Sabtu, 28 November 2015

Peter Pan Syndrom vs Cinderella Complex

Saat ini, banyak sekali pasangan muda yang belum lama menikah akhirnya bercerai. Fenomena seperti itu kian meningkat. Padahal waktu mereka berpacaran, sepertinya tidak ada masalah. Namun setelah memasuki dunia pernikahan banyak hal yang mereka temui, bahkan mungkin hal-hal sepele, yang menjadi pemicu keretakan dalam rumah tangga. Ternyata pada saat “penjajakan”, masing-masing dari mereka tidak sempat mengenali pasangannya dari sudut pandang pengasuhan. Mereka tidak menyadari bahwa di dalam diri pasangan atau diri mereka sendiri, terdapat jiwa-jiwa Peter Pan dan Cinderella.

Apa itu Sindrom Peter Pan?
Peter Pan adalah seorang tokoh dalam cerita anak-anak yang ditulis JM Barrie (1860-1937), seorang sastrawan dari Skotlandia. Peter Pan digambarkan sebagai karakter bocah lelaki nakal yang bisa terbang dan secara magis menolak menjadi dewasa.

Watak Peter Pan yang serba kekanak-kanakan ini oleh Dan Kiley (1983) dijadikan sebuah “penyakit” psikologis, yang disebut sindrom Peter Pan. Sindrom Peter Pan ditujukan untuk orang dewasa yang secara sosial tidak menunjukkan kematangan. Sindrom ini lazim diderita kaum lelaki yang secara psikologis, seksual, dan sosial menunjukkan perilaku yang keluar dari pengasuhan.

Sindrom tersebut memakai nama Peter Pan, karena memang Peter Pan ‘menolak’ menjadi dewasa karena tak mau kehilangan masa kanak-kanaknya. Karena itu sangat sesuai untuk menggambarkan laki-laki dewasa yang masih bersifat kekanak-kanakkan.

Apa ciri-ciri orang yang mengalami sindrom Peter Pan?
– tidak sudi/cenderung tidak bertanggung jawab
– suka melawan
– sulit berkomitmen
– manja
– tidak suka bekerja keras
– pemarah (mudah marah jika keinginannya tak terpenuhi), suka mengamuk
– cinta diri sendiri secara berlebihan (narsis)
– mengalami ketergantungan pada orang lain/dependency (bahkan hingga hal-hal yang kecil)
– senang memanipulasi (manipulativeness), jago ‘bicara’ untuk membuktikan bahwa dia yang benar
– memiliki keyakinan yang melampaui hukum-hukum dan norma masyarakat.
– enggan untuk hidup sendiri dan selalu merasa sendiri
– tidak berani mengambil keputusan dan menanggung resiko
– mudah sakit hati
– tidak bisa menerima kritikan
– kurang percaya diri
– menolak berhubungan dengan lawan jenis
– pemberontak

Salah satu penyebab munculnya sindrom ini adalah akibat pola asuh yang tidak sengaja salah semasa kanak-kanak. Misalnya kalau anak melakukan kesalahan, orang tua selalu membelanya. Orang tua terlalu melindungi anaknya, selalu turun tangan dalam setiap masalah anaknya, terlalu menuruti permintaan anak. Akibatnya meski sudah dewasa tetap saja seperti anak anak. Hal ini bisa difahami, karena kepribadian seorang anak, 80% dipengaruhi oleh lingkungannya (lingkungan terdekat seorang anak adalah kedua orang tuanya), dan hanya 20% dipengaruhi oleh faktor keturunan (genetik).

Seorang laki-laki yang mengalami sindrom Peter Pan, sangat membutuhkan seorang istri yang bersifat seperti ibunya. Layaknya seorang ibu yang akan menyayangi, melindungi, dan melayani anaknya. Jika ia tidak mendapatkan sosok istri yang seperti itu, ia akan sangat mudah untuk membanding-bandingkan istrinya, dan merasa istrinya tidak bisa mengurusinya sebagai suami, dan ia akan sering kali ‘pulang’ dan bermanja-manja kepada ibunya.

Apa itu Cinderella Compleks?
Seperti yang telah kita ketahui, Cinderella mengambarkan tokoh dalam film kartun anak-anak, yang semasa kecilnya hidup bahagia bersama ayah dan ibunya. Namun menjelang remaja, kehidupannya berubah karena, ibu kandungnya meninggal dan ayahnya menikah dengan wanita lain. Setelah ayahnya menikah, kehidupan Cinderella menjadi sangat tidak bahagia. Karena ibu dan 2 saudara tirinya itu sangat membenci Cinderella. Kehidupan Cinderella menjadi sangat pahit, menyebabkan ia merindukan sosok lelaki seperti ayahnya yang akan melindungi dan menyayangi dirinya.

Istilah sindrom Cinderella Complex menggambarkan sebuah ketakutan tersembunyi pada perempuan untuk mandiri. Karena yang ada dalam pikiran mereka adalah keinginan untuk selalu diselamatkan, dilindungi, dan tentunya disayangi oleh “sang pangeran”.

• Dalam keseharian, “penyakit psikologis” ini biasa disebut dengan Syndrom Umur 20, Syndrom Umur 21, Syndrom Umur 22, Syndrom Umur 23, dan seterusnya sepanjang si perempuan itu addicted dengan khayalan akan bertemu dengan pangeran impiannya sebagaimana yang terjadi di dalam dongeng Cinderella.

Seorang wanita yang mengalami Cinderalla Compleks, sangat membutuhkan seorang suami yang bersifat seperti ayahnya, yang dewasa, mengayomi, dan selalu melindungi.

Anda-kah orang tua yang menumbuhkan jiwa Peter Pan dan Cinderella pada jiwa anak?

Seperti apa pola pengasuhan orang tua yang menyebabkan anak memiliki jiwa Peter Pan dan Cinderella?
» Ortu yang selalu melindungi
» Ortu yang membiarkan anak bermanja-manja secara berlebihan
» Ortu yang tidak membangun jiwa BMM (Berfikir-Memilih-Mengambil Keputusan)

Mengapa bisa demikian?
» Ortu tidak siap menjadi ortu
» Ortu yang kehidupannya dahulu sangat susah, sehingga kini memiliki ‘dendam positif’ ingin memanjakan anak dengan berbagai kemudahan
» Ayah-Ibu dengan pengasuhan bertentangan. Ayah mau A, Ibu mau B. Tidak pernah kompak, sehingga anak menjadi bingung.
» Ortu yang lama sekali baru dikaruniai seorang anak.

Jika sudah terlanjur, harus bagaimana?
» Laki-laki yang mengalami sindrom Peter Pan tidak akan mengalami kesulitan dalam pernikahannya, jika mendapatkan istri dengan karakter keibuan.
» Begitu pula sebaliknya, bagi sang ‘Cinderella’ yang mendapatkan suami dengan karakter ke‘ayah’an yang kuat.
» Untuk istri-istri yang jadi ibu bagi Peter Pan harus memahami mengapa suaminya bersifat kekanak-kanakan, harus mau berkorban dan ‘tega’ untuk membentuk kembali jiwa kemandiriannya.
» Untuk suami-suami yang jadi ayah bagi Cinderella juga harus memahami mengapa ia bersikap seperti itu dan ajak bicara secara baik-baik.

Bagaimana menghilangkan ‘penyakit psikologis’ tersebut?
– Harus ada keinginan dalam diri sendiri untuk berubah
– Lingkungan harus mendukung
– Jika diperlukan terapi, mengapa tidak?
– Minta pertolongan kepada Allah.

Pesan
Anak-anak kita kelak akan tumbuh menjadi orang dewasa yang akan memasuki dunia pernikahan dan memiliki kehidupan rumah tangga sendiri. Pengasuhan kita kepada mereka sangat berpengaruh bagi perkembangan jiwa-jiwa mereka. Apakah anak lelaki kita akan tumbuh menjadi orang dewasa dengan jiwa yang kekanak-kanakan? Apakah anak perempuan kita akan tumbuh menjadi orang yang merindukan ‘pangeran’? Semuanya tergantung pada pengasuhan kita. Jika kita merindukan anak-anak kita kelak tumbuh menjadi orang yang dewasa sesungguhnya, maka marilah kita buat pengasuhan dalam rumah-rumah kita menjadi lebih baik.

-Elly Risman-

Selasa, 24 November 2015

Kisah Nabi Samson

Nabi Samson, Nabi yang tidak memiliki pengikut satu orang pun.

Kisah Nabi Sam’un Ghozi as (Samson) salah satu dari 124.000 Nabi.

Seperti yang diketahui di dalam ajaran Islam, bahwa jumlah Nabi menurut hadits yaitu 124.000 orang, dan Rosul berjumlah 312 orang, sesuai rukun iman ke-4 di dalam rukun iman diwajibkan untuk mengetahui 25 orang nabi dan rosul.

Dari Abi Dzar ra, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya tentang jumlah para nabi,

“Jumlah para nabi itu adalah seratus dua puluh empat ribu (124.000) nabi.”

“Lalu berapa jumlah Rosul di antara mereka?”

Beliau menjawab, “Tiga ratus dua belas (312) orang.”

(Hadits Riwayat At-Tirmidzi)

Samson atau Simson, merupakan seorang nabi di dalam ajaran Islam yang dikenal dengan nama Nabi Sam’un Ghozi as.

Kisah nabi ini, terdapat di dalam kitab-kitab, seperti kitab Muqosyafatul Qulub dan kitab Qishoshul Anbiyaa. Nabi Sam’un Ghozi AS memiliki kemukjizatan, yaitu dapat melunakkan besi, dan dapat merobohkan istana.

Cerita Nabi Sam’un Ghozi AS adalah kisah Isroiliyat yang diceritakan turun-temurun di jazirah Arab. Cerita ini melegenda jauh sebelum Rosululloh lahir.

Dari kitab Muqosyafatul Qulub karangan al-Ghozali, diceritakan bahwa Rosululloh berkumpul bersama para sahabat di bulan Suci Romadhon.

Kemudian Rosululloh bercerita tentang seorang Nabi bernama Sam’un Ghozi AS, beliau adalah Nabi dari Bani Isroil yang diutus di tanah Romawi.

Dikisahkan Nabi Sam’un Ghozi as berperang melawan bangsa yang menentang Ketuhanan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Ketangguhan dan keperkasaan Nabi Sam’un dipergunakan untuk menentang penguasa kaum kafirin saat itu, yakni raja Isroil.

Akhirnya sang raja Isroil mencari jalan untuk menundukkan Nabi Sam’un. Berbagai upaya pun dilakukan olehnya, sehingga akhirnya atas nasehat para penasehatnya diumumkanlah, barang siapa yang dapat menangkap Sam’un Ghozi, akan mendapat hadiah emas dan permata yang berlimpah.

Singkat cerita, Nabi Sam’un Ghozi as terpedaya oleh isterinya. Karena sayangnya dan cintanya kepada isterinya, nabi Sam’un berkata kepada isterinya,

“Jika kau ingin mendapatkanku dalam keadaan tak berdaya, maka ikatlah aku dengan potongan rambutku.”

Akhirnya Nabi Sam’um Ghozi as diikat oleh istrinya saat ia tertidur, lalu dia dibawa ke hadapan sang raja.

Beliau disiksa dengan dibutakan kedua matanya dan diikat serta dipertontonkan di istana raja. Karena diperlakukan yang sedemikian hebatnya, Nabi Sam’un Ghozi as berdoa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Beliau berdoa dengan dimulai dengan bertaubat, kemudian memohon pertolongan atas kebesaran Alloh. Do’a Nabi Sam’un dikabulkan, dan istana raja bersama seluruh masyarakatnya hancur beserta isteri dan para kerabat yang mengkhianatinya.

Kemudian nabi bersumpah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, akan menebus semua dosa-dosanya dengan berjuang menumpas semua kebathilan dan kekufuran yang lamanya 1000 bulan tanpa henti. Semua itu atas hidayah dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika Rosululloh selesai menceritakan cerita Nabi Sam’un Ghozi as yang berjuang fii sabilillah selama 1000 bulan, salah satu sahabat nabi berkata:

”Ya Rosululloh, kami ingin juga beribadah seperti nabiyulloh Sam’un Ghozi as.” Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, diam sejenak.

Kemudian Malaikat Jibril as datang dan mewahyukan kepada beliau, bahwa pada bulan Romadhon ada sebuah malam, yang mana malam itu lebih baik daripada 1000 bulan.

Pada kitab Qishoshul Anbiyaa, dikisahkan, bahwa Rosululloh Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam tersenyum sendiri, lalu bertanyalah salah seorang sahabatnya,

“Apa yang membuatmu tersenyum, wahai Rosululloh?”

Rosululloh menjawab, “Diperlihatkan kepadaku hari akhir ketika dimana seluruh manusia dikumpulkan di mahsyar. Semua Nabi dan Rosul berkumpul bersama umatnya masing-masing masuk ke dalam surga.

Ada salah seorang nabi yang dengan membawa pedang yang tidak mempunyai pengikut satu pun masuk ke dalam surga. Dia adalah Sam’un.”

Demikian kisah Nabi Sam’un Ghozi as atau yang lebih dikenal dengan Samson atau Simson.

Semoga dari kisah ini, dapat kita petik sebuah pelajaran di dalamnya.

Credit: alhurriyyah

Ajaran Rosululloh SAW tentang Cara Mendidik Anak

Dalam suatu majelis Rosululloh saw mengingatkan para sahabat-sahabatnya, “Hormatilah anak-anakmu dan didiklah mereka. Alloh SWT memberi rahmat kepada seseorang yang membantu anaknya sehingga sang anak dapat berbakti kepadanya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rosululloh, bagaimana cara membantu anakku sehingga ia dapat berbakti kepadaku?” Nabi menjawab, “Menerima usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya, tidak membebaninya dengan beban yang berat, dan tidak pula memakinya dengan makian yang melukai hatinya.” (HR. Abu Daud)

Setiap orang tua pasti ingin memiliki anak-anak yang berperilaku baik, patuh pada orang tua, dan pandai bersosialisasi. Harapan-harapan tersebut akan mudah dicapai jika orang tua mampu membimbing anak untuk mewujudkannya. Lingkungan keluarga memiliki pengaruh dan peran besar dalam pembentukan karakter anak. Keluarga yang saling menyayangi, saling menghormati, dan saling menghargai satu sama lain akan menciptakan kondisi yang memudahkan anak untuk berperilaku baik sesuai harapan kedua orang tuanya. Saya akan sharing informasi dan pengalaman dengan teman-teman bagaimana caranya agar kita bisa mewujudkannya.

Kemampuan anak untuk bersosialisasi dan berperilaku baik sesuai dengan harapan orang tua dan lingkungan tidak terlepas dengan kemampuan anak mengkomunikasikan perasaannya (emosi). Mengapa emosi? Ya, ternyata emosi memiliki peran penting terhadap perkembangan anak, khususnya perkembangan sosial anak.

Emosi merupakan bentuk komunikasi anak dengan orang lain. Melalui ekspresi emosi yang ditampilkan anak, maka seorang anak dapat memperlihatkan kebutuhannya, keinginannya, harapannya, dan perasaannya kepada orang lain, khususnya kepada orang tuanya. Anak yang memiliki ketegangan emosi akan mempengaruhi keterampilan motorik anak. Misalnya: saat marah, anak menjadi susah menulis. Selain itu juga akan mempengaruhi konsentrasi dan daya ingatnya. Misalnya: anak yang lagi kesal akan sulit untuk menghapalkan doa-doa pendek, sebaliknya anak yang sedang senang lebih mudah menghapalkan surat-surat pendek yang kita ajarkan.

Tingkah laku emosi dipengaruhi oleh penilaian lingkungan sosial mengenai dirinya dan penilaian diri anak terhadap dirinya sendiri. Masih banyak orang tua yang mengkaitkan perasaan tidak menyenangkan (marah, menangis, iri) dengan watak anak yang buruk. Si adik yang iri dengan kakaknya, dianggap memiliki watak ‘pencemburu’. Sedangkan kakaknya yang berusaha mempertahankan barang yang dimilikinya dikatakan sebagai kakak yang tidak mau mengalah dengan adiknya (egois).

Selain itu orang tua kerap kali menyebut anaknya ‘nakal’ karena sering merusak barang dan menyusahkan orang tuanya. Anak yang terus-menerus dikatakan nakal, akan semakin membuat anak memandang bahwa dirinya memang nakal. Ini akan menjadi konsep diri anak. Ketika anak menilai dirinya sebagai ‘aku adalah anak nakal’, maka anak cenderung bertindak ‘nakal’ sesuai dengan konsep dirinya kalau dia benar-benar anak yang ‘nakal’.

Segala emosi yang menyenangkan (senang, bangga, gembira) atau tidak menyenangkan (sedih, marah, iri, kecewa, takut) akan mempengaruhi anak ketika melakukan interaksinya dengan lingkungan sosial. Seorang anak yang memiliki pemahaman mengenai “apa yang sedang dia rasakan” akan memudahkan anak untuk mengenali perasaannya, mengatur perasaannya, menenangkan perasaannya, mengekspresikan perasaannya dengan tepat dan menyelesaikan sendiri masalahnya.

Pengulangan reaksi emosi anak yang ‘berkembang’ ini akan menjadi kebiasaan dan menetap menjadi karakternya. Namun, kemampuan pengelolaan emosi setiap anak ini berbeda-beda, tergantung dengan usia, pola asuh orang tua, dan kondisi psikologis anak saat stimulasi emosi itu terjadi. Oleh karenanya, pengelolaan emosi anak harus terus dilatih.

Emosi biasanya dikaitkan dengan perasaan marah. Padahal bukan hanya itu, makna emosi lebih luas lagi. Emosi merupakan perasaan seseorang yang ditujukan kepada orang lain atau terhadap sesuatu. Emosi dapat terlihat ketika: anak merasa senang pada sesuatu yang disukainya, anak marah kepada seseorang yang mengganggunya, anak terkejut karena sesuatu yang tidak biasa, ataupun anak takut terhadap hal yang menakutkan. Emosi anak sangat mirip dengan orang dewasa. Namun berbeda dari cara berpikir mereka yang masih sederhana. Selain itu, anak juga belum mengerti perbedaan antara ‘mengalami’ perasaan dan mengekspresikannya dengan tepat supaya bisa bertingkah laku mengendalikan emosinya.

Anak akan belajar mengekspresikan perasaannya, dari respon dan tanggapan yang diberikan orang tuanya. Seringkali orang tua sangat cepat ‘bereaksi’ terhadap ekspresi emosi anak dengan langsung memberi nasehat, mengomeli bahkan memarahinya. Saat mengetahui anaknya bertengkar dengan adiknya, orang tua langsung buru-buru melerai dan menasehati anaknya. Anak yang mengeluh bahwa ia tidak suka sarapannya, langsung dinasehati agar segera menghabiskan makannya tanpa banyak mengeluh. Anak yang marah karena tiba-tiba ibunya mematikan TV yang asyik dia tonton, langsung ibu balas memarahi anak karena terlalu lama menonton. Dan anak yang menangis karena berpisah dengan temannya, orang tua segera menyuruh anaknya berhenti menangis dan menasehati supaya jangan sedih berlebihan.

Orang tua kadang kurang bisa menerima emosi tidak menyenangkan yang ditampilkan anak. Seperti pada pernyataan berikut ini: “Sudah! Jangan nangis! Anak sholih itu nggak cengeng lho”, “Ah masa gitu aja kamu nggak berani sih!”, “Sudah, nggak usah dipikirkan! Masa’ hilang mainan aja kamu nangis”, “Kakak ngalah dong sama adik”, “Kamu ini nakal banget sih, berani marah-marah sama ayah ya”, dan seterusnya. 

Seorang anak yang mengalami emosi tidak menyenangkan, sebenarnya ia merasa  ada sesuatu yang tidak nyaman di dalam dirinya. Perasaan ini akan mempengaruhi perilaku yang ditampilkan anak. Biasanya tampilan perilaku anak yang tampak di mata orang tua adalah perilaku yang dianggap ‘tidak baik’, (misalnya: anak menangis, marah-marah, membentak, merusak barang). Orang tua yang segera menasehati dan memarahi anak, hanya akan membuat anak makin merasa tidak nyaman, malas berbicara dan menghindari orang tua, atau malah makin meletup-letup emosinya.

Anak akan merasa ‘baik’ saat orang tua mau menerima emosinya, menghargai kondisinya, dan memberikan respon yang tepat. Anak hanya ingin perasaannya ‘di akui’. Ketika kita dapat mengakui perasaannya, maka anak akan belajar mempercayai perasaannya, termasuk menjadi pandai mengatur emosi mereka dan menyelesaikan masalahnya. Pada saat kita berusaha untuk menerima emosinya, mungkin akan membutuhkan beberapa menit untuk bisa membuat anak belajar ‘menenangkan’ perasaannya sendiri. Bila anak sudah merasa ‘tenang’, anak akan lebih mudah untuk berfikir dengan jernih mengenai apa yang dirasakan, mengapa dia bisa mengalami perasaan itu, apa yang terjadi dengannya, dan bagaimana caranya agar dia bisa menyelesaikan masalahnya.

Kunci sukses untuk bisa melatih anak-anak supaya memiliki kemampuan mengkomunikasikan perasaannya (emosi) dengan tepat dan bijak adalah kita belajar berempati mendengarkan anak (empathic listening). Empati itu tidak sama dengan simpati. Simpati berarti “feeling for someone” sedangkan empati adalah “feeling as someone”. 

Dalam empati, terdapat dua komponen penting, yaitu: (1) affective empathy: kemampuan untuk mengidentifikasikan dan melabelkan perasaan anak. Kita bisa mencoba atau membayangkan seolah-olah berada di posisi anak kita. Dengan merasakan apa yang dirasakan anak, maka kita akan lebih mudah untuk memahami perasaan dia sebenarnya dan menghargai kondisinya saat itu. Hal ini bagus untuk mengasah empati kita kepada anak.

(2) cognitive empathy: kemampuan untuk mengasumsikan sesuatu dari sudut pandang atau perspektif anak. Dengan berempati, maka kita lebih mudah menerima pendapat anak dan menghargai usaha yang dilakukan anak untuk menyelesaikan masalahnya.

Mendengarkan anak dengan empati (empathic listening), berarti kita menerima emosi anak dan memberikan respon yang tepat terhadap apa yang dirasakan anak. Menerima emosi anak, berarti kita menerima emosi apapun yang dirasakan anak saat itu dan memberi dia kesempatan untuk mengenali perasaannya sendiri. 

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan orang tua agar menjadi seorang pendengar yang berempati (empathic listener) terhadap anak-anaknya, yaitu: 1) menggunakan panca indra kita untuk mengidentifikasi dan mengamati petunjuk dan isyarat fisik dari emosi anak (lihat wajahnya, tangannya, suaranya, desahan napasnya);

2) menggunakan imajinasi kita untuk melihat situasi tersebut dari sudut pandang anak (misalnya: membayangkan gimana ya rasanya kalau aku berada di posisi dia);

3) menggunakan kata-kata untuk merumuskan kembali dengan cara yang menenangkan dan tidak mengecam. Artinya, kita mencoba merefleksikan kembali apa yang dirasakan anak dengan ungkapan yang tepat (“mama lihat kamu lagi kesal banget ya?”);

4) membantu anak memberi nama emosi yang mereka rasakan tersebut (misalnya: “kamu kecewa ya bu guru hanya memberi nilai 8 untuk prakaryamu”);

5) menggunakan hati untuk merasakan apa yang sedang dirasakan oleh anak.

Contoh ibu yang tidak mendengarkan anak dengan empati:

“Pensil merahku diambil orang, ma,” keluh anaknya dengan suara pelan, wajah menekuk ke bawah.

“Ah, bukannya kamu hilangkan?” tanggap sang ibu tidak memahami perasaan anaknya yang lagi kesal.

“Nggak, kok. Waktu aku ke toilet, masih ada di atas meja,” jelas sang anak dengan suara meninggi.

“Lagian kamu sih naruhnya sembarangan,” timpal sang ibu langsung menilai sang anak ceroboh.

Sang anak diam saja. Wajahnya cemberut dibarengi berat tarikan nafasnya.

“Barang-barangmu diambil orang melulu,” tambah sang ibu. “Sudah berapa kali, coba? Mama sering bilang, ‘Coba simpan barang-barangmu di laci meja!’ Kamu sih nggak pernah merhatiin!” tambah sang ibu mulai menasehati anak dan sedikit mengomeli anak.

“Ah, mama rese!” protes sang anak dengan wajah memerah, alis naik ke atas, dan nada suara tinggi.

“Lho kok kamu malah marah sih!” sergah sang ibu terpancing untuk memarahi anak.

Contoh ibu yang mendengarkan anak dengan empati:

Anak: “Pensil merahku diambil orang, ma." (perasaan anak pasti lagi kesel)

Ibu: “Oh kamu lagi kesal, ya?” (sambil menatap mata anak)

Anak: “Padahal sebelum ke toilet, aku letakkan pensilnya di atas meja. Eh ada yang ngambil deh.” (memperhatikan wajah dan bahasa tubuh anak yang lagi kesel)

Ibu: “Hmmm kecewa banget ya kalau barang kita diambil orang?”

Anak: “Sudah tiga kali pensilku diambil orang.”

Ibu: “Waduh...”

Anak: “Aku tahu, mulai sekarang pensilku mau kusimpan di dalam laci meja.”

Ibu: “Nah, gitu dong, kak.” (sambil tersenyum)

Rosululloh berkata, “Siapa yang memiliki anak, hendaklah ia bermain bersamanya dan menjadi sepertinya. Siapa yang mengembirakan hati anaknya, maka ia bagaikan memerdekakan hamba sahaya. Siapa yang bergurau (bercanda) untuk menyenangkan hati anaknya, maka ia bagaikan menangis karena takut kepada Alloh ‘Azza wa Jalla” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
~~~~~~~~~~~~~

Diskusi dan Tanya Jawab:

1. Bagaimana caranya mengatasi sifat takut ‘Joker’ pada seorang anak?

Jawab:
Usia anak-anak kerapkali memang mengalami rasa takut, dan perasaan takut terhadap sesuatu yang menakutkan. Langkah awal adalah kita harus bisa menerima rasa takut anak. Setelah itu sebaiknya anak di ajak ngobrol dan ditanya, apa yang membuat ia takut terhadap ‘Joker’ (musuh Batman). Ketakutan anak akan badut Joker kemungkinan karena wajahnya yang menakutkan (tokoh kejahatan) dan riasan wajah yang berlebihan. Dengan bercerita kepada orang tua, maka anak akan bisa mengelola rasa takutnya tanpa membuat anak fobia badut (Coulrophobia) hingga dewasa. Kita juga bisa berbagi tentang rasa takut yang pernah kita alami, sehingga si anak merasa dihargai dan diakui ketika dia memiliki rasa takut. Saat anak mengetahui pengalaman ibu dengan pengalaman takutnya dan bagaimana mengatasi rasa takut itu, maka si anak akan belajar dari pengalaman ibunya. Hal yang terpenting adalah kita memiliki cara yang tepat untuk menghargai rasa takut pada anak, serta mengarahkan si anak untuk mengatasi rasa takutnya.

2. Beda empati (feeling as someone) dengan simpati (feeling for someone) dari sisi bahasa tampak serupa tapi tak sama. Dan beda affective empathy dengan cognitive empathy, contoh realnya apa, mbak? Bayangan saya, affective lebih mengarah ke sikap dan cognitive lebih ke pemahaman konsep.

Jawab:
Simpati: ketika kita menyukai seseorang, (misalnya: suka dengan kesholihannya atau kebaikannya), maka kita bersimpati terhadap orang tersebut. Saat kita menyukai kecerdasan dan kreatifitas anak kita, maka kita bersimpati menyukai kelebihan yang dimiliki anak.

Empati: kita merasakan apa yang dia rasakan, (misalnya seorang anak senang karena mendapatkan pujian dari gurunya), maka kita ikut merasakan hal yang sama seperti apa yang anak rasakan. Saat anak sedih berpisah dengan teman yang disayanginya, maka kita bisa merasakan ‘rasa kehilangan’ yang dirasakan anak kita.

Ketika kita berempati dengan anak, ada dua proses yang terjadi, yaitu proses affective empathy dan cognitive empathy. Kalau cognitive empathy, ibu bisa paham anak marah karena diganggu temannya di sekolah atau anak sedih tidak menang lomba lukis sehingga wajahnya tampak murung dan menjadi pendiam. Sedangkan affective empathy kita bisa merasakan perasaan anak dan menerima apa yang dirasakan anak, seolah-olah kita berada di posisi anak.

3. Mbak, saya menumbuhkan empati pada hubungan kakak adik sering juga luput. Misalnya saat adiknya mencoret gambar kakaknya, mengambil makanan kakaknya, sering kemudian untuk menghindari tidak ribut, saya bilang ke kakaknya, “Ga apa-apa, ya. Mengalah, ya...”

Jawab:
Si adik biasanya belum tahu konsep kepemilikan barang (jika menginginkan barang kakak, harus meminta izin terlebih dahulu) dan perlu ditanamkan mengenai konsep kepemilikan barang adik dan barang kakak. Sehingga penting untuk mengajarkan anak untuk meminta izin jika ingin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Kita juga perlu memberikan teladan kepada anak, jika ingin meminjam pulpen adik,maka juga ibu harus meminta izin kepada adik terlebih dahulu.

Meminta si kakak terus mengalah pada adik merupakan tindakan yang kurang tepat. Perasaan si kakak juga harus kita hargai. Tindakan tepat sebaiknya kita mengarahkan si kakak bagaimana konsep berbagi, tanpa menyalahi perasaan kepemilikannya.

4. Apa keuntungannya anak yang pintar memahami perasaannya? Tumbuh jadi PD kah atau apa, mbak?

Jawab:
Seorang anak yang bisa mengendalikan dan mengenali serta mengekspresikan emosi dengan tepat, akan berdampak pada kemampuannya di segala bidang, terutama dalam hal berteman. Dia akan disukai oleh teman-teman di lingkungannya, lebih mudah berteman, dan mengurangi konflik dengan teman-temannya, serta lebih fokus terhadap proses belajarnya. Dia juga mampu menenangkan dirinya sendiri saat sedang kesal, marah, dan sedih, tanpa dibantu oleh orang lain.

5. Ada sebuah fakta, dimana seorang anak ketika kecil terlihat mampu me-manage emosinya dengan baik, namun ketika menjelang remaja, semuanya tiba-tiba berubah, kelakuannya pun mengecewakan kedua orang tuanya. Nah, bagaimana menyikapi hal ini?

Jawab:
Semakin bertambahnya usia anak, maka pola pikirnya semakin berkembang. Anak remaja mulai memasuki usia untuk mencari jati dirinya. Hal yang tampak dari orang tua adalah anak mulai membantah orang tua, melakukan hal-hal yang dilarang orang tuanya. Melalui pendekatan psikologis, disarankan agar kedua orang tua si anak lebih ‘merangkul’ dan melakukan berbagai pendekatan, mulai dari menganalisis gejala-gejala yang terjadi, hingga mencari penyebab terjadinya perubahan yang terjadi secara drastis di anak. Ini memang memerlukan penanganan dan diskusi yang panjang, dan secara individual antara orang tua dan orang-orang terdekat anak, bahkan pihak-pihak yang mengerti psikologi si anak, akan bersama mencari jalan keluar dan mencari solusi yang terbaik. Namun yang terpenting adalah kita harus memiliki kedekatan emosional dan perhatian untuk bisa berkomunikasi dengan anak remaja kita. 

Kasus-kasus di atas memang tidak hanya dialami oleh satu atau beberapa keluarga, namun juga banyak keluarga mengalaminya. Kondisi dimana orang tua mengalami kekhawatiran, ketika anak hidup dalam lingkungan yang berbeda dengan pola asuh dan pola didik orang tua. Dengan kata lain, terhadap kondisi ini, diperlukan solusi tuntas yang mampu menyelesaikan permasalahan anak, tidak hanya dari sisi pendekatan psikologi pada akhirnya. 

Sesungguhnya, ada 3 pilar yang setidaknya akan mampu mengatasi kegelisahan orang tua ketika dihadapkan pada hal ini. Yang pertama, orang tua hendaknya sejak dini menanamkan ketaqwaan individu terhadap anak, hingga akhirnya anak akan mampu ‘mengontrol’ dirinya. Ketaqwaan yang dimaksud disini adalah bagaimana anak memiliki perasaan takut terhadap Tuhannya, kapanpun dan dimanapun. Disini diperlukan pembinaan aqidah dan tsaqofah Islam sejak dini, yang akan membentuk kepribadian si anak menjadi kepribadian Islami, yang nantinya akan menjadi pondasi awal bagi anak ketika melangkah ke fase hidup berikutnya.

Selanjutnya adalah lingkungan yang mendukung perkembangan anak. Lingkungan yang dimaksud disini tentunya bukan lingkungan yang rusak dan secara perlahan mengikis kepribadian anak, namun yang diharapkan sejatinya adalah lingkungan yang mendukung kepribadian anak, lingkungan yang khas, dimana masyarakatnya memiliki perasaan, pemikiran, dan aturan yang sama, sehingga anak akan memiliki controlling yang kuat, meski jauh dari kedua orang tuanya. Pilar yang ketiga adalah adanya dukungan dari negara yang menerapkan hukum-hukum positif (baca: hukum-hukum yang berasal dari Alloh sang Pencipta), yang akan tegas mengatur perkara-perkara kriminal seperti pencurian, pembunuhan, narkoba, dan berbagai perkara lain yang mengancam generasi muda (remaja).

Shinta Rini 
(*) disampaikan dalam Kajian Muslimah Antar Negara (Mutiara); Sabtu, 20 Agustus 2011

Minggu, 22 November 2015

Paris dan Kebangkitan yang Rendah Hati

Apa yang hari-hari ini terjadi di Eropa, barangkali tak terbayangkan oleh laksamana-laksamana penjelajah samudera, serikat dagangnya, para gubernur jenderal, dan raja-raja serta pemerintahan mereka yang sejak lima abad lalu bersimaharajalela mengangkuti berbagai hasil bumi dan sumber daya dunia timur. Semula rempah sahaja; lalu emas dan perak, kopi dan gula, vanili dan jarak, barang tambang dan minyak, bahkan manusia yang diperbudak.

Pada beberapa bangsa, kebudayaan dan sejarahnya turut terenggut; peradabannya musnah.

Mari bayangkan benua jelita yang nantinya dinamai Amerika, dengan penduduk asli yang sebelum kedatangan Columbus, Vespucci, Cortez, dan Pizzaro diperdebatkan sejarawan dengan angka mencengangkan; antara 12, atau 30, atau 50, atau bahkan 110 juta orang. Atau lihatlah Australia, dengan Aborigin yang sebelum kedatangan James Cook dan Flinders diperkirakan berada di kisaran 8 hingga 20 juta orang. Dan kini, puluhan ribu saja sisanya.

Keganasan penjajahan barat amat mengerikan.

Nusantara barangkali termasuk yang beruntung. Ia bukan 350 tahun dijajah, melainkan tiga setengah abad melawan penjajahan. Salah satu yang membuat bangsa ini bertahan tanpa dapat dibantah adalah Islam. Atas berkat rahmat Allah, abad sebelum kedatangan Magelhaens, D’ Albuquerque, dan Cornelis De Houtman adalah abad yang dipenuhi pekik gelora syahadat secara hampir merata di Nusantara. Maka sebagaimana banyak bangsa muslim lain di Afrika dan Asia, Islam telah menjadi ruh perlawanan yang tak dapat dipadamkan oleh para penindas dari Eropa.

Tapi tentu saja, penjajahan yang dirasakannya juga amat perih hingga ulu hati.

Barangkali melihat negara-negara yang tergabung dalam persemakmuran Britania hari ini, ada yang berkata, “Andai saja kita dijajah Inggris, bukan Belanda.” Tapi sesungguhnya, nestapa yang ditinggalkan negerinya Richard The Lionheart bagi kita tak banyak berbeda. Izinkan saya memberi contoh dengan bulan Juni 1812 yang kelam, ketika bombardemen artileri pasukan Inggris selama 4 hari 3 malam di bawah komando Kolonel Robert R. Gillespie menghancur-leburkan Benteng Baluwarti Yogyakarta terutama di sisi utara hingga timur serta meremuk dan membakar bagian luas dari kraton dan kota yang indah ini.

Sebakda itu, penjarahan oleh Legiun Infanteri ke-14 (Buckinghamshire) dalam bulan Juli yang bahkan melibatkan Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, nyaris menghabiskan semua hal berharga dari Yogyakarta; emas dan perak dalam jumlah mencengangkan, pusaka-pusaka Kraton, naskah-naskah tak ternilai, aneka perhiasan, bahkan sampai kancing baju Sultan Hamengkubuwana II yang terbuat dari berlian tak luput dipreteli ketika beliau ditodong senjata di kiri, kanan, dan belakang kepala sebelum dilucuti dan dibuang ke Penang.

Daftar itu akan sangat panjang mendereti negara-negara Eropa masa kini dengan jajahan mereka dari zaman ke zaman, bukan hanya dengan kisah perampasan tapi juga pembantaian. Inggris punya 94 negeri dan wilayah jajahan, sementara Spanyol membentangkan penzhalimannya dari ujung selatan Amerika hingga tengah dan seberang Pasifik. Belanda mengangkangi Suriname di Amerika, Nusantara di Asia, hingga Afrika Selatan; adapun Perancis, Italia, dan Jerman seakan berlomba mengeruk kekayaan Afrika dan sebagian Asia Barat.

Dan hukum kesejarahan berlaku; ke mana sumber daya mengalir dan mengendap menjadi kemakmuran, ke sanalah berduyun-duyun manusia menuju.

Hampir lima abad lamanya Eropa menumpuk sumber daya dari timur dan mengendapkannya menjadi kristal-kristal kemilau yang mencahayakan peradabannya. Dengan kelimpahan itu mereka membangun katedral menjulang, istana megah, jalan-jalan lebar, pelabuhan besar, serta tentara yang ampuh. Dengan itu pula mereka menyusun filsafat, kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi tinggi, dan berbagai nilai yang mereka jajakan dengan semangat seakan ianya puncak keadaban insan; demokrasi, liberalisme, dan sekularisasi.

Sementara itu di bentang bumi dari Maroko hingga Merauke yang terrampok, gelap kian pekat setiap harinya. Kemiskinan dan kebodohan yang diwariskan para penganiaya Eropa, ditambah kepemimpinan penindas dari bangsanya sendiri yang masih mewarisi kelaliman penjajah, pula perang saudara yang masih menjadi permainan sebagian kekuatan Barat, lengkaplah sudah alasan berjuta manusia dari berbagai bangsa itu; Aljazair, Tunisia, Libya, Mesir, Turki, Lebanon, Suriah, Somalia, Ethiopia, Nigeria, Afghanistan, Pakistan, India, dan Bangladesh, berbondong mereka hendak berbagi ruang hidup dengan bangsa-bangsa Eropa yang moyangnya pernah mencekikkan penindasan pada leluhur mereka.

Bukan. Ini bukan pembalasan. Ini hanya gemericik arus orang yang secara alami membuntuti derasnya aliran sumber daya yang menopang hidup ummat manusia sejagat. Para penduduk Eropa yang merasa asli dapat menyebutnya pengungsi, atau imigran. Tapi keberadaan mereka tak terelakkan.

Tiada pengambilan yang tak ditagih. Tiada ketamakan yang tak dibayar.

Kemudian kaum pendatang itu jumlahnya tumbuh berlipat melampaui bangsa-bangsa Barat yang sayangnya justru sedang bersorai meninggalkan lembaga pernikahan dan keluarga serta mengesahkan perkawinan sejenis. Sebuah kekhawatiran atas peta kependudukan kian mencekam Eropa. Barangkali, beberapa dasawarsa ke depan, wajah Jerman sudah lebih banyak yang mirip Mesut Ozil dibanding Angela Merkel, wajah Perancis lebih jamak seperti Karim Benzema daripada Francois Hollande, begitu pula negara di sekitarnya.

Warga Eropa sedang diuji atas nilai-nilai yang mereka gemakan sendiri sejak Revolusi Perancis; kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.

Akankah nilai-nilai tentang hak asasi bagi setiap insan, persamaan yang tak membedakan asal, warna kulit, dan bahasa, juga persaudaraan kemanusiaan yang melampaui batas kebangsaan menang di hadapan ego untuk mendaku “asli”, merasa “pribumi”, serta menganggap mereka yang datang sebagai gangguan, ancaman, bahkan teror?

Tentu saja, kaum muslimin sebagai bagian terbesar dari para pendatang itu juga harus menghadapi tantangan dan menjawab ujian yang lebih rumit lagi. Prof. Tariq Ramadhan mengistilahkannya sebagai bagaimana menjadi ‘Muslim Eropa’. Yakni muslim yang teguh dengan tsawabit-nya, nilai dasar yang tetap sebagai muslim dalam ‘aqidah, ibadah, dan mu’amalahnya; tapi mampu menyesuaikan yang mutaghayyirat, nilai-nilai dalam ekspresi intelektual, sosial, dan kebudayaan yang sesuai dengan lingkungan barunya di belahan bumi barat.

Bahkan dalam tuntutan agamanya, kaum muslimin sudah seharusnya bukan hanya menyesuaikan diri; melainkan datang untuk menjawab berbagai krisis yang sedang dialami oleh warga Eropa. Dan saya melihat itu, salah satunya, pada sesosok Imam muda di Newcastle, Abdul Basith yang amat ramah dengan proyek Masjid Pusat Newcastle-nya yang padat nilai dakwah dan program anak-anak muda yang didukungnya dalam IDC, Islamic Diversity Center.

Beliau dikenal masyarakat dan pemerintah Newcastle dengan inisiatif sosialnya yang dahsyat seperti kerja bakti muslimin membersihkan lingkungan dari sampah, mengeruk salju di musim dingin, mengenalkan Islam ke murid-murid sekolah, membuka Da’wah Stall di area publik, kunjungan kasih ke Panti Jompo, memerankan tokoh superhero dan mendatangi anak-anak yang dirawat di rumah sakit untuk menghibur mereka, menyelenggarakan aksi donor darah rutin, dan menggalang dana bagi para pasien kanker. Berbagai hal ini membawa IDC, yang di antara aktivisnya ada Daniel Johnson, muslim bule nan bersemangat, beberapa kali meraih penghargaan dari Mayor Councillor.

Dan kini beliau amat bersemangat membangun Masjid yang diharapkan benar-benar menjadi inspirasi peradaban. Akan ada di sana Youth Center dengan segala fasilitas olahraga serta kreativitas, taman yang hijau hingga atap masjidnya, sistem yang hemat energi, ruang-ruang belajar yang nyaman, perpustakaan lengkap, pusat konsultasi, penyediaan kebutuhan untuk para homeless, dan lain sebagainya.

Saya berbincang dengan beliau pekan ini; dan memahami sebuah hal penting. Kita tidak dapat menunggu para warga Eropa mengerti dengan sendirinya bahwa kedatangan kaum muslimin yang berbagi ruang hidup dengan mereka bukanlah ancaman. Kita harus segera menunjukkan pada mereka bahwa muslim sebagai para peneladan Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar adalah rahmat bagi semesta alam. Maka kedatangan seorang muslim ke sebuah negeri seperti Inggris sebagaimana dialaminya, seharusnya digegas untuk menjadi keberkahan bagi siapapun di sekitarnya.

Maka Imam Abdul Basith, masjidnya, dan IDC adalah cinta yang hangat bagi kesepian yang dialami para jompo; adalah cinta yang ceria bagi anak-anak yang dirawat di Rumah Sakit; adalah cinta yang mengalir bagi mereka yang memerlukan darah sebab sukarnya menemukan donor yang layak karena tato, HIV, atau sebab lainnya; adalah cinta yang bersih bagi lingkungan yang sampah dan saljunya dia bersihkan.

Biarlah warga Eropa menginsyafi kembali bahwa nilai-nilai yang diyakininya tentang kebebasan, persamaan, dan persaudaraan; bukan hanya berarti mereka harus menerima beban dari para pengungsi muslim yang datang untuk menghindarkan diri dari nestapa di negeri mereka, melainkan juga berarti terbukanya pintu-pintu rahmat Allah bagi semesta.

Saya berdoa agar Allah kian memperbanyak dai-dai di Eropa yang sebagaimana beliau; menampakkan hakikat seorang muslim-mukmin yang aman, bukan membahayakan; ramah, bukan mengancam; dan bermanfaat, bukan membebani. Inilah kebangkitan yang rendah hati.

Nubuwwah Nabi tentang futuhnya Eropa harus kita perjuangkan untuk digenapi, barangkali bukan dengan kejumawaan tepuk dada dan sesumbar bahwa kita akan menaklukkannya dengan senjata. Betapa indahnya mereka yang menginsyafi kebenaran lalu dengan tangan-tangannya sendiri meruntuhkan berhala-berhala yang selama ini disembah dan dipujanya, untuk beralih kepada Allah dan RasulNya yang telah membentangkan rahmat dan pengampunan bagi mereka. Seperti yang terjadi pada Fathu Makkah.

“Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia berbondong-bondong memasuki agama Allah. Maka bertasbihlah memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat.” (QS An Nashr [110]: 1-3)

Semoga Allah mengampuni kita yang masih lemah dalam menjadi penghantar hidayah. Semoga Allah mengampuni kita yang belum dapat mengerahkan segenap sumber daya untuk dakwah. Semoga Allah mengampuni kita yang terus mencoba mengikhlaskan niat di dalam meneladani Rasulullah untuk membawa kabar gembira, memberi peringatan, menyeru ke jalanNya, dan menjadi pelita yang mencahayai.

Tantangan dakwah ke depan di Eropa masih begitu banyak. Kita berduka atas apa yang baru-baru ini terjadi di Paris, korban-korban yang terbunuh bukan atas kesalahan mereka secara langsung, beserta dampaknya bagi muslimin Eropa yang di beberapa tempat mulai dilihat dengan tatapan kebencian lagi, juga pada para da’i Eropa yang akan harus berbusa-busa menjelaskan berbagai hal. Tapi siapapun dalang keji di balik hal ini dan segala kepentingan jahat yang memanfaatkannya nanti, semoga Allah menjadikannya pintu dakwah yang kian menumpahruahkan berkah.

Ditulis di Nottingham, kota keberangkatan Pasukan Salib ke-4.

Sabtu, 21 November 2015

Sehelai Rambutmu Lebih Mulia dari Jubah Ulama

Suatu hari Imam Ahmad bin Hanbal rohimahulloh dikunjungi seorang wanita yang ingin mengadu.

“Ustadz, saya adalah seorang ibu rumah tangga yang sudah lama ditinggal mati suami. Saya ini sangat miskin, sehingga untuk menghidupi anak-anak saya, saya merajut benang di malam hari. Sementara siang hari saya gunakan untuk mengurus anak-anak saya dan menyambi sebagai buruh kasar di sela waktu yang ada.

Karena saya tak mampu membeli lampu, maka pekerjaan merajut itu saya lakukan apabila sedang terang bulan.”

Imam Ahmad rohimahulloh menyimak dengan serius penuturan ibu tadi. Perasaannya miris mendengar ceritanya yang memprihatinkan.

Dia adalah seorang ulama besar yang kaya raya dan dermawan. Sebenarnya hatinya telah tergerak untuk memberi sedekah kepada wanita itu, namun ia urungkan dahulu karena wanita itu melanjutkan pengaduannya.

“Pada suatu hari, ada rombongan pejabat negara berkemah di depan rumah saya. Mereka menyalakan lampu yang jumlahnya amat banyak sehingga sinarnya terang benderang. Tanpa sepengetahuan mereka, saya segera merajut benang dengan memanfaatkan cahaya lampu-lampu itu.

Tetapi setelah selesai saya sulam, saya bimbang, apakah hasilnya halal atau haram kalau saya jual?

Bolehkah saya makan dari hasil penjualan itu? 

Sebab, saya melakukan pekerjaan itu dengan diterangi lampu yang minyaknya dibeli dengan uang negara, dan tentu saja itu tidak lain adalah uang rakyat.”

Imam Ahmad rohimahulloh terpesona dengan kemuliaan jiwa wanita itu. Ia begitu jujur, di tengah masyarakat yang bobrok akhlaknya dan hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa peduli halal haram lagi. Padahal jelas, wanita ini begitu miskin dan papa.

Maka dengan penuh rasa ingin tahu, Imam Ahmad rohimahulloh bertanya, “Ibu, sebenarnya engkau ini siapa?”

Dengan suara serak karena penderitaannya yang berkepanjangan, wanita ini mengaku, “Saya ini adik perempuan Basyar Al-Hafi.”

Imam Ahmad rohimahulloh makin terkejut. Basyar Al-Hafi rohimahulloh adalah Gubernur yang terkenal sangat adil dan dihormati rakyatnya semasa hidupnya. Rupanya, jabatannya yang tinggi tidak disalahgunakannya untuk kepentingan keluarga dan kerabatnya. Sampai-sampai adik kandungnya pun hidup dalam keadaan miskin.

Dengan menghela nafas berat, Imam Ahmad rohimahulloh berkata,
“Pada masa kini, ketika orang-orang sibuk memupuk kekayaan dengan berbagai cara, bahkan dengan menggerogoti uang negara dan menipu serta membebani rakyat yang sudah miskin, ternyata masih ada wanita terhormat seperti engkau, ibu. Sungguh, sehelai rambutmu yang terurai dari sela-sela jilbabmu jauh lebih mulia dibanding dengan berlapis-lapis surban yang kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dikenakan para ulama.

Subhanalloh, sungguh mulianya engkau, hasil rajutan itu engkau haramkan? Padahal bagi kami itu tidak apa-apa, sebab yang engkau lakukan itu tidak merugikan keuangan negara…”

Kemudian Imam Ahmad rohimahulloh melanjutkan, “Ibu, izinkan aku memberi penghormatan untukmu. Silakan engkau meminta apa saja dariku, bahkan sebagian besar hartaku, niscaya akan kuberikan kepada wanita semulia engkau…”.

Diriwayatkan dari Abu Bakr ash-Shiddiq, dari Rosululloh, beliau bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ جَسَدٌ غُذِيَ بِحَرَامٍ

“Tidak akan masuk ke dalam surga sebuah jasad yang diberi makan dengan yang haram.” 
(Shohih Lighoirihi, HR. Abu Ya’la, Al-Bazzar, Ath-Thobaroni dalam kitab Al-Ausath dan Al-Baihaqi, dan sebagian sanadnya hasan. Shohih At-Targhib 2/150 no. 1730)

Jangan Cari Kekayaan, Carilah Keberkahan