Kamis, 13 Juni 2019

“Mengembangkan Ofensif Revolusioner sampai ke Puncaknya”

Setidak-tidaknya sejak bulan Agustus 1965, PKI secara sistematis mengadakan build-up mental, terutama di kalangan ormas-ormas serta simpatisan-simpatisannya. Dalam hal ini, mereka mempergunakan media komunikasi-massa yang boleh dikatakan telah mereka kuasai. Karena mereka telah dapat menduduki posisi-posisi menentukan di dalam Kantor Berita ANTARA, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Radio Republik Indonesia (RRI).

Instruksi pimpinan PKI dalam rangka build-up itu adalah “Mengembangkan ofensif revolusioner sampai ke puncaknya, dengan mempercepat persatuan dan aksi-aksi massa mengganyang kabir, pencoleng, dan koruptor, melawan tuan tanah jahat, serta imperialisme Amerika Serikat”, seperti yang misalnya termaktub di dalam instruksi bersama berkenaan dengan ulang tahun BTI-SOBSI-PR. (Harian Rakyat; Senin, 27 September 1965). Juga dalam sambutan tertulis CC PKI kepada Sidang Pleno III Pengurus Besar Gerakan Pemuda Indonesia di Surabaya, terdapat pernyataan, bahwa “Kewajiban setiap revolusioner di dalam negeri kita dewasa ini memperhebat ofensif revolusioner di segala bidang untuk mengembangkan situasi revolusioner sampai ke puncaknya, yaitu sampai kepada dibersihkannya sama sekali kaum kabir, pencoleng, dan koruptor dari semua pimpinan aparatur politik, ekonomi, dan keuangan.”

Sebagai contoh dari pada build-up mental itu dapat ditemukan cukilan-cukilan daripada pidato-pidato PKI beserta ormas-ormasnya serta simpatisan-simpatisan serta tulisan-tulisan di dalam pers yang mereka kuasai atau pengaruhi. Tajuk Harian Rakyat, 4 September 1965 berbunyi sebagai berikut: “... Mereka menyebarkan kampanye seakan-akan PKI mau coup. Sesungguhnya mereka sendirilah yang mencipta menyiapkan coup itu.”

D.N. Aidit di depan sukarelawati Departemen Penerangan pada tanggal 9 September 1965 antara lain mengatakan, “... Kita berjuang untuk sesuatu yang pasti akan lahir. Kita kaum revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi pasti lahir dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi cepat jadi besar.”

Dan di depan sidang Dewan Nasional SOBSI tanggal 14 September 1965, D.N. Aidit mengatakan, “Yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota.” “Kalau revolusi mau tumbuh dengan subur, kita harus menyingkirkan kaum dinasti ekonomi/kabir dan setan kota dari segenap aparatur politik dan ekonomi negara.” Dan di hadapan Sidang II Dewan Nasional SOBSI dikatakannya, “Daerah-daerah siap melancarkan aksi setan-setan kota.”

Pada tanggal 22 September 1965 —di hadapan karyawan BNI, dikatakan oleh Aidit, “... Kabinet sekarang belum Nasakom. Hanya mambu (berbau) Nasakom.” Dan pada tanggal 26 September 1965 dikatakannya kepada SARBUPRI, “... Jangan hanya berjuang untuk catu ikan asin. Tetapi berjuang juga naar de politieke macht; jangan mau jadi landasan, jadilah palu godam.” “... Perjuangan untuk kabinet Nasakom dengan menteri-menteri yang dikenal dan dicintai dan didukung rakyat.” “... Mereka hidup dari distribusi kewibawaan dari Bung Karno.” “... Kaum proletar tidak akan kehilangan sesuatu apapun kecuali belenggu mereka.”

Moh. Munir; Ketua Umum SOBSI; pada tanggal 26 September 1965 berkata kepada SARBUPRI: “Jadikanlah kebun-kebun untuk markas pertahanan.” Dan pada tanggal 27 September 1965, D.N. Aidit berkata kepada anggota-anggota IPPI: “Hati kita lebih daripada lapar. Kita tidak akan menyerahkan nasib kita kepada setan kota. Kita akan ganyang dan kalahkan setan kota.”

Dan A. Karim D.P. pada tanggal 29 September 1965 berkata, "... Juga di tanah air kita, jika ada kekuatan yang coba-coba ingin mengalahkan kekuatan rakyat dengan coup atau cara apa pun, juga pasti akan mengalami kegagalan.” Dan tajuk Harian Rakyat tanggal 30 September 1965 dengan penuh ancaman berbunyi antara lain, “... Dengan menggaruk kekayaan alam, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik yang jahat terhadap pemerintah dan revolusi.” “... Mereka harus dijatuhi hukuman mati di muka umum. Soalnya, tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil.”

Pada tanggal 29 September 1965, di hadapan para peserta Kongres III CGMI, D.N. Aidit antara lain berseru, “... Mahasiswa Komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat, berbuat, berbuat! Bertindak dan berbuat dengan berani, berani. Sekali lagi, berani!”

Anwar Sanusi; Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Front Nasional dan seorang pemimpin PKI dalam pidatonya di hadapan para sukarelawan BNI pada tanggal 29 September 1945 antara lain berkata, “... Kita sedang berada dalam situasi dimana Ibu Pertiwi berada dalam hamil tua. Sang bidan siap dengan alat yang diperlukan untuk menyelamatkan sang bayi yang sudah lama dinanti-nantikan. Sang bayi adalah kekuasaan politik yang sudah ditentukan dalam Manipol. Sang bidan adalah masyarakat Manipolis. Sukwan adalah salah satu alat penting di tangan sang bidan. Ada segelintir setan yang mengancam keselamatan Ibu Pertiwi dan sang bayi yang akan dilahirkan.”

Dalam rangka build-up itu telah pula disebarkan fitnah yang kemudian dikemukakan selaku dalih bagi percobaan kudeta kontra-revolusioner “Gerakan 30 September”, yakni fitnah bahwa dalam lingkungan Angkatan Darat terdapat sebuah “Dewan Jenderal”. Apa yang dinamakan “Dewan Jenderal” itu digambarkan sebagai gerakan subversif yang disponsori oleh CIA (Central Intelligence Agency; Amerika Serikat).

Hingga saat ini, tidak pernah diajukan bukti-bukti bahwa “Dewan Jenderal” itu memang ada, baik berupa keterangan saksi maupun berupa dokumen-dokumen. Tidak pula pernah diajukan bukti-bukti yang membenarkan bahwa setidak-tidaknya ada sekelompok Jenderal yang bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Pemimpin Besar Revolusi; Bung Karno.

Belakangan ini dilancarkan keterangan, bahwa berita mengenai adanya “Dewan Jenderal” itu bersumber kepada 4 orang, yakni tiga orang Perwira Angkatan Darat dan seorang pejabat penting sipil. Dua orang diantara perwira-perwira Angkatan Darat serta pejabat sipil itu menyangkal, bahwa mereka telah mengetahui, mendengar, memperbincangkan, atau melaporkan mengenai “Dewan Jenderal” itu. Perwira yang seorang lagi menyatakan, bahwa ia mendengar istilah “Dewan Jenderal” itu dari seorang mahasiswa Universitas Merdeka di Malang. Mahasiswa itu pada permulaan bulan Agustus telah mengunjungi suatu rapat yang diselenggarakan oleh Pemuda Rakyat Gubeng, Surabaya. Rapat itu membahas soal-soal “Dewan Jenderal”. Dan sepulang dari rapat itu, mahasiswa tersebut menanyakan perihal “Dewan Jenderal” itu kepada perwira tersebut. Dengan demikian, sumber mengenai adanya “Dewan Jenderal” itu kembali kepada PKI atau ormas-ormasnya juga.

Kampanye mengenai “mengembangkan situasi revolusioner” dan mengenai “Dewan Jenderal” itu ternyata juga dilancarkan di daerah-daerah pada waktu yang bersamaan. Terbukti dari laporan lima partai politik (PNI, NU, Partai Katolik, Parkindo, dan IPKI) di Bali ke hadapan PJM Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi mengenai persiapan dan kegiatan petualangan kontra-revolusi “G-30-S”. Tertulis antara lain di dalam laporan itu, “... mulai dilancarkan kampanye tentang “Dewan Jenderal” dan keharusan lahirnya bayi dari revolusi yang sudah hamil tua. Dan secara terang-terangan sedang memacankertaskan pemerintah dan menteri-menteri yang dianggap sebagai distribusi kekuasaan dan wewenang Bung Karno.”

Sesungguhnya build-up mental itu sudah dimulai agak lama, sebaiknya sebelum bulan September 1965. Laporan Politik D.N. Aidit kepada Sidang Pleno IV CC PKI yang diperluas tanggal 11 Mei 1965 merupakan bukti yang nyata. Judul laporan itu adalah “Perhebat ofensif revolusioner di segala bidang”.



Dalang dan Wayang "G.30.S"

Dalam interogasi pertama kepada eks-Letnan Kolonel Untung di ajukan pertanyaan sebagai berikut: “Bahwasanya kenyataannya di dalam gerakan ini yaitu gerakan yang tidak begitu gampang dan suatu gerakan yang besar, tentunya ada yang di belakang Saudara. Siapa yang mendalangi atau di belakang gerakan ini?”

Untung menjawab dengan singkat: “Yang di belakang saya adalah PKI!”

Beberapa fakta yang terkumpul menunjukkan hal-hal sebagai berikut: Laporan dari Kalimantan Selatan menyatakan, bahwa sudah pada jam 09.00 tanggal 1 Oktober 1965, anggota CDB PKI; Hanafiah; mendesak kepada Panglima KODAM supaya menerima pencalonan sebagai anggota “Dewan Revolusi”. Padahal pengumuman mengenai “Dewan Revolusi” lewat RRI Jakarta baru disiarkan pada jam 13.00.

Berita acara terhadap Sukirman (eks-Kepala RRI Jakarta) menyatakan, bahwa Tjugito (anggota CC PKI) pada tanggal 30 September 1965 jam 23.00 mengatakan kepadanya:
“...Bahwa demonstrasi ganyang kabir oleh kekuatan Nasakom kemarin dulu (tanggal 28 September) akan diteruskan rakyat poros Nasakom. Kalau ini berhasil, sifat parade 5 Oktober akan berubah sifatnya. Di samping ABRI, akan turut parade satu Divisi Rakyat yang akan dipersenjatai. Bahkan mengingat situasi ekonomi sekarang, gerakan ganyang kabir ini mungkin sekali akan bergerak malam ini sudah.”

Laporan dari Asisten I Koanda Indonesia Timur dari Makassar menyatakan, bahwa CDB PKI Aminuddin telah mengetahui tentang “G-30-S” sebelumnya. Sedangkan laporan-laporan kepada Jenderal Soeharto menunjukkan, bahwa pemimpin-pemimpin PKI pada tanggal 1 Oktober 1965 itu tidak ada di tempat.

Interogasi terhadap eks-perwira ABRI yang ikut di dalam “G-30-S” menunjukkan dengan jelas pendalangan PKI terhadap gerakan ini, sehingga terbukti bahwa para perwira itu semata-mata menjadi wayang belaka di dalam permainan ini. Cara-cara mereka mendalangi gerakan itu juga menjadi jelas.

Menurut eks-Letnan Kolonel Untung, PKI menugaskan kader-kadernya untuk mendampingi para perwira yang menjadi simpatisan partai. Ketika di Semarang, Untung didampingi oleh seorang kader PKI bernama Sudarmo selaku pembinanya. Setelah ada di Jakarta, pembinanya adalah Sujono (jangan keliru eks-Mayor Udara Sujono). Di Jawa Timur —menurut eks-Lettu Ngadimo, pembina-pembinanya adalah seseorang yang nama samarannya Soma dan seorang lagi berkacamata putih yang tidak diketahui namanya.

Dalam mempersiapkan kudeta di Jakarta sendiri, yang menjadi dalangnya adalah seseorang yang bernama Sjam dan Supono. Pendalangan itu jelas kentara dari keterangan eks-Letnan Kolonel Untung. Pada awal bulan September, Untung diberitahu oleh Sujono (pembinanya) bahwa ia akan dipertemukan dengan eks-Kolonel Latief (Komandan Brigade Infanteri I KODAM/Djaja) dan eks-Mayor Udara Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU Halim). Dalam pertemuan itu akan dibicarakan suatu rencana gerakan yang perlu diadakan, berhubung dengan adanya rencana “Dewan Jenderal”.

Dalam pertemuan itu —yang kemudian ternyata adalah rapat pertama dalam serangkaian rapat gelap guna mempersiapkan “G-30-S”— yang diselenggarakan di rumah Kapten Wahjudi pada tanggal 3 September 1965, hadir pula Sjam dan Supono. Dalam pertemuan itu yang terutama sekali memberikan briefing adalah Sjam. Pokok isinya adalah mengenai adanya “Dewan Jenderal” yang mau mengadakan coup. Untuk menggagalkan coup itu, mereka harus melancarkan sesuatu gerakan.

Cara penunjukan pemimpin gerakan pada rapat tanggal 19 September juga merupakan petunjuk jelas mengenai siapa sesungguhnya yang berkuasa di dalam komplotan itu. Kita ikuti perkataan eks-Letnan Kolonel Untung sebagaimana telah diucapkannya sendiri:
... Selanjutnya, rapat menanyakan kepada Sjam dari CC PKI, yaitu “Siapakah yang akan memimpin gerakan ini seluruhnya nanti?” Dijawab oleh Sjam, bahwa yang akan menjadi pimpinan seluruh gerakan adalah saudara Letkol Untung. Dengan spontan saya tanya lagi pada Sjam, yaitu “Kenapa saya?” Dijawab Sjam, “Pertimbangan ini diambil pertama Saudara itu tidak dikenal di sini dan orang baru. Ada suatu hal yang baik, bahwa Bung Untung itu adalah pengawal pribadi PJM Presiden RI. Jadi, tema pertama dari gerakan kita ini adalah menyelamatkan PJM Presiden RI; Bung Karno. Hubungan rencana selanjutnya, bahwa pangkat yang tertinggi nantinya adalah Letnan Kolonel seperti Bung.” Kemudian saya tanyakan lagi, “Apakah tidak ada orang lain yang lebih tinggi atau lebih pantas dari saya sebagai pimpinan gerakan ini.” Usulan saya ini juga disokong oleh eks-Mayor Udara Sujono yang mengatakan lebih baik ditunjuk menjadi pimpinan gerakan ini adalah orang yang lebih tinggi dan pantas. Lantas Saudara Sjam menjawab, “Sudah baik Saudara Untung saja yang jadi pimpinan gerakan itu. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan saya tadi.” Demikian kesaksian eks-Letnan Kolonel untung mengenai penunjukan dirinya selaku pimpinan “G-30-S” oleh Sjam.

Pada suatu ketika eks-Letnan Kolonel Untung oleh interogator diberi pertanyaan sebagai berikut: “Dalam penjawaban yang Saudara berikan kepada pemeriksa, seakan-akan semua ketentuan yang diberikan oleh Saudara Sjam dari CC PKI seolah-olah ditelan saja dengan tidak ada bantahan atau reaksi atau tidak ada suatu lertanyaan kenapa begitu walaupun ketentuan yang diberikannya Saudara Sjam itu tidak diterima fikiran Saudara. Apakah yang menyebabkan hal ini demikian?” Atas pertanyaan itu, Untung menjawab sebagai berikut dalam: “Soal tersebut, baiklah saya menceritakan sebagai berikut: Sebetulnya kita sebagai anggota militer, baik saya walaupun Kolonel Latief dan Mayor Sujono yang hadir waktu rapat itu, telah menaruh kepercayaan yang sepenuh-penuhnya kepada Saudara Sjam sebagai utusan dari partai (CC PKI), yang kita semuanya telah terikat di dalam satu ikatan ideologi dengan dia yang di Partai Komunis Indonesia.”

Dari interogasi terhadap eks-Letnan Kolonel Untung, ada satu hal lagi yang menunjukkan kekuasaan PKI di dalam keseluruhan komplotan itu. Pada rapat tanggal 23 September di rumah Sjam, Supono menerangkan mengenai akan di pakainya Yon 454 dan Yon 530 bagi “G-30-S”. Sebagai bukti, supono memperlihatkan secarik kertas selaku kode. “Artinya, surat ini menurut keterangan dari Supono, bahwa pasukan Yon 530 telah diserahkan oleh Pembina yang di Jawa Timur kepada kita.” Demikian kata eks-Letnan Kolonel Untung.

Selanjutnya, diceritakan oleh eks-Letnan Kolonel Untung mengenai penentuan hari dan jam untuk dimulainya gerakan sebagai berikut: “... Selanjutnya, Saudara Sjam memberi keputusan bahwa hari H adalah besok malam. Dan kita beri nama gerakan ini adalah Gerakan 30 September.” Juga menarik hati bagaimana disingkapkan oleh Untung, bahwa pengumuman "G-30-S” yang disiarkan lewat radio juga telah disiapkan terlebih dulu oleh Pembina dari PKI itu. “Pada malam itu, ditentukan sekali bahwa nanti jam 06.00 supaya delegasi berangkat menuju ke istana untuk menghadap PJM Presiden RI; Bung Karno; yang terdiri dari Jenderal Pardjo, Letkol. Udara Heru, Mayor Sukirno, dan Mayor Bambang Supeno. Menurut rencana, bahwa baru delegasi berangkat setelah adanya laporan dari pasukan Pasopati. Tetapi karena laporan dari pasukan belum datang, maka delegasi terus berangkat. Dan bersamaan dengan berangkatnya delegasi itu, Saudara Sjam mengeluarkan suatu konsep tentang soal bahwa telah diadakan penangkapan terhadap “Dewan Jenderal” dan pengumuman tentang PJM Presiden RI/Pimpinan Besar Revolusi; Bung Karno; sudah diselamatkan. Setelah kami membaca isi pengumuman tersebut, maka segera surat pengumuman itu dikirimkan kepada Kapten Suradi di RRI untuk disiarkan. Dan kalau saya tidak salah, pengumuman ini disiarkan pada jam 07.00 pagi.”

Selanjutnya, daripada eks-Letnan Kolonel Untung memberikan gambaran jelas mengenai kekuasaan Sjam di dalam gerakan itu. Dialah yang dalam kenyataannya menjadi pimpinannya. Perhatikanlah: “... maka kami mengambil kesimpulan, bahwa Jenderal Nasution tidak tertangkap. Dengan demikian, maka Saudara Sjam mengatakan supaya mengejar dan menangkap Jenderal Nasution tersebut. Oleh sebab itu, saya memerintahkan Mayor Udara Sujono untuk menghubungi Kapten Suradi agar Kapten Suradi menghubungi Kapten Kuntjoro agar menangkap Jenderal Nasution tersebut.” Dan kemudian, ini: “Sesudah itu, tidak antara lama Saudara Sjam mengeluarkan dari tasnya suatu surat yang isinya adalah pendemisioneran Pemerintah (Kabinet Dwikora) dan penentuan pangkat Letkol adalah pangkat tertinggi di dalam Angkatan Darat.” Dan juga: “Selanjutnya, kira-kira jam 15.00 tanggal 1 Oktober 1965, Saudara Sjam menyodorkan lagi Dekrit Dewan Revolusi, yang mana waktu itu kita baca bersama. Sebetulnya —sekalipun tidak diutarakan, kita dari tentara merasa bahwa dekrit tersebut terburu-buru dikeluarkan. Setelahnya, Dekrit itu ditandatangani oleh saya, Jenderal Supardjo, Letnan Kolonel Heru, yang dua orang tidak ada, yaitu Kolonel Laut Sunardi dan AKB Polisi Anwas. Maka dekrit tersebut diserahkan kepada Mayor Udara Sujono untuk dikirim ke RI untuk diumumkan. Saudara Sjam mengatakan pada waktu itu, bahwa untuk hari ini cukup sekian dulu, karena sudah banyak yang dimengerti oleh rakyat.”

Dalam pengakuan eks-Letnan Kolonel Untung, terdapat pula beberapa keterangan yang mengenai D.N. Aidit dalam rapat tanggal 9 September 1965 jam 17.00 di rumah eks-Kolonel Latief. Menurut Untung, Sjam mengatakan, “Pesan dari Ketua D.N. Aidit supaya gerakan ini dilakukan secara machtig dan menunjukkan kita kuat. Yang penting, Dewan Jenderal itu harus diselesaikan dulu rencananya.”

Dalam rapat tanggal 13 September 1965 di rumah eks-Kolonel Latief di Cawang, Sjam mengatakan, “Orang tiga yang termasuk dalam rencana semula, yaitu Dr. Chairul Saleh, Hatta, dan Sukarni, tidak disetujui pengambilannya dan dikeluarkannya dari rencana atas perintah kawan ketua Aidit.”

Dan akhirnya dalam berita acara eks-Letnan Kolonel Untung terdapat keterangan sebagai berikut: “Dalam setiap pertemuan, selalu saya/kawan-kawan lain menanyakan kepada Saudara Sjam: ‘Apakah semua rencana dari gerakan apa yang dinamakan Gerakan 30 September ini sudah diketahui dan disetujui kawan Ketua’, Saudara Sjam memberikan jawaban: “Setiap rencana yang berhubungan dengan apa yang dinamakan Gerakan 30 September ini sudah disetujui. Malahan Kawan Ketua selalu menanyakan bagaimana sikap dari perorangan yang hadir dalam rapat-rapat. Yang saya maksudkan dengan Kawan Ketua adalah Kawan Ketua CC PKI Pusat D.N. Aidit. Karena istilah Kawan Ketua ini sudah menjadi ketentuan dan telah dipopulerkan di kalangan seluruh anggota PKI, termasuk seluruh para simpatisannya. Karena saya meyakini, bahwa Saudara Sjam ini utusan dari Ketua CC PKI, maka karena sudah adanya ikatan ideologis menyebabkan saya mematuhinya dan menerima segala yang diajukan untuk dirumuskan dalam pertemuan. Setelah terjadi peristiwa 30 September, saya akui bahwa saya telah menetapkan perintah ikatan ideologis lebih tinggi daripada ikatan prajurit Angkatan Darat.”

Tetapi paling jelas daripada segala bahan itu adalah keterangan Njono; anggota Politbiro PKI. Dari keterangan itu jelas, bahwa “G-30-S” adalah coup dari PKI untuk merebut kekuasaan negara Republik Indonesia.

Menurut Njono, "G-30-S” dibicarakan, dirancang, dan dipimpin oleh Politbiro. Perlu diketahui, bahwa di dalam lingkungan PKI, kekuasaan tertinggi berada pada kongres. Selama tidak ada kongres, maka kekuasaan tertinggi berada pada Central Comite (CC). Selama tidak ada sidang CC Pleno, kekuasaan tertinggi ada pada Politbiro. (Anggota Politbiro selengkapnya ada 9 orang, yakni D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njono, Sudisman, Ir. Sakirman, Jusuf Adjitorop, S. Anwar Sanusi, dan Rewang. Kecuali Jusuf Adjitorop dan Rewang, semua anggota Politbiro ikut di dalam pembicaraan-pembicaraan merancang “G-30-S”, terutama sekali Aidit, M.H. Lukman, Sudisman, dan Njono). Dalam pekerjaan sehari-hari Politbiro diwakili oleh Dewan Harian Politbiro yang terdiri dari ketiga anggota yang tersebut pertama. Dewan Harian Politbiro membawahi Sekretariat CC yang melaksanakan pekerjaan sehari-hari.

Yang mendorong Politbiro untuk mempersoalkan perubahan kekuasaan politik di Indonesia ialah:
1.  Informasi bahwa kesehatan PJM Presiden sangat memburuk.
2.  Informasi bahwa “Dewan Jenderal” akan mempercepat usaha perubahan kekuasaan politik.

Diskusi mengenai hal itu dimulai pada pertengahan bulan Juli 1965 dan dipimpin sendiri oleh Ketua D.N. Aidit.

Di dalam diskusi-diskusi yang menjadi pokok pembicaraan ialah tindakan-tindakan apa yang harus diambil, mengingat kedua faktor tersebut di atas.

Pada bidang politik, dirancang tindakan-tindakan sebagai berikut:
   Mengusahakan satu kekuasaan politik yang bersifat koalisi Nasional yang komposisinya lebih baik dari Kabinet Dwikora.
   Kekuasaan politik itu akan disebut Dewan Revolusi. Dewan Revolusi itu belum merupakan Kabinet Gotong Royong berporoskan Nasakom, sebagaimana yang dituntut oleh PKI. Pertimbangannya ialah:
a.  PJM Presiden belum menyetujui pembentukan kabinet Nasakom dalam waktu singkat.
b.  Kekuasaan politik baru itu harus mendapat dukungan luas dari unsur-unsur Kom dan non-Kom.
Usaha-usaha untuk mencapai tujuan politik tersebut juga dibicarakan.

Usaha-usaha itu pada pokoknya berbentuk operasi militer. Usaha-usaha untuk mencapai tujuan politik itu adalah juga:
a.  Membentuk tenaga-tenaga cadangan dengan Pemuda Rakyat dan Gerwani, yang akan mendapat latihan-latihan di Lubang Buaya.
b.  Kampanye politik secara tidak langsung, yaitu di kalangan partai dijelaskan adanya bahaya Dewan Jenderal dan di kalangan umum dijelaskan bahwa untuk perbaikan ekonomi harus di retool dari aparatur ekonomi dan keuangan Negara apa yang dinamakan setan-setan desa dan setan-setan kota.

Diskusi-diskusi itu di berjalan selama 1 bulan dan pada akhir Agustus 1965 diperoleh ketetapan-ketetapan sebagai berikut:
1.  Adalah tepat diadakannya operasi militer dengan tujuan politik membentuk Dewan Revolusi;
2.  Untuk pelaksanaannya, ditentukan pembagian pekerjaan sebagai berikut:
a.  Soal operasi militer, dipercayakan kepada Ketua Aidit, termasuk penentuan hari H;
b.  Soal-soal politik diantaranya pokok komposisi Dewan Revolusi diserahkan kepada Dewan Harian Politbiro;
c.  Hubungan dengan daerah-daerah di luar Jakarta, juga diserahkan kepada Dewan Harian Politbiro;
d.  Pembentukan tenaga-tenaga cadangan dengan pengorganisasiannya dan pembentukan sektor-sektor diserahkan kepada Njono; tenaga cadangan direncanakan sebanyak 2.000 orang yang seluruhnya harus mendapat pelatihan kilat di Lubang Buaya.