinya. Bahwa kalaupun niatnya tak suci, kita tetap bisa mendapatkan kebaikannya. Dengan prasangka baik.

YYY

Dalam dekapan ukhuwah, kita mengembangkan berbagai sudut pandang untuk selalu berprasangka baik pada sesama. Seperti dilakukan seorang ‘alim bernama Tholhah ibn ‘Abdillah ibn ‘Auf. Tercatat dalam kitab Roudhotul ‘Uqola karya Imam Abu Hatim, bahwa suatu hari sang istri, ‘Aisyah binti ‘Abdillah ibn Muthi’ al-Aswad mengajaknya bicara. “Demi Alloh, hai saudaraku,” keluhnya, “Aku tidak pernah menemukan orang yang lebih buruk sifatnya dari sahabat-sahabatmu.”

Tholhah agak terkejut mendengar kata-kata istrinya. “Demi Alloh,” ujarnya, “Jangan sampai mereka mendengar kata-kata ini. Sifat buruk apakah yang kau maksud itu, Sayang?”

“Demi Alloh, sifat buruk itu tampak sangat jelas.”

“Apakah gerangan?”

“Jika engkau dalam keadaan senang,” kata sang istri, “Mereka datang dan menemuimu. Namun jika engkau susah, mereka menjauhimu.”

“Sebenarnya tidak seperti itu,” timpal Tholhah sambil tersenyum. “Aku justru melihatnya sebagai budi yang mulia.”

“Apa maksudmu menganggapnya sebagai budi yang mulia?”

“Memang demikian,” tegas Tholhah. “Mereka hanya berkunjung di saat kita sedang mampu menjamu. Saat kita sedang tidak sanggup menjamu, mereka memahaminya. Lalu mereka tidak datang kemari.”

Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Kisah tentang Luka

menghadapi orang sulit selalu merupakan masalah
terutama jika orang sulit itu adalah diri kita sendiri
jika kita merasa bahwa semua orang memiliki masalah dengan kita,
tidakkah kita curiga bahwa diri kita inilah masalahnya?


HARI ITU Madinah cerah. Tetapi wilayah perkampungan Khozroj terasa hiruk pikuk. Ada ratapan sayup-sayup. Ada yang hilir mudik mempersiapkan keperluan acara penyelenggaraan jenazah. Rupanya, salah satu tokoh Yatsrib sekaligus duri dalam daging yang paling menyakitkan bagi da’wah telah dipanggil Alloh ’Azza wa Jalla. Imam Ahmad mengisahkan peristiwa meninggalnya ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul itu melalui penuturan ‘Umar ibn Khoththob.

“Ketika ‘Abdulloh ibn Ubay meninggal,” demikian ‘Umar bercerita pada ‘Abdulloh ibn ‘Abbas seperti terekam dalam Musnad Ahmad, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam diminta kesediaan untuk mensholatkan jenazahnya. Ketika yang memohon adalah kawan-kawan ‘Abdulloh ibn Ubay yang munafiq, Rosululloh hanya diam. Mungkin beliau menanti izin dari Alloh. Namun, ketika putra si mayyit, ‘Abdulloh ibn ‘Abdillah datang, beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam segera menyanggupi.”

“Pada saat beliau sudah berdiri untuk memulai sholat jenazah,” lanjut ‘Umar, “Aku menghalangi beliau dan berdiri tepat di depannya. Aku berkata, “Wahai Rosululloh, apakah engkau akan sholat untuk jenazah musuhmu, yaitu ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul, yang pernah berkata, ‘Jika kita kembali ke Madinah, orang mulia pasti akan mengeluarkan orang yang hina!’? Ingatlah bahwa dia juga yang memfitnah dan menyebarkan berita dusta tentang ‘Aisyah dan keluargamu tercinta! Ingatlah bahwa dia yang menghasut Anshor untuk tak menolong Muhajirin agar mereka pergi! Ingatlah bahwa dia yang mengolok-olok Alloh, Kitab dan Rosul-Nya, serta mendirikan masjid Dhiror! Ingatlah bahwa dia yang membocorkan rahasia kepada musuh dan membelot lari ketika berperang!”

‘Umar dengan geram menyebut segala kejahatan ‘Abdulloh ibn Ubay. Banyak sekali, berangkai-rangkai tanpa putus. Sampai-sampai nafasnya memburu tak teratur.

Mendengar penuturan ‘Umar, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam hanya tersenyum. Beliau tetap hendak memulai takbir. Ketika ‘Umar bersikukuh menyatakan keberatannya, beliau berkata, “Mundurlah wahai ‘Umar! Aku telah diberi pilihan, dan aku sudah menetapkan pilihanku. Alloh menyatakan untukku:

Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka adalah sama saja. Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka sebanyak tujuhpuluh kali, namun Alloh sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka.” (Qs. at-Taubah [9]: 80)

“Hai ‘Umar”, lanjut Rosululloh, “Seandainya aku tahu bahwa jika aku memohon ampunan lebih dari tujuh puluh kali untuknya, maka Alloh akan mengampuni ‘Abdulloh ibn Ubay, niscaya pasti kulakukan.”

Lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tetap melakukan sholat jenazah, mengantarnya, dan berdiri memberi penghormatan di dekat kuburnya hingga usai. ‘Umar takjub pada kemuliaan akhlak Rosululloh dan kejelian beliau untuk berbuat lebih dari apa yang diisyaratkan oleh Alloh. Ketika Alloh berfirman, “Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka sebanyak tujuhpuluh kali, namun Alloh sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka”, maka Sang Nabi bertekad memohonkan ampun lebih dari tujuhpuluh kali agar ‘Abdulloh ibn Ubay bisa diampuni. Pantaslah jika Alloh sendiri yang memuji beliau, “Sesungguhnya engkau wahai Muhammad, berada di atas suatu akhlak yang agung.”

“Setelah peristiwa ini,” kata ‘Umar melanjutkan cerita, “Aku sangat terkejut atas sikap dan kelancanganku kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam kejadian itu, padahal Alloh dan Rosul-Nya lebih mengetahui hakikat masalahnya.”

Tetapi demikian pulalah ‘Umar yang agung, yang disebut Sang Nabi sebagai muhaddats, orang yang mendapat ilham dari Alloh. Pendapatnya seringkali dibenarkan dari langit. Setelah memberi kesempatan kepada Nabi-Nya untuk mensholatkan ‘Abdulloh ibn Ubay dan mempertunjukkan akhlak mulia beliau pada dunia, Alloh menurunkan firman-Nya yang membenarkan pendirian ‘Umar ibn al-Khoththob.

“Dan janganlah kamu sekali-kali mensholatkan jenazah seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri mendoakan di atas kuburnya.” (Qs. at-Taubah [9]: 84)

YYY

Siapakah ‘Abdulloh ibn Ubay?

Inilah kisah tentangnya pada suatu hari di tahun keenam Hijriah. Saat itu, Sang Nabi dan para shohabat baru pulang dari perang Bani Mustholiq dan singgah di Muroisi’, sebuah oase yang ditumbuhi banyak pohon kurma. Di tempat ini terdapat mata air milik Bani Mustholiq. Di sinilah Rosululloh dan rombongan mengambil air dan mengisi perbekalan mereka untuk pulang ke Madinah.

Adalah ‘Umar ibn al-Khoththob menyewa Jahjah ibn Mas’ud al-Ghifari untuk mengurus kudanya. Jahjah yang merasa mendapat amanah segera menghambur ke mata air. Dia ikut berdesak-desakan. Tak berapa lama, dia sudah saling serobot air dengan Sinan ibn Wabar al-Juhani dari kabilah Juhainah. Kabilah ini adalah kaum yang menjadi sekutu Bani Aus ibn Khozroj, orang-orang Madinah. Jahjah dan Sinan berebut air dan berkelahi.

Sinan berteriak memanggil bantuan, “Wahai orang-orang Anshor!”

Jahjah pun berseru meminta pertolongan, “Wahai orang-orang Muhajirin!”

‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul yang mendapat kabar pertengkaran ini naik pitam. “Apakah para Jalabib Quroisy itu telah bersikap demikian?” serunya murka. “Apakah mereka telah terlepas dari kita dan merasa lebih banyak dari kita di negeri kita sendiri? Demi Alloh, kita tidak membekali diri kita dan para hina dina Quroisy itu melainkan sebagaimana dikatakan oleh orang-orang terdahulu. ‘Gemukkanlah anjingmu, maka ia pasti memakanmu.’” Dia mendengus kesal.

“Oleh karena itu, demi Alloh,” lanjutnya, “Bila kita telah kembali ke Madinah, maka benar-benar orang yang mulia akan mengusir orang yang hina dari dalamnya.”

Kemudian ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul berpaling kepada orang-orang yang ada disekitarnya dan kepada setiap yang hadir dari kaumnya. “Inilah yang telah kalian perbuat terhadap diri kalian,” semburnya. “Kalian menyediakan negeri kalian untuk mereka. Kalian bagikan kepada mereka harta benda kalian. Demi Alloh, sekiranya kalian tidak memberikan sarana-sarana dan bantuan kalian kepada mereka, maka mereka pasti akan beralih kepada negeri lain, bukan ke negeri kalian!”

Zaid ibn Arqom, seorang bocah yang mendengar hal itu segera menuju ke tempat Rosululloh berada. Dia mengabarkan semua peristiwa yang disaksikannya dan setiap kata yang didengarnya. ‘Umar ibn al-Khoththob yang ada di sisi Sang Nabi berkata kepada beliau, “Perintahkanlah kepada ‘Abbad ibn Bisyir agar membunuhnya, ya Rosulalloh!”

“Lalu bagaimana, wahai ‘Umar,” jawab Sang Nabi, “Bila orang-orang berkata bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya? Tidak! Tapi sekarang serukanlah agar semua pasukan segera bertolak pulang.”

Dalam perjalanan, ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul segera menjajarkan kendaraannya di sisi Sang Nabi. Dia telah mendengar bahwa Zaid ibn Arqom melaporkan perkataannya tadi kepada Rosululloh. ‘Abdulloh ibn Ubay bersumpah dengan nama Alloh bahwa dia tidak pernah mengatakan seperti yang dilaporkan Zaid ibn Arqom. Apalagi dia termasuk orang yang dihormati dan tinggi kedudukannya di tengah kaumnya.

“Wahai Rosululloh,” demikian beberapa orang dari kalangan Anshor di dekat Sang Nabi mohon izin bicara, “Mungkin Zaid ibn Arqom si bocah itu telah salah dalam menyampaikan berita, dan dia tidak menyimpan dengan baik perkataan ‘Abdullon ibn Ubay.”

‘Abdulloh ibn Ubay melirik pada mereka. Dia tahu, mereka mengatakan hal itu sebagai rasa hormat kepadanya dan sebagai pembelaan. Tapi hatinya sakit. Kata-kata mereka justru terasa sebagai hinaan.

Sang Nabi hanya diam. Sunyi di sepanjang jalan.

Setelah ‘Abdulloh ibn Ubay dan kawan-kawannya memisahkan diri dari berkendara agak di belakang, Usaid ibn Hudhoir, pemuka Anshor, menjumpai Rosululloh dan mengucapkan penghormatan kepada beliau dengan salam kenabian. “Wahai Nabi Alloh,” ujarnya, “Sesungguhnya engkau telah bertolak pulang pada waktu yang sangat aneh. Tidak seperti biasanya engkau melakukan perjalanan seperti ini.”

“Belumkah sampai kepadamu kabar tentang sahabat kalian itu?”

“Teman yang mana?”

“’Abdulloh ibn Ubay.”

“Apa yang dikatakannya, ya Rosulalloh?”

“Dia,” kata Sang Nabi sambil memandang Usaid dengan teduh, “Menyangka bahwa sesungguhnya bila dia kembali ke Madinah, maka orang yang lebih mulia akan mengusir orang yang lebih hina darinya.”

“Dia benar, ya Rosululloh,” kata Usaid. “Demi Alloh, dia benar. Dan engkau, wahai Nabi, demi Alloh, pasti akan mengeluarkannya dari Madinah bila engkau menghendaki. Demi Alloh, dialah yang lebih hina dan lemah. Andalah yang lebih kuat dan perkasa!”

Wajah Usaid ibn Hudhoir memerah. Dia tak rela Nabinya dihinakan. Tetapi kemudian dia berusaha tenang kembali. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah Sang Nabi. Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tersenyum padanya dan menganggukkan kepala.

“Wahai Rosululloh,” kata Usaid dengan nada iba, “Kumohon bersikap lembutlah kepada ‘Abdulloh ibn Ubay. Karena, demi Alloh, kami telah dilimpahi nikmat dengan diutusnya engkau kepada kami. Adapun dia, tepat sebelum kedatanganmu kepada kami, maka kaumnya telah menata permata pada sebuah mahkota untuk dipakaikan ke atas kepalanya sebagai penguasa. Sungguh, kurasa dia memandang kedatanganmu telah merampas haknya untuk menjadi raja.”

Kini kita tahu. ‘Abdulloh ibn Ubay adalah orang yang terluka.

YYY

Seorang gembala suatu hari merauti kayu dengan pisaunya. Kemarin, tongkat yang biasa dipakainya untuk menghalau dan mengatur ternaknya patah. Kayu yang disisiki itu adalah bakal tongkat baru.

Di tengah keasyikannya mengukir hiasan pegangan tongkat barunya, salah satu dombanya tiba-tiba memekik-mekik. Domba itu melompati kawanannya dan lengkingannya makin nyaring tiap kali dia menapakkan kakinya ke tanah. Kawanan domba itu kisruh kalang kabut. Sementara si pembuat onar terus mengacau. Dalam keriuhan, larinya kian cepat. Akhirnya dia menghambur menubruk tuannya dengan jerit menyayat hati. Sang gembala terpelanting kaget. Pisau di tangannya terlempar dan seurat serat kayu menyelusup ke dalam jari telunjuknya.

Sang domba terguling-guling, lalu bangkit. Lalu tenang. Dia mulai berjalan lagi, sedikit pincang, namun tak lagi kesetanan. Sang gembala marah dan menghalaunya dengan pukulan. Dia tak tahu penyebab kehebohan barusan. Dia tak sadar bahwa sebuah paku berkarat yang tadi menancap di kaki sang domba kini tergeletak di dekatnya.

Dan dia meraut lagi. Tak peduli pada telusuk kayu yang merasuki jarinya. Pasti sakit jika dicabut, pikirnya. Biarkan saja.

Hari berganti dan selusup itu mulai membuat jarinya bengkak, meradang, dan menggembung nyeri. Sakit sekali. Dia berteriak mengaduh tiap kali sesuatu menyentuhnya. Bahkan tiap kali berjabat tangan dengan rekan, dia meringis kesakitan, marah, dan menyumpah serapahi mereka.

“Aaw… Sakit sekali!” jeritnya.

YYY

Ketika seseorang yang terluka menyerang, tindakan itu lebih merupakan tanggapan atas apa yang terjadi di dalam diri mereka. Apa yang terjadi di dalam diri itu jauh lebih memberi pengaruh daripada apa yang terjadi di luar sana. Mereka sedang merasa, atau percaya, bahwa ada hal buruk dan menyakitkan yang terjadi di dalam diri mereka sendiri.

“Kau tahu John,” ujar seorang kawan kepada John C. Maxwell seperti diabadikan dalam bukunya Winning with People, “Orang terluka melukai orang lain. Ketika seseorang mengatakan, atau melakukan sesuatu yang menyakitkan, kau perlu memeriksa lebih dalam. Kau perlu melihat hingga ke bawah permukaan.”

Dalam kisah ‘Abdulloh ibn Ubay, kata-kata Usaid ibn Hudhoir sungguh bijaksana.

Orang-orang terluka, seperti cerita tentang gembala yang kena telusukan, merasakan sakit bukan karena apa yang sedang terjadi di luar memang menyakitkan. Dia merasakan sakit itu karena dia sedang terluka. Lukanya bengkak dan bernanah. Tak beda, apakah luka itu kini terkena palu, tersentuh jari, ataupun belaian saputangan beludru, semua terasa menyakitkan. Mereka menjerit. Mereka menanggapi di luar batas kewajaran, melebih-lebihkan, dan bertingkah dengan rasa terancam yang begitu tinggi. Orang-orang terluka dalam sejarah da’wah adalah orang-orang munafik, seperti ‘Abdulloh ibn Ubay. Alloh menggambarkan sifat mereka ini dengan ungkapan yang indah.

“Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.” (Qs. al-Munafiqun [63]: 4)

Kesalahan terbesar dari orang-orang terluka adalah mereka tak segera menyembuhkan luka lamanya. Telusukan yang mengganggu itu dibiarkan. Jadilah orang-orang yang terluka itu sebagai mereka yang enggan berubah. Andai saja, ‘Abdulloh ibn Ubay lapang dada menerima kehadiran Rosululloh dan mengakui keutamaan-keutamaan beliau, pastilah dia telah menjadi pemuka Anshor yang paling utama.

Tetapi dia memilih menikmati lukanya. Dia merawat baik-baik telusukan itu agar tetap berada di dalam kulitnya. Dia kian kemari menampilkan kesakitannya dengan segala cara. Dia menanggapi uluran tangan Rosululloh yang hendak membimbingnya ke jalan hidayah dan kemuliaan dengan raungan kepedihan. Dia menyambut uluran lembut Sang Nabi dengan jeritan kesakitan. Dia selalu melebih-lebihkan dan bertingkah dengan rasa terancam yang begitu tinggi.

“Orang terluka,” kata John C. Maxwell, “Juga sulit menerima kegagalan.” Semua ketidakberesan dalam kehidupan yang sebenarnya bersumber dari lukanya tidak disikapi sebagai pelajaran berharga. Dia selalu menemukan orang, pihak, kelompok, benda, atau apapun yang menurutnya telah menjadi sebab dari segala kepahitan. Telusukan itu masih ada di sana, mengeram dalam diam namun mendatangkan kuman-kuman. Tapi tiap orang yang menyalaminya dituduh sebagai sumber siksaan. “Kalian menyakitiku,” erangnya.

Orang terluka kurang suka membahas persoalan. Mereka tak tertarik untuk memperbincangkan akar masalah. Yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka kesakitan. Rasa tersiksa itu disebabkan seseorang telah menyentuh luka mereka, entah dengan cara apa. Mereka selalu memandang dirinya sebagai korban. Rasanya pedih. Dan bagi mereka, orang-oranglah yang salah. Selesai.

Lebih lanjut, orang terluka tak terlalu suka belajar dari orang lain. Itu akibat dari menganggap bahwa orang lain bersalah dan menyakiti dirinya. Dia juga enggan bertindak. Dia tak terpengaruh melakukan sesuatu untuk menghadapi berbagai masalahnya dan memecahkannya. Ya. Karena dia menganggap semua ini bukan salahnya. Seharusnya orang lain yang telah menyakitinya itu yang bertindak terlebih dahulu. Seharusnya mereka yang meminta maaf. Seharusnya mereka yang memberi hadiah. Seharusnya mereka yang mengerjakan tugas. Seharusnya mereka yang menanggung biaya. Seharusnya mereka.

Begitulah. Apakah kita termasuk orang-orang terluka?

YYY

Ke mana perginya orang-orang terluka?

Awal-awal, orang terluka akan menjadi pengecut yang memalukan. Mereka adalah orang yang jika berkata maka berdusta, jika berjanji maka ingkar, jika dipercaya maka khianat, jika berembug maka menjilat, dan jika bertengkar maka tindakannya melampaui batas.

Inilah kisah mimpi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menjelang Perang Uhud.

“Demi Alloh, aku telah bermimpi,” kata beliau. “Sebuah mimpi yang baik. Dalam mimpi itu kulihat beberapa ekor lembu yang disembelih. Lalu bagian mata pedangku ada yang rompal, dan aku memasukkan tanganku ke dalam baju besi yang kokoh.” kata beliau mengawali musyawarah dengan para shohabat setelah menerima kabar teliksandi tentang pergerakan tiga ribu wadya Quroisy dari Makkah.

Ta’wil atas mimpi ini diabadikan Syaikh Shofiyurrohman al-Mubarokfuri dalam ar-Rohiiqul Makhtuum. Beberapa ekor lembu yang disembelih berarti beberapa shohabat beliau akan terbunuh syahid. Mata pedang yang rompal berarti anggota keluarga beliau akan mendapat musibah. Dan baju besi yang kokoh itu adalah kota Madinah.

Dengan mimpi itu beliau mengusulkan kepada majelis untuk mengambil strategi bertahan di dalam kota Madinah. Ini akan membuat musuh bimbang. Jika mereka mengepung tanpa masuk, kondisi akan dibiarkan mengambang. Jika mereka menyerbu masuk maka kaum Muslimin bisa menyergap mereka di mulut-mulut gang dan para wanita bisa menyerang dari atap-atap rumah.

Yang penuh semangat mendukung ide Rosululloh ini adalah seorang pemuka Khozroj yang anggun dan elegan. Penampilannya menawan, bicaranya memikat hati. Disokongnya beliau dengan argumen-argumen yang meyakinkan. Diyakinkannya para shohabat dengan menyebut-nyebut keutamaan Rosululloh dan keutamaan mengikuti isyarat agung dalam mimpi beliau yang mulia. Namanya, lagi-lagi, adalah ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul.

“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka bicara, kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh yang sebenarnya, maka waspadalah terhadap mereka; semoga Alloh membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan dari kebenaran?” (Qs. al-Munafiqun [63]: 4)

Tetapi coba bayangkan perasaan beberapa shohabat yang tidak sempat ikut serta dalam Perang Badar? Hati mereka bergolak rindu untuk mendapatkan kemuliaan dari Alloh. Dalam kalimat yang menggebu-gebu mereka berkata, “Ya Rosululloh. Sejak dulu kami sudah menanti-nanti dan berharap akan datangnya hari seperti ini. Kami selalu berdo’a kepada Alloh untuk itu. Kini, Alloh telah menuntun kami dan tempat yang dituju sudah dekat. Keluarlah, ya Rosululloh, untuk menyongsong mereka! Jangan sampai mereka menghinakan Alloh dan Rosul-Nya karena menganggap kita takut pada mereka!”

“Beraninya kalian,” hardik ‘Abdulloh ibn Ubay, “Menyelisihi perintah seorang Nabi!”

“Diam kamu, Ibnu Ubay!”, sambut Hamzah ibn ‘Abdul Mutholib, paman kecintaan Rosululloh. “Ya Rosululloh,” ujarnya, “Demi yang menurunkan al-Kitab kepadamu dengan kebenaran, aku tidak akan memberikan makanan sampai bisa membabat mereka dengan pedangku ini di luar Madinah!”

“Demi Alloh,” ujar ‘Abdulloh ibn Ubay, “Celaka dan kehinaan bagi kalian! Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu urusan, lalu kalian menentangnya dengan mengikuti hawa nafsu. Sungguh urusan kalian ini takkan diberkahi dan kalian pasti kembali dengan membawa kehancuran!”

Perdebatan masih panjang. ‘Abdulloh ibn Ubay habis-habisan membela mimpi Sang Nabi.

Tetapi akhirnya Rosululloh mengalah. Beliau mengikuti pendapat para shohabat. Mereka menyongsong musuh di Uhud. Dan seperti telah kita fahami, perang ini berakhir dengan kekalahan kaum Muslimin sampai-sampai beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terluka, dan Hamzah gugur bersama tujuhpuluh orang shohabat yang lain.

Adakah Rosululloh kemudian mengeluh dengan berkata, “Kalau saja kalian ikuti apa yang kukatakan… Kalau saja kita bertahan di Madinah… Kalau saja mimpi kenabianku kalian percayai…!”

Tidak.

Hanya ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul yang bersikap begitu. Dia berkata, “Binasalah kalian karena tidak menaati Rosululloh dan membantah pendapatnya!” Tetapi ada apa dengannya? Menjelang barisan sampai ke Uhud, bukankah ia membawa sepertiga pasukan untuk membelot dan kembali ke Madinah? Ya. Peperangan tidak termasuk hal yang disukainya. Ia sangat menyayangi nafasnya. Bahkan dukungan atas pendapat Sang Nabi untuk bertahan di Madinah hanyalah agar dia bisa menghindarkan diri dari pertarungan dan tumpahnya darah tanpa terlihat mencolok.

YYY

Di saat lain, orang-orang terluka menjadi para pengeluh yang fasih dan penuh penjiwaan. Dalam dekapan ukhuwah, orang-orang mukmin mengeluh hanya kepada Alloh. Mereka bagai Ya’qub yang dalam surat Yusuf ayat ke-86 berkata, “Sesungguhnya hanya kepada Alloh aku mengadukan kesusahan dan kesedihan, dan aku mengetahui dari Alloh apa yang kamu tidak mengetahuinya.”

Adapun orang-orang terluka, suka mengeluh pada manusia. Padahal, sembarangan mengeluh itu berbahaya. Seperti kisah tentang seorang ibu yang baik di keluarga penjahit.

Satu hari dia berbelanja ke pusat kota, dan dibelikannya celana panjang untuk anak lelakinya tercinta. Seusai belanja, diapun bergegas pulang. Sang anak dengan suka cita mencoba celana itu sementara si ibu pergi ke dapur membereskan belanjaan dan mempersiapkan makan malam. Tak berapa lama, terdengar teriakan keras.

“Ibu ini bagaimana sih? Masak beliin aku celana kepanjangan begini! Kan jelek banget kelihatannya!”

“Ooh… Tapi lingkar pinggangnya gimana, kebesaran nggak?”

“Ya enggak. Tapi kalau kepanjangan begini aku nggak mau pakai!”

“Berapa senti lebihnya?”

“Sepuluh senti!”

Remaja tanggung belasan tahun itu sepertinya pergi keluar. Pintu depan terdengar dibanting. Sang ibu geleng-geleng kepala. Tak ingin mendengar omelan putranya lagi, dia bergegas menuju ruang kerja suaminya yang seorang penjahit. Diambilnya gunting. Lalu kres, kres, kres. Dipotongnya ujung bawah celana itu sesuai ukuran lebih yang disebutkan anaknya. Lalu dengan jarum dan benang, celana bahan berwarna hitam itu di-sum ujungnya. “Beres,” katanya sambil tersenyum.

Si anak lelaki pergi ke halaman samping. Di sana ada kakak perempuannya yang sedang merawat kaktus-kaktus koleksinya. Di beberapa pot lain juga ada kamboja Jepang, bonsai dari pohon serut, dan aneka bunga.

“Kok cemberut?” tanya sang kakak sambil tersenyum. “Kenapa?”

“Ibu tuh, mbak. Masak beliin celana nggak ngerti ukuranku. Kepanjangan sepuluh senti. Jelek banget dilihatnya!”

“Oh, gitu aja ngambek. Perbaiki sendiri kan bisa. Sana, gih! Daripada nggak jelas gitu.”

“Malas ah. Mau main bola dulu ke lapangan.”

Si adik berlalu menuju garasi. Sang kakak yang telah selesai merawat tanaman hiasnya segera menuju ruang dalam. Melewati ruang kerja ayahnya yang kosong, dilihatnya ada celana baru. “Oh itu celana yang kepanjangan,” gumamnya. Disempatkannya memeriksa sejenak. Lalu gunting pun beraksi, kres, kres, kres. Tak lupa dijahit ulangnya ujung celana itu dengan jarum dan benang yang tersedia.

Si adik kini sudah duduk di jok sepeda motor bebeknya. Dicarinya kunci kontak. Tidak ada. Kuncinya pasti dibawa kakak lelakinya. Ditemuinya si kakak di kamar tidur.

“Mas,” katanya sambil mengguncang bahu kakaknya. “Pinjam motor dong!”

“Mau ke mana?” tanya si kakak sambil mengucek mata.

“Main bola.”

“Jiah… Tumben anak cemen mau main bola!”

“Yah, daripada suntuk di rumah gara-gara dibeliin celana kepanjangan sepuluh senti.”

Kakaknya tertawa, “Siapa yang beliin?”

“Ibu.”

“Ya udah. Buat aku aja kalau kepanjangan.”

“Enak aja. Kan bisa diperbaiki. Lagian lingkar pinggangnya pas kok.”

“Tuh, kuncinya di meja.”

“OK deh.”

Si kakak menggeliat lalu bangun dari pembaringan.. tidur siangnya sudah cukup. Agak sempoyongan dia bangun dan menuju kamar mandi. Sempat mampir ruang makan dan menyambar pisang goreng, dia melirik sekilas ke ruang kerja ayahnya yang terbuka. “Oh itu celana yang kepanjangan,” gumamnya. Dengan gontai, dia menuju ke arah celana itu. Sambil sesekali masih menguap dan matanya terasa berat, diambilnya gunting dan, kres, kres, kres. Dipotongnya celana itu sepuluh senti. Dijahit ulang ujungnya. Dan beres. Sang kakak pergi mandi.

Si adik baru akan menyalakan motor ketika sang ayah muncul dari pintu pagar. Agaknya baru pulang dari rumah tetangga.

“Mau ke mana?”

“Main bola, pak.”

“Eh, sebentar. Bapak mau pakai motornya dulu. Mau beli kancing hias untuk baju pesanan seragam TK.”

“Wah, nanti ketinggalan dong sepakbolanya.”

“Ya sudah, sana. Tapi jangan lama-lama.”

“Wah nggak bisa, pak. Untuk menghilangkan suntuk gini, harus lama main bolanya. Sampai capek!”

“Suntuk kenapa?”

“Ibu tuh. Masak beliin celana ukurannya kepanjangan sepuluh senti. Kan nggak enak banget dipakainya.”

“Nanti biar bapak betulin.”

“Nah, itu baru bagus.”

“Berangkat dulu ya, pak.”

“Ya, hati-hati.”

Si bapak masuk ruang kerjanya. Dilihatnya celana baru yang teronggok di situ. “Oh, jadi celana barunya model selutut? Ini memang kepanjangan sepuluh senti kalau mau model selutut.” Maka kres, kres, kres. Celana itu dipotong lagi, dan dijahit ulang. Menjelang maghrib, ketika si anak pulang terdengar teriakan membahana, “Aaa… Celana panjangnya kok tinggal selutut?”

YYY

Dalam dekapan ukhuwah, mari sembuhkan luka-luka kita. Apalagi jika kita merasa terluka oleh orang-orang sholih dan para insan beriman. Waspadalah. Karena luka itu bisa memicu kebencian kita pada iman dan kesholihan. Seperti yang terjadi pada ‘Abdulloh ibn Ubay dan orang-orang munafik. Maka jangan pernah melupakan do’a yang diajarkan Alloh pada kita. “Dan janganlah engkau jadikan ada rasa ghill di hati kami kepada orang-orang beriman, wahai Robb kami. Sesungguhnya Engkau Mahalembut lagi Maha Penyayang.”

Melenyapkan perasaan tak nyaman pada sesama peyakin sejati dengan do’a itu menjelang tidur, telah membuat seorang shohabat tak dikenal yang amal-amalnya sama sekali tak istimewa, dijaminkan surga oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.

Dalam dekapan ukhuwah, jadilah orang yang mau berubah, mampu menerima kegagalan, bersedia membahas persoalan, bisa belajar dari orang lain, dan siap melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah.

Dalam dekapan ukhuwah, hindarkan diri dari kepengecutan dan mengeluhlah hanya pada yang mampu memberikan penyelesaian. Katakan saja, “Ya Alloh, aku punya masalah besar.” Dan sebagai variasi yang manis, terkadang ucapkan juga, “Hai masalah, aku punya Alloh Yang Mahabesar!”


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media